TAKDIR BEBERAPA PETUALANG
(Translator : Zerard)

Pertarungan sengit telah usai, dia menginjakan sepatu bootnya ke sebuah mayat goblin.
Dia berlumuran dengan darah sang monster, dari helmnya yang kotor hingga armor kulit dan baju besi buatan yang menutupi seluruh tubuhnya.
Sebuah perisai kecil terikat di lengan kirinya, dan di lengan satunya memegang sebuah obor yang menyala dengan terangnya.
Kakinya menahan mayat makhluk itu, dia menunduk dengan tangan kirinya dan dengan santai mencabut sebuah pedang dari tengkorak makhluk itu. Itu adalah pedang yang terlihat murahan, panjangnya sangatlah aneh dan penuh belumuran dengan otak goblin.
Terduduk di tanah, terdapat sebuah anak panah pada pundaknya, seorang gadis muda yang kurus bergetar ketakutan. Wajahnya yang manis di hiasi rambut panjang berkilau warna emas, menjadi berantakan di karenakan air mata dan keringat.
Tangannya yang kurus, kakinya– keseluruhan tubuhnya yang indah terbalut dalam sebuah jubah seorang Priestess (TL note : pendeta perempuan = Priestess). Tongkatnya yang dia pegang berbunyi, sebuah cincin yang bergantung pada tongkat itu berbenturan satu sama lainnya seirama dengan tangannya yang gemetar.
Siapakah pria yang ada di depannya ini?
Penampilannya yang sangat aneh, aura yang yang menyelimutinya, membuatnya berpikir jika dia sendiri adalah goblin—.  Atau mungkin sesuatu yang lebih buruk, sesuatu yang dia tidak ketahui.

“Si-siapa kamu.....?” tanya dia, menahan rasa takut dan sakit.
Setelah beberapa saat, pria itu menjawab “Goblin Slayer.”
Seorang pembunuh. Bukan seekor naga ataupun vampir. Namun monster paling rendah : goblin.
Normalnya, nama ini akan terdengar lucu. Namun bagi sang Priestess saat itu, nama ini sangatlah tidak lucu.
                                                                              ****
Kamu sudah mendengar ini.
Seorang anak panti asuhan yang di besarkan di sebuah kuil. Ketika  berumur 15 tahun, mereka menjadi dewasa dan harus menentukan plihan : apakah mereka ingin tetap tinggal di kuil dan menjadi pelayan Tuhan, atau apakah mereka ingin pergi, dan membuat jalan mereka sendiri di dunia ini?
Priestess memilih pilihan kedua, dan mengunjungi Guild petualang adalah cara dia.
Guild petualang— dibuat dengan tujuan untuk membantu jiwa-jiwa pemberani yang ingin melakukan quest—. Konon pertama di dirikan, oleh beberapa orang yang bertemu di dalam bar.
Tidak seperti pekerja lain, atau asosiasi. guild petualang sedikit berbeda dengan agen buruh. Dalam peperangan yang sedang berlangsung dengan para monster dan “mereka yang dapat berbicara,” petualang adalah tentara bayaran. Tidak ada satu orangpun yang ingin mentoleransi keberadaan orang-orang bersenjata, jika tidak di atur dengan baik.
Priestess menghentikan langkahnya di depan kantor cabang yang berdiri tepat di depan gerbang kota. Ketika dia memasuki lobby, dia sedikit terkejut dengan ramainya para petualang, walaupun sepagi ini.
Bangunan ini memiliki penginapan dan sebuah bar—biasanya bersamaan dengan— sebuah kantor, semua menjadi satu bangunan. Keramaian seperti ini adalah hasil yang sudah semestinya jika mereka menyediakan tiga jasa dalam satu tempat.
Dari setiap manusia biasa dengan armor besi, terdapat seorang elf mage dengan tongkat dan jubahnya. Di sini terdapat dwarf berjenggot pemegang kapak, di sana terdapat ras yang tinggal di padang rumput yang bernama rhea. Priestess berjalan menyusuri keramaian melewati pria dan wanita dari berbagai macam ras dan umur yang membawa berbagai macam senjata, menuju gadis guild. Antrian yang panjang, penuh dengan orang yang ingin mengambil atau memasang quest, atau memberikan laporan.
Petualang pemegang tombak sedang berbicara dengan seseorang yang menggunakan armor berat.
“Dan? Bagaimana dengan manticore di perbatasan itu?”
“Itu tidak seberapa, kalau kamu ingin mangsa yang besar, aku rasa kamu harus pergi ke reruntuhan atau yang lainnya.”
“Benar juga, tapi kamu tidak akan bisa mendapatkan makan jika seperti itu.”
“Hey, aku dengar ada roh jahat yang sedang membuat kekacauan dekat ibukota. Siapapun yang pergi kesana mungkin bisa dapat bayaran yang bagus, hey?”
“Mungkin aku bisa mengatasinya, jika itu demon level rendah....”
Priestess secara tidak sengaja mendengar percakapan seperti itu kurang lebih tiga kali, dan setiap kali dia mendengarnya, dia memeluk rapat tongkatnya untuk menguatkan jiwanya.
“....sebentar lagi aku juga akan....”
Priestess menyadari menjadi petualang tidaklah mudah. Dia sudah menyaksikan sendiri orang yang terluka dari dungeon datang ke kuil meminta keajaiban penyembuhan. Dan menyembuhkan orang seperti itu adalah wahyu Ibunda Bumi.
Mengapa dia harus takut, untuk melawan bahaya dan melakukan apa yang sudah dia pelajari? Dia adalah yatim piatu, dan kuil telah menyelamatkannya. Sekarang adalah gilirannya untuk membalas budi.
“Ya, ada yang bisa di bantu?”
Antrian berjalan secara perlahan selagi Priestess hanyut dalam pikirannya,dan sekarang gilirannya.
Dengan ekspresi yang lembut, gadis guild menyambutnya. Masih muda namun lebih tua dari Priestess. Pakaiannya yang bersih benar-benar dirawat dengan baik. Rambutnya bewarna coklat muda dan dikepang. Jika dilihat di sekeliling guild, tidak diragukan bahwa meja resepsionis guild adalah tempat yang sangat sibuk. Yang mengharuskan resepsionis tidak menunjukkan penampilan yang buruk adalah hal yang wajar dan di mengerti oleh wanita profesional yang mendaftar di pekerjaan ini.
Priestess merasa sedikit gugup, dia menelan air liurnya dan berkata.
“Uh...a...aku ingin menjadi pe...petualang.”
“Apa itu.... benar?” gadis guild bertanya dengan nada lembut dengan sedikit keraguan. Tidak bisa berkata apa-apa, Priestess merasa mata gadis guild bergerak dari wajah ke tubuhnya. Merasa sedikit malu, dia mengangguk.
Perasaan itu menghilang ketika gadis guild kembali tersenyum dan berkata “Aku mengerti. Apa anda bisa baca dan menulis?”
“Umm.. iya,sedikit. Aku belajar di kuil.”
“Jika begitu, mohon isi ini. Jika ada yang tidak dimengerti silahkan bertanya.”
Itu adalah Lembar Isian Petualang. Huruf berwarna emas menghiasi kertas berwana coklat muda itu.
Nama, jenis kelamin, umur, kelas, warna rambut, warna mata, skill, keajaiban.... informasi yang sederhana, terlalu sederhana sehingga terlihat janggal.
“Oh,” Gadis guild berkata, “Anda bisa biarkan kolom kemampuan dan riwayat petualang kosong. Pihak guild akan mengisi bagian itu nanti.”
“Ba-baik, Bu.” Priestess mengangguk, dan dengan tangan yang sedikit gemetar dia mengambil pena dan mencelupkannya ke dalam tinta dan mulai menulis.
Dia menyerahkan lembaranya yang telah selesai ke gadis guild, yang memeriksanya dan mengangguk. Kemudian dia mengambil sebuah jarum perak, dan mengukir barisan huruf pada plat porselain. Dia menyerahkannya kepada Priestess, yang kemudian Priestess menyadari bahwa plat tersebut memiliki informasi yang sama dengan lembaran sebelumnya, hanya saja lebih kecil.
