KEBEBASAN ADALAH HAL TERINDAH
(Author : Deddy Z)

Di dalam dunia yang gelap. Tanpa setitik pun cahaya. Terdengar isak tangis yang menggema dalam sunyi.
Dtengah latar belakang hitam, terlihat seorang gadis kecil sedang berdiri sendirian. Satu-satunya warna yang menemani adalah bayangan putih di bawah kakinya.
Tanpa memikirkan keanehan tempat aku berada, pelan-pelan aku berjalan menghampiri anak itu.
“Kenapa kamu menangis?” aku bertanya.
Gadis kecil itu menurunkan tangan yang hinggap di muka. Meski begitu aku tetap nggak bisa melihat wajahnya karena rambut hitam masih menutupi. Namun sebuah senyum jelas sekali terlihat.
Bukan senyum yang ramah, lebih ke seringai seram. Lalu entah darimana datangnya, tiba-tiba muncul kain hitam panjang yang meliuk-liuk dari belakang tubuhnya. Benda seperti ular itu menjalar sampai melingkar ke leherku.
Aku tercekik. Jeratan kain hitam itu sangat kuat sampai kakiku nggak menapak di tanah.
Tiba-tiba aku bangun dari tidur.
Tersadar dari mimpi, tanganku segera merayap memegangi leher. Beruntung nggak ada apa-apa di leherku.
Mimpi yang menyeramkan! Apakah ini pertanda buruk?
Ayolah. Tanpa mimpi begitu pun hidupku sudah sering tertimpa hal buruk. Itu pertanda yang nggak perlu.
Aku menyadari kalo ternyata aku tertidur di tempat yang nggak biasa. Di atas bangku. Kenapa aku bisa tidur disini?
Datang suara dari arah dapur, kupingku menangkap suara anak perempuan. Pagi-pagi begini biasanya Tiara lagi masak buat sarapan. Tapi suara yang kudengar itu bukan suaranya Tiara.
Siapa dia?
Oh ya. Aku jadi ingat kalau semalam ada orang yang menginap. Kok dia belom pulang sih? Padahal seharusnya hari ini ia berangkat ke sekolah.
Aku turun dari bangku lalu berjalan ke arah dapur untuk memeriksa. Disana aku melihat dua cewek yang kelihatannya lagi memasak. Satu cewek yang lebih tinggi nampak sedang membuka satu kemasan garam baru menggunakan gunting. Yang kupertanyakan disini adalah kenapa ia membuat potongan lurus di atas kemasan?
Beberapa detik kemudian, pertanyaanku terjawab dengan sendirinya. Dengan enteng Cynthia menumpahkan garam yang baru saja dibuka ke atas penggorengan.
“Woaa! Kak Cynthia, garamnya jangan dituang seplastik semua! Taruh seperlunya aja!” Tiara panik melihat aksi bodoh Cynthia.
“Se-seperlunya itu semana, Tiara?”
Yaampun. Cewek itu pasti baru pertama kali ada di dapur.
Tiara buru-buru mengambil codet lalu ia mengumpulkan gunungan garam itu kembali ke plastiknya.
Kamu lagi ngapain, Mak Lampir?” aku menegur.
Mendengar suaraku entah kenapa bikin Cynthia kaget. Ia sedikit tersentak. Lalu bahasa tubuhnya seperti orang yang sedang kebingungan harus menjawab apa.
“Kak Cynthia lagi belajar masak sama Tiara, Kak Alan, Tiara menggantikan Cynthia menjawab.
Kenapa harus disini? Kalo dia bikin bumbu masak kita banyak terbuang sia-sia gimana?
“Berisik kamu, Cecurut! Namanya juga belajar. Wajar kan kalo aku salah,” Cynthia berbalik badan, menampakkan muka belum mandi yang memerah. Rambut cokelat yang nggak tersisir rapi itu membuatnya nampak menggoda.
Kalo sampe habis kamu mau beliin yang baru?
“Iya, nanti aku beliin, kamu nggak usah bawel!” Cynthia menggerutu.
