PARTY PARA PETUALANG
(Translater : Zerard ; Editor : Hamdi)

“Aku harus lari? Apa?” Gadis itu berdiri di dapur membuat sarapan pagi—Gadis sapi—terkejut akan perkataannya. “Kenapa?”
“Aku menemukan jejak kaki.” Gadis sapi mengerti, walaupun tidak sepenuhnya, apa yang di maksud itu. Seseorang yang tidak memahaminya mungkin hanya beranggapan bahwa itu hanyalah jejak kaki anak kecil atau ulah para peri.
Itu adalah sebuah jejak kecil, yang tercetak pada lumpur dan kotoran oleh kaki telanjang. Sebuah langkah kaki seseorang yang tidak peduli menginjak rerumputan di padang rumput.
Gadis sapi tahu. Dia mempercayainya untuk mengetahui jejak apa itu. Mereka berdua sudah tahu bahwa waktunya telah tiba—walaupun mereka berharap waktu itu tidak pernah datang.
“Goblin” Dia—Goblin slayer—yang selalu berbicara tentang goblin. Dia berdiri di depan meja makan dengan armor dan helmnya. Ya, memang aneh. Tapi itulah yang di lakukannya setiap hari.
Yang dia tidak lakukan setiap hari adalah mengabaikan inspeksi kebunnya dan memberitahukannya untuk lari.
Gadis berhenti memasak dan dia melihat tangannya. Apa yang harus dia katakan? Dia mencari kata yang tepat.
“Tapi... kamu bisa menghentikan mereka kan?” Gadis berharap bahwa dia akan menjawab dengan jawaban biasanya “Ya,” atau “Aku bisa,” atau “Memang itu niatku.” Gadis sapi ingin mendengar nada tenang itu.
“Nggak,” Dia berkata. “Aku nggak bisa.” Suara itu terdengar sangat kecil seolah-olah suara itu di peras dari mulutnya.
Apa? Sebuah ucapan kebingungan dan terkejut terucap dari mulutnya. Gadis berputar dan melihat tubuh dia sedikit bergerak, dia seperti gemetar.
“Di dalam gua, aku bisa menghadapi seratus goblin dan menang. Bagaimanapun caranya.”
Apa dia takut?
Dia?
Mata Gadis sapi terbelalak terkejut.
Kebun mereka di kelilingi pagar, dinding batu, yang telah di perkuat olehnya. Terdapat beberapa perangkap juga yang di peruntukkan untuk menangkap binatang liar.
Ini masih jauh dari sempurna. Namun Gadis sapi tahu bahwa dia sudah melakukan apa yang dia bisa untuk melindungi mereka.
Ketika gadis sapi melihat dia, goblin slayer menatap ke bawah sekali, seperti ragu, tapi kemudian dia menatap matanya. Atau paling tidak dia mencoba.
“Musuh kita adalah seorang Lord.”
Terdapat sepuluh jenis langkah kaki yang berbeda. Sebuah gerombolan yang dapat memutuskan untuk menyerang tempat yang terjaga dengan baik—dan kemudian mengirim sepuluh goblin untuk mengintai tempat ini—pasti memiliki seorang pemimpin. Seekor Hob atau Shaman mungkin, tapi tidak. Dengan skala seperti ini, ini pastilah...
Seekor Goblin Lord.
Seseorang yang tidak paham akan hal ini tentunya akan mecemoohkan ide ini. Tapi dia paham akan hal ini. Dia tahu persis apa artinya ini. Kemungkinan, gerombolan itu ada lebih dari seratus. Jika seekor pengintai sudah mengintai suatu tempat, maka serangan itu akan datang pada hari itu juga, paling lambat keesokkan harinya. Sudah tidak ada waktu untuk meminta pertolongan kepada para pemimpin atau negara. Walaupun jika ada –para bangsawan tidak akan pernah merepotkan diri mereka karena hanya goblin.
Goblin Slayer mengetahui semua ini, Gadis Sapi pun juga.
Karena hal ini sudah pernah terjadi sepuluh tahun sebelumnya.
“Gerombolan goblin...?”  Seratus atau lebih makhluk jahat dan kejam mendatangi mereka?
“Aku bukan tingkatan platinum... Aku bukanlah pahlawan.”
Mereka kalah jumlah.
Mereka kalah kekuatan.
Itu artinya...
“Aku nggak bisa.”