“Ini akan berfungsi sebagai tanda identifikasi Anda, kami menyebutnya ‘status’. Akan tetapi,” dia menambahkan “ini tidak akan menunjukkan status apapun” kemudian di berkata kepada Priestess yang berkedip, ”Ini akan di gunakan untuk menunjukkan identitas Anda jika terjadi sesuatu dengan Anda, jadi jangan sampai hilang.”
Jika terjadi sesuatu?
Untuk beberapa detik, Priestess sedikit tercengang dengan perkataan gadis guild, namun tidak lama baginya untuk menyadari maksud perkataannya. Satu-satunya alasan mereka perlu “menunjukkan identitas Anda” adalah di saat kamu terbunuh dengan begitu brutal hingga mayatmu sulit dikenali.
“Ya, Bu,” Kata Priestess, yang berharap agar suaranya berhenti bergetar. “Tapi, apa memang semudah ini menjadi seorang petualang....?”
“Untuk menjadi petualang, ya.”
Ekspresi gadis guild sulit dibaca. Apakah dia khawatir atau tidak peduli? Priestess sama sekali tidak tahu.
“Akan lebih sulit untuk naik tingkat karena akan berdasarkan seberapa banyak membunuh monster, apa saja yang telah Anda perbuat, dan tes personalitas.”
“Tes personalitas?”
“Terkadang ada orang dengan tipe aku-cukup-kuat-untuk-melakukannya-sendiri“
Kemudian dia menambahkan, “Namun ada juga tipe yang eksentrik di antara mereka.” Usai mengatakannya, sikapnya langsung berubah menjadi lebih lembut dengan senyum yang manis.
Oh, Priestess berpikir, aku tidak tahu dia bisa tersenyum seperti itu.
Gadis guild menyadari Priestess mengamatinya, dan dengan cepat kembali ke sikap profesional awalnya. “Quest dipasang di sebelah sana.” Dia menunjukkan sebuah papan yang hampir menutupi seluruh dinding. “Pilihlah quest yang sesuai dengan level anda.”
Kesempatan memilih itu tipis, karena sekumpulan besar petualang telah pergi ke sana sejak pagi. Tapi guild tidak akan mempunyai papan sebesar itu kalau mereka tidak memerlukannya.
“Menurut saya,” resepsionis berkata, “ saya merekomendasikan Anda memulai dari membersihkan selokan.”
“Membersihkan selokan? Aku kira para petualang bertarung melawan monster.....?”
“Tidak ada salahnya dalam memburu tikus raksasa. Dan lagi anda akan berjasa pada dunia ini.” Kemudian dia menambahkan. “Petualang baru yang sudah memiliki sedikit pengalaman, bisa mencoba memburu goblin.”  Dan ketika itu wajahnya terlihat sedih.
“Baiklah, itu saja untuk pendaftaranya. Selamat berburu!.”
“Oh, te-terima kasih.” Priestess menundukkan kepalanya mengucapkan terima kasih dan pergi dari meja resepsionis. Dia mengantung plat porselain itu ke lehernya, dan menghembuskan nafas yang selama ini ditahannya. Dia sudah menjadi seorang petualang. Semudah itu.
Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang?
Priestess hanya membawa sebuah tongkat (lambang dari kuilnya) dan sebuah tas berisi baju ganti dan beberapa koin.
Dia sudah mendengar bahwa lantai dua bangunan guild ini diperuntukkan bagi petualang level rendah. Mungkin akan lebih baik baginya untuk menyewa sebuah kamar, kemudian melihat quest apa saja yang tersedia....
“Hei, mau berpetualang bersama kami?”
“ap-apaaa?”
Undangan tiba-tiba itu berasal dari seorang laki-laki muda dengan sebuah pedang di pinggulnya, pelindung dada yang bercahaya diikat pada dadanya. Layaknya Priestess, dia juga memiliki plat porselain yang baru di sekitar lehernya.
Plat tersebut memiliki sepuluh variasi yang mengindikasikan tingkatan penggunanya, dari platinum yang merupakan tingkat paling atas hingga porselain yang di peruntukkan bagi petualang baru.
“Kamu seorang priestess kan?”
“Um, ya. Ya....benar.”
“Mantap! Sesuai dengan yang partyku butuhkan.”
Tepat di belakang laki-laki itu, dia dapat melihat dua orang gadis lainnya. Satu gadis menggunakan pakaian ahli bela diri dengan rambut yang diikat, dan memiliki mata yang penuh percaya diri. Sedangkan satu gadis lagi menggunakan tongkat dan jubah dengan tatapan yang tenang.
Seorang petarung dan penyihir pikir dia. (TL note : fighter dan Wizard)
Warrior mengikuti pandangan Priestess dan berkata, “Partyku.” Dan mengangguk “Kami sedang dalam quest darurat. Tapi aku ingin setidaknya ada satu orang lagi. Bagaimana kalau kamu?”
“Apa maksudmu ‘darurat’.....?”
“Kami akan membasmi para goblin!”
Goblin. Goblin sudah lama telah tinggal di dalam sebuah gua di dekat kota. Mereka adalah monster paling lemah, dan jumlah mereka hanya satu-satunya keuntungan mereka.
Mereka setinggi anak kecil, dengan tenaga dan pola pikir yang sama. Satu-satunya yang membedakan mereka dengan manusia adalah kemampuan mereka untuk dapat melihat dalam kegelapan. Mereka sering melakukan hal-hal yang biasa dilakukan monster— mengancam orang, meneror desa, menculik gadis.
Mereka memang lemah, tapi akan lebih baik membiarkan goblin yang tertidur tetap tidur.
Awalnya penduduk desa mengacuhkan para goblin.... namun keadaan mulai berubah. Pertama, tanaman yang mereka simpan untuk musim dingin telah hilang sampai ke biji-bijinya. Penduduk yang murka mulai membangun sebuah pagar, dan melakukan patroli dengan obor di tangan.
Namun para goblin masih sering melewati mereka.
Mereka mencuri domba beserta anak gadis pengembala domba dan juga menculik para wanita yang keluar untuk mengecek kegaduhan yang terjadi.
Para penduduk desa pun kehabisan pilihan. Mereka mengumpulkan uang mereka yang masih tersisa dan pergi menuju guild—guild petualang, dimana para petualang berkumpul. Tentunya, dengan memasang quest akan ada orang yang datang membantu.
Um, dan...
Priestess berdiri dengan jari di bibirnya, mendengarkan penjelasan sang Warrior.
Perburuan goblin untuk quest pertamanya. Banyak orang yang melakukannya, dan dia tidak perlu mencari para petualang—para petualanglah yang menemukan dia. Ini pasti takdir.
Tak pernah terpikir di benaknnya bahwa dia mampu melakukan semuanya sendiri, melakukan sendiri sebagai seorang penyembuh adalah sama saja bunuh diri. Pada akhirnya dia akan membutuhkan party. Dia khawatir untuk bergabung party dengan orang asing, tetapi orang yang mengajaknya ke dalam party bukan orang asing kan? Sebelumnya tidak pernah ada anak laki-laki yang mengundangnya, tapi sudah ada dua orang gadis disana.
Jadi tidak akan ada masalah..... benar 'kan?
“Baiklah kalau begitu. Aku akan bergabung.”
Dia menjawab dengan mengangguk, dan Warrior pun gembira.
“Yang benar?! Mantap! Sekarang, siapa yang siap untuk melakukan petualangan?!”
“Apa, hanya kalian berempat?” gadis guild tiba-tiba berkata. “Aku yakin jika kalian menununggu sebentar lagi, akan ada petualang lainnya yang muncul.....”
Sepertinya sang Warrior sama sekali tidak peduli dengan perkataan gadis guild, “Mereka hanya goblin. Aku yakin kami berempat sudah cukup.” Kemudian dia menoleh kepada rekannya “Benar, 'kan?” Dia terdengar begitu yakin, sebuah senyum yang ceria menghiasai wajahnya. Kemudian dia berkata pada gadis guild, “Para wanita yang tertangkap itu harus segera diselamatkan. Kita tidak boleh membuang waktu lagi!”
Melihat ini, wajah gadis guild menjadi tidak berekspresi, pada waktu yang sama, Priestess merasakan firasat aneh pada hatinya.
*****
Obor berkelip dengan redup di tengah udara yang busuk.
