GOBLIN SLAYER
(Translater : Zerard ; Editor : Hamdi)

Sarang itu berada tepat di tengah lahan yang luas.
Mungkin sarang bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkannya. Terdapat tiang batu putih berbentuk kotak yang menjulang dari tanah sebagai pintu masuknya. Ini bukanlah gua. Terlihat jelas bahwa ini adalah buatan seseorang : Reruntuhan kuno.
Warna batu yang pucat itu, memantulkan cahaya matahari yang terbenam, berkilau semerah darah.
Dua goblin berjaga. Mereka berdiri bersampingan di depan pintu masuk. Tombak di tangan mereka, armor kulit yang jelek menutupi tubuh mereka. Dan bersama mereka adalah seekor anjing—tidak seekor serigala.
“GURUUU...”
“GAU!”
Salah satu goblin yang ingin bermalas-malasan, berusaha untuk duduk. Yang berakibat dia di marahi oleh goblin satunya. Goblin itu di paksa berdiri, menguap selebar-lebarnya, dan melihat matahari penuh rasa benci. Sang serigala berbaring di samping mereka. Telinganya bergerak berusaha mendeteksi adanya suara. Binatang liar tidak pernah lengah walaupun mereka sedang beristirahat.
Sang elf melihat ini dari semak-semak yang tidak jauh.
“Goblin dengan anjing penjaga? Kamu pasti bercanda.”
“Ini membuktikan bahwa gerombolan itu memiliki waktu dan persedian yang cukup.” Disamping elf, goblin slayer berbaring di tanah. Di mengikat sebuah batu kecil pada seutas tali, pandangannya tidak pernah lepas dari goblin. “Tetap siaga, pasti ada lebih banyak lagi di dalam.”
“Aku penasaran, apa yang terjadi jika para goblin itu nggak punya cukup persediaan?”
“Mereka nggak akan menyimpan anjing itu, mereka akan memakannya.”
Elf menggelengkan kepalanya, seharusnya dia tidak bertanya. Lizard priest tertawa tanpa suara.
“Apa ini aman?” Elf bertanya. “Sebentar lagi malam, apa kita nggak menunggu dulu, dan mulai bergerak pada siang besok?”
“Ini adalah pagi hari bagi mereka, waktunya tepat.”
“....Baiklah, kalau begitu. Ayo mulai.”
Elf menarik sebuah anak panah layaknya dia menarik napas.
Para elf tidak menggunakan besi. Batang anak panah mereka terbuat dari cabang pohon yang memiliki ukuran dan bentuk yang terbentuk secara natural. Mata panahnya dari gigi binatang, dan untuk bulunya, mereka menggunakan daun.
 Panah high elf archer terbuat dari cabang sejenis pohon agung. Dan tali panahnya terbuat dari benang laba-laba. Panah itu lebih besar dari tubuhnya, namun dia menggunakannya dengan mudah. Berjongkok di bawa semak-semak, dia memuat anak panah pada tali panahnya.
Benang laba-laba itu memberikan suara yang unik saat di tarik.
“Aku harap benda itu bekerja lebih baik dari yang kelihatannya.” Dwarf berkata penuh rasa ragu. Dia kurang bisa mempercayai kayu dan daun itu. “Tolong jangan meleset.”
“Hush.” Elf berkata. Dwarf menutup mulutnya mematuhi. Setelah itu, tidak ada seorangpun yang bersuara.
Panah itu bengkok dengan suara kayu yang khas, angin bertiup, elf menggerakkan sedikit telinganya.
Goblin di sebelah kanan menguap. Sang elf melepaskan panahnya.
Anak panah itu melesat tanpa suara, namun terlihat melenceng jauh ke sebelah kanan kedua goblin tersebut.
Dwarf shaman memprotes tembakan sang elf yang melenceng itu, namun sang elf hanyalah tersenyum dan menyiapkan panah keduanya di tangannya.
Dan secara tiba-tiba, panah yang melenceng tersebut berbelok melengkung di udara, menembus rusuk goblin yang ada di sebelah kanan dan berlanjut menembus pipi goblin yang ada di sebelah kiri dan terus melesat menjauh.
Serigala terbangun, tidak yakin apa yang sudah terjadi dan berusaha membuka mulutnya untuk memberi peringatan—
“Terlambat!”
Sang elf melepaskan anak panah keduanya dengan sangat cepat. Serigala itu terlempar kebelakang. Dan pada saat bersamaan, dua goblin itu terjatuh ke tanah layaknya sebuah karung bata. Mati.
