BENTUK IMPIAN YANG MEREKA LUKISKAN BERSAMA
(Part 3)
(Translator : Blade; Editor : Gian Toro)

Hari Minggu, bulan September tanggal 18.
Pagi-pagi Sorata memanggil Ryuunosuke dan Rita untuk pergi ke seminar Univeritas Seni Suimei bersama-sama. Hal hal yang terjadi saat Tsujida Kaoru, Akira Oiso, Sakutaro Ninomiya dan Fujisawa Kazuki bekerja sama saat mereka masih pelajar.
“Menurutku pasti aku bisa mendapatkan sesuatu dari seminar itu.”
Dengan berkata begitu, Sorata memanggil Ryuunosuke dan Rita, Iori juga dipanggil tapi tidak dijawab.
“Apa Mashiro ingin ikut?”
“Siang nanti mau buat naskah komik.”
Sorata dan Mashiro sudah berjanji untuk menonton anime Misaki setelah seminar selesai.
“Kalau begitu, aku akan segera kembali setelah seminar selesai.”
“Jam 12, kan.”
“Ya, kira-kira sebelum jam 12.”
“Hn, aku akan tunggu.”
Sorata berkata begitu pada Mashiro yang mengatarnya keluar Sakurasou, lalu Sorata pun pergi ke Universitas Seni Suimei bersama Ryuunosuke dan Rita.
Cuaca yang bagus dan udara yang segar.
Tapi yang mengelilingi Sorata, Ryuunosuke dan Rita itu adalah suasana yang tegang.
Dengan begitulah mereka sampai di Universtas Seni Suimei tanpa mengatakan apapun. Pikir kalau musim semi nanti akan menjadi murid di sini, Sorata menjadi bangga.
Siswa SMA yang berasal dari luar tampak di mana-mana. Berbeda dengan SMA, di sini sangat luas, orang yang datang ke sini pertama kali pasti membutuhkan peta.
Yang akan dikunjungi Sorata mereka adalah theater yang berada agak dalam.
Itu adalah tempat ditayangkannya Nyaboron saat festival budaya tahun lalu. Fasilitas yang bisa memuat 300 penonton, sudah seperti bioskop saja.
Hari ini disana akan diadakan seminar, mungkin nanati akan ditayangkan beberapa video.
Dengan membawa perasaan berharap ke dalam theater, ternyata tempat duduknya sudah penuh sekitar 70 persen. Seminar kali ini sangat diperhatikan oleh orang luar.
“Sorata, di sana.”
Rita menemukan tiga tempat duduk kosong yang sejajar, dibagian kanan layar.
Tempat duduk pertama diisi Ryuunosuke, lalu sesuai urutan selanjutnya Sorata dan Rita.
“Tak kusangka akan seramai ini.”
Melihat ke arah belakang di bagian pintu, bertambah lebih banyak lagi pengunjung, dan Sorata melihat pasangan yang sepertinya ia kenal.
“……………”
Ia tidak bisa segera mengingatnya.
Tapi kalau diperhatikan, sepertinya mereka sadar dengan Sorata, lalu Sorata bertatap dengan lelaki itu.
Akhirnya sadar itu adalah Takumi, teman SMP Ryuunosuke, rambut pendeknya yang saat itu sudah tumbuh menjadi penjang. Kalau begitu, perempuan yang di sampingnya pasti Maya. Rambutnya menjadi pendek, mungkin karena inilah Sorata sesaat tidak bisa mengingat mereka.
“Ada apa, Sorata?”
Rita bertanya.
“Bukan aku, tapi Ryuunosuke.”
Setelah berkata begitu, Ryuunosuke tertarik akan itu.
Membalikkan kepalanya
“Siapa ya?”
Rita lalu bertanya lagi.
“Kenalan saat SMP.”
Ryuunosuke dengan tidak merasa tertarik sedikitpun dan terus melihat ke depan.
“Nama?”
“Untuk apa kuberitahu?”
“Untuk apa kau sembunyikan?”
Rita terus bertanya, entah apakah harus merasa repot
“Itu adalah Takumi dan Maya.”
Ryuunosuke menajwab.
Takumi dan Maya yang mengalihkan pandangan mereka duduk tiga baris di belakang Sorata.
Kenapa mereka datang ke sini? Kalau mereka ke sini, berarti mereka ingin masuk ke Universitas Seni Suimei.
Rita yang duduk di sebelahnya terus berpikir. Ekspresi itu, terlihat sangat tidak mengenakkan.
Entah apakah sedang memikirkan Maya, sempat melihatnya beberapa kali.
“Kalau begitu, waktunya sudah tiba, seminar kali ini akan dimulai.”
Mahasiswa dengan mic di samping layar berkata demikian.
“Mari kita berikan tepuk tangan untuk menyambut pembicara kita hari ini.”
Suara tepuk tangan itu pun mulai terdengar seperti petir menyambar.
Lalu dengan segera, dengan Fujisawa Kazuki sebagai pemimpin, dan diikuti Tsujido Kaoru,  Akira Oiso dan Sakutaro Ninomiya. Mereka berbaris dengan sejajar didepan layar prensentasi, dan memulai perkenalan diri.
Lalu selanjutnya ditayangkan video karya mereka saat mereka masih menjadi pelajar, dengan Kazuki sebagai pembicara utama, ia memperkenalkan saat-saat itu, walaupun mungkin sempat kena sindir tiga orang lainnya seperti ‘Jangan hanya membuat kenangan yang hanya menguntungkan dirimu’.
Dan di dalam theather pun terdengar suara tawa dari penonton, seminar terlaksana dengan suasana yang baik.
Setelah sekitar satu jam, sisa setengah jam itu adalah jam untuk memberi pertanyaan pada Kazuki mereka.
Banyak orang yang mengangkat tangannya, yang mereka pertanyakan juga bermacam macam.
“Sebaiknya apa yang kita pelajari hari ini?”
“Bisa bekerja sama umur berapakah kita di dalam dunia kerja game.”
“Apakah di lapangan kerja ada pekerja perempuan?”
“Bagaimana pandanganmu dengan game jenis sosial?”
Kazuki dengan serius menjawab setiap pertanyaan, dan pertanyaan lain yang berada diluar keahliannya, semua dijawab dengan ramah oleh angggotanya.
“Kalau begitu, waktunya juga sudah mau habis, yang selanjutnya adalah pertanyaan terakhir.”
Yang Kazuki tunjuk itu adalah orang yang duduk di belakang Sorata, dan itu adalah Maya. Ini tidak disangka, mahasiswa yang memegang mic mengoper mic ke arah Maya.
“Fujisawa-san, apa hal yang terpenting untuk bagi sebuah tim supaya dapat sukses dengan pekerjaan mereka?”
Ia bertanya dengan keras.
Sorata dapat merasa pundak Ryuunosuke yang berada disampingnya sedang bergetar.
“Pertanyaan yang sulit juga ya, tapi, disaat kami bekerja bersama-sama untuk membuat game, yang menopang kami melewati berbagai masalah yang ada itu adalah………….”
Kazuki melihat ke tiga anggotanya yang lain.
“Karena kami mempunyai impian yang sama.”
Kata-kata ini sangat cerah, seperti cuaca hari ini.
Hanya disayangkan tidak ada waktu yang lebih untuk menjelaskan, bell yang menandakan seminar berakhir pun berbunyi.
“Kalau begitu, seminar hari ini sampai di sini isaja.”
Semuanya bertepuk tangan, dan melihat Kazuki keluar.
Lalu murid yang ada dengan berbaris untuk keluar, tapi karna Sorata mereda berada di tempat duduk yang agak dalam, mereka harus menunggu supaya sedikit sepi.
“Kanda, setelah ini ke aula musik.”
Ryuunosuke mengatakannnya dengan melihat ke depan, ia mengatakannya bukan karena ingin mendengar musik.
“Apa kau benar-benar mau meminta bantuan Himemiya-senpai?”
“Apa Kanda benar-benar berpikir Iori bisa melakukannya?”
Ditanya balik.
“Sadarlah, sudah tiga minggu sejak itu.”
“………………”
“Kalau kau hanya percaya dan menunggunya, tidak ada gunanya. Menunggu saja hanya membuang waktu, lalu waktu yang terbuang itu hanya akan membuat hasil kita menjadi  kurang.”
“……………”
“Di dalam tim yang akur, kalau hanya ingin membuatnya karena seru, kalau begitu jadikan sebagai hobi saja.”
“Tidak, aku…!”
“Kalau begitu, Kanda, jangan kehilangan tujuan kita.”
Rita yang disamping hanya bisa diam.
“Itu aku tahu.”
“Serius tahu kan.”
“Kita ingin membuat game yang berkualitas, jadi kali ini harus lolos seleksi! Aku benar-benar berpikir begitu!”
Sorata berdiri dan mengatakannya dengan suara yang keras.
Tapi balasan Ryuunosuke sangat mengecewakan, dia menggunakan tangannya menutup wajahnya dan menghela napas.
“ Bukannya aku tidak percaya, tapi bukannya itu berarti sudah kehilangan tujuan.”
Ryuunosuke mengatakannya dengan suara yang cemas, dan berdiri.
Pandangan kedua orang itu bertemu.
“Apa yang salah?”
“Apa Kanda sudah puas kalau hanya lolos seleksi?”
“…………..”
“Apa kau membuat game hanya demi itu?”
“……….tidak.”
“Bukankah untuk memasarkannya dengan sukses, lalu membuat banyak orang bermain game buatan kita?”
“Ah, benar.”
“Bukannya kau juga ingin membuat ‘Rhythm Battle’ menjadi tren, lalu mulai membuat perusahaan kita sendiri.”
“Ya.”
“Kalau begitu, kenapa tidak segera kau katakan?”
Ryuunosuke hanya melihat ke Sorata, dalam matanya hanya terlihat kesedihan.
“Itu……….”
Sorata berkeringat, ia tidak tahu harus membalas dengan apa perkataan Ryuunosuke.
“Kalau tidak tahu, akan kuberitahu. Itu karena kau tidak percaya masa depan yang bisa mewujudkan tujuan kita ini.”
“!”
“Karena kau tidak sadar kalau yang kau lakukan semua ini semua berkaitan dengan masa depan kita.”
“……………….”
“Tujuan tidak akan berhasil begitu saja kalau kita hanya mengharapkannya, juga bukannya akan berhasil kalau kita mengusahakannya, melainkan untuk berhasil kita melakukan semua hal yang perlu dilakukan satu demi satu. Setidaknya sampai hari ini aku melakukannya dengan berpikir begitu.”
“…………..”
Sorata tidak dapat mengatakan apapun.
“ ‘Untuk masa depanmu sendiri mulailah dari sekarang’ “
Mendengar ini, badan Sorata seperti tersamba petir.
“Ini adalah kata-kata dari Fujisawa Kazuki yang kau kagumi, ingatlah baik-baik!”
Sorata hanya bisa menggigit bibirnya, dengan mati-matian ingin membalas Ryuunosuke, tapi ia tidak tahu apa yang harus dikatakan, menggantikan Sorata yang terdiam,
“Makanya kubilang menyerah saja untuk membuat game dengan dia.”
Suaranya berasal dari atas mereka, saat menoleh terlihat bayangan Maya dan Takumi.
“Saat dengan kami, dia juga seperti itu.”
“Saat dengan kami, kah?”
Rita tanya balik.
“Benar-benar tidak mengatakan apapun.”
Mata mereka tertuju kepada Ryuunosuke, dengan pandangan yang keruh melihat ke Ryuunosuke.
“Saat kegiatan grup di SMP, dia, aku, Takumi………..dan dua orang lainnya, membuat game.”
Bayangan saat itu tak terbayangkan dari melihat Maya dan Takumi, mungkin karena kedua orang itu tidak terlihat seperti mode orang yang mengerjakan sesuatu hanya didalam rumah saja. Apa berbeda dengan saat mereka SMP……..?
“Awalnya lancar-lancar saja, jadi setiap orang memikirkan ide lalu membahasnya bersama, belajar hal yang bermacam macam, Takumi bahkan saat itu masih belum bisa menggunakan komputer……….biarpun begitu ia tetap merasa senang, tidak peduli apa yang dilakukannya rasanya senang.”
Saat Maya mengatakan ini, ia tidak tertawa atau tersenyum sedikitpun.
“Tapi akhirnya dia menghancurkan semuanya .”
Tiba tiba suara Maya mengecil.
“………….”
Ryuunosuke hanya diam, apa itu kenyataan? Atau ia pura-pura tidak mendengar? Sorata tidak bisa menebaknya hanya dengan melihat wajahnya.
“Ilustrasi yang kulukis ia akan katakan ‘Tidak bisa, gambar ulang’, program yang dibuat Takumi juga dia katakan ‘Semuanya salah, tulis ulang kodenya’, masih selalu terbayang saat ia mengatakan ‘Apa hal seperti ini juga tidak bisa kalian lakukan?’ ”
“………….Maya, cukup.”
Biarpun Takumi membuka mulutnya Maya tetap tidak berhenti.
“ ‘Apa hal seperti ini juga tidak bisa kalian lakukan’, saat itu kami mencoba mengatakan, 'kenapa tidak kau coba memikirkan perasaan orang lain? Tidak mungkin tiba-tiba kau bisa melakukannya, kan?'”
“………………..”
“Karena dirimu bisa, jadi meminta yang lain harus sempurna, melukai yang lain, membuat hubungan antar tim menjadi rusak. Selalu merasa yang dibuatmu itu semua benar, lalu menunjukkan sikap seolah-olah tidak peduli, seperti itulah kau.”
Maya menunjuk ke Ryuunosuke.
“Maya.”
Takumi menarik lengan Maya, Maya mati-matian menolak. Maya sangat marah, lalu ia katakan lebih banyak lagi.
“Pokoknya kalau ada dia semuanya tidak akan lancar! Karena bagaimanapun ia tidak akan mengerti dengan perasaan kita!!”
“…………..”
Ryuunosuke tidak mengatakan apapun, hanya terdiam, lalu setelah Maya selesai mengatakannya, ia terlihat berencana keluar dari theater.
“Ah, Ryuunosuke.”
Rita yang ingin mengejarnya terhenti karena terpikir sesuatu, lalu membalikkan badannya, dan melirik ke Maya dengan senyuman yang membawa kemarahan.
“A-apa.”
Maya terdiam karena Rita.
“Tolong jangan samakan kami dengan kalian.”
“Huh?”
“Kata-kata kasarnya itu semua terjadi karena kalian tidak bisa mengimbangi kemampuan Ryuunosuke kan? Bukannya itu hanya karena kalian tidak bisa membalas harapan Ryuunosuke?”
“Apa!”
“Kata-kata Ryuunosuke memang pedas, tapi dia tidak akan memaksa orang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Yang Ryuunosuke omelkan bukanlah hal yang tidak bisa kalian lakukan, tapi hal yang tidak mau kalian lakukan, bukankah begitu?”
“Ti-tidak!”
“Apa kalian tidak pernah berpikir karena kalian terlalu rendah, makanya menghambat Ryuunosuke?”
“Sudah kubilang kau salah!”
“Menyalahkan kelemahan sendiri diatas orang lain, nyaman sekali ya.”
“Kau membuat orang kesal saja!”
Maya yang marah itu berjalan ke depan Rita, dan mengangkat tangan kanannya.
Suara tamparan yang keras itu terdengar diseluruh theater.
Lalu kedua kalinya.
Namun Rita langsung membalasnya.
Maya yang kehilangan keseimbangannya itu jatuh ke tempat duduk yang ada disampingnya, Takumi langsung membantunya berdiri.
Pipi Maya dan Rita memerah.
“Kenapa!”
Maya menatap ke Rita dengan penuh dendam.
Tapi Rita tidak peduli dengannya.
“Laki-laki yang disana sepertinya sudah menyadarinya.”
“Huh?”
Maya terkejut dengan perkataan Rita, ia melihat ke samping, dan melihat ke wajah Takumi yang seperti sedang menahan sakit.
“Takumi?”
“Karena kau masih punya perasaan, makanya kau ke sini, bukankah begitu?”
“…………tidak.”
Maya mengatakannya dengan kesakitan.
“Tidak ada perasaan, aku tidak cocok membuat game.”
“Yang kubilang itu perasaan terhadap Ryuunosuke.”
“!”
Entah apakah karena dirinya benar, ekspresi Takumi menjadi sangat kaku.
“Hoi, Takumi? Apa kau masih ingat? Kau masih ingat kenangan kita waktu itu kan………?”
Maya menarik baju Takumi, seperti ingin meminta persetujuan darinya…………
“Aku juga pernah menderita, tapi aku pikir Ryuunosuke juga begitu.”
“Mengapa? Mengapa kau berkata begitu!”
Maya tidak menyerah, bagaiamanapun ia tidak menerima itu.
“Aku pernah punya perasaan ingin membuat sesuatu yang menarik. Juga semuanya berpikir kalau sudah selesai mau diikutkan lomba……..juga pernah berpikir ingin juara kan. Semuanya punya perasaan ‘Kalau saja bisa’.”
“Bukannya semua itu bisa dikatakan siapa saja?”
“Tapi Akasaka berbeda, hanya dia yang ingin mewujudkan semua itu. Hanya dia yang percaya kita bisa berhasil, makanya dia lebih serius dan tegas daripada kita semuanya.”
“…………..”
Maya dengan menderita menggigit bibirnya.
“Juga janji kita untuk masuk ke Suiko bersama…….hanya dia yang menepatinya.”
“Itu…………”
Entah apakah Mayu merasa bersalah, pandangannya melihat ke arah bawah.
“Padahal sudah diputuskan semuanya adalah salahnya dan mengusirnya, tapi kita yang sisa berempat itu tetap tidak dapat melakukan apapun, dan berakhir begitu saja, biarpun sudah SMA tetap dibiarkan begitu saja…………”
Maya hanya bisa mengigit bibirnya terdiam.
“…………..”
“Biarpun begitu kita tetap berempat bersama, bisa pura-pura tidak tahu, tapi Akasaka bahkan tempat untuknya saja tidak ada……….”
Suara Takumi terdengar seperti ingin menangis.
Sudah sedikit paham, kenapa Ryuunosuke menjadi Ryuunosuke yang sekarang. Mungkin agak berlebihan mengatakan kalau semua ini adalah alasanannya, tapi salah satu alasannya pasti ada di dalam.
Berusaha untuk mengurangi berhubungan dengan orang, karena bagi Ryuunosuke ini ada resiko terbesar baginya.
Pikiran mereka berbeda.
Tidak dapat menyampai isi pikirannya pada siapapun, kemampuannya juga begitu. Biarpun dalam dunia kerja, kemampuan Ryuunosuke tetap yang nomor satu, Kazuki pernah mengatakan itu.
Ingin berbuat begitu jadi buat begitu. Tapi pikiran sepert ini tidak bisa dimilik oleh semua anggota. Setiap saat sudah panik kalau berpikir ‘Kurasa cukup seperti ini’ maka akan melukai orang lain. Jadi setiap sampai di situasi seperti ituakan dikucilkan, lalu lama-lama menjadi sendirian……….
Tapi, kalau karena begitu………kenapa Ryuunosuke sekarang masih mau membuat game bersama Sorata? Sorata tidak merasa dirinya mempunyai harga yang sepadan dengan itu.
Pernah ada beberapa perusahaan game yang mengundangnya, harusnya ia membuat game di lingkungan yang dipenuhi profesional.
“Hari ini aku datang hanya untuk memeberitahu, terima kasih.”
Lalu segera keheningan ini dihentikan Rita.
“Tapi tidak perlu khawatir, proses kami lancar-lancar saja.”
Rita tersenyum dan tidak peduli dengan suasana yang sekarang.
“Nah, Sorata, begitu kan?”
Lalu akhirnya melemparkan sebuah pertanyaan yang bahkan Sorata tidak tahu.
“Eh? Huh?”
“Yang benar, bangkitlah kembali, bukankah Ryuunosuke juga bilang begitu.”
“Bilang apa?”
Sorata bertanya dengan bodoh.
“Kalau boleh jujur aku sangat iri dengan Sorata.”
“…………..”
Semakin tidak paham.
“Belum mengerti?”
“Maaf.”
“Ryuunosuke tadi bilang ‘Tujuan kita’ kan?”
“!?”
“Kita, yang dimaksud itu Sorata dan Ryuunosuke kan?”
Sorata tidak mendengar omongan Rita sampai habis, lalu langsung berlari.
Sorata berlari keluar dan mengecek sekitarnya.
Terlihat bayangan Ryuunosuke didepan, rambutnya yang panjang itu tertiup angin.
Sorata sekali lagi berlari ke arah Ryuunosuke.
“Akasaka!”
Sorata memanggil nama Ryuunosuke dibelakangnya.
“Kanda, kah.”
Ryuunosuke kemudian membalikkan kepalanya.
“Seperti yang kau dengar, sepertinya kalau ada aku, pengerjaan game tidak akan lancar.”
“Lalu, kenapa kalau begitu.”
“Aku akan keluar dari tim.”
Tidak merasa terkejut, juga tidak merasa marah. Kata itu terdengar jelas oleh Sorata.
“Mesin gamenya pada dasarnya sudah selesai, sisanya bisa Kanda selesaikan sendiri. Tidak perlu menyerah untuk pengerjaannya, tenang saja.”
Setelah sadar kembali, Sorata sadar ia sedang mengepalkan tangannya dan bergetar.
“Apa yang kau katakan?”
Suara Sorata mengering, bahkan dirinya merasa terkejut.
“Layanan setelah dipasarkan akan kulakukan sedikit, tidak masalah.”
“………..ada masalah.”
Sorata berbisik bisik sendiri.
“Kanda?”
“Banyak! Banyak masalah!”
“……………..”
“Jangan bercanda lagi, Akasaka!”
“Tidak bercanda, supaya produksinya berhasil, ini adalah pilihan terbaik.”
“Apanya yang terbaik………….kenapa kau sendiri memasang ekspresi seolah-olah semuanya sudah selesai?”
Di dalam mata Ryuunosuke tidak terlihat kemarahan.
“Apa yang kau katakan?”
“………….”
“Mananya yang bukan bercanda? Jelaskanlah padaku!”
“Kanda…………”
Teriakannya itu menghentikan Ryuunosuke yang ingin mengatakan sesuatu.
“A-aku ya! Aku merasa bisa melakukan semuanya kalau bersama Akasaka!”
Perasaan tegang memenuhi seluruh tubuhnya.
“Sekarang juga begitu! Aku percaya produksi kita kali ini akan berhasil, lalu dipasarkan, dan terjual dengan laris, lalu dengan ini, mendirikan perusahaan! Kalau bersamamu, kalau bersama Akasaka, aku merasa impian kita pasti akan terwujud!”
“…………..”
“Apa yang kau katakan…………membuatku merasa begitu, apa-apaan yang kau katakan itu!”
Sorata menarik baju Ryuunosuke, tangannya yang dikepalkan terasa sakit.
“Sekarang, ini bukan lagi impianku seorang! Apa kau tahu! Ini adalah tujuan kita!”
“!”
“Sudah sampai sekarang, kau jangan menyerah sendiri dengan seenaknya!”
“Omong-omong………”
Suaranya terdengar sangat rendah.
“Jangan pikir yang bepikir begitu hanya kau sendiri, Kanda!”
Ryuunosuke menarik kedua lengan Sorata, dan melepaskannya.
“Bagiku, produksi kali ini juga sangat penting! Tidak ingin gagal! Lalu suatu hari nanti, mendirikan perusahaan bersamamu, merasa kalau saja sampai saat itu kita masih bisa bekerja sama pasti seru!”
“!”
“Jadi, ingin membuat kesempatan kali ini berhasil dengan baik. bahkan tujuan dipasarkan, itu juga hanya salah satu tujuan kita, mana mungkin kita gagal disini!”
“Akasaka…………..”
“Sampai akhirnya, yang membuat orang berpikir begitu itu kau kan!”
“……………”
Karena perasaan Ryuunosuke yang kuat, tubuh Sorata terasa kaku.
“ ‘Nyaboron’ yang dibuat tahun lalu di Sakurasou., perasaan yang terbayangkan ini namun sudah lupa……..padahal sudah diputuskan supaya kita bekerja sebagai tim lagi.”
“Kau…………”
“Bagi aku yang begitu siapa yang membuat game bersamaku!”
“………….”
“Yang membuat aku ini yang sudah menyerah dengan kerja sama tim dan ingin mengejar impian sekali lagi itu, adalah kau Kanda!”
“Apa, ini…………apaan.”
Sorata hanya bisa mengigit bibir. Karena kalau tidak begitu, rasanya seperti akan ada sesuatu keluar dari matanya.
“Sangat, senang………….”
“Hn?”
Ryuunosuke menunjukkan ekspresi yang konyol.
“Beberapa hal tentangmu, aku mungkin masih tidak terlalu percaya. Akasaka bisa bekerja sendiri, jadi tidak ada alasan bagimu untuk bekerja sama denganku, kadang aku berpikir begitu.”
“…………….”
“Jadi kau berpikir begitukah………dari dalam hati ingin membuat game bersamaku……perasaan yang sama denganku……..ini membuatku sangat senang.”
Di saat Sorata berbicara, air matanya pun mengalir tanpa ia sadar. Biarpun ingin berhenti namun tidak bisa.
“Bodoh, kenapa menangis.”
Berkata begitu, Ryuunosuke pun membalikkan kepalanya.
“Mata Ryuunosuke juga terlihat berair?”
Rita yang menyusul Sorata itu dengan nakal mengatakan.
“Itu hanya refleks cahaya.”
Ryuunosuke berbohong, dan mengusap matanya seolah tidak terjadi apapun

 “Akasaka.”
“Apa?”
Sorata mengulurkan tangannya.
“Apa maksud tanganmu ini?”
“Salamanlah.”
“Maksudmu tidak jelas.”
“Bukti kita berbaikan.”
“Apa Kanda benar-benar bodoh.”
“……….kenapa kau mengejek di saat seperti ini?”
“Berpikir dulu sebelum bertindak, kau tidak cukup banyak berpikir. Idemu mengenai bagian musik masih belum hilang, dengan kata lain, sekarang kita belum menyelesaikan apapun.”
“Hebat juga kau bisa katakan ini di situasi seperti ini.”
Di pandangan Sorata yang terlihat lelah itu, Ryuunosuke dengan tidak peduli berjalan ke aula musik yang berada didepannya.
“Tunggu! Apa kau serius ingin meminta bantuan pada Himemiya senpai?”
“Selain itu, apa kau punya ide lain? Iori juga masih mengunci dirinya di dalam kamar dan tidak mau keluar.”
“Itu………….”
Sorata tidak bisa menjawab.
“Tunggu!”
Dari jauh terdengar suara yang tidak asing.
Mereka sangat terkejut, dan saat menoleh kepala mereka menghadap ke arah pintu utama. Yang sedang berlarian ke arah sini adalah Iori. Mungkin karena memang kurang olahraga, langkah Iori agak pelan dan Kanna yang berada di belakangnya hanya bisa bantu mendorong tubuhnya agar lebih cepat.
Akhirnya, Iori sampai di depan Sorata.
“I-ini!”
Iori menunjukkan pemutar musik portable.
Sorata, Ryuunosuke, dan Rita bertiga saling menatap dan kebingungan.
“I-ini adalah lagu…………”
Napasnya berantakan. Jadi tidak banyak menjelaskan.
“Sepertinya alasanmu berada di kamar terus karena lagu ini.”
Kanna membantu Iori menjawab.
“Ini untuk meniru Dragon-senpai, operasi menutup diri!”
Iori akhirnya mengangkat kepalanya.
“Apa tanganmu sudah sembuh?”
Awalnya kami mengira Iori sedih karna tidak bisa bermain piano lagi…….tapi ekspresi Iori tidak terlihat menderita akan itu lagi.
“Tidak, bagaimanapun saat tahu jariku tidak bisa kugerakkan, aku sempat khawatir sih~”
Tidak tahu apa yang lucu, tapi Iori tertawa.
“Tapi, kenapa di sini?”
Entah apakah merasa tidak jelas, Rita mulai bertanya.
“Saat si gadis rata memberitahuku ‘Kudengar kau dikeluarkan’, aku sangat terkejut, jadi tolong jangan lakukan itu.”
Kanna hanya terdiam di samping dan menonton mereka.
“Bukankah ini sedikit keterlaluan! Tanpa diskusi apapun langsung mengeluarkanku!”
Ryuunosuke merebut pemutar musik portable itu dari tangan Sorata, dan menghubungkannya ke laptopnya, membuka suara, dan memutar lagunya.
Berkasnya sangat banyak, lagu yang awalnaya sudah ada dan yang baru dibuat itu disusun dengan rapi, lagu barunya ada empat, empat lagu itu pun terdengar lebih bagus dari empat lagu sebelumnya.
“Bagaimana?”
Setelah mendengar sekali, Iori bertanya dengan tegang.
“Menurutku sangat bagus.”
“Aku juga.”
Lalu, semuanya melihat ke arah Ryuunosuke.
Perasaan tegang itu mencapai puncaknya.
“Tidak ada yang bisa kukatakan.”
“Eh! Tidak bisakah!? Ini tidak masuk akal!”
Iori membuka mulutnya, dan menjadi kaku, ia seperti kehilangan jiwanya.
“Ryuunosuke, tolong jangan bercanda di saat seperti ini.”
Sorata, Rita dan Kanna melihat ke arah Ryuunosuke, menunggu penjelasannya.
“Sebenarnya ini tidak menyenangkan ketika kau kerja sendiri sedangkan yang lain  tidak melakukan apa-apa, harusnya kita bekerja sama, dan membuat game bersama.”
Yang Ryuunosuke katakan tidak ada kaitannya dengan lagu.
“Sebelum kau membuat lagu, harusnya kau memberitahu kami dulu, karena kau tidak beritahu kami, aku dan Kanda membuang banyak waktu yang harusnya tidak perlu disia-siakan.”
“Maaf……….”
Ryuunosuke marah, Iori hanya terdiam, suaranya juga menjadi kecil.
“Tapi, kualitas lagu ini tidak perlu diragukan.”
“Huh?”
Iori yang awalnya terdiam itu mengangkat kepalanya.
“Benarkah!”
“Aku tidak akan mengatakannya untuk kedua kalinya.”
“Huft~kalau saja kurekam tadi………Sorata-senpai, ini pertama kalinya aku dipuji Dragon-senpai loh.”
Iori dengan senang melapor, kalau dia adalah seekor anjing, sekarang ia pasti akan menggerakkan ekornya.
“Aku tidak ingat pernah memujimu, atau dengan kata lain, aku sedang marah.”
Iori yang kesenangan itu tidak mendengar ini.
“Itu, Iori.”
“Apa?”
“Piano, bagaimana dengan itu?”
Rasanya sudah saatnya untuk menjelaskan.
Suasana yang tegang ini sekali lagi kembali menyelimuti Sorata mereka.
“Pokoknya, aku tidak ingin main piano lagi.”
Itulah yang dia jawab, sikpanya yang biasa biasa saja itu mengejutkan.
“Tu-tunggu sebentar! Iori, apa kau sudah memikirkannya dengan matang.”
Malah Sorata yang ragu sekarang.
“Sudah kupikirkan! Sudah dari dulu aku sadar. Biarpun aku terus bermain piano, tidak akan ada masa depan untuk itu.”
“Cepat sekali kau sudah membatasi kemampuanmu seperti ini.”
Tatapan Rita menjadi tajam.
“Tidak-tidak, bukan begitu. Bukannya menyerah, walaupun aku hanya mempunyai piano dan musik, tapi, biarpun aku terus bermain piano, aku juga tidak punya tujuan setelah itu.”
Iori mengangkat kepalanya dan melihat ke langit musim gugur.
“Juga aku bukannya ingin menjadi pianis……..sebelumnya, Sorata-senpai juga pernah memintaku kan? Memintaku untuk berpikir apa yang ingin kulakukan.”
“Hn? Ah, pernah.”
“Aku mulai memikirkan itu setelah lenganku keseleo. Karena di rumah sakit, jadi sangat santai………lalu, setelah kupikir, aku tetap menyukai musik, dan piano hanyalah sebuah bagian dari musik, piano bukanlah tujuanku mungkin? Aku merasa aku akan puas dengan pekerjaan tentang musik. Walaupun tidak tahu apa yang akan dilakukan, tapi, setelah diundang Sorata-senpai, sekarang aku merasa membuat lagu juga tidak buruk. Apalagi kalau membuat game! Ada ilustrasi, dan bisa membuat ilustrasinya bergerak, rasanya akan menyenangkan kalau bisa melihat proses hal hal semacam itu dihasilkan.”
“Begitukah.”
“Tapi, kalau aku menyerah dengan piano karena ini pasti akan mengecewakan, pokoknya rasanya tidak puas, sebelum lulus dari Suiko, sekali lagi aku akan menantang lomba musik, lalu aku akan menyerah dengan piano setelah aku meraih penghargaan".
Ekspresi Iori terlihat cerah. Iori kuat, dia mempunya tekad yang kuat untuk mengejar tujuannya. Lalu, Sorata percaya tekad Iori yang kuat ini semua karna piano.
“Jadi, sekali lagi mohon bantuannya semua.”
Sorata dengan erat memegang tangan yang Iori ulurkan, tangan Ryuunosuke yang ditarik paksa juga ikut ditimpa, tapi, disaat Rita ingin menaruh tangannya diatas, Ryuunosuke segera menarik tangannya kembali.
“Bagaimanapun reaksimu yang tadi sedikit kasar.”
Rita protes.
“Kau bukanlah wanita yang akan terluka hanya karena begitu.”
Iori kemudian meninggalkan Ryuunosuke dan Rita dibelakang.
“Ah, konser kakak akan segera dimulai.”
Dengan berkata begitu, Iori berlari ke arah aula. Konsernya sudah akan dimulai pada jam sebelas tiga puluh.
Tapi, Iori berhenti, dan memanggil Kanna
“Hoi, cepat sedikit~”
Apa mereka punya janji?
“Mengapa aku harus pergi?”
Sepertinya tidak. Kanna dan Sorata sama-sama bingung.
“Nanti, aku akan mengenalkanmu pada kakakku.”
“Untuk apa mengenalkanku pada kakakmu?”
“Sorata-senpai mereka semua kenal, rasanya kasihan kalau hanya kau sendiri yang tidak kenal.”
Rasanya paham, tapi sepertinya juga tidak. Aneh sekali.
Kanna memiringkan kepalanya, tetap tidak paham. Tapi akhirnya, tetap mengikuti Iori, mereka menghilang di aula bersama.
Yang tersisa hanya Sorata, Ryuunosuke, dan Rita.
“Omong-omong, si gadis penumpang.”
“Apa?”
“Kau tidak berkata yang tidak perlu pada kedua orang itu kan?”
“Apa maksudmu itu Takumi dan Maya?”
“Tidak perlu ingat namanya juga tidak apa, lalu apa yang terjadi?”
“Kenapa kau tidak tanya Sorata?’
Pembicaraan yang tidak menyenangkan ini terus berlanjut.
“Di saat sepert itu, yang tidak akan melihat situasi dan membalas yang tidak-tidak hanya kaulah seorang.”
Dengan tidak berbelas kasih menyerang.
“Ryuunosuke paham sekali soal diriku, ya.”
Rita juga membalas serangannya.
“Juga, hanya dengan melihat wajahmu, semuanya jadi jelas.”
“Wajah?”
“Bercerminlah.”
Saat ini, Rita sadar. Wajahnya yang ditampar oleh Maya itu meninggalkan bekas dan sedikit memerah.
“Jadi, apa yang kau katakan kepada mereka?”
“ ‘Tolong jangan samakan kami seperti kalian’ “
“Lalu?”
Alis Ryuunosuke bergetar.
“ ‘Pada akhirnya kalau jujur, bukankah semua itu hanya kalian tidak bisa mengikuti kemampuan Ryuunosuke?’ “
“……………”
“Juga ‘Bukankah hanya kalian yang tidak bisa menjawab harapan Ryuunosuke?’ “
“…………….”
“ ‘Nyaman juga ya menyalahkan orang lain atas kekuranganmu sendiri’ “
“Sudah cukup.”
“Begitukah? Yang kukatakan selanjutnya ada yang lebih parah loh.”
Berbeda dengan nada bicaranya, Rita sedikit menundukkan kepalanya.
“……….membuatmu jadi ‘Penjahat’nya ya.”
“Sepertinya gadis itu sangat membenciku.”
Ryuunosuke tersenyum pahit.
“Masuk akal juga.”
“Kalau begitu, Ryuunosuke saja yang minta maaf saja.”
Rita mengangkat kepalanya, wajahnya tidak tampak ragu lagi, dan menunjukkan senyuman yang tulus.
“Apa mereka masih ada didalam theater?”
Kalau mereka keluarr dari pintu utama, harusnya mereka akan lewat sini.
“……………”
“Aku rasanya sebaiknya jujur, biarpun hanya sekali.”
Setelah berpikir sesaat.
“Betul juga.”
Setelah mengatakan itu Ryuunosuke pun menganggukkan kepalanya.
“Setelah selesai bicara, ingat kembali lagi ya. Kembali di sisiku.”
Rita berkata dengan berakting sedikit.
“Aku akan menunggumu di sini.”
“Kenapa aku harus berjanji begitu denganmu?”
“ Demi kau, aku berperan menjadi wanita yang kasar loh?”
“Sejak awal kau memang kasar.”
“Menurutku egois setingkat ini sudah bisa dibilang lembut loh.”
“……..aku paham.”
Ryuunosuke tidak  bisa menang melawan Rita, hanya bisa menyetujuinya. Lalu, setelah menarik napas, ia melangkahkah kakinya menuju ke arah Takumi dan Maya untuk mengatakan perpisahan.
“Ryuunosuke!”
Rita memanggil Ryuunosuke yang sudah berjalan jauh itu dengan keras.
Ryuunosuke kemudian membalikkan badannya.
Rita dan Ryuunosuke saling berhadapan.
“Aku buru-buru, kalau ingin mengatakan sesuatu cepatlah.”
“Aku sangat menyukai Ryuunosuke!”
Pernyataan yang tiba tiba.
“Ap!”
Yang mengeluarkan suara yang terkejut itu adalah Sorata yang berada di samping.
Bahkan Ryuunosuke sangat terkejut.
“Saat kau kembali beritahulah jawabanmu!”
Ryuunosuke tidak mengatakan apapun, juga tidak menganggukkan kepalanya. Tapi, juga bukannya tidak ada, Ryuunosuke menunjukkan senyuman yang tulus dan bahagia itu, kali ini ia melangkahkan kaki sekali lagi menuju ke teman lamanya.
“Omong-omong, Sorata.”
“Apa?”
“Kencanmu dengan Mashiro tidak ada masalah kan?”
Sorata melihat ke jam tangannya, 5 menit lagi siang.
“Ah!”
Jam yang dijanjikan untuk kencan pas jam 12.
“Maaf, aku duluan!”
Sorata berlari dengan buru buru.