Oleh karena itu.
Kamu harus lari.”
“Sekarang, selagi masih ada waktu.”
Gadis sapi melangkah mendekat, berdiri tepat di depannya. Dia menatap helmnya. Ketika Gadis sapi sudah yakin bahwa dia sudah tidak ingin mengatakan sesuatu lagi. Dia bergumam. “Baiklah.”
“Kamu sudah putuskan?”
“Ya.” Dia menarik napas dan mengeluarkannya. Ada tiga hal yang ada di dalam hatinya. Tiga hal yang membutuhkan keberanian untuk dia ucapkan.
“...Maaf.”
Sekarang karena dia sudah mengatakan yang pertama, sisanya akan mudah.
“Aku nggak akan pergi.” Dia memaksa rahangnya yang kaku untuk tersenyum. Gadis sapi tidak akan membiarkannya bertanya kenapa. Dia tahu kenapa. “Karena kamu bermaksud untuk tinggal kan?”
Dia diam.
“Tuh kan, sudah ku duga. Kamu selalu diam kalau sudah ketahuan. Kamu selalu begitu.”
“Mereka nggak akan cuma membunuhmu.”
“Ya, aku tau.” Gadis sapi berkata. Suaranya menunjukkan ketenangan.
Suara Goblin Slayer terdengar dingin. Dia berusaha lebih keras di banding teman lamanya untuk tetap bersikap tenang. “Aku menyaksikannya.”
“...Aku tau.” Gadis sapi mengetahui secara pasti apa yang dia maksud. Mengapa dia bertarung, mengapa dia terus berjuang. Gadis sapi tahu akan semua itu.
“Gerombolan itu mungkin suatu saat akan di kalahkan.” Dia berkata, seolah-olah berbicara dengan anak kecil. “Tapi jangan pikir kamu akan di selamatkan. Walaupun kamu hidup sampai saat itu, jiwa mu akan hancur.”
Niat dari perkataanya—usahanya untuk menakuti teman lamanya dengan implifikasi aku juga tidak akan bisa menyelamatkanmu.—sangat mencolok sekali, Gadis sapi nyaris tertawa.
Tentu saja dia tidaklah salah. Dia tidaklah salah, akan tetapi...
“Jadi larilah.”
“Aku bilang nggak.” Meskipun keadaanya seperti ini, Gadis sapi bahagia mengetahui bawa dia peduli padanya. Dan Gadis sapi juga peduli padanya. Gadis sapi harus dapat membuatnya mengerti. “Aku nggak mau itu terjadi lagi.” Kalimat itu keluar dengan sendirinya dari mulut gadis sapi. “Dan kamu nggak akan punya tempat untuk pulang lagi...” Dan dia menambahkan dalam hatinya, atau aku.

[Ilustrasi]
Sudah tidak ada lagi tempat yang dapat di sebutnya sebagai rumah. Sepuluh tahun berlalu, dan bahkan dia masih tidak yakin untuk menyebut tempat ini rumah.
Goblin slayer menatapnya, tanpa kata-kata. Dari suatu tempat di kegelapan helmnya, dia menatapnya. Di bawah tatapannya, rasa malu secara tiba-tiba timbul di dalam dirinya. Gadis sapi mengalihkan pandangannya dan berubah menjadi merah. Dia menatap ke lantai. Walaupun dia memaki dirinya sendiri karena sudah bertingkah bodoh, kalimat itu terus berlanjut, mencari semacam alasan.
“Ma-maksudku, coba kamu pikirkan lagi. Walaupun kita melarikan diri, binatang-binatangnya....  sapi, kambing, mereka semua akan hilang.”
Dia tidak menjawab.
“Setelah itu, maksudku...”
Hening.
“Aku mengerti.” Dua kalimat bisikan. “Yeah.” Gadis sapi membalas.
“Aku...benar-benar minta maaf. Aku tau aku keras kepala.”
“....Jangan membuat wajah seperti itu. Tenanglah.”
Gadis sapi tersenyum. Senyuman yang samar-samar. Air mata terlihat di ujung matanya. Gadis sapi pastilah terlihat begitu menyedihkan hingga dia berucap seperti itu.
“Aku akan lakukan apa yang aku bisa.” Dan kemudian dia—Goblin Slayer—berputar meninggalkannya.