Merupakan sebuah skill yang sangat spektakuler, jauh dari apa yang manusia sanggup lakukan.
“Itu tadi luar biasa!” Priestess menatap elf penuh rasa kagum.
“Luar biasa sekali.” Lizard priest berkata. Matanya yang besar terbuka semakin lebar. “Tapi, bagaimana anda melakukannya? Apakah semacam sihir?”
Sang elf tersenyum bangga dan menggelengkan kepalanya. “Teknologi yang maju tidak dapat di bedakan dengan magic.” Telinga elf naik turun sok pintar.
“Itu pernyataan yang berani sekali mengingat aku ada disini.” Kata dwarf, yang sangat akrab dengan teknologi dan magic.
“Dua..... aneh” Goblin slayer berdiri dari semak-semak. Jika panah dari elf meleset, dia sudah bersiap akan melempar batu yang di siapkannya.
“Apa? Ada masalah?” Elf berkata, berpikir bahwa goblin slayer menyinggung soal kemampuan memanahnya.
Dia menggelengkan kepalanya dengan sedikit jengkel. “Mereka takut akan sesuatu. Apa kamu pernah liat goblin yang rajin?”
“Apa mungkin mereka khawatir karena mereka bersebelahan dengan para elf di hutan?”
“Mungkin saja.” Dia menjawab dengan setengah hati. Kemudian dia berjalan menuju mayat goblin itu, dan berlutut untuk memeriksa mayat mereka.
“Oh, um....” Priestess sepertinya mengetahui apa yang akan goblin slayer lakukan. “Per-perlu a-aku bantu...?” Dia bertanya dengan suara yang halus, senyum yang kaku menghias wajahnya.
“Nggak perlu.” Kata goblin slayer terus terang. Priestess menghembuskan nafas lega.
“Kamu lagi ngapain?” Elf yang penasaran mendengar percakapan mereka, berjalan mendekati mereka dan melihatnya.
Sebuah pisau di genggam goblin slayer, dan dia menusukkan pisau tersebut ke perut goblin dan mengeluarkan semua isi perutnya.
Elf merinding, dan memeluk kedua tangannya. “Te-tega banget kamu lakukan itu pada mereka? Aku tau kamu benci mereka, tapi kamu nggak harus gitu—”
“Indra penciuman mereka sangat tajam.”
“....Huh?”
Goblin slayer dengan tenang menjawab elf. Dia mencelupkan sarung tangannya ke genangan darah itu, dan menarik hati dari salah satu mayat goblin tersebut.
“Terutama bau wanita, anak-anak, dan elf.”
“Tu....tunggu dulu orcbolg! Kamu nggak bermaksud...”
Menjawab pertanyaan elf, goblin slayer melilitkan hati itu pada sebuah kain dan memerasnya.
High elf archer akhirnya mengerti dari mana goblin slayer mendapatkan bekas-bekas noda pada armornya. Wajahnya memucat lebih putih dari tiang batu yang ada di atas mereka.
*****
Kemudian, mayat para penjaga yang mati telah di sembunyikan dengan aman di balik semak-semak, party mereka berjalan menuju reruntuhan kuno itu. Dinding kapur mengelilingi jalan sempit yang sepertinya menurun dikit demi sedikit.
Goblin slayer berada di posisi depan, dia mengetuk dinding dan lantai dengan pedangnya. Dia melemparkan batu yang di ikatkannya pada tali ke depan, melihat tidak terjadi apa-apa, dia menarik kembali batunya.
“Nggak ada jebakan.”
“Hmm.. ini hanya spekulasi saya saja, tapi sepertinya tempat ini terlihat seperti sebuah kuil.”
“Sepertinya lahan ini pernah menjadi tempat pertarungan di jaman para dewa.” Priestess berkata. Dia menelusuri ukiran-ukiran di dinding itu dengan jarinya. “Mungkin ini adalah benteng atau sesuatu dari jaman itu.... Walaupun konstruksinya telihat seperti buatan manusia.....”
“Pertama rumah untuk para prajurit, sekarang menjadi rumah para goblin, realita yang kejam sekali.” Lizard priest menggabungkan tanganya, merenung dengan muram.
“Ngomong-ngomong soal kejam,” Dwarf memotong. “Kamu nggak apa-apa telinga panjang?”