“Yaudah. Terserah kamu aja. Tapi jangan rusak rasa sarapanku ya,” aku berkata begitu seraya berjalan meninggalkan mereka.
“Huh. Jangan remehin aku ya. Aku pasti bisa bikin masakan seenak buatan Chef Farah Quinn. Lihat nanti!”
Tanpa membalas kepercayaan diri Cynthia, aku keluar mengambil handuk yang tergantung di jemuran.
Aku mandi pertama, sementara Tiara dan Cynthia masuk ke kamar mandi secara bersamaan. Mereka akrab banget padahal ketemunya belum genap sehari. Kepolosan sikap Tiara nampaknya membuat ia mudah melunakkan hati orang lain.
Akan tetapi kepolosan itu justru sering kali bikin aku khawatir.
Cynthia dan Tiara berbarengan keluar dari kamar dengan seragam sekolah rapi. Cynthia mengenakan baju putih dan rok abu-abu, sementara Tiara memakai baju putih dan rok berwarna biru dongker.
Muka mereka berdua begitu putih bersih, aku sampai sempat mengira ada dua malaikat yang tinggal di rumahku.
“Dari mana kamu dapet seragam itu, Mak Lampir?” tanyaku.
Aku merasa aneh karena seharusnya di awal dia nggak ada rencana menginap. Kenapa bisa bawa seragam yang sudah terpasang atribut penuh begitu?
“Roni yang bawain. Semalam Roni pulang trus tadi ngasih aku seragam ini pas kamu di kamar mandi.”
“Oh begitu.”
Aku jadi terpikir, enak ya kalo punya pelayan pribadi. Di tengah bersiap memakan sarapan, aku membayangkan gimana seandainya aku memilikinya juga. Tapi sosok yang kubayangkan bukan pria kekar seperti Roni. Aku membayangkan cewek cantik dengan pakaian pelayan bernuansa hitam putih.
Dengan wajah manis ia selalu memasang senyum tulus di wajah. Ia nyuapin aku makan, mijitin aku ketika pegal, lalu juga menyanyikan lagu pengantar tidur untukku.
Aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya. Tapi kesenanganku dirusak oleh rasa nasi yang sangat asin. Kulihat Cynthia juga memasang muka seperti merasakan sesuatu yang tak enak dilidah.
“Ini enak. Lumayan juga buat percobaan pertama,” segera aku memberi tanggapan sebelum Cynthia mengomentari masakannya sendiri.
Sebenarnya aku lebih suka mencaci atau menghina Cynthia, tapi ini kan bisa dihitung masakan Tiara juga. Takutnya nanti Tiara jadi berkecil hati karena gagal mengawasi yang diajarinya.
Kini Cynthia menatapku dengan pandangan penuh keingintahuan. Apa yang ia inginkan dariku?
“Habisin ya. Makanan nggak boleh dibuang-buang,” kataku tegas kepada Cynthia.
Cynthia lalu beralih menatap makanan di piringnya. Ia nampak ragu untuk menyendokkan nasi ke mulut. Tapi ia tetap memaksa memakan. Meski pada akhirnya cuma habis setengah.
“Aku lagi diet. Buat kamu aja sisanya,” kata Cynthia seraya menggeser piring ke arahku.
Dasar. Pagi-pagi udah bikin susah aja. Aku pun jadi mengkonsumsi satu setengah porsi nasi goreng asin di pagi hari.
Yah. Setidaknya hari ini aku nggak perlu khawatir akan asupan yodium ke tubuh.
Selesai menyantap sarapan, kami mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Sepatu sudah terpasang, tas sudah terbawa. Aku pun siap membuka pintu rumah.
“Tiara. Mau bareng Kak Cynthia naik mobil?”
Mendengar ajakan Cynthia, aku jadi menghentikan langkah tepat di tengah pintu yang sudah terbuka.
“Waahh. Boleh, Kak? Mau dong! Mau, mau, mau!” Tiara nampak kegirangan sampai memegangi tangan Cynthia. Melihat reaksi Tiara membuat Cynthia tersenyum senang. Namun ketika melihatku, tatapan mata hijau zamrudnya mendadak berubah sinis.