Cahaya matahari yang terselimuti oleh kegelapan yang mengisi dalam gua. Pada mulut gua, sangatlah sulit untuk melihat, dan semakin kedalam semakin gelap gulita.
Bayang-bayang yang terpapar pada dinding bebatuan, berdansa seiring dengan api yang bergoyang. Berjalan menyisiri dinding layaknya lukisan monster.
Tiga gadis dan satu lelaki, dengan baju armor murahan yang mereka pakai. Dengan formasi berbaris, mereka berjalan dengan gugup melewati kegelapan. Warrior berdiri di garis depan memegang obor, di belakangnya berdiri fighter. Paling belakang adalah Wizard, dan diantara fighter dan Wizard pada garis ketiga adalah gadis muda dalam jubah pendeta perempuan, memegang erat tongkatnya dan berjalan dengan hati-hati.
Ini merupakan saran dari Wizard untuk berjalan berbaris. Selama tidak ada jalan bercabang, mereka tidak perlu mengkhawatirkan serangan dari belakang. Dan jika petualang yang berada di garis depan dapat bertahan, maka mereka yang ada di belakang akan aman dan mampu memberikan bantuan kepada yang di depan. Paling tidak itulah rencananya.
“A-apa ini ide bagus? Masuk begitu saja?” kata prietess dengan tidak percaya diri. Nada dia menandakan semakin khawatir dari sebelum masuk gua, “Maksudku, kita bahkan tidak tahu apa-apa tentang goblin ini.”
“Sheesshh, dasar rebut. Kurasa inilah yang bisa kau tebak dari seorang Priestess.” Suara Warrior terdengar nyaring di dalam keheningan gua, bergema hingga hilang. “Anak kecil saja tidak takut dengan goblin. Bahkan dulu aku membantu untuk mengusir mereka dari desaku.”
“Oh, sudahlah,” kata fighter. “Membunuh beberapa goblin bukanlah hal yang istimewa. Kamu bikin malu dirimu sendiri saja. Dan,” dia menambahkan perkataannya dengan suara yang pelan,”kamu bahkan tidak membunuh mereka.”
“Aku tidak bilang aku membunuh mereka,” Warrior membalas dengan cemberut.
Fighter menghela napas jengkel dan tersenyum. “Mereka mungkin memotong pecundang ini jadi daging cincang, tapi aku aku akan menghajar mereka sampai terbang. Jadi jangan khawatir.”
“Pecundang? Pedas sekali!” Obor menyinari wajah sedihnya, namun kemudian, dengan lincahnya dia memegang pedangnya “Hey, jika kita mau, kita berempat dapat mengalahkan naga!”
“Duh, tidak sabaran sekali” gumam Wizard, yang membuat fighter tertawa kecil. Suara mereka yang bercampur,bergema di dalam gua.
Priestess tetap diam, seakan-akan takut jika bersuara dapat menarik sesuatu dari kegelapan.
“Tapi aku memang ingin berburu naga suatu hari,” kata Wizard. “Bagaimana dengan kalian?” Senyum tanpa kata Priestess seakan setuju atas perkataan Wizard dan juga Warrior yang mengangguk. Akan tetapi, kegelapan ini menyembunyikan ekspresi yang tidak pasti, seperti gadis guild.
Apakah kita perlu? Dia bertanya pada dirinya sendiri, tetapi tidak berani menyuarakan pendapatnya, walaupun firasatnya bergerumuh di dalam hatinya.
Kita berempat dapat....” katanya. Namun bagaimana mungkin dia bisa begitu saja mempercayai orang yang baru dikenalnya selama dua hari? Priestess menyadari bahwa mereka bukanlah orang jahat, tapi....
“Apa kamu yakin kita tidak perlu melakukan persiapan lebih? Kita bahkan tidak memiliki po-potion...”
“Kita juga tidak memiliki uang atau waktu untuk berbelanja,” Warrior menjawab dengan tegas tidak mempedulikan suara Priestess yang gemetar. “Aku cemas dengan wanita yang diculik itu.... dan lagi jika kami terluka, kamu bisa menyembuhkan kami, 'kan?”
“Memang benar aku memiliki keajaiban penyembuhan dan cahaya...tapi...”
“Kalau begitu kita akan baik-baik saja!”
Tidak ada yang mendengar Priestess yang berusaha mengatakan “tapi aku cuma bisa menggunakannya tiga kali....”
“Percaya diri memang bagus,” kata fighter, “tapi apa kamu yakin kita tidak tersesat?”
“Ini hanya satu terowongan panjang. Bagaimana mungkin kita tersesat?”
“Aku tidak yakin. Kamu suka terbawa suasana jika tidak kuawasi."
“Kamu juga sama saja....”
Warrior dan fighter, yang berasal dari kota yang sama, berdebat ringan sejak perjalanan ini dimulai.
Priestess yang mengikuti mereka dari belakang, menggenggam tongkatnya dengan dua tangan dan berdoa kepada Ibunda Bumi.
“Kumohon, berikanlah kami perlindungan...”
Dia berdoa dengan sangat pelan sehingga suaranya bahkan tidak bergema dan hilang di kegelapan.
Mungkin Ibunda Bumi mendengar doanya, atau mungkin Priestess yang terlalu sensitif selama dia berdoa.
“Ayo, lebih cepat. Pertahankan barisan,” tegur Wizard.
“Oh iya, maaf...”
Priestess lah yang menyadarinya terlebih dahulu.
Ketika dia berjalan melewati Wizard yang menyalipnya selagi dia berdoa, suara yang bergerak. Seperti batu kerikil yang terjatuh.
Priestess terdiam.
“Kenapa lagi, sih?” Wizard bertanya dengan jengkel ketika dia menyalip Priestess kedua kalinya, yang terdiam tak bergerak.
Wizard merupakan murid lulusan tertinggi di kelasnya dari akademi di ibukota dimana dia belajar mantranya, dan dia tidak terlalu akrab dengan Priestess. Gadis penakut yang ada di partynya memberikan kesan pertama yang buruk, dan semenjak memasuki gua, kesan itu semakin memburuk.

“Ba-baru saja, sepertinya aku mendengar sesuatu yang ja-jatuh....”
“Di mana? Di depan kita?”
“Ti-tidak, di belakang kita....”
Oh ya ampun.
Ini bukanlah kewaspadaan, tapi pengecut. Priestess ini tidak berani mempertaruhkan nyawanya layaknya seorang petualang. Warrior dan fighter terus berjalan menjauh selagi mereka berdua berdiri di tempat. Terlalu terbawa oleh perdebatan mereka, membuat mereka tidak melihat ke belakang.
Cahaya yang semakin menjauh, membuat keadaan semakin gelap. Wizard menghela napas.
“Dengar, kita sudah berjalan lurus semenjak kita memasuki gua kan? Bagaimana mungkin ada sesuatu di bela—” dan suaranya yang tenang—
“Goblin!!”
—menjadi teriakan.
 Yang didengar Priestess bukanlah suara yang jatuh, melainkan suara galian.
Makhluk buruk rupa melompat keluar dari sebuah terowongan, dan berbondong-bondong menuju Wizard yang berada di posisi belakang.
Setiap tangan memiliki senjata sederhana, setiap wajah memliki ekspresi menjijikkan. Mereka adalah penghuni gua yang seukuran anak kecil.
Goblin.
“G-g-ggggg...”
Tidak dapat berbicara, Wizard mengangkat tongkatnya dengan ujung berwarna merah yang dia terima pada hari kelulusannya.
Adalah sebuah keajaiban,lidahnya yang terbelit dapat mengucapkan mantra.
Sagitta...inflammarae....radius....!”  Muncullah panah api!
Di saat dia mengeluarkan setiap mantra yang telah diingatnya di dalam hatinya, mantra mulai memancar—mantra dengan kekuatan untuk mengubah realita itu sendiri.
Sebuah bola api yang berbentuk panah yang bercahaya terbang dari ujung tongkat Wizard dan menghantam goblin tepat di wajahnya. Terdengar suara desis daging yang terbakar dan aroma daging yang terpanggang.
Satu sudah mati!
Rasa kemenangan yang membawa rasa semangat, meninggalkan senyum bangga pada bibirnya. Membuatnya terisi oleh rasa percaya diri yang membuatnya berpikir bahwa apa yang sudah berhasil sekali akan berhasil lagi.