“Errgh.... kayaknya aku bakal sakit.” High elf archer merengek. Baju berburu tradisionalnya penuh akan darah kental. Darah itu berasal dari hati yang di perasnnya dari atas kepala hingga mengenai seluruh tubuhnya. Bahkan dwarf pun tidak tega untuk mengejeknya di saat seperti ini.
“Biasakan dirimu.” Goblin slayer berkata dari samping elf. Pada lengan kirinya terikat sebuah perisai dan pada tangan kirinya memegang sebuah obor. Pedang di tangan kanannya berkilau oleh cahaya api. Elf memberikan tatapan yang tajam kepadanya di saat dia mengganti panah besarnya dengan yang lebih kecil. Namun, sebutir air mata yang terlihat di ujung matanya, dan telinganya yang turun kebawah, membuatnya terlihat tidak mengintimidasi sama sekali.
“Saat kita kembali, aku harap kamu mengingat ini!”
“Akan ku ingat.” Dia menjawab singkat.
Obor bekelip, efek penangkal yang di pasang para elf sepertinya sampai hingga ke tempat ini. Atau mungkin, ini adalah tempat di mana para elf pernah tinggal bertahun-tahun yang lalu.
Bagi goblin slayer, ini adalah sebuah masalah untuknya. Di mana dia tidak bisa menggunakan api sebagai salah satu metode untuk menyerang.
“Kalian manusia memang menyusahkan.”  Dwarf berkata sambil membelai jenggotnya. Di antara party member mereka, hanya goblin slayer yang memegang obor. Dwarf, elf, dan lizardman semua memiliki pengelihatan malam.
“Aku tau, karena itu kami memiliki trik sendiri.”
“Aku berharap kamu memiliki trik yang lebih baik,” High elf archer berkata dengan sedih.
Priestess merasa kasihan melihat kondisi elf, dan berusaha menenangkannya. “Um, nodanya akan hilang kalau kamu cuci...sebagian.”
“Kamu mengerti penderitaanku.”
“Aku sudah terbiasa.” Dia berkata dengan senyum tipis, jubah pendetanya sekali lagi terlumasi oleh darah goblin. Priestess berdiri di tengah-tengah formasi, memegang tongkatnya. Jalanya cukup lebar untuk berjalan berdampingan. Jadi, high elf archer dan goblin slayer berjalan berdampingan di depan priestess, sedangkan dwarf shaman dan lizard priest di belakangnya. Itu karena priestess adalah tingkat porcelain, dia adalah yang paling lemah dalam party ini, oleh karena mereka perlu melindunginya.
Walaupun begitu, walaupun rasa inferoritas yang di rasakan priestess, tak satupun dari mereka yang menganggap priestess sebagai beban. Setiap pembaca mantra hanya dapat menggunakannya magic dalam beberapa kali sehari. Tidak satupun dari mereka yang merupakan tingkat platinum, yang dapat menggunakan magicnya beberapa puluh kali dalam sehari. Mempunyai seorang healer (TL Note: Penyembuh) dalam grup ini, berarti seseorang akan mempunyai mantra yang tersisa di saat yang di butuhkan.
Atau lebih tepatnya, siapa yang dapat menghemat mantranya, dialah yang akan selamat....
Priestess memperhatikan rekannya tanpa suara. Dia memegang tongkatnya dengan longgar.
Ini seperti petualangan yang lainnya...
Seperti waktu pertama dulu...
Dengan bibir yang gemetar, priestess menyebut nama ibunda bumi berkali-kali. Dia berharap tidak ada yang terjadi pada quest kali ini, namun dia tau bahwa itu hanyalah keinginan yang sia-sia.
Langkah kaki para petualang bergema dengan aneh dari batu aspal di jalan tersebut, belum ada tanda kemunculan dari goblin, untuk sementara ini.
“Ruang bawah tanah dan dwarf adalah sahabat dekat, tapi aku nggak suka disini.” Dwarf berkata sambil mengelap keringat pada dahinya. Mereka telah berjalan menurun secara diagonal selama mereka memasuki reruntuhan. Jika di lihat sekilas, jalannya terlihat lurus begitu saja. Namun sebenarnya  jalannya turun memutar secara perlahan, layaknya sebuah tangga berputar. Jalan berputar menurun ini membuat keseimbangan para petualang menjadi kacau.
“Ini seperti kita berada di sebuah menara.” Kata priestess sambil menghembuskan nafas lelah.
“Beberapa benteng tua, memang ada yang di bangun seperti itu.” Kata lizardman yang berada di belakang party, ekornya bergoyang ke kiri dan kanan.