“Kamu nggak boleh ikut, Cecurut,” kata Cynthia.
“Heh? Kenapa? Sebagai kakaknya aku perlu menjaga Tiara dong.”
“Udah ada aku, jadi keberadaan kamu nggak diperlukan.”
Kalimat Cynthia seakan menyuruhku segera menghilang saja dari muka bumi.
“Justru karena ada kamu makanya Tiara perlu dijaga.”
“Kan Alan tenang aja. Tiara akan pastikan cuma Kak Alan yang boleh melakukan itu ke Tiara,” Tiara mengatakan itu sambil berpose tangan kiri mengepal di depan dada, lalu satu tangan lagi di atas mulut.
“Hah? Melakukan apa? Memang Kakak pernah ngelakuin apa ke kamu?!”
“Dasar cecurut bejat! Kamu naik angkot sendiri aja sana!” Cynthia berkata begitu seraya menarik tangan Tiara untuk ikut jalan bersamanya, “Minggir!” kata Cynthia mengusirku yang berdiri di tengah pintu.
Ah. Sial. Padahal kukira aku bisa menghemat ongkos ke sekolah hari ini.

Kantin di sekolahku berbentuk ruangan memanjang. Setiap meja dilengkapi tiga buah kursi bulat tanpa sandaran di kedua sisinya. Aku memilih duduk di satu meja yang masih kosong. Posisinya ada di urutan kedua dari meja paling belakang.
Tiap istirahat aku biasa ke kantin sekedar membeli es teh seharga dua ribuan. Ini kubeli sekedar untuk syarat duduk di kantin aja. Nggak lama setelah ini biasanya akan ada dua orang yang datang menemaniku.
Tanpa meminta izin terlebih dulu, seorang siswi yang datang langsung duduk tepat di sebelahku.
 “Kamu lagi belajar ilmu pelet ya?” Tanpa basa-basi siswi itu bertanya aneh padaku.
Ia adalah teman sekelasku, seorang siswi yang selalu memakai syal hitam kemanapun ia pergi. Fenny.
“Ilmu pelet apa maksud kamu, Fenny?”
“Yang kemarin itu siapa, Alan? Kayaknya siswi dari kelas Multimedia. Kamu biasanya ngurung diri di meja terus kan? Gimana ceritanya orang yang bahkan nggak kenal siswa yang berjarak dua meja di sampingnya, bisa jalan sama siswi dari kelas lain?”
“Aku nggak kuper-kuper banget tau! Kalo cuma dua meja aku masih kenal,” tiga mungkin beda cerita, “Kemarin itu cuma faktor ketidaksengajaan. Nggak ada yang spesial kok.”
“Kamu nggak sengaja melet dia?”
“Melet mbahmu! Bisa nggak kamu sedikit aja berpikir positif ke aku?”
“Unsur negatif dalam diri kamu terlalu kuat. Gimana caranya aku bisa berpikir positif?”
“Memangnya aku jenglot pake kuat unsur negatif segala.”
Fenny lalu mencodongkan badan ke arahku. Tangan kanannya mencengkram pipiku untuk memaksa aku menatap wajah cantiknya yang dapat dengan mudah mengintimidasi orang lain untuk segera mencintainya.
“Jadi, apa kamu udah mulai jadi cowok nakal, Alan?”
“Kalian berdua selalu keliatan mesra ya.”
Tiba-tiba ada seorang siswa datang menegur. Satu lagi orang yang kumaksud akan menemaniku tadi. Siswa dengan gaya rambut agak ikal, yaitu Aldi.
Untunglah Aldi datang di waktu yang tepat. Aku jadi terselamatkan.
Baru saja aku kira aku selamat, bahaya selanjutnya mendadak datang mengancam. Tanpa memberi peringatan, Fenny melingkarkan kedua tangan di lengan kananku.
“Kami bisa lebih mesra lagi loh,” kata Fenny.
Sontak aku kaget dengan apa yang dilakukan cewek bersyal itu. Segera aku menjauh untuk melepas pelukan Fenny pada lenganku.
“F-Fenny, kamu ngapain?! Becanda yang kayak gitu nggak lucu ah!” ucapku.
Ada dua hal menakutkan dari aksi Fenny barusan. Pertama cewek ini emang dari dasarnya bikin aku takut kalo aku deket dia. Yang kedua, aku takut menyakiti perasaannya Aldi karena diam-diam sebenarnya sahabatku itu memendam rasa suka ke Fenny, dia sendiri yang cerita itu ke aku.
“Jadi sejak kapan kalian udah pacaran?” tanya Aldi.
“Kalo nggak salah sejak sembilan tahun lalu ya. bukan begitu, Alan?”
“Aku nggak ngerti kamu ngomong apa.”
Mendengar jawabanku dari pertanyaannya, sejenak Fenny menghela napas, “Mau sampe kapan kamu melihara kapasitas otak yang sedikit itu? Kamu nggak bisa lihat naskah yang dibuat Aldi tadi?”
“Hah? Naskah? Naskah apa?” tanyaku bingung.
“Aldi kan mau kita kelihatan mesra. Aku cuma berakting sesuai kemauannya Aldi.”
Ah. Jadi teringat kalau Fenny ini suka berakting. Di tugas drama Bahas Indonesia dulu, kemampuan akting Fenny kelihatan banget di atas rata-rata. Dia mendapat nilai sempuarna dari guru berkat penjiwaannya yang mempesona.
“Hahahaha. Tadi itu aku cuma bercanda, Fenny. Jangan langsung dijadiin naskah gitu ah.”
“Bukannya itu naskah yang bagus? Seorang cowok tertangkap basah sama pacarnya lagi bermesraan sama cewek. Kira-kira judul apa yang bagus buat cerita itu?”
“Sebentar. Kenapa kedengaran kayak cerita homo?” aku mempertanyakan kesimpulan naskah dari Fenny.
 “Itu akan jadi cerita cinta segitiga yang menarik, Alan.”
“Bener juga itu, Fenny,” Aldi menyetujui pendapat perkataan Fenny.
Yaampun. Kenapa kelakuan temanku selalu pada aneh gini kalo lagi ngumpul. Kami terus melanjutkan perbincangan tak jelas sampai terdengar bunyi bel tanda istirahat berakhir.
Pelajaran berikutnya adalah pelajaran IPA yang membosankan. Sebenarnya aku nggak benci sama pelajaran IPA, aku cuma benci sama gurunya.
Bisa kutebak, di pertemuan kali ini pasti dia akan mendiktekan buku untuk ditulis. Ia melakukan itu sambil terlihat seperti mengerjakan sesuatu yang lain pada buku miliknya.
Setelah selesai mendikte beberapa lembar, ia masih tetap sibuk dengan tugas pribadinya. Guru berkumis itu cuma akan menjelaskan ketika ada sisa waktu setelah tugas entah apa miliknnya itu selesai. Aku membencinya karena seperti nggak niat mengajar.
Pulang sekolah hari ini aku mengirim SMS ke Aldi untuk pulang duluan karena ada yang mau kuurus terlebih dulu.
Ini tentang ancaman Bu Siska yang bilang akan memajang kertas tugas impianku di mading. Aku sudah menyelesaikan tugasku, meski nggak tau hasilnya benar atau enggak, tapi tetap aja udah selesai kan?
Seharusnya aku bisa minta Bu Siska buat membuang kertas memalukan itu sekarang.
Sampai di depan ruang BK, aku berpapasan dengan orang lain yang sudah nggak ingin aku temui di sekolah. Siswi yang sebenarnya nggak akan membuat cowok manapun bosan menatap muka cantiknya, itu adalah Cynthia.
Kalau mengingat kejadian waktu kami marahan di gedung futsal kemarin, seharusnya aku dan Cynthia bersikap nggak saling kenal sekarang kan? Namun dengan santainya Cynthia bertanya.
“Kamu mau laporan juga, Cecurut?”
“Eh? Nggak. Aku kesini karena urusan lain.”
Mata berwarna hijau zamrud Cynthia menatapku penuh curiga.
“Jangan-jangan kamu mau konsultasi cara menaklukan hati adik perempuan ya?”
“Nggak! Kamu kira aku siscon!? Aku ini cowok normal yang nggak tertarik sama hubungan cinta antar saudara tau!”
“Di jidat kamu tertulis kata bejat. Gimana aku bisa percaya?”
“Hah? Dimana? Pas ngaca aku nggak pernah liat,” aku bertanya-tanya sambil memegangi jidat.
“Kalian berdua lagi ngapain?”
Tanpa kami sadari, seorang wanita yang hendak kami temui ternyata baru datang kesini.
“Eh? B-Bu Siska, saya mau ngomongin sesuatu, Bu,” ucapku.
“Aku mau laporan soal rencana kemarin,” sementara itu Cynthia memberi jawaban berbeda.
So sweet banget kalian mau memberi laporan bareng-bareng. Jangan-jangan kalian berdua udah jadi pacar beneran ya?”
Hening. Nggak ada yang menjawab.
Sesaat kemudian Cynthia langsung melemparkan amarah padaku.
“Kamu kenapa nggak menyangkalnya, Cecurut!?”
“Kamu sendiri kenapa nggak menyangkal, Mak Lampir!? Aku nunggu kamu menyangkal tau!”
“Kenapa nggak menyangkal sendiri aja! Aku juga nungguin kamu menyangkal tau!”
“Hahahaha. Kalian berdua memang cocok,” Bu Siska tertawa.
“Apanya cocok!?”
“Sama sekali nggak cocok!”
Kali ini aku dan Cynthia menyangkal secara bersamaan. Tak senang. Kami berdua lalu saling melihat sinis, kemudian sama-sama membuang muka.
“Yasudah, ayo masuk ke ruangan dulu,” ajak Bu Siska sambil tersenyum.
Aku dan Cynthia pun mengikuti langkah Bu Siska.
“Silakan duduk.”
Sebelum menuruti perkataan Bu Siska, terlebih dulu aku menggeser tempat dudukku menjauh dari kursi satunya. Cynthia pun melakukan hal yang sama. Ini persis ketika awal kami ketemu.
Kejadian kemarin sepenuhnya diceritakan oleh Cynthia. Aku dan Bu Siska hanya mendengarkan. Tapi sesekali aku menjawab ketika Cynthia meminta persetujuan. Sekitar 20 menit berlalu sampai Cynthia selesai bercerita.
“Begitu ya. Hasil ini di luar perkiraan Ibu. Kamu memang anak yang nggak terduga, Alan.”
“Apakah itu pujian, Bu?” tanyaku.
“Tentu!”
“Bukannya saya malah memperburuk keadaan ya?”
“Menurut kamu gimana, Cynthia?” Bu Siska melemparkan pertanyaanku kepada Cynthia.
“Ya. Cecurut ini emang memperburuk keadaan. Sekarang aku jadi benar-benar nggak bisa balikan sama Reza.”
“Hei, nggak sepenuhnya salahku ya. Kan kamu sendiri yang ngebuang pilihan itu, Mak Lampir.”
“Apakah kamu mengikhlaskan kepergian Reza, Cynthia?” tanya Bu Siska.
“Sebenarnya aku masih sayang sama Reza. Tapi… gimana ya. Aku kecewa juga sih dia mengkhianati kepercayaan aku, sampai aku kemarin nggak bisa mengendaliin diri trus bilang sesuatu yang jahat begitu ke dia. Aku menyesal. Tapi aku harus menerima konsekuensi dari apa yang udah kukatakan. Mungkin hidupnya Reza akan lebih tenang kalo nggak ada aku,” Cynthia bicara dengan nada yang semakin lama semakin pelan.
“Jadi sekarang kamu mau pacarannya sama Alan?”
“Nggak, Bu! Kenapa bisa jadi kesitu!?” mendadak nada kalimat Cynthia meninggi sampai puncak.
“Bu Siska nggak bisa berhenti jodoh-jodohin kami berdua ya?” protesku.
“Hahahaha. Yah, Ibu nggak nyangka juga bisa ada hasil seperti ini. Kalau menurut Cynthia ini sudah yang terbaik, saya nggak akan menuntut hasil lain.”
Cynthia memberi tanggapan berupa anggukan kepala.
“Kalau begitu tugas saya selesai kan, Bu? Bu Siska nggak akan majang kertas tugas saya di mading kan?” tanyaku memastikan tujuan utama aku kesini.
“Oke. Ibu akan menyimpannya aja sebagai aset berharga,” Bu Siska memberi senyum.
“Ah… ya… begitu ya…”
Yah. Seenggaknya lebih baik daripada dipajang.
“Yasudah, Bu. Saya permisi dulu ya. Aku ucapkan terimakasih karena udah bantu aku,” Cynthia berdiri lalu berpamitan.
“Silakan Cynthia. Kalo kamu ada masalah lagi, jangan malu buat konsultasi kesini. Ruang BK akan selalu terbuka untuk anak-anak yang sedang mengalami kesulitan,” Bu Siska tersenyum sambil melambaikan tangan.
“Saya juga pamit ya, Bu,” aku turut berdiri. Menurutku urusanku juga sudah selesai. Kalau aku berlama-lama disini takutnya Bu Siska bertanya-tanya aneh padaku. Ingat, aku belum keluar dari zona penelitian Bu Siska.
“Oke. Kalian berdua hati-hati di jalan. Bermesra-mesranya jangan di depan umum ya!”
“Nggak akan, Bu!”
“Nggak akan, Bu!”
Melihat aku dan Cynthia memberi jawaban yang persis sama, dengan waktu bersamaan pula, Bu Siska nampak sangat senang. Berbeda dengan kami yang justru kesal.
Cynthia lalu bergegas pergi tanpa menghiraukanku. Sementara itu aku memilih berjalan santai.
Sejenak aku berhenti untuk menghirup udara segar di luar ruangan.
Terbebas. Ya. Akhirnya aku benar-benar terbebas.
Karena masalah Cynthia selesai, artinya aku udah nggak perlu berurusan sama si cewek egois pembawa masalah itu lagi. Kedamaian hidup, aku telah kembali ke pelukanmu.
Hendak berjalan menuju gerbang, tanpa sengaja aku melihat siswi bersyal hitam baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. Kalau kuperhatikan mukanya nampak sedih. Bibirnya cemberut dengan mata karamel yang mengkilap-kilap.
Ini pertama kali aku melihat Fenny nggak dalam ekspresi santai yang dingin. Karena penasaran, aku pun mendekatinya.   
“Ada apa, Fenny?” tanyaku.
“Heh? Alan? Kamu belum pulang?” Fenny nampak terkejut melihatku.
“Aku tadi ada urusan di ruang BK. Kamu kenapa?”
“Ruang BK? Kok kamu bisa masuk ruang BK? Emang kenakalan apa yang habis kamu lakuin?”
Aneh banget. Kalo Fenny yang biasa harusnya bilang ‘Jadi kebodohan kamu sudah sangat membahayakan sampai harus diurus guru BK ya?’ mungkin semacam itu.
“Kenapa jadi kamu yang nanya-nanya? Kamu kenapa, Fenny. Muka kamu keliatan sedih.”
Sepertinya Fenny nggak sadar dengan ekspresi mukanya sendiri. Dia nampak kaget lalu segera menyembunyikan wajah. Yang membuatku ikutan kaget adalah Fenny menyembunyikan wajahnya ke bahuku.
Dekat. Fenny sangat dekat. Ini terlalu dekat. Aku bisa mencium aroma shamponya yang mirip krim susu. Saking kagetnya tubuhku jadi nggak bisa bergerak.
“Lupain apa yang baru aja kamu lihat, Alan.”
Aku akan lebih senang untuk ngelupain apa yang sedang terjadi sekarang.

“K-kamu kenapa, Fenny?!”
Fenny hanya menjawab dengan diam. Kedua tangannya memegang erat seragam putihku.
Situasi macam apa ini? Untung aku nggak lagi bareng sama Aldi. Kalo sampe dia ngeliat ini, harus jelasin apa aku ke sahabatku itu?
Samar-samar terdengar suara embusan napas panjang dari Fenny. Tak berapa lama kemudian, ia mengangkat kepalanya lalu menatapku dengan ekspresi santainya yang biasa.
“Kenapa kamu pasang muka bloon begitu? Apa muka sedih aku sebegitu bikin kamu heran?”
“Nggak. Bukan soal itu,” aku lebih heran sama hal lain, “Kamu lagi kenapa, Fenny?” Untuk kesekian kalinya aku bertanya.
“Cuma sedikit masalah. Kalo pun aku cerita ke kamu, aku nggak yakin kamu bisa bantu. Nanti kamu malah jadi ikut terkena bebanku. Kebodohan kamu aja udah memberi beban berat kan?”
“Yaudah kalo kamu bilang begitu. Aku nggak akan peduli lagi sama kamu.”
Fenny membuat tatapan lembut, lalu kepalanya perlahan menunduk. Ia menaruh telapak tangan kanannya tepat di atas dadaku. Kemudian dasi abu-abuku digenggam. Seperti bicara pada dasi, Fenny bertanya.
“Alan. Menurut kamu gimana cara mendapat uang 300 ribu dalam satu malam?”
Mendengar pertanyaan itu, di kepalaku langsung terpikir satu jawaban, akan tetapi aku nggak mengatakannya karena itu bukan cara yang halal. Jadi segera aku memikirkan solusi lain.
“Masalah uang ya. Aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku kenal orang yang mungkin bisa bantu.”
“Beneran?” dasiku tiba-tiba ditarik sampai mukaku terbawa ke jarak hanya 1cm dari hidung Fenny. Semoga aja aroma napasku nggak tercium, “Siapa dia?”
Nggak kuat melihat mata karamel Fenny terlalu dekat, aku mengalihkan pandangan ke kiri, “D-dia orang yang banyak uang. Tapi aku belum deket sih sama dia. Nggak tau juga bakal mau bantu atau engga, tapi nggak ada salahnya dicoba.”
 “Begitu?” Fenny melepaskan tangannya dari dasiku. Kini aku bisa bergerak menjauh, “Kira-kira kapan aku bisa dapet kabar selanjutnya dari kamu?”
“Kamu perlu cepet ya?”
Fenny mengangguk.
“Besok siang deh ya pulang sekolah. Kelamaan nggak?”
“Batas waktunya minggu ini karena minggu depan kita udah UTS.”
“Mau buat bayar sekolah ya?”
Fenny menjawab dengan anggukan.
“Kamu hebat ya, Fenny. Masih SMK tapi udah mandiri.”
“Bukan sesuatu yang perlu dibanggakan. Aku malah lebih senang kalo aku bisa bermanja-manja ke orang.”
Kalimat Fenny mengingatkanku dengan impiannnya yang ingin jadi pengantin dengan alasan ia mau bermalas-malasan di masa depan. Mungkin karena terlalu banyak bekerja di masa muda, ia jadi punya impian begitu. Imejku ke cewek ini jadi sedikit membaik.
“Yaudah, sampe ketemu besok ya,” aku melambaikan tangan ke Fenny lalu berjalan pergi.
“Iya. Aku tunggu kabar kamu ya, Alan. Semoga masih ada sedikit ruang di otak kamu buat mengingat janji kamu.”
Ah. Mungkin enggak. Ia tetap aja cewek yang hobi mengejek.
Orang yang kumaksud mungkin bisa membantu Fenny, tak lain dan tak bukan adalah seorang siswi yang menaiki mobil mewah ke sekolah. Ya. Cynthia.
Dia itu kan anak orang kaya, uang 300 ribu pasti cuma dianggap recehan buat dia. Aku ingat total belanja dia kemarin dalam sekali ke mall mencapai enam digit angka di belakang angka pertama. Dilihat dari manapun itu bukan angka yang wajar untuk belanjaan anak SMK.
Padahal aku berencana dari sekarang nggak akan berurusan sama dia, tapi sepertinya aku akan terlibat dengannya sedikit lebih lama lagi.
***