Dia menutup pintu, berjalan melewati lorong dan keluar. Dia melihat sekeliling kebun, mengingatnya dalam hati, dan kemudian menginjak jalan setapak menuju kota.
Ini adalah hal bodoh.
Gadis sapi bisa saja melarikan diri ke kota.
Atau dia dapat membuat pingsan Gadis sapi, mengikatnya, dan membawanya ketempat yang aman.
Mengapa dia tidak melakukannya? Mengapa dia tidak membuatnya untuk pergi?
Hanya satu alasan. Dia tidak menginginkannya.
Dia tidak ingin membuatnya menangis lagi.
“Aku seharusnya melindungi para gadis...”
“....Kamu.”
Goblin slayer sedang berbicara dengan dirinya sendiri, akan tetapi terdengar sebuah suara yang menjawab. Berdiri di sampingnya, tangan melipat, adalah pemilik kebun ini. Dia mendengarkan percakapan mereka—atau lebih tepatnya tidak sengaja mendengar.
“Setidaknya kamu perlu ucapkan selamat tinggal sebelum kamu pergi.” Dia meludah, menatap tajam Goblin Slayer, yang setuju akan perkataannya. Paman memikul semuanya sendiri.
“Aku minta maaf, aku...”
Sang pemilik memotong tajam perkataan goblin slayer ketika dia sedang meminta maaf. “Dia gadis yang baik.” Dia memeras perkataan itu dari mulutnya yang masam pada wajahnya yang terlihat tersiksa “Dia tumbuh begitu baik.”
“...Ya.”
“Karena itu jangan buat dia menangis.”
Goblin Slayer tidak menjawab, tidak yakin bagaimana akan meresponnya. Jika hanya untuk mengatakan sesuatu atau apapun, dia bisa dengan mudah menggerakan lidahnya dan bibirnya berbicara.
Namun setelah pertimbangan panjang. Dia memutuskan untuk berkata yang sejujurnya.
“Aku akan.... mencoba.”
Terkadang dia membenci dirinya yang tidak bisa berbohong. Dengan kalimat yang terucap membebaninya, dia mulai berjalan.
*****
Guild petualang penuh seperti biasanya. Penuh akan suara keramaian, akan peralatan yang sedang di siapkan, akan tawaan.
Mereka yang sedang berpergian, melawan pasukan kegelapan, telah kembali. Tentu saja, tidak semuanya dapat kembali. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang menyinggung soal itu.
Mereka yang tidak akan pernah terlihat lagi, telah gugur oleh para monster di dalam gua atau reruntuhan, atau di sebuah padang, atau di pegunungan. Yang lain, telah berpindah ke lahan baru atau menjadi kaya dan berhenti berpetualang, atau pensiun. Tidak ada yang tahu takdir apa yang menunggu mereka. Mereka yang tidak kembali secara perlahan akan hilang dari ingatan hingga benar-benar terlupakan. Itulah akhir dari para petualang.
Jadi hampir tidak ada orang yang menoleh ketika lonceng berbunyi dan dia berjalan masuk, dengan armor kulit murahan dan helmnya, dengan perisai yang terikat di lengan dan pedang aneh pada pinggulnya.
“Oh Goblin Slayer.” Spearman berkata menyindir. “Nggak nyangka kamu masih hidup.”
Beberapa yang lainnya juga bereaksi sama. Mereka mengira bahwa dia sedang dalam quest panjang atau mengambil waktu cuti tambahan. Pria yang datang setiap hari meminta goblin telah menjadi bagian dari keseharian di guild.
Goblin Slayer berjalan dengan langkah sigap biasanya, namun dia tidak menuju kursinya di samping dinding. Dia bahkan tidak menuju meja resepsionis, melainkan berjalan menuju area tengah lobby. Para petualang yang duduk di dekatnya memberikan tatapan heran. Mereka tidak dapat melihat ekspresi di balik helmnya.
“Permisi, tolong dengarkan aku.” Suaranya pelan dan lembut, namun dapat terdengar dengan jelas di balik keriuhan di aula guild. Untuk pertama kalinya, sebagian besar orang yang ada di aula ini melihatnya.
“Aku punya permintaan.”
Keributanpun pecah.
Goblin Slayer punya permintaan?”
“Aku nggak pernah dengar dia berbicara sebelumnya.”
“Bukannya dia selalu solo?”
“Naw, dia berpergian dengan beberapa cewek akhir-akhir ini.”