“Aku ingin sekali datang kesini sebelum tempat ini di penuhi para goblin.” Elf berbisik. “Aku ingin melihat-lihat sedikit,”
Beberapa saat kemudian, jalan menurunnya di akhiri oleh sebuah percabangan jalan. Jalan kiri dan jalan kanan terlihat tidak berbeda sama sekali.
“Tunggu,” Elf berkata sigap.
“Ada apa?”
“Jangan bergerak.” Dia berkata pada goblin slayer.
Dia merangkak di tanah, jarinya berusaha menggapai celah di antara batu aspal di depan mereka, mencari akan sesuatu.
“Perangkap?” dia bertanya.
“Kemungkinan, aku menyadarinya karena perangkap ini masih baru, semuanya hati-hati.”
Tempat di mana elf menunjuk sedikit timbul dari yang lainnya. Injak tempat itu, maka sebuah alarm akan berbunyi dari suatu tempat, memperingatkan para goblin tentang adanya penyusup.
Priestess menelan liurnya, jalan yang menurun berputar panjang sudah mengacaukan konsentrasi dan indranya. Dia bisa melihat perangkapnya sekarang karena sudah di tunjuk oleh elf, jika saja tidak, maka priestess tidak akan melihatnya.
“Goblin, dasar makhluk kurang ajar.” Dwarf meludah dan membelai jenggotnya.
Tanpa berkata, goblin slayer mengarahkan cahaya obornya ke lantai, kemudian mengarah ke kiri dan kanan jalan, memeriksa dinding dengan seksama. Tidak ada apa-apa disana terkecuali lampu-lampu benteng yang dulunya di gunakan oleh para elf yang tinggal disini.
“Ada apa?” Priestess bertanya.
“Nggak ada totem.”
“Oh, kamu benar....” Hanya priestess yang mengerti maksud dari perkataan goblin slayer. Anggota party yang lainnya hanya mendengar dengan kebingungan. Tapi goblin slayer tidak mengatakan apapun lagi.
Dia berpikir. Priestess melihat anggota partynya, dan menyadari bahwa dialah yang harus menjelaskannya.
“Um, dengan kata lain. Nggak ada, um, goblin shaman disini.”
“Nggak ada pembaca mantra?” Elf berkata sambil bertepuk tangan senang. “Kita beruntung.”
“Nggak.”
Lizardman mengeluarkan desisan. “Apa anda.... merasa ada sesuatu yang aneh dengan tidak adanya goblin shaman, tuanku goblin slayer?”
“Ya.” Dia mengangguk. Dan kemudian menunjukkan perangkap tadi dengan ujung pedangnya. “Goblin biasa nggak akan pernah punya ide seperti ini.”
“Telinga panjang bilang perangkap itu masih baru, itu berarti perangkap itu bukanlah bagian dari perangkap asli benteng ini.”
“Aku berpikir untuk menginjaknya untuk memancing mereka keluar,” Goblin slayer berkata. “Tapi sebaiknya jangan.”
“Tuanku goblin slayer, anda berbicara tentunya dari pengalaman anda berkelana di sarang mereka,” Lizardman berkata sambil menjaga ekornya agar tidak menyentuh perangkap itu. “Bagaimana anda mengatasinya?”
“Aku memancing mereka satu persatu dan menghabisinya. Terkadang aku menggunakan api. Terkadang aku membanjiri sarang mereka dengan air sungai. Ada banyak cara.” Berdiri di sampingnya, elf terlihat tercengang. “Tapi kita nggak bisa memakai itu disini.” Dia berputar mengarah high elf archer. “Apa kamu menemukan jejak kaki?”
“Maaf, kalau di gua mungkin saja. Tapi di batu seperti ini...”
“Sini biar dwarf yang melihatnya.” Dwarf berkata dan mendatangi mereka.
“Oke, tapi hati-hati perangkapnya.”
“Aku memang gemuk, tapi aku nggak bodoh. Aku akan hati-hati.”
Elf memberikan jalan dengan sopan kepadanya, dwarf berdiri di depan party, dia mondar-mandir ke kanan dan ke kiri persimpangan berbentuk T ini. Dia menendang lantai batu itu, dan memerhatikan dengan seksama. Kemudian, dia membelai jenggotnya dengan percaya diri. “Aku bisa lihat jejak mereka, makhluk kecil tengik ini berada di sebelah kiri.
Priestess bingung. “Bagaimana kamu bisa tau?”