Sagitta....inflammarae....radiaaaagghhh....!!”
Akan tetapi terlalu banyak goblin, dan hanya empat party member. Sebelum dia berhasil membaca mantra, salah satu makhluk kecil itu mengenggam tangannya. Dia bahkan tidak sempat bereaksi di saat goblin itu membantingnya ke batu kasar di tanah.
“Argh! Ugh—!”
Kacamatanya terlempar dari wajahnya, dan pecah karena benturan, membuat penglihatannya menjadi buram. Seekor goblin dengan cepat merebut tongkat Wizard dari tangannya.
“H-hei! Kembalikan! Kalian tidak pantas memegang i-itu!”
Benda-benda sihir seperti tongkat atau cincin merupakan sambungan hidup para pembaca mantra. Terlebih lagi, baginya itu adalah harga dirinya.
Seakan-akan ingin menjawab teriakan Wizard, goblin memegang tongkat itu dan mematahkannya tepat di depan matanya.
Wajah Wizard menjadi murka, wajah tenang yang sebelumnya sudah tidak ada lagi.
“Bajingan---!“
Dia mengeliat di tanah, berusaha lepas dari cengkraman yang menahannya dengan lengannya yang lemah, dadanya yang ranum bergoyang-goyang. Itu bukanlah pilihan yang bijak. Goblin yang kesal mengambil pisaunya dan menusuk keras perut Wizard.
“Hrrrrgh!?” teriakan penuh rasa sakit di saat pisau itu menembus perutnya.
Tentu saja rekan Wizard sang Priestess tidak tinggal diam.
“h-hey, kalian semua! Lepaskan dia! hen-hentikan—!" dia mengayunkan tongkatnya dengan lengannya yang mungil, berusaha untuk mengusir para goblin.
Ada cleric yang ahli dalam seni bela diri. Beberapa dari mereka sudah berpetualang dalam jangka waktu yang lama, dan memiliki tenaga fisik yang hebat.
Namun Priestess bukanlah salah satu dari mereka.
Dari cara dia mengayunkan tongkatnya, dia tidak akan mengenai apapun.
Setiap tongkat itu menghantam dinding, tongkat itu mengeluarkan bunyi yang membuat para goblin mengambil langkah mundur.
Mungkin mereka menganggap dia sebagai seorang Warrior Priestess, atau hanya takut terkena ayunan tongkatnya secara tak sengaja?
Apapun itu, Priestess mengambil kesempatan ini untuk menarik Wizard dari mereka.
“Kuatkan dirimu!” Priestess berteriak. “Bertahanlah—!"
Tetapi tidak ada jawaban, tangan Priestess terbasuh oleh darah.
Masih terdapat pedang berkarat yang menancap pada perut Wizard, robekkan yang kejam menunjukkan isi perutnya.
Melihat pemandangan di depan matanya, Priestess merasakan sesuatu yang aneh pada tenggorokannya yang membuatnya sulit bernapas.
“Ah... ugh...”
Namun Wizard tersebut masih hidup, kejang dan tersentak, tapi masih hidup.
Masih ada waktu. Pasti masih ada waktu. Priestess mengigit keras bibirnya..
Menggengam erat tongkatnya dekat dada, Priestess meletakkan tangannya di bagian tubuh Wizard yang terburai seakan-akan ingin memasukkannya kembali, dan membaca mantra keajaiban.
O Ibunda Bumi yang penuh ampunan, ulurkanlah tanganmu kepada anak ini....”
Mantra sihir dapat mempengaruhi tata cara kerja dunia, akan tetapi penyembuhan kecil ini merupakan intervensi asli dari ilahi.
Di saat Priestess berdoa, telapak tangannya mulai bersinar dengan sinar hangat yang mengelilingi Wizard. Dan perut Wizard yang terburai mulai terjahit menyatu kembali.
Tentu saja, goblin bukanlah makhluk yang akan diam menyaksikkan begitu saja.
“Bangsat! Goblin bajingan! Berani sekali kalian melakukan ini semua!”
Warrior yang baru menyadari apa yang terjadi di belakangnya, melesat untuk melindungi rekannya dan membunuh para penyerangnya.
Dia telah membuang obornya, dan sekarang memegang erat pedangnya dengan dua tangan. Dia memberi dorongan, menusuk leher goblin.
“GUIA!?”
“Siapa berikutnya?”
Dia membasahi pedangnya dengan korban pertamanya, dan mencari korban kedua. Dan melibas goblin dari pundak ke pinggul.
Timbulnya muncratan darah goblin, membuat Warrior berteriak haus akan darah.
“Kenapa!? Ayo serang aku!”
Warrior merupakan anak kedua dari seorang petani, sejak kecil dia selalu bermimpi untuk menjadi seorang ksatria. Dia tidak pernah tahu cara untuk menjadi ksatria, namun dia yakin kekuatan adalah salah satu syaratnya. Ksatria dalam dongeng tidur yang dia dengar selalu membasmi monster, memusnahkan kejahatan, dan menyelamatkan dunia. Di sini, di gua ini— membasmi para goblin, menyelamatkan para wanita dan melindungi temannya— membuatnya merasa menjadi seorang ksatria.
Perasaan itu membuatnya tersenyum.
Kekuatan yang mengalir di tangannya, darah yang mengalir di telinganya, semuanya menyempit hingga dia hanya mampu melihat musuh yang ada di depannya.
“Tunggu! Kamu tidak bisa melawan mereka semua!”
Dia belum menjadi ksatria sejati.
Dan ketika Warrior mendengar suara fighter, dia menyadari bahwa salah satu goblin berhasil menusukkan pedang usangnya ke pahanya.
“Ngah! Keparat—!”
Itu adalah goblin yang dia sayat di dada, pedang tumpul Warrior yang berlumur darah tidak cukup untuk membunuhnya.
Pecah dari posisi bertarungnya, Warrior mendaratkan serangan keduanya ke arah goblin dan kali ini goblin tersebut mati.
Tapi dalam sekejap, monster lainnya melompat dari belakang dia....
“Terima ini!” dia mencoba melawan dengan pedangnya, akan tetapi pedangnya yang panjang tersangkut pada tembok gua.
Itu adalah gerakan terakhir yang akan di buatnya.
Obor yang dia jatuhkan mulai meredup dan pada akhirnya pudar, dan di dalam kegelapan yang menyelimutinya, dia terkejut akan betapa kerasanya teriakannya bergema.
Tanpa silsilah dan tanpa uang, Warrior tidak dapat membeli perisai ataupun helm. Dia hanya memiliki pelindung dada tipis untuk melindunginya. Tidak mungkin dia bisa bertahan dari serangan brutal para goblin.
“Tidak....tidak mungkin!”
Fighter yang gagal sampai tepat waktu, hanya bisa melihat lelaki yang dia kasihi mati. Wajahnya pucat dan tubuhnya kaku tak bergerak.
Mengepalkan tangannya dan mengambil posisi bertarung, hanya itulah yang dia dapat lakukan.
“Kalian berdua, lari”
“Ta-tapi... !” protes Priestess, tapi dia tahu itu tidak ada gunanya. Walaupun dengan penyembuhan kecil, kondisi Wizard di lengannya tidak membaik. Napasnya semakin tengah-engah.
Gerombolan goblin semakin mendekat, fokus akan mangsa mereka. Mereka masih waspada akan keberadaan fighter, tapi hanyalah masalah waktu sampai mereka menyerang.
Priestess melihat fighter dan Wizard, kemudian dia melihat kebengisan para goblin yang masih menyiksa tubuh Warrior yang sudah tidak bernyawa.
Melihat temannya yang tidak bergerak, fighter mendecakkan lidahnya, kemudian dia berteriak dengan lantang, menerjang ke arah gerombolan musuh.
Hi-yaaaaah!
Tangan dan kakinya sangatlah lentur dan lincah. Ayahnya sendiri yang mengajarinya sebelum ayahnya meninggal, dan sekarang dia menunjukkan hasil dari seni bela dirinya.
Dia tidak akan mati disini. Seni bela diri ayahnya tidak mungkin kalah oleh makhluk menyedihkan ini.