“Oh yeah, cewek langsing itu... bukannya dia punya banyak anggota party sekarang ini?”
“Seorang Lizardman, Seorang Dwarf atau sesuatu. Dan disini aku berpikir bahwa dia Cuma peduli dengan goblin.”
“Teman elf nya itu hampir sama manisnya dengan Priestess itu!“
“Geez, mungkin aku harus mulai berburu goblin!”
Goblin slayer memperhatikan para petualang yang saling berbicara satu persatu. Dia mengetahui beberapa nama mereka, beberapa tidak. Namun dia mengenali setiap wajah dari mereka yang ada saat ini.
“Sebuah gerombolan goblin akan datang. Mereka akan menyerang sebuah kebun di luar kota. Aku tidak tau berapa jumlah mereka.” Dia berkata dengan tenang kepada mereka, orang-orang yang dia kenal. Kehebohan para petualangpun semakin menjadi. “Tapi berdasarkan jumlah pengintai mereka, aku percaya seekor Lord ada di antara mereka. Dengan kata lain, paling nggak ada seratus goblin.”
Seratus goblin? Di pimpin oleh seekor Lord?
Ini bukanlah lelucon. Kebanyakan dari petualang mengambil quest membasmi goblin sebagai quest pertama mereka. Sebagian gagal dan membayar kegagalan itu dengan nyawa mereka. Sebagian, walaupun—entah keberuntungan, kekuatan, atau apapun itu—selamat. Kebanyakan dari mereka sedang berdiri di tempat ini saat ini. Mereka mengetahui pasti kengerian—atau lebih tepatnya, kesulitan—goblin. Siapa yang mau sukarela bertarung dengan gerombolan makhluk itu? Dan dengan adanya Lord—goblin yang tidak ahli dalam kekuatan maupun sihir, melainkan kepemimpinan.
Ini bukanlah gerombolan biasa. Ini adalah pasukan goblin.
Bahkan para pemula yang tidak tahu banyakpun akan menolak membantu. Hanya Goblin Slayer yang akan dengan senang hati menghadapi sesuatu seperti itu. Dan bahkan Goblin Slayer, tahu dengan jelas, bahwa dia tidak berniat untuk solo sekarang...
“Sudah nggak ada waktu. Lain cerita dengan di dalam gua, tapi jika di tempat terbuka, aku nggak bisa melakukan ini sendiri.” Goblin Slayer memperhatikan sekeliling ruangan. “Aku membutuhkan pertolongan kalian, kumohon.” Kemudian dia menundukkan kepalanya.
Dengan sekejap, bisikan-bisikan mengisi ruangan.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Menurutmu gimana?”
“Goblin, huh....?”
“Dia harusnya menangani ini sendiri.”
“Aku nggak ikutan!”
“Aku juga, makhluk itu jorok.”
Tak ada satupun dari mereka yang mengatakan itu secara langsung pada Goblin Slayer. Dia masih berdiri dengan kepala menunduk, tidak bergerak.
“...Hey.” Ketika suara rendah lainnya terdengar di balik keramaian, para petualang kembali memperhatikan. “Bagaimana kita bisa tau kalau kamu benar?” Dia adalah petualang pengguna tombak. Dia menatap Goblin Slayer dengan penuh maksud.
Goblin Slayer mengangkat kepalanya.
“Ini guild petualang,” Spearman berkata. “Dan kita adalah para petualang.”
Goblin Slayer tidak menjawab.
“Kami nggak harus mendengarkanmu. Kamu ingin pertolongan, bikin jadi quest, tawarkan hadiah, ngerti maksudku kan?” Spearman melihat kepada rekan-rekan petualangnya untuk meminta dukungan.
“Dia benar!” Seseorang berteriak.
“Yeah, kami ini petualang!”
“Kamu ingin kami mempertaruhkan nyawa secara gratis?” ejekan-ejekan mulai bermunculan.
Goblin Slayer yang berdiri di tempatnya melihat sekeliling. Tidak untuk mencari dukungan.
Di sebuah meja di dalam ruangan ini, High Elf Archer di buat berdiri, wajahnya merah marah, namun Dwarf Shaman dan Lizard Priest menghentikannya. Witch duduk di sebuah bangku, sebuah senyum menghiasi wajahnya. Goblin Slayer melirik menuju meja resepsionis hanya untuk melihat Gadis Guild berlari menuju ruangan belakang dengan panik. Baru tersadarkan olehnya bahwa dia sedang mencari priestess. Di dalam helmnya, dia menutup matanya.
“Yeah, pria itu benar!”
“Coba kamu kasih tau apa yang akan kami dapatkan setelah melawan seratus goblin?”
Tidak ada keraguan lagi sekarang. Dia sudah melenyapkan keraguan itu sepuluh tahun yang lalu. Goblin Slayer menjawab dengan tenang dan jelas.
“Segalanya.”
Aula guild menjadi hening.
Mereka semua sudah mengetahui apa maksud kata itu.
“Segala yang aku miliki.” Dia berkata dengan tenang.
Jika seseorang petualang bertarung bersamaku melawan seratus goblin, pria atau wanita dapat meminta apapun atau segalanya.
Spearman mengangkat bahunya. “Jadi gimana kalau aku menyuruhmu untuk menjauhi Gadis Guild, dan membiarkanku memilikinya?” Dia bertanya dengan dengusan.
“Dia bukan milikku.” Goblin Slayer menjawab dengan keseriusan mutlak. Dia menghiraukan bisikan-bisikan yang berkicau di keramaian, yang menyebutnya tidak bisa di ajak bercanda. “Segalanya yang aku miliki,” dia berkata, “Milikku yang dapat di berikan. Perlengkapanku, kekayaanku, pengetahuanku, waktuku, dan....”
“Nyawamu?”
Goblin Slayer mengangguk ya “Bahkan nyawaku.”
“Jadi jika aku memintamu mati, apa yang akan kamu lakukan?” Spearman bertanya. Dia terdengar jengkel. Seperti tidak percaya apa yang sudah terjadi.
Mereka berpikir tahu akan apa yang akan di jawabnya. Namun setelah jeda panjang, dia berkata. “Nggak, aku nggak bisa melakukan itu.”
Tentu saja tidak. Ketegangan yang terasa di udara sedikit melonggar. Pria ini mungkin memiliki sesuatu yang salah di kepalanya, namun bahkan dia pun takut akan kematian.
“Jika aku mati, akan ada orang yang sedih dengan kepergianku. Dan aku sudah berjanji untuk tidak membuatnya menangis.”
Para petualang yang mendengarkan dengan nafas mereka yang tertahan, melihat satu sama lain.
“Karena itu, nyawaku juga bukan milikku untuk di berikan.”
Spearman menelan liurnya. Dia melotot mengarah Goblin Slayer pada sebuah helm metal yang ada di antara dia dan ekspresi di balik helm itu. Spearman bertemu dengan mata Goblin Slayer walaupun terhalang helm itu.
“Aku sama sekali nggak mengerti apa yang kamu pikirkan.”
Goblin Slayer tidak menjawab.
“Aku mengerti kamu sangat serius.”
“Ya.” dia mengangguk. “Memang.”
“Sial!” Spearman berkata, mengacak rambutnya. Dia mulai berjalan mondar-mandir di depan Goblin Slayer, mengetuk lantai dengan pantat tombaknya. Momen menjengkelkan berlanjut terus dan terus. Akhirnya, spearman menghela nafas dan berkata dengan suara menyerah. “Apa juga yang akan ku lakukan dengan nyawamu? ...tapi kamu berhutang minuman denganku.”
Dia menepukkan tinjunya satu kali mengarah armor kulit dada Goblin slayer.
Goblin Slayer terhuyung. Helm baja itu menatap kosong Spearman.
Spearman membalas menatap. Ada masalah? “Seorang petulang tingkat silver sudah menerima quest pembasmian goblin dari mu. Nggak kurang dari harga pasar. Kamu harusnya bersyukur.”
“...Ya.” Goblin Slayer mengangguk. “Maafkan aku. Terima kasih.”
“Simpan nanti saja sampai selesai membasmi goblin.” Mata Spearman melebar sedikit dan menggaruk pipinya tidak nyaman. Dia tidak pernah menyangka akan ada hari di mana dia mendengar “Terima kasih” dari pria ini.
“A-aku ikut denganmu juga!” Suara yang jernih berbunyi mengisi aula guild. Mereka semua menoleh kepada Elf archer, yang menjatuhkan kursinya di saat dia berdiri. Dia merasa ketakutan di bawah tatapan mereka, telinga panjangnya bergetar. “A-aku akan membasmi goblin itu denganmu.” Keberaniannya sepertinya sudah terkumpul, dan dia berjalan lurus melintasi ruangan menuju Goblin Slayer dan menempelkan jarinya pada dada Goblin slayer. “Jadi...jadi lain kali kamu harus ikut berpetualang denganku! Aku menemukan beberapa...beberapa reruntuhan.”
“Baiklah,” Goblin Slayer menjawab dengan segera. Telinga elf berdiri tegak. “Jika aku selamat, aku akan bergabung denganmu.”
“Ya ampun, nggak perlu ngomong begitu juga.” Dia menggembungkan pipinya, menatap helm itu. Dia berputar. “Kamu ikut juga kan?”
Dwarf menjawab duluan, dia mendesah sambil membelai jenggotnya dengan sedikit terlihat jengkel. “Sepertinya aku nggak punya pilihan. Tapi aku nggak mau jika hanya di beli dengan satu botol minuman. Beard Cutter kamu harus membelikanku satu drum!”
“Kamu akan mendapatkannya.” Goblin Slayer berkata.
“Oke kalau begitu!” Dwarf berseru gembira. ”Dan... kira-kira apa aku boleh bergabung dengan petualanganmu telinga panjang?”
“Tentu saja, kita satu party member kan?” Elf tertawa, dan Dwarf pun ikut tertawa.
“Semoga tidak pernah terucap bahwa saya akan meninggalkan seorang rekan.” Lizardman berdiri perlahan dan menyentuh ujung hidungnya dengan lidahnya. “Ataupun saya akan menolak permohonan teman yang sedang membutuhkan. Tapi mengenai hadiah....”
“Keju?”
“Tepat sekali. Ah aku sudah bisa merasakannya sekarang!”
“Keju itu bukan milikku. Tapi itu di buat di kebun yang akan mereka serang.”
“Benarkah? Ini akan semakin menguatkan alasan saya untuk menghancurkan mahkluk biadab itu!”  Lizardman memutar matanya, dan menggabungkan kedua telapak tangannya mengarah Goblin Slayer. Mereka mengerti bahwa ini adalah jenis humor para Lizardman.
Jadi empat petualang mengelilingi Goblin Slayer.
Dia tidak melihat priestess di manapun.
“Jadi, kita sudah berlima...”
“Tidak. Enam.” Witch berdiri. Dia berjalan dan berdiri di samping Spearman, pinggul bergoyang selagi berjalan. “Mungkin, akan menjadi tujuh...walaupun, saya kurang yakin.” Witch berkata penuh arti. Kemudian dia mengeluarkan sebuah pipa panjang dari bokongnya. “Inflammarae.” Dia memutar pipanya, dan memasukkan tembakau ke dalamnya, dan menyalakannya dengan ujung jarinya dan menarik napas panjang. Asap wangi mengepul di dalam aula guild.
Petualang yang tersisa berceloteh dengan semangat. Itu bukanlah karena mereka menginginkan kehancuran kebun itu. Kebanyakan dari mereka belum siap untuk mempertaruhkan nyawa mereka untuk harga yang murah. Dan siapa yang bisa menyalahkan mereka? Semua orang lebih mementingkan nyawa mereka sendiri.
Mereka hanya perlu satu dorongan lagi...
“Guild—guild juga menawarkan quest juga!”
Dorongan itu datang dari suara yang penuh energi. Gadis guild keluar dari ruang belakang, memegang erat sebuah tumpukan kertas. Dia terengah-engah, wajahnya merah, kepangnya berayun liar ke atas ke bawah.
Dia memulai meletakkan tumpukan kertas itu di meja resepsionis. “Terdapat hadiah satu keping emas setiap satu goblin yang anda basmi. Sekaranglah kesempatan anda, petualang!”
Para petualang mulai mempertimbangkannya. Tentu saja, Guild-lah yang akan menyediakan uang sebagai hadiahnya. Kemampuan untuk bekerja dalam skala besar adalah salah satu keuntungan organisasi seperti ini.
Entah seberapa keras Gadis guild berjuang untuk meyakinkan atasannya bahwa ini adalah ide yang bagus.
“Feh. Kalau begitu aku ikut.” Seorang petualang—warrior berarmor berat—sedikit menendang kursinya di saat dia berdiri dan mengambil selembar kertas itu. Knight, duduk di sampingnya, melihatnya dengan terkejut.
“Kamu pergi?”
“Aku bukan penggemarnya goblin slayer, tapi hei...uang tetaplah uang.”
“Knight tersenyum sinis pada wajahnya yang cantik. “Aku nggak tahan dengan seorang pembohong. Akui saja bahwa dia adalah yang mengusir goblin dari kampungmu.”
“Hey, simpan sendiri saja, dasar wanita! Pokoknya, aku akan tetap dapat satu emas per goblin.”
Aku juga. Ikutkan aku. Aku berhutang padanya. Satu persatu gumaman itu bermunculan. Orang-orang berdiri.
“Gimana denganmu? Aku kira kamu nggak menyukainya?”
“Aku berniat menjadi Paladin. Ketika seseorang meminta bantuan, aku harus membantunya.” Knight menjawab dengan senyum menyeringai, yang membuat warrior meresponnya dengan mengangkat bahu dan tertawa.
“Aw, yah, kalau kalian akan pergi, aku rasa kami juga akan ikut.”
“Kita ikut?”
“Tentu saja, kita harus menolong!”
Walaupun sedikit berdebat, sisa party member heavy warrior berdiri.
“Hey...”
“Apa?”
Memperhatikan mereka, Warrior yang masih hijau yang ikut berlatih dengannya beberapa hari yang lalu, memanggil cleric muda.
“Sampai sekarang aku masih belum pernah membasmi goblin.”
“...Sepertinya begitu. Mereka bilang mereka sangat berbahaya.”
“Tapi... kita harus mencobanya sesekali kan?”
“...Kamu ini payah.” Gadis itu berkata. Tapi...jika memang harus. Dan laki-laki itu mengulurkan tangannya kepada gadis itu,
Seseorang yang memperhatikan mereka menghela nafas pendek. “Aku menjadi petualang di hari yang sama dengannya. Aku rasa ini yang di sebut takdir.”
“Jika aku nggak mendengar suara yang meminta goblin setiap hari, rasanya ada yang kurang.”
“Aku setuju. Dia sudah seperti.... orang lama disini—seorang yang banyak di kenal kamu tau?”
“Aku nggak suka dia ada di sini, tapi aku lebih nggak suka kalau dia nggak ada disini.”
“Aku lagi mencari cara untuk mendapatkan uang, satu emas per goblin, huh? Nggak jelek.”
“Seumur hidupku, nggak pernah aku melihat pemberi quest seaneh ini.” Seseorang berkata. Seseorang lainnya mengangguk. Satu persatu para petualang berdiri.
Ya, mereka adalah para petualang.
Mereka mempunyai mimpi dalam hati mereka. Mereka memiliki prinsip. Mereka memiliki ambisi. Mereka ingin bertarung demi masyarakat.
Mungkin mereka tidak memiliki keberanian untuk melangkah ke depan, namun mereka telah di berikan dorongan. Sudah tidak ada lagi yang perlu di ragukan.
Membasmi goblin? Oke saja. Itu adalah pekerjaan mereka. Dan jika ada quest, mereka akan mengambilnya.
Seseorang mengangkat pedangnya di udara dan berteriak. “Kita bukan party member dan kita bukan teman—tapi kita adalah petualang!” yang lain ikut berteriak. Mereka yang tidak memiliki pedang mengangkat tongkat, tombak, kapak, panah, tangan.
Ada pemula, Veteran, Wizard, Warrior, Cleric, dan Rogue. Ada manusia, elf, dwarf, lizardman, dan rhea. Para petualang yang berkumpul di aula guild mengisi udara dengan suara mereka. Menghentakkan lantai dengan kaki mereka.
Goblin Slayer, di kelilingi oleh teriakan itu, men-survei ruangan. Matanya bertemu dengan Gadis guild. Gadis guild sedikit berkeringat, namun dia memberikan Goblin Slayer sebuah kedipan. Goblin Slayer menundukkan kepala kepadanya. Dia merasa bahwa paling tidak ini lah yang dia dapat lakukan.
“Itu bekerja dengan baik.” Terdengar tawa kecil.
Goblin Slayer berputar dan melihat, berdiri dekat sedekat bayangan, Priestess.
Tentu saja dia ada di sana, bagaimana mungkin dia tidak ada?
“....Ya, benar.” Goblin Slayer mengangguk.
Hari itu, mungkin pertama kalinya tidak ada kekurangan petualang untuk mengambil quest goblin.