“Dari ke usangan lantainya. Lantai sebelah kiri lebih usang dari sebelah kanan karena lebih sering di lewati. Berarti mereka datang dari sebelah kiri, kemudian balik dari sebelah kanan, atau datang dari kiri dan berbelok mengarah keluar.”
“Kamu yakin?” Goblin slayer bertanya.
“Tentu saja aku yakin, Aku ini dwarf.” Dwarf menjawab sambil menepuk perutnya.
“Aku mengerti.” Goblin slayer bergumam, kemudian terdiam.
“Ada yang salah tuanku gobkin slayer?” Lizardman bertanya.
“Kita pergi ke arah sini.” Goblin slayer berkata, ujung pedangnya mengarah.... ke kanan.
“Bukannya si cebol bilang goblin ada di sebelah kiri?” Elf berkata.
“Ya, tapi jika kita pergi kesana, kita akan terlambat.”
“Terlambat kenapa?”
“Liat saja nanti.” Dia berkata dengan mengangguk tenang.
Tidak lama setelah mereka berjalan ke kanan, mereka di sambut oleh bau yang sangat mencekik. Aroma udaranya sangat tebal dan busuk. Sensasi yang tajam dapat terasa di mulut mereka dalam tiap tarikan napas.
“Urk...” Dwarf menutup hidungnya.
“Urghh...” Lizardman berusaha menahan napasnya.
Elf pun secara tidak sadar menggunakan sebelah tanganya yang memegang panah untuk menutup mulutnya.
“Ap.... apa itu? Apa ini aman untuk di hirup?” Elf mengeluh.
Gigi priestess bergetar, dia mengetahui betul bau ini.
“Jangan di lawan, bernapas lah lewat hidungmu. Kamu akan terbiasa sebentar lagi.” Goblin slayer tidak melihat ke belakang, tapi terus berjalan menyusuri jalan ini.
Anggota partynya berusaha mengikuti. Bahkan priestess pun sanggup mengikutinya.
Sumber bau sudah semakin dekat, mereka berhadapan dengan sebuah pintu kayu jabuk yang sepertinya sengaja di pasang agar tidak ada yang masuk.
“Hmph.” Goblin slayer menendangnya. Dan pintu jabuk itu pun terlepas dari engselnya. Cairan busuk yang menggenang di lantai terciprat di saat pintu itu jatuh.
Ini adalah tempat di mana para goblin menyimpan sisa-sisa makanan mereka, Termasuk tulang-tulang yang masih terdapat sedikit dagingnya. Tai. Mayat. Semuanya. Dinding yang sebelumnya putih bersih, sekarang penuh akan noda-noda jorok tumpukan sampah.
Diantara semua itu, mereka dapat melihat rambut yang menggantung dan kaki yang di ikatkan pada sebuah rantai, dua tangan dan kakinya hancur penuh akan luka, urat tangan dan kakinya sudah di sayat.
Itu adalah seorang elf.
Kurus, terselimuti oleh kotoran. Sisi sebelah kiri tubuhnya masih cukup menunjukkan kecantikkan bangsanya.
Sisi sebelah kanannya merupakan sebuah cerita yang berbeda.
Tubuhnya yang anggun sudah tidak terlihat lagi karena di tutupi oleh memar-memar. Mata dan buah dadanya sudah hancur.
Tujuan utama mereka tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyiksa.
Oh, jangan lagi... pikiran tersebut terlintas di benak priestess.
“Hueergh...eurghhh...”
Tepat di sebelah priestess—namun terlihat jauh—High elf archer mengeluarkan isi perutnya yang membuat kotoran di lantai semakin bertambah.
“Apa ini?” Dwarf membelai jenggotnya, namun dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi horror pada wajahnya.
“Tuanku goblin slayer?” Bahkan lizard priest yang biasanya tenang pun, terlihat jijik akan pemandangan ini.
“Kalian belum pernah liat ini sebelumnya?”
Mendengar pertanyaannya, high elf archer mengangguk. Tidak berusaha mengelap mulutnya. Air matanya menetes di pipi dan telinganya menggantung rendah hingga hampir menyentuh pipi.
“Aku mengerti.” Goblin slayer mengangguk.
“.....Nuh....bu....bunuh....” Priestess mendengakkan kepalanya di kala dia mendengar desahan suara itu. Elf yang tertangkap itu masih hidup! Priestess dengan cepat mendatanginya dan memapang tubuhnya, tidak mempedulikan kotoran yang mengotori tangannya.
“Berikan aku potion!”
“Tidak, dia sudah terlalu lemah. Potion itu hanya akan tersangkut di tenggorokkannya.” Lizardman mengikuti priestess dan memeriksa tubuh elf yang tertangkap itu dengan tangannya yang bersisik. ”Lukanya tidak fatal, tapi dia hampir mati karena kelelahan, dia membutuhkan keajaiban.”
“Baik!” Priestess mendekatkan tongkatnya ke dadanya dengan satu tangan, dan meletakkan satu tangannya lagi ke dada elf yang terluka. “O ibunda bumi yang penuh ampunan, ulurkanlah tanganmu kepada luka anakmu ini.”
Memerhatikan healer mereka mengeluarkan keajaiban dewi di depan matanya, goblin slayer berjalan mendekati high elf archer.
“Kamu mengenalnya?”
Masih berlutut, tubuhnya bergetar tidak karuan. Elf menggelengkan kepalanya. “Kemung....kemungkinan dia seperti aku.... Ef yang tidak ‘Berakar’ yang......menjadi petualang.”
“Aku mengerti.” Goblin slayer mengangguk, dan dengan sigap berjalan mendekati tawanan itu. Pedang di tangannya. Lizardman tampak cemas melihatnya.
“Ohh....!”
Kita sudah kehabisan waktu.
Priestess memucat dan berdiri. “Ber-berhenti disitu!” Dia berdiri dan melebarkan lengannya di depan tawanan elf yang tergeletak. Goblin slayer tidak berhenti.
“Minggir.”
“Nggak, aku... aku nggak mau!”
“Aku nggak tau kamu ini sedang ngigau seperti apa,” Goblin slayer berkata dengan sedikit jengkel. Nada suaranya tidak berubah, tenang dan tanpa ampun. “Tapi, aku datang kemari dengan satu tujuan : untuk membasmi goblin.”
Pedangnya menebas.
Terdapat semprotan darah dan sebuah teriakan.
“Tiga.”
Sebuah tubuh terjatuh. Itu adalah goblin. Pedang itu menembus otaknya, dan goblin itu menjatuhkan pisau beracun yang di pegangnya seketika dia mati. Tidak ada satupun dari mereka yang menyadari keberadaan goblin itu yang bersembunyi di dalam tumpukkan sampah di belakang tawanan elf itu.
Tidak. Pikir priestess, menggelengkan kepalanya. Dia sudah menyadarinya. Dan tawanannya juga.
“Bu...bunuh mereka....semua...” Petualang elf itu muntah darah ketika dia mengucapkan kalimat itu.
Goblin slayer menginjakkan kakinya pada mayat goblin, dan menarik pedang yang tertancap. Dia menggunakan kain yang di pakai goblin untuk membersihkan lemak daging yang tertempel.
“Itu memang tujuanku.” Dia menjawab tenang. Tidak ada lagi seorang pun yang berkata apapun.
Apa yang sudah terjadi pada pria ini di masa hidupnya? Dia ini apa? Orang-orang yang berdiri di dalam ruangan penuh kotoran itu, akhirnya sedikit mengerti.
Priestess mengingat percakapannya dengan witch tentang goblin slayer, dan perkatannya adalah : “Biarkanlah, itu menjadi, keputusanmu sendiri. ”
Sekarang dia sudah mengerti arti dari kalimat itu. Setiap petualang, termasuk mereka yang mati pada quest pertamanya, mereka akan mengalami yang namanya membunuh dan kematian. Mereka akan menemui hal-hal yang buruk. Desa atau kota yang di serang para monster bukanlah pemandangan aneh bagi mereka.
Tapi, selalu ada logika di balik semua itu. Dari bandit dan penjahat, hingga dark elf dan naga, bahkan slime—mereka semua memiliki alasan memgapa mereka melakukan sesuatu.
Hanya goblin yang berbeda. Mereka tidak mempunyai alasan. Hanya kejahatan. Kejahatan terhadap manusia, terhadap semua makhluk hidup. Untuk berhadapan dengan goblin, sama saja dengan berhadapan dengan kejahatan itu berulang-ulang kali.
Itu bukanlah sebuah petualangan. Dan seseorang yang menjalani pilihan itu—mereka bukanlah petualang. Mereka adalah dia.
Seorang pria dengan armor penuh noda dan helm yang kotor, membawa pedang yang sepertinya terlalu panjang untuk di gunakan.
“Goblin slayer....”
Di balik kegelapan dan aroma busuk, seseorang membisikkan namanya.