Selama aku hidup, aku tidak akan pernah memaafkan mereka karena sudah membunuh laki-laki itu!
Dia mengarahkan tinjunya menuju solar plexus goblin, yang merupakan hasil latihan dari hati dan pikirannya.
Tinju tersebut membuat musuh terdorong ke samping, terjatuh dan muntah di tanah. Kemudian fighter menyelesaikannya dengan satu serangan berputar menuju leher.
Serangan kritikal.
Serangan dashyat di leher goblin menyebabkan lehernya berputar ke arah yang mustahil, dan akhirnya mati.
Dan pada saat yang sama, dia melangkah maju dengan jarak yang tersisa, dan menggunakan momentum itu untuk melancarkan tendangan berputar di udara, tendangan tersebut mengenai dua ekor goblin, membunuh mereka sebelum mereka jatuh ke lantai—
“Ap—?!"
Namun goblin ketiga dengan mudah menangkap kakinya, dan mengenggam pergelangan kakinya.
Wajah fighter mulai memucat ketika dia mulai meremas kakinya.
Bukankah goblin seukuran anak kecil.... benar 'kan?
“HUURRRGGGH!”
Makhluk tersebut, dengan napas tengiknya yang tercium oleh fighter, sangatlah besar.
Fighter bukanlah gadis yang kecil, namun bahkan dia pun perlu mendongakkan kepalanya untuk dapat menatap mata monster itu. Rasa sakit yang dia rasakan pada kakinya semakin lama semakin bertambah sakit, yang memaksanya berteriak.
“Ahh...ar-arggghhh.... le....pas...kan... a-aku-ahh...!”
Kaki fighter tersebut masih dalam genggamannya, goblin itu dengan santainya menghantamkan fighter ke arah dinding gua, yang menghasilkan retakkan pada dinding tersebut.
Fighter pingsan tanpa dapat melakukan apapun dan tanpa disadarinya, goblin itu mengayunkannya kembali dan menghantamnya ke sisi dinding lainnya
“Hrr,guhhh?!”
Kesadarannya telah kembali, dengan rintihan suaranya yang tidak berdaya. Muntahannya bercampur menjadi satu dengan darah. Kemudian, gerombolan goblin pun mendatanginya.
“Agh! Uggh! Ya...yaaaah! Ugh!”
Para goblin memukul Fighter dengan pentungan mereka tanpa mempedulikan tangisannya, hingga bajunya robek.
Pasrah akan kondisinya, Fighter mengeluarkan teriakan bernada tinggi, namun di balik teriakan itu, Priestess yakin dia dapat mendengar...
“Lari! Cepat!”
“Ma-maafkan aku....!”
Menutup telinganya agar dapat tidak mendengar gema dari siksaan para goblin terhadap rekannya, Priestess memapah Wizard dan mulai melarikan diri.
Berlari, berlari, berlari, terjatuh, kemudian berdiri lagi, dan berlari lebih kuat lagi.
Melewati kegelapan, tersandung berkali-kali tapi tidak berhenti.
“Maafkan aku....! Maafkan...aku! Kumohon ma...maafkan aku...!” kalimat itu terus keluar di tengah-tengah napasnya yang terengah-engah.
Cahaya telah sirna, dia menyadari bahwa dia semakin dikejar masuk ke dalam gua yang lebih dalam, tapi apa yang bisa dia lakukan?
“Ahh...ah..”
Langkah kaki goblin yang semakin mendekat dengan setiap gema yang terdengar, memberikannya rasa takut yang tak terbayangkan.
Berhenti sekarang adalah tindakan bodoh, dan dia tidak bisa kembali ke jalan masuk yang dia lewati. Kalaupun dia bisa, dia tetap tidak bisa melihat apapun dalam kegelapan ini.
Akhirnya dia menyadari arti ekspresi ambigu dari gadis guild.
Ya goblin memang lemah, party mereka yang terdiri dari— Warrior, Fighter, dan Wizard sudah mengetahui akan hal itu—. Goblin hanyalah sebesar dan sepintar anak kecil, paling tidak itulah yang mereka dengar.
Tapi apa yang terjadi jika anak kecil itu memegang senjata, merencakan sesuatu yang jahat, memiliki hasrat untuk membunuh, dan bergerombol?
Mereka tidak pernah memikirkan hal itu.
Party mereka lemah, tidak berpengalaman, tidak biasa dalam pertarungan, tidak punya uang ataupun keberuntungan, dan yang terpenting mereka kalah jumlah.
Ini merupakan kesalahan yang sering terjadi, hal biasa yang sudah sering kalian dengar.
“Ohh..!”
Jubah panjangnya pada akhirnya tersangkut di kakinya, dan dia terjatuh ke tanah, wajah dan tangannya mengalami luka gores, namun yang lebih buruk lagi, Wizard telah lepas dari genggamannya.
Dengan segera Priestess berlari ke arahnya untuk membantunya lagi— seorang gadis yang baru dikenalnya dalam beberapa hari.
“Ma-maafkan aku!, kamu nggak apa-apa?
“Urr,hrrg...”
Alih-alih jawaban yang didapatnya, gelembung darah bermunculan dari mulut Wizard. Priestess yang berfokus untuk berlari, tidak menyadari kondisi tubuh Wizard yang semakin gemetar tidak terkendali. Seakan-akan tubuh Wizard terbakar api, keringat mengalir dengan deras di balik jubahnya.
“Ke-kenapa....?”
Priestess bertanya pada dirinya sendiri. Apakah doanya tidak didengar oleh para dewa?
Diliputi rasa khawatirnya, Priestess membuka jubah luar sang Wizard dan memeriksa lukanya.
Akan tetapi keajaibannya bekerja seperti yang seharusnya, luka di perut Wizard telah hilang dan menjadi mulus seperti sebelumnya.
“U-uhh di-di saat seperti ini— di saat seperti ini apa yang harus aku lakukkan...?”
Pikirannya kosong.
Dia sedikit mengetahui tentang P3K (TL note P3K = pertolongan pertama pada kecelakaan.), dan dia masih dapat menggunakan keajaibannya.
Tapi apa melakukan keajaiban penyembuhan sekali lagi benar akan membantu? Apa ada cara lain yang dapat dia lakukan? Dan dalam kondisi panik seperti ini, apakah dia bisa fokus untuk memohon pertolongan kepada dewa?
“Ahh? Ahhhh!”
Di saat Priestess menghabiskan waktu untuk berpikir, rasa sakit yang sangat menyelimuti tubuhnya.
Dia mendengar suara—sesuatu yang berlari?—dan kemudian pundak kirinya diliputi rasa sakit. Dia melihatnya, dan menemukan sebuah panah yang tertancap dalam pada pundaknya, darah mengalir dan mengotori jubahnya.
Priestess tidak menggunakan armor. Panah itu menembus paksa daging pundak Priestess yang halus. Aturan kuil melarang penggunaan armor yang berlebih, dan juga dia tidak memiliki uang. Setiap gerakan kecil yang dilakukannya memperkuat rasa sakit yang ada, terasa panas yang seakan-akan terbakar api.
“Aaaagghh...!”
Yang hanya bisa dilakukannya hanyalah merapatkan giginya, menahan air matanya, dan menatap para goblin.
Dua monster bersenjata mendekatinya. Senyum penuh nafsu terpancar di wajah mereka. Tetesan air liur terlihat menetes dari mulut mereka.
Alangkah baiknya jika dia dapat mengigit lidahnya sendiri dan mati. Namun dewa melarang perbuatan bunuh diri, dan sepertinya dia ditakdirkan untuk bernasib sama dengan rekannya.
Apakah mereka akan memotong dia? Memperkosa dia? Atau keduanya?
“Ohhh... tidak..”
Rasa  takut membuat giginya bergetar tak terkendali.
Priestess merapatkan tubuh Wizard dekatnya, menggunakan tubuhnya sendiri untuk melindungi rekannya, tapi Priestess merasakan ada sesuatu yang hangat dan basah di kakinya. Goblin sepertinya mencium aroma itu, dan wajah mereka menjadi terlihat semakin menjijikkan.
Priestess berulang kali menyebut nama Ibunda Bumi untuk mengalihkan perhatian dirinya dari apa yang ada di depannya.
Sudah tidak ada harapan.
Namun kemudian....
“Ap....?”
Jauh di dalam kegelapan, terdapat sebuah cahaya.
Layaknya sebuah bintang yang bersinar dengan terangnya pada sebuah malam sunyi sepi bintang.
Satu sumber cahaya kecil yang redup bersinar, yang semakin datang mendekat.
Cahaya itu diiringi oleh suara langkah seseorang yang tenang namun pasti, yang tentunya tahu arah kemana dia akan melangkah.
Para goblin menoleh ke belakang penuh pertanyaan. Apa teman mereka membiarkan seorang mangsa lepas?
Dan kemudian, persis di belakang goblin, Priestess melihatnya.
Pria itu tidak terlihat luar biasa.
Dia menggunakan armor kulit dan helm besi yang kotor. Di lengan kirinya sebuah perisai terikat dan memegang obor, di tangan kanannya menggenggam sebuah pedang dengan panjang yang tidak biasa. Yang membuat Priestess berpikir bahwa partynya yang tidak melakukan persiapan apapun, memiliki perlengkapan yang lebih bagus,
Tidak, dia ingin berteriak jangan mendekat! Tapi rasa takut telah membekukan lidahnya, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa. Tidak memiliki keberanian layaknya Fighter membuatnya diliputi rasa malu.
Kedua goblin itu berputar balik mengarah kepada pendatang baru. Tanpa mempunyai rasa takut menunjukkan punggung mereka kepada Priestess yang tidak berdaya. Mereka akan mengurusnya nanti. Salah satu dari mereka meletakkan anak panah pada tali panahnya, menariknya, dan menembakkan panah.
Itu merupakan anak panah sederhana, dengan mata panah yang terbuat dari batu. Ditambah dengan kemampuan goblin sebagai pemanah yang sangat payah.
Tapi kegelapan adalah sekutu goblin.
Tidak ada orang yang bisa menghindar dari anak panah yang terbang tiba-tiba di balik kegelapan.
“Hmmph.”
Dengan dengusan mengejek, pria itu memotong anak panah itu di udara dengan satu tebasan.
Tidak dapat mencerna apa yang sudah terjadi, goblin kedua menerjang pria tersebut. Makhluk itu membawa satu-satunya senjata yang dia miliki, pisau berkarat. Dia melihat celah armor pada pundak pria itu, dan menusuknya.
“Tidakkk!”
Priestess berteriak— tapi tidak ada suara yang lain. Serangan goblin hanya menghasilkan suara pelan gesekan antara metal.
Pisau itu telah dihentikan oleh sebuah baju besi yang melapisi tubuh pria itu di bawah armor kulitnya.
Goblin yang bingung berusaha menekan lebih keras. Dan pendatang baru ini memanfaatkan kesempatan itu.
“GAYOU?!” teriak goblin di saat pria itu menghantamkan perisainya ke arah goblin dan menekannya ke batu gua.
“Satu.....” kata pria itu dengan dingin.
Arti katanya semakin jelas ketika dia menggunakan obornya untuk menyumpal wajah goblin.
Teriakan yang memekikkan telinga, dan aroma daging yang terbakar mengisi keheningan gua.
Goblin berusaha melepaskan diri sekuatnya, namun tertahan oleh perisai. Dia bahkan tidak bisa menyentuh wajahnya sendiri.
Pada akhirnya dia tidak bergerak, tubuhnya yang tak bernyawa tergeletak di tanah begitu saja. Pria itu memastikkan bahwa dia benar-benar tidak bergerak, kemudian melepaskan perisainya.
Terdengar suara desis daging terbakar pada mayat goblin di tanah tersebut.
Pria itu memberikan sebuah tendangan pada monster tesebut, menggulingkan tubuh monster itu. Kemudian melangkah maju ke dalam gua.
“Berikutnya.”
Itu merupakan pemandangan yang tidak biasa, dan Priestess bukanlah satu-satunya yang ketakutan.
Goblin dengan panah tanpa disadarinya mengambil satu langkah mundur, bersiap melarikan diri meninggalkan temannya. Keberanian adalah kata yang tidak dimiliki dalam kamus goblin.
Namun di belakangnya terdapat Priestess.
Priestess menghembuskan nafasnya dengan kuat dan kali ini dia dapat bergerak. Dia memang memiliki panah di pundaknya, seekor goblin di depannya, kakinya yang sudah tidak sanggup lagi, dan rekannya yang jadi beban, tapi dia tetap bergerak.
Dengan tanganya yang bebas, Priestess memukulkan tongkatnya ke arah goblin.
Itu adalah gerakan yang tidak ada artinya, hanyalah gerakan yang berdasarkan insting.
Tapi itu sudah cukup untuk membuat goblin tidak bergerak untuk sesaat.
Dan dalam waktu yang sesaat itu, makhluk tersebut berpikir dengan keras tentang apa yang harusdilakukannya, namun sebelum dia dapat memutuskan keputusannya, dia terhemaps menghantam batu yang di dinding, terdorong oleh pedang yang dilempar warrior berarmor.
Setengah dari kepalanya masih menempel di dinding, sedangkan setengahnya lagi terjatuh di tanah.
“Dua.”
Pertarungan sengit telah usai, dia menginjakan sepatu bootnya ke sebuah mayat goblin.
Dia berlumuran dengan darah sang monster dari helmnya yang kotor hingga armor kulit dan baju besi buatan yang menutupi seluruh tubuhnya.
Sebuah perisai kecil terikat di lengan kirinya, dan di lengan satunya memegang sebuah obor yang menyala dengan terangnya.
Kakinya menahan mayat makhluk itu, dia menunduk dengan tangan kirinya dan dengan santai mencabut sebuah pedang dari tengkorak makhluk itu. Itu adalah pedang yang terlihat murahan, panjangnya sangatlah aneh dan penuh berlumuran dengan otak goblin.
Terduduk di tanah, terdapat sebuah anak panah pada pundaknya, seorang gadis muda yang kurus bergetar ketakutan. Wajahnya yang manis dihiasi rambut panjang berkilau warna emas, menjadi berantakan dikarenakan air mata dan keringat.
Tangannya yang kurus, kakinya– keseluruhan tubuhnya yang indah terbalut dalam sebuah jubah seorang Priestess. tongkatnya yang dia pegang berbunyi, sebuah cincin yang bergantung pada tongkat itu berbenturan satu sama lainnya seirama dengan tangannya yang gemetar.
Siapakah pria yang ada di depannya ini?
Penampilannya yang sangat aneh, aura yang menyelimutinya, membuatnya berpikir jika dia sendiri adalah goblin—.  Atau mungkin sesuatu yang lebih buruk, sesuatu yang dia tidak ketahui.
“Si-siapa kamu.....?” tanya dia, menahan rasa takut dan sakit.
Setelah beberapa saat, pria itu menjawab, “Goblin Slayer.”
Seorang pembunuh. Bukan seekor naga ataupun vampir. Namun monster paling rendah : Goblin.
Normalnya, nama ini akan terdengar lucu. Namun bagi sang Priestess saat itu, nama ini sangatlah tidak lucu.
******
Apa yang harus di katakannya pada pria ini— Goblin Slayer— pikirnya sambil duduk terbengong, melupakan rasa sakit yang ada di pundaknya. Pria itu berjalan mendekat hingga dia dapat melihatnya. Membuat Priestess takut dan gemetar.
Bahkan sekarang, dengan jarak sedekat ini dan obor yang menyala meneranginya, wajahnya masih tersembunyi di balik pelindung kepalanya, dan Priestess tidak bisa melihat matanya. Seakan-akan armor tersebut memiliki kegelapan seperti gua ini.
“Kamu baru mendaftar?” tanya Goblin Slayer dengan pelan, menyadari plat rangking yang tergantung di sekitar lehernya. Dia juga memilikinya, berayun perlahan di tengah cahaya obor. Warna yang terpantul oleh cahaya itu adalah— tidak diragukan lagi, perak.
Priestess mengeluarkan suara “Oh...” dia mengetahui arti dari warna itu. Itu adalah peringkat ketiga tertinggi dari 10 level sistem  guild.
Hanya ada beberapa orang dalam sejarah yang mampu mencapai tingkat platinum, dan yang mencapai tingkat emas biasanya bekerja untuk pemerintahan, Yang kemudian perak, mengindikasikan para petualang yang paling ahli pada bidang mereka masing-masing.
“Kamu....tingkat perak.” Dia adalah seseorang veteran yang tidak bisa di bandingkan dengan Priestess yang masih tingkat porselain.
“Aku yakin jika kalian menunggu sebentar lagi, akan ada petualang lainnya yang muncul.....”
Apakah dia petualang yang di maksud oleh gadis guild?
“Jadi kamu bisa bicara.”
“Huh?”
“Kamu beruntung.”
Tangan Goblin Slayer bergerak dengan cepat, tidak memberikan waktu bagi Priestess untuk bereaksi.
“Ap—? Ahh...!”
Kulitnya yang robek di saat anak panah itu dicabut, memberikannya rasa sakit yang membuatnya sulit bernapas. Darah yang mengalir dari lukanya keluar bersamaan dengan air matanya.
Dan dengan sikap tenang yang sama, dia merogoh isi tas pada ikat pinggangnya dan mengambil sebuah botol.
“Minum ini.”
Cairain hijau yang terlihat dalam sebuah botol kaca, mengeluarkan aura yang lembut—sebuah potion penyembuh.
Sebuah benda yang diinginkan oleh Priestess dan partynya, namun terkendala uang untuk membelinya.
Dia bisa saja mengambilnya, tetapi dia ingin memberikannya kepada Wizard yang terluka.
“P-pak!” terkejut suaranya dapat keluar, dia melanjutkan perkataannya. “Bi-bisa nggak kita berikan kepadanya? Keajaibanku nggak bisa—”
“Di mana dia terluka? Apa yang terjadi?”
“Se-sebuah pisau... di perutnya...”
“Pisau...”
Goblin Slayer meraba perut Wizard secara perlahan, dan ketika dia menekannya dengan jari, Wizard batuk darah. Melalui pemeriksaan singkatnya, tanpa mempedulikan Priestess yang memeluk erat Wizard, dia berkata datar, “ Percuma.”
Terkejut, Priestess menjadi pucat dan menelan liurnya, memeluk Wizard lebih erat.
“Lihat.” Goblin Slayer menarik dagger yang masih tersangkut pada baju besi di pundaknnya. Sebuah cairan berbahaya yang tidak diketahuinya, melumasi seluruh bagian pisau.
“Racun.”
“Ra-racun...?”
“Mereka meraciknya dengan air liur dan dicampur dengan tinja mereka dan beberapa tanaman yang ada di hutan.”
”Kamu beruntung.”
Priestess menelan liurnya lagi, mengerti penuh maksud dari perkataan Goblin Slayer.
Beruntung, anak panah itu tidak dilumasi racun. Beruntung, bukan goblin dengan pisau yang menyerangnya....
“Ketika racun itu masuk ke dalam sistem tubuhmu, pertama kamu akan kesulitan bernapas. Kedua lidahmu akan mulai keram yang akan menjalar ke seluruh tubuhmu. Kemudian kamu akan mengalami demam, hilang kesadaran, dan mati.”
Dia membalut pisau usang itu dengan sebuah kain dan memasukkannya ke dalam tas di ikat pinggangnya, kemudian dia bergumam di dalam helmnya. “Dasar makhluk hina.”
“Ji-jika dia teracuni, kita harus menyembuhkannya ...iya kan?”
“Jika maksudmu antiracun, aku mempunyainya. Akan tetapi racun itu sudah menyebar ke seluruh tubuhnya, sudah terlambat.”
“Ohh...!”
Pada saat itu, mata Wizard bergerak untuk sesaat, tersedak oleh darah di tenggorokannya dan dengan bibir yang bergetar, dia mengucap sebuah kalimat tanpa suara. “...nuh...ku...”
“Aku mengerti.”
Dengan cepat Goblin Slayer menyayat leher Wizard.
Wizard tersentak dan mengeluarkan desahan halus, kemudian batuk darah dan mati.
Memeriksa pedangnya, Goblin Slayer mendecakkan lidahnya setelah mengetahui bahwa pedangnya sudah menjadi tumpul karena lemak.
“Jangan sedih.” Katanya.
“Gimana kamu bisa ngomong seperti itu?!” Priestess berteriak. “Mungkin...mungkin kita masih bisa... menyelamatkannya...,” dia memeluk erat tubuhnya yang sudah tidak bernyawa.
Tapi—
Dia tidak bisa melanjutkkan perkataannya. Apakah Wizard memang sudah tidak dapat ditolong? Dan jika iya, apakah membunuhnya merupakan sebuah kebaikan? Priestess tidak tahu jawabanya.
Yang dia tahu, dia belum mendapatkan keajaiban antiracun, yang dapat menetralisir racun. Ada antiracun disini, akan tetapi itu adalah milik pria itu dan bukanlah hak dia untuk memberikkannya pada Wizard. Priestess terduduk di lantai, tidak sanggup meminumnya ataupun berdiri.
“Dengar,” kata Goblin Slayer. “Makhluk ini tidaklah cerdas, tapi mereka tidak bodoh juga. Paling tidak mereka cukup pintar untuk mengincar pembaca mantra duluan.” Kemudian dia menunjuk.  “Lihat kesana.”
Bergantung pada dinding, adalah seekor tikus mati dan sebuah bulu sayap gagak. “Itu adalah goblin totem, ada shaman disini.” (TL note shaman = dukun)
“Shaman...?”
“Kamu tidak tahu tentang shaman?”
Priestess menggelengkan kepalanya.
“Mereka pembaca mantra, lebih jago dari temanmu ini.”
Goblin pembaca mantra. Priestess tidak mengetahui akan hal itu, jika saja dia tahu, mungkin saja partynya masih akan tetap hidup.
Tidak.
Dia menepis pikiran itu, walaupun party mereka mengetahui ada shaman disini, mereka akan menilai bahwa shaman bukanlah musuh yang harus ditakuti. Goblin sangatlah lemah, mereka adalah monster untuk pemula.
Atau, itulah yang dia percaya sampai saat pagi itu.
“Apa kamu melihat yang besar?” Goblin Slayer mengamati wajah Priestess yang terduduk.
Kali ini—sedikit saja—Priestess dapat melihat matanya. Dingin, seperti mata mekanikal yang bersinar di balik helm kotor itu.
Tubuh Priestess kaku, merasa tidak nyaman oleh tatapan Goblin Slayer dari dalam helm kotor itu. Kemudian dia teringat adanya air hangat di antara kakinya.
Dia yang telah diserang goblin, menyaksikkan temannya terbunuh, dan hanya dia yang selamat.
Terasa tidak nyata.
Rasa sakit pada pundaknya, dan rasa malu karena mengompol tidak bisa dipungkiri.
“Y- ya tadi ada satu.... kayaknya.... aku hanya berlari sekuat tenagaku...”
Dia menggelengkan kepalanya, mencoba untuk mengingat kenangan buruk itu.
“Itu hobgoblin. Mungkin mereka mengambil seekor pengelana sebagai seorang penjaga.”
“Hob... maksudmu Peri bumi?”
“Keluarga jauh.”
Goblim Slayer memeriksa senjata dan armornya, kemudian berdiri. “Aku akan menyusuri gua ini, aku harus mengatasi mereka di sini.”
Priestess melihat Goblin Slayer yang menatap ke arah kegelapan gua.
“Apa kamu bisa kembali sendiri? Atau kamu mau menunggu disini?”
Dia mengenggam erat tongkatnya dengan lengannya yang lelah dan memaksa kakinya yang bergetar untuk berdiri dengan titik air mata yang terjatuh.
“Aku... ikut...denganmu...!”
Hanya itu satu-satunya pilihan, dia tidak sanggup untuk kembali sendiri ataupun ditinggal sendirian.
Goblin Slayer mengangguk. “Kalau begitu, minum potionnya.”
Di saat Priestess meminum obat pahit itu, rasa panas di pundaknya mulai memudar. Potion ini mengandung setidaknya 10 macam tanaman dan tidak akan menyembuhkan secara total, hanya mengurangi rasa sakit.
Priestess menghela napas lega. Ini kali pertamanya meminum potion.
Goblin Slayer yang mengamatinya minum. “Baiklah,” katanya, dan dia mulai berjalan masuk dalam gua. Tidak ada keraguan dalam langkahnya, dia tidak pernah melihat ke belakang. Priestess berusaha mengikutinya, takut ditinggalkan olehnya.
Selama mereka berjalan, Priestess melihat ke belakang, mayat Wizard yang terbaring di tanah.
Tidak ada yang bisa dikatakan oleh Priestess. Mengigit bibirnya keras dan menundukkan kepalanya hormat dan bersumpah akan kembali lagi untuk temannya.
*****

Entah mengapa, mereka tidak menjumpai satu goblin pun dalam perjalanan pendek mereka dalam gua. Akan tetapi mereka banyak menemukan potongan daging yang tersebar di mana-mana. Mungkin itu adalah daging manusia, tidak ada yang tahu. Terdapat cukup banyak darah yang dapat membuat perut mual ditambah dengan berbagai macam campur isi perut yang tersebar.
“Err, eeuugghh...”
Priestess menemukan badan seorang Warrior dan secara refleks berlutut dan muntah.
“Sembilan...” Goblin Slayer mengangguk, menghitung jumlah mayat goblin tanpa terganggu pemandangan sekitar mereka.
“Dilihat dari ukuran sarang mereka, kemungkinan besar masih tersisa setengah lagi.”
Dia mengambil pedang dan pisau dari tubuh Warrior, dan mengantungnya pada ikat pinggangnya. Dia memeriksa mayat korban goblin lainnya, namun tidak menemukan sesuatu yang memuaskannya.
Priestess membersihkan mulutnya, memberikan tatapan menegur, namun Goblin Slayer tidak berhenti.
“Berapa jumlah kalian?”
“Apa?”
“Gadis guild mengatakan ada beberapa petualang amatir yang berburu goblin.”
“Kami ada berem—Oh!” Priestess berteriak. membersihkan mulutnya lebih cepat dengan dua tangan, “An-anggota partyku yang lain...!” bagaimana mungkin dia bisa lupa?
Dia tidak menemukan tubuh Fighter. Fighter yang mengorbankan dirinya, mengalami siksaan yang tak terbayangkan, tidak ditemukan di manapun.
“Gadis?”
“Ya...”
Goblin Slayer mendekatkan obornya, dan dengan seksama memeriksa tanah gua. Terdapat jejak kaki baru, darah, cairan kotor, dan jejak sesuatu yang ditarik di tanah.
“Sepertinya mereka membawa dia ke bagian lebih dalam. Aku tidak tau apa dia masih hidup atau tidak,” katanya sambil memeriksa beberapa helai rambut yang terjatuh.
Priestess terkejut, “Kalau begitu kita harus selamatkan dia—”
Tapi Goblin Slayer tidak menjawab. Dia menyalakan obor yang baru, membuang yang lama ke samping. “Goblin memiliki penglihatan malam. Tetap nyalakan, kegelapan adalah musuh kita....dengar.”
Dia menurutinya, dan membuka telinganya mencari suara.
Dari dalam kegelapan, jauh dari jangkauan obor terdengar suara langkah. Slap-slap-slap.
Goblin! Kemungkinan datang untuk memeriksa cahaya dari obor.
Goblin Slayer mengambil salah satu pisau dari ikat pinggangnya dan melemparnya ke dalam kegelapan.
Terdengar suara kasar yang menembus sesuatu. Tubuh goblin berguling masuk dalam jangkauan obor yang redup. Ketika dia melihatnya, Goblin Slayer menerjang ke depan dan menusukkan pedangnya pada jantung makhluk itu. Goblin itu mati tanpa suara, karena sebuah pisau menancap di tenggorokkannya. Kejadian ini berlangsung terlalu cepat untuk diikuti.
“Sepuluh.”
Selagi Goblin Slayer menghitung, Priestess melihat ke dalam kegelapan dan bertanya dengan malu, “Kamu bisa melihat di kegelapan juga?”
“Hampir.”
Goblin Slayer tidak ingin repot-repot mengambil pisau tumpul dari mayat goblin itu. Sebagai gantinya, dia mengambil pedang yang dipakai Warrior sebelumnya, mendecakkan lidahnya setelah dia menyadari bahwa pedang itu terlalu panjang untuk gua sempit ini.
Selanjutnya dia mengambil sebuah tombak dari goblin yang dia bunuh, yang di potong dari tulang binatang. Tapi, tombak bagi seekor goblin merupakan sebuah pisau yang sedikit panjang bagi orang dewasa.
“Hanya latihan, aku tau betul dimana letak leher mereka.”
“Latihan? Berapa lama latihan....?”
“Lama.”
“Lama?”
“Kamu ini banyak tanya ya?”
Priestess terdiam, menundukkan kepalanya malu.
“Apa yang bisa kamu gunakan?”
“Maaf?” dia menaikkan kepalanya lagi, tidak mengerti apa maksud perkataannya.
Goblin Slayer tidak pernah mengalihkan pandangannya dari dalam gua selama mereka berbicara.
“Keajaiban apa?”
“Aku punya penyembuhan kecil dan cahaya suci, Pak.”
“Berapa kali pemakaian?”
“Tiga secara keseluruhan, aku...aku punya dua lagi.” Itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, tapi Priestess merupakan salah satu pemula dengan pencapaian tinggi. Pencapaian yang diperoleh dari berdoa pada dewa, membuat petisi dan dihadiahi keajaiban. Dan kemudian, tidak semua orang sanggup untuk menyatukan jiwanya dengan dewa berulang-ulang kali. Itu membutuhkan pengalaman.
“Itu lebih dari yang aku kira,” katanya. Dengan nada yang penuh wibawa dan tenang tanpa menunjukkan emosi sama sekali. Priestess tidak tahu apakah itu pujian atau tidak.
“Gunakan cahaya suci. Penyembuhan kecil tidak ada gunanya di sini. Jangan habiskan keajaibanmu untuk itu”
“Ba-baik pak...”
“Yang barusan kita bunuh adalah seekor pengintai. Kita ada di jalur yang benar”
Dengan ujung tombaknya dia menunjuk ke bagian dalam terowongan gua. “Pengintai mereka tidak akan kembali. Begitu juga mereka yang menyerang partymu, aku sudah menghabisi mereka.”
Priestess diam.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Apa?”
“Jika kamu goblin, apa yang akan kamu lakukan?”
Pertanyaan yang tidak diduga. Priestess meletakkan jari mungilnya ke dagu dan berpikir keras. Apa yang akan dilakukannya jika dia seekor goblin?
Tangannya yang pernah ditolong oleh pihak kuil, terlalu putih untuk seorang petualang.
“...siapkan penyergapan.”
“Benar sekali,” kata Goblin Slayer dengan nada tenang, “dan kita akan masuk ke dalam penyergapan itu. Bersiaplah.”
Priestess memucat tetapi mengangguk.
Goblin Slayer mengeluarkan sebuah gulungan tali dan pasak kayu, dan memasangnya di sekitar kakinya.
“Aku punya mantra untukmu,” katanya tanpa mengalihkan pandangannya pada pekerjaannya.”Ingat kalimat ini, pintu terowongan. Kamu melupakannya, kamu mati.”
“Ba-baik, Pak!” Priestess menggenggam erat tongkatnya dengan kedua tanganya.
 Pintu terowongan, pintu terowongan, berulang kali diucapkan olehnya.
Satu-satunya yang bisa diharapkan olehnya adalah pria misterius ini yang memanggilnya dirinya sendiri Goblin Slayer. Jika dia meninggalkan Priestess, maka Priestess, Fighter, dan wanita yang diculik akan mati.
Tidak lama kemudian, Goblin Slayer selesai melakukan persiapan. “Ayo pergi.”
Priestess mengikutinya secepat dia bisa, melewati tali dan menuju terowongan.
Terowongan ini cukup kokoh, namun bukanlah sesuatu yang dibangun untuk serangan tiba-tiba. Dengan setiap langkah, tanah jatuh dari akar pohon yang menembus langit-langit, tapi tidak ada tanda akan longsor. Jalan menurun yang bertahap membuat Priestess gelisah. Ini bukanlah tempat untuk manusia.
Seharusnya dia menyadari dari awal, dan sekarang dia sudah menyadari bahwa itu semua sudah terlambