TERBAKARNYA BENTENG GUNUNG
(Translater : Zerard; Editor : Hamdi)

Setelah sebuah pesta yang berlangsung selama tiga hari dan tiga malam, para goblin akhirnya terpuaskan.
Sisa-sisa dari mangsa mereka kini tercecer di lantai yang sebelumnya merupakan aula yang mewah, kini penuh dengan kotoran, aroma busuk, dan mayat.
Sebelumnya, mereka hanya mendapatkan satu tangkapan kecil. Namun sekarang mereka mempunyai empat mangsa baru yang masih segar, empat orang wanita. Terdiri dari manusia tentunya, dan elf dan rhea. Para goblin tentunya senang akan hal ini, dan merayakan semuanya tanpa batasan—goblin tidak kenal apa itu batasan.
Para wanita itu dengan jelas kalah jumlah dengan goblin, mereka di kerumuni, dan mereka di kepung.... apa yang terjadi selanjutnya tidak pantas untuk di katakan.
Tapi para wanita ini bukanlah seorang wanita desa.
Tubuh mereka yang terpapar, baju mereka yang di robek kasar, menunjukkan hasil latihan panjang mereka. Kulit mereka yang terbakar matahari, dan bekas luka yang menceritakan kisah pertarungan mereka, dan setiap kali mereka di jadikan permainan (TL Note :if you know what i mean) otot-otot mereka akan terlihat dari balik lapisan kulit.
Dan di sebuah sudut ruangan, di tumpuk layaknya sebuah sampah, terdapat timbunan armor, helm, pedang dan perisai curian.
Wanita ini adalah para petualang tingkat delapan, steel (TL Note : baja) –atau setidaknya, mantan steel.
Sekarang, tidak satupun dari mereka yang bernapas.
Bagaimana semua ini bisa terjadi?
Itulah pikiran terakhir yang terlintas di kepala seorang anak gadis keluarga bangsawan yang menjadi party leader.
Apakah salah bagi mereka mengambil quest ini, dengan niat baik setelah mendengar seorang gadis desa di culik, dan ingin menolongnya?
Bukanlah harga diri yang menjerumuskan mereka dalam kehancuran, mereka menyelinap di saat tengah hari, dengan harapan membunuh goblin selama mereka tidur.
Benteng gunung ini di bangun di antara pepohonan kuno oleh para elf, dan merupakan tempat yang asing bagi para petualang, sebuah labirin tanpa petunjuk. Oleh karena itu mereka tidak pernah lengah.
Mereka melakukan persiapan sebaik mungkin di sebuah desa kecil, mengetahui pasti akan ada banyak goblin yang menunggu mereka disana. Mereka harus menyelamatkan gadis itu sekarang juga.
Mereka bukanlah pemula yang baru keluar dari oven, mereka sudah melalui beberapa petualangan, dan memiliki latihan dan skill yang memadai. Di posisi depan, pemimpin armor mereka memegang senjatanya bersiap, dan seorang rhea ranger memantau area layaknya seekor elang. Pada posisi belakang, seorang elf wizard sudah bersiap dengan mantranya, dan seorang monk dengan doa keajaibannya.
Mereka mempertahankan formasi, bersiap siaga, memeriksa setiap sudut lantai, mereka tidak membuat kesalahan.
Kenyataan pahitnya adalah, mereka hanyalah sial.
Pertama, benteng—yang merupakan hal normal pada bangunan seperti ini—penuh akan jebakan. Ironisnya, jebakan yang dulunya di maksudkan untuk mengusir goblin, sekarang menjadi perlindungan bagi goblin.
Rasa lelah yang di rasakan ranger mereka dalam mencari jebakan sensitif dan mematikan memainkan peran penting dalam apa yang akan terjadi. Mereka telah mencapai sanctum bagian dalam, dan tepat pada saat itu, ranger melewatkan sebuah alat peringatan.
“Semuanya, bentuk formasi!”
Di saat alarm yang menggema dengan keras, party mereka dengan segera membentuk formasi sesuai dengan perintah pemimpinnya. Wizard berdiri di tengah, dengan pemimpin mereka, knight, ranger, dan monk berdiri mengelilingi wizard. Ini bukanlah formasi yang sangat efektif, namun formasi ini cukuplah kuat.
Tapi goblin mengelilingi mereka dengan jumlah mereka yang banyak.
Sebut saja jika kamu mau, tirani mayoritas.
Skill memanah ranger merupakan anugrah ilahi, tapi, bahkan dia pun tidak bisa menghabiskan musuh yang berjumlah lebih banyak dari anak panahnya.
Wizard menggunakan empat dari mantranya, lima—sebuah jumlah yang mengagumkan—namun pada akhirnya kehabisan tenaga.
Monk terus berdoa memohon keajaiban dan perlindungan, hingga dia tidak sanggup lagi berdoa.
Pemimpin mereka terus bertarung, pedangnya terus di lumuri oleh darah, tapi di saat dia telah lelah, para goblin mengalahkannya dan perburuanpun telah usai.
Semua tubuh itu—bahkan pertarungan itu tidak lebih dari satu jam.
Dan di antara tumpukan, tubuh tertembus panah, pedang yang patah, tubuh yang terbakar, mereka merayakannya.
“Hrr..hrrr...” Suara elf di liputi rasa takut.
“Ja-jangan mendekat....jangan mendekat....!” Wajah rhea sudah putus asa, monk berdoa tanpa suara, dan pemimpin mereka mengigit bibirnya hingga berdarah.
Para goblin menjilat bibir mereka, di kala mereka melihat para petualang itu saling berpelukan ketakutan.
Dan kesialan ketiga party mereka adalah, musuh mereka adalah goblin.
Normalnya, tahanan para goblin biasanya di makan, atau di paksa mengandung anak goblin, dan ada beberapa yang di biarkan tak di sentuh, untuk di pakai saat hari hujan.
Tapi, kali ini berbeda.
Para petualang ini sudah banyak membunuh saudara mereka, dan tidak ada satupun dari mereka yang sedang dalam mood untuk mengampuni para petualang ini.
Goblin hidup dengan hukum rimba, mereka bersedia mengorbankan sebanyak apapun untuk dapat meraih kemenangan. Oleh karena itu mereka tidak bersedih atas kematian rekan mereka, namun rasa marah dan kebencian yang mereka rasakan.
“GARUUURU.”
“GAUA.”
Sebuah anggur yang di temukan dalam persediaan para petualang wanita itu membuat goblin kegirangan. Pikiran mereka yang mabuk, dan jorok membuat mereka menciptakan suatu permainan yang akan mereka mainkan kepada tahanan mereka. Dan sebuah desa yang berada di kaki gunung—sebuah tempat untuk mereka mendapatkan mainan baru lagi jika mainan mereka disini sudah rusak.
Gadis desa yang malang hanya mampu melayani sepuluh goblin sebelum pada akhirnya dia sudah tidak mampu lagi. Mereka memakai gadis itu berkali-kali.
Sudah tidak ada harapan.
Baju knight robek, seekor goblin menahan tubuhnya, dia berteriak.
“Bajingan! Kamu mau mempermalukan seseorang? Mulai dari aku!”
Dia adalah seorang anak perempuan dari keluarga bangsawan, dia menjadi seorang knight-errant untuk melayani supreme god (TL Note : Ainz-sama?), yang bertanggung jawab atas hukum dan keadilan. Dia sudah bersiap menerima konsekuensi yang akan di terimanya jika dia gagal membasmi goblin.
Tapi dia tidak bersiap untuk mengorbankan temannya.
Pertama, ranger di gunakan oleh mereka sebagai sasaran latihan tembak tepat di depan matanya, sang pemimpin berusaha memohon kepada goblin untuk mengampuni nyawa temannya. Karena monk berusaha menggigit putus lidahnya sendiri, goblin membunuhnya dan memasukkan lidahnya yang terputus ke dalam mulut knight. Dan ketika tubuh wizard di bakar hidup-hidup, hati knight hancur berkeping-keping.
Dan setelah tiga hari dan tiga malam barulah goblin mengabulkan permohonan knight.
Apa yang terjadi padanya selama tiga hari itu hingga tubuhnya rusak nyaris bukan seperti manusia, di lempar begitu saja ke sungai tidak pantas untuk di tulis.
Mayat yang terbawa arus, suara tawa yang menggema di seluruh lembah, membuat penduduk desa pada kaki gunung di penuhi rasa takut.
Namun, selalu ada pengecualian dalam setiap peraturan.
Sebagai contoh, seekor goblin yang sedang dalam tugas berjaga memegang tombak tumpul dan berpatroli mengelilingi dinding di temani udara malam.
Hanyalah dia seekor diri yang tidak tertawa.
Tentu saja, itu bukanlah karena dia merasa simpati pada wanita yang telah mati, dia merasa kecewa karena tidak di perbolehkan ikut dalam pesta perayaan mereka.
Dia sedang bertugas jaga, mengawasi desa, ketika para petualang menyerang, karena itu dia tidak berpartisipasi dalam perburuan. Dan (dia di beritau) siapa yang tidak berburu, tidak berhak mendapatkan hasil buruan.
Dia tidak bisa menjawab argumen itu, jadi dia dengan kembali berjaga di dinding.
Sang penjaga menggigil pada pos jaganya, angin dingin bertiup menghembus pegunungan.
Mereka menyisakan satu jari bakar untuknya, setidaknya dia ingin merasakan rhea. Dia mengunyah jari itu dengan pelan, berharap sesuatu yang lebih.
Tidak pernah terlintas di benaknya jika dia akan mati pada saat bertarung dengan para petualang, setiap goblin percaya bahwa goblin lainnya yang akan berada di garis depan sedangkan dia sendiri bertarung pada posisi yang aman.
Akan tetapi, kematian dari saudaranya tetaplah membuatnya marah, dan itulah yang membuat mereka sulit di tangani.
Jangankan mengawasi desa, apakah berjaga akan kedatangan musuh memang di perlukan? Benteng ini sudah di dirikan oleh para elf sejak jaman dahulu (walaupun goblin tidak peduli). Ketika di tinggalkan, benteng ini menjadi terlupakan dan terbengkalai hingga goblin menempatinya. Para goblin menginginkan sarang yang aman, kokoh, dan menawarkan tempat berburu yang bagus, oleh karena itu mereka menempati benteng ini, dengan semua perangkap, trik dan dinding yang telah di tinggalkan.
Dengan semua ini, benteng ini tidak memerlukan penjagaan. Goblin yang dalam tugas jaga sangatlah tidak senang.
Karena itu, ketika dia menyadari keberadaan mereka, dia sangatlah senang.
“GRRRRRR?”
Petualang, berdua.
Satu adalah warrior dengan armor kulit yang kotor dan helm baja, tidak berusaha menyembuyikan dirinya sendiri dan berjalan dengan tenang di antara pepohonan. Sebuah perisai kecil terikat di lengannya, di pundaknya terdapat sebuah tempat anak panah, di tangannya sebuah panah, dan di pinggulnya sebuah pedang.
Dia terilhat sangat lemah, dia tidak perlu di khawatirkan, yang di perhatikan goblin penjaga adalah seseorang yang berjalan di sampingnya. Dia adalah seorang gadis cantik dengan jubah priestess, yang berdiri dengan canggung, memegang erat tongkatnya.
Goblin penjaga menjilat bibirnya, mereka berdua tidaklah gemuk, tapi setidaknya mereka adalah mangsa yang akan dia dapatkan.
Dia mempunyai ekspresi yang jijik, air liur bergantung di tepi bibirnya. Dia kembali ke dalam untuk mengingatkan yang lainnya. Ini sudah sesuai dengan perintahnya—tapi, tidak seharusnya dia memalingkan matanya dari para petualang.
Sang warrior menyiapkan sebuah anak panah pada panahnya dan menarik talinya sejauh yang dia bisa. Sebuah kain yang di lumuri minyak medea di lilitkan pada ujung mata panah. Priestess membakarnya.
“GAUUU!”
“GOUORR!”
Para goblin yang di panggil oleh sang penjaga berbondong-bondong berlari menuju dinding, mereka berteriak dan menunjuk para petualang. Tapi semua sudah terlambat.
“Ribut sekali.” Goblin slayer bergumam di dalam helmnya ketika dia melepaskan anak panahnya.
Anak panah itu menembus dinding kayu, dan membakar mengarah goblin yang mulai berteriak.
Tembakan kedua di lepaskan, dan dalam sekejap api sudah tersebar di mana-mana.
“GAUAUAAAA?!”
Salah satu mahkluk itu panik dan mencoba melarikan diri, namun hilang keseimbangan dan terpeleset membawa dua rekannya bersamanya jatuh ke bawah dinding. Sang penjaga ada di antara mereka, tapi goblin slayer tidak tau dan tidak peduli.
“Tiga.”
Dia menghitung dengan tenang, dan melepaskan anak panah lainnya.
Api, merupakan musuh utama para elf. Jika mereka masih menempati benteng itu, tentu saja tidak akan semudah ini menyerang hanya dengan bermodalkan kain yang di bakar.
Tapi para elf yang dapat melakukan permohon pada para roh untuk memadamkan api, sudahlah tidak disini. Setiap penangkal yang mereka dirikan untuk memadamkan api, sudah tidak ada lagi di makan oleh waktu.
Benteng di depan para petualang merupakan benteng yang kuat dan kokoh, tapi tetap saja itu kayu.
“Cukup anak panahnya, bersiaplah.”
“Oh,ba-baik.”
Di saat goblin slayer melepaskan satu anak panah lagi, priestess berdiri dengan tongkatnya bersiap, bersiap melakukan doa penggabungan jiwa dengan dewa.
Melindunginya, goblin slayer menembakkan anak panah di antara mata goblin yang sedang berusaha melarikan diri. Makhluk itu terjatuh kebelakang, ke dalam benteng terbakar yang berusaha dia hindari.
“Dasar bodoh, empat.”
Tepat pada saat itu, terdengar suara hantaman klang pada helmnya ketika sebuah batu terpantul dari helmnya.
“Oh, tidak! Kamu nggak apa-apa?!” priestess berteriak.
“Jangan panic,” Dia menjawab dengan sebuah gelengan kepala, sedikit kesal karena dia sudah membuyarkkan konsentrasinya dengan berteriak.
Dia menjentikkan lidahnya, dan menemukan goblin di tepi jurang memegang sebuah tali.
Sebuah ketapel dapat menjadi senjata yang mematikan. Walaupun hanya seutas tali yang melemparkan sebuah batu, tapi proyektil tersebut dapat berjalan dengan kecepatan tinggi dan mematikan. Dan hampir mustahil kehabisan amunisi—fitur yang sangat di sukai goblin slayer.
Akan tetapi, walaupun para goblin mendapatkan ketapel.....
“Akan sangat berpengaruh di dalam gua, tapi tidak dengan jarak segini.”
Pertarungan jarak pendek di luar tempat yang sempit, tenaga goblin yang lemah menjadi tidak berguna. Mereka tidak memiliki koordinasi dalam serangan jarak jauh, batu yang baru saja memantul di helmnya hanyalah serangan keberuntungan.
Tapi, keadaan mungkin akan berbeda jika mereka berdua adalah petualang yang terlalu percaya diri. Tapi goblin slayer adalah orang yang teliti.
Dia melepaskan anak panah lainnya pada arah pemegang ketapel, menembus pada tenggorokannya. Dengan api yang membara, tidak adanya pengelihatan malam membuat tidak ada perbedaan.
“Lima.... mereka akan datang sebentar lagi.”
Sesuai prediksinya, gerombolan goblin berlari dari arah masuk benteng, mencoba melarikan diri dari benteng yang terbakar. Mereka membawa anggur, mangsa mereka, dan barang jarahan mereka, dan mereka saling mendorong satu sama lain dengan usaha untuk keluar dari sana.
Dikala mereka berlari menyelamatkan diri dari benteng ini, yang mereka cukup gemari, sepertinya rasa takut mereka berubah menjadi rasa murka. Wajah buruk mereka menunjukkan ekspresi yang penuh dengan keinginan membunuh goblin slayer dan priestess, banyak niat-niat jahat yang terlintas di pikiran mereka. Jika mereka berhasil keluar dari bangunan ini, haruskah mereka membunuh petualang itu? Memperkosanya?
Setiap goblin memiliki senjata di tangannya, dan mereka semua melihat priestess yang berdiri di depan jalan masuk.
“O ibunda bumi yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan pada kami yang lemah”
Dan tiba-tiba, para goblin mendapati dirinya menabrakkan kepalanya pada sebuah dinding yang tidak terlihat. Sebuah dinding berkekuatan suci telah memblokir jalan masuk dan menghalau goblin yang ingin melarikan diri. Ibunda bumi yang penuh ampunan, telah melindungi pengikutnya yang taat dengan keajaiban perlindungan (TL Note: protection)
“GORRRR?!”
“GAOORR?!”
Para goblin dengan cepat menjadi panik ketika mereka menyadari bahwa mereka sudah terperangkap. Mereka mencakar dan berteriak seraya menghajarkan pentungan dan tinju mereka menuju dinding yang tidak terlihat dan tidak dapat menghancurkannya. Asap dan api perlahan melahap para goblin, hingga pada akhirnya mereka lenyap dari pandangan.
“Aku dengar kamu sudah mendapatkan keajaiban baru.” Kata goblin slayer sambil melepaskan anak panahnya kepada goblin yang berusaha melarikan diri. “Enam, ini membuat pekerjaan kita jadi lebih mudah.”
“Tapi... untuk menggunakan perlindungan seperti ini....” suara priestess terdengar serak, tapi itu bukanlah di karenakan menghirup asap yang membakar para goblin. Dia telah mengunjungi kuil selama beberapa hari untuk mempelajari keajaiban baru. Perlindungan adalah salah satu dari dua keajaiban yang di berikan.
Tergantung dari kekuatan dan status, cleric yang berkelana dunia mempunyai kemungkinan mendapatkan keajaiban. Sepertinya keimanannya lebih kuat dari yang dia kira. Priestess merasakan pedih di hatinya setiap kali ibu kuil memuji hasil kerja keras petualangannya.
....Tapi demi mendapatkan keajaiban baru, dia akan menanggung beban latihan dengan keyakinan bahwa itu akan membantu goblin slayer.
Dan inilah hasilnya sekarang.
Mengapa ibunda bumi memberiku keajaiban ini...?
Dia menghembuskan napas panjang penuh pilu.
“Kemungkinan ada pintu belakang atau sebuah terowongan untuk melarikan diri, tetap siaga.”
“Gimana kamu bisa tau hal seperti itu?”
“Imajinasi adalah senjata.” Dengan perkataan itu, goblin slayer menyiapkan anak panahnya lagi. “Mereka yang tidak memilikinya adalah yang akan pertama mati.”
“....Maksudmu, orang yang datang kesini sebelumnya?”
“Itu benar.”
Benteng gunung terbakar.
Dengan itu, desa yang berada di kaki gunung telah terselamatkan oleh ancaman goblin. Arwah-arwah para petualang yang sudah tiada, dapat kembali ke pelukan dewa-dewa yang mereka percayai.
Tubuh goblin terbakar, tubuh para petualang terbakar, tubuh gadis desa yang di culik terbakar, di iringi dengan asap yang melambung tinggi ke angkasa.
“Kita harus mengontrol apinya. ketika apinya mati, kita harus mencari goblin yang selamat dan membunuhnya,” Goblin slayer berkata sambil menatap asap, tanpa emosi pada suaranya. ada jeda.”...Bertingkah laku layaknya tingkatanku terkadang....sangatlah sulit.”
Priestess melihatnya seakan-akan melihat sesuatu yang menghancurkan hati, tidak mungkin baginya untuk mengetahui ekspresi di balik helm itu.
Hampir tidak di sadarinya, dia menggabungkan kedua tangannya, berlutut, dan berdoa.
Udara panas dan asap menutupi udara dengan langit hitam, sebuah hujan hitam telah turun. Dia berdoa di tengah rintikan air hujan membasahi jubahnya dengan abu.
Satu-satunya yang di inginkannya adalah keselamatan.
Keselamatan dari apa dan siapa, dia tidak tau.
*****
“Raja goblin telah kehilangan kepalanya dengan serangan kritikal di momen genting!”
Sang penyair memetik senar kecapinya.
“Api membara, baju besi goblin slayer berkilau dalam kobaran api.”
Nada yang mengalun di jalanan pada sore hari, orang-orang berhenti dan mendengarkan, tertarik akan nada yang kuat namun melankolis.
“Dengan demikian, rencana jahat raja goblin telah sirna, dan permaisuri cantik telah terselamatkan oleh temannya.”
Tua dan muda, pria dan wanita, kaya dan miskin, setiap orang yang berjalan berhenti untuk mendengar kisah dari sang penyair. Kesuksesan sang penyair tegantung oleh kemampuannya untuk menceritakan kisah yang epik.
“Tapi dialah goblin slayer! Tidak memiliki tempat, bersumpah untuk berkelana tanpa seseorang disisinya.”
Seorang gadis muda yang duduk di depan menghembuskan nafas hangat dan penuh harapan. Sang penyair berusahan menahan senyum di bibirnya dan melanjutkan.
“Ini hanyalah harapan kosong yang di temui oleh permaisuri yang berterima kasih—kala dia menyadari bahwa goblin slayer telah pergi, tanpa menoleh kebelakang.”
Jreng jreng jreng.
“Terima kasih! Sekian cerita tentang benteng gunung yang terbakar dari kisah goblin slayer pahlawan perbatasan untuk malam ini.”
Para penonton yang berkumpul di jalan ibukota membubarkan diri mereka dengan gumaman. Sang penyair memberikan sebuah salam yang elegan ketika sebuah koin memasuki topinya.
Seorang petualang tingkat silver yang tidak pernah mengalami kekalahan dalam mengusir para goblin. Bagi para desa yang tertimpa masalah monster ini, bagi mereka dia adalah tingkat platinum, yang datang dan pergi layaknya angin. Kisah epik yang di ceritakan oleh penyair, yang di dengar olehnya secara tak sengaja dari orang lain sepertinya sangat di sukai orang-orang. Dan itu lah yang terpenting.
“Pak...?”
Terkejut akan suara bening yang tiba-tiba, sang penyair yang sedang mengambil koin di tanah melihat ke atas. Para penonton sudah pergi, namun ada satu yang masih tinggal dengan wajah yang tertutup jubah.
“Petualang yang kamu ceritakan....apa dia benar-benar ada?”
“Tentu saja dia ada.” Sang penyair membusungkan dadanya.
Orang-orang mempercayai kisah yang di sampaikan oleh para penyair dan penyanyi. Dia tidak berani mengakui bahwa dia membuat-buat lagu dari cerita yang secara tak sengaja dia dengar.
Dan lagi, pembunuh goblin misterius ini sudah menghasilkan banyak uang untuknya. Jadi dia harus berusaha mempertahankan reputasinya.
“Dia berada di kota yang berjarak dua sampai tiga hari mengarah ke perbatasan barat.”
“Apa itu benar?” Dengan sebuah anggukkan jubah yang menutupi kepalanya terlepas.
Tubuhnya yang luwes di selimuti oleh pakaian pemburu. Sebuah panah besar menggantung di punggungnya. Dia langsing dan sangat cantik.
Sang penyair terpana—dan bukan hanya karena kecantikannya.
Dia terkejut oleh telingnya yang panjang.
“Orcbolg....” dia berkata dengan nada yang merdu namun juga aneh. Seorang elf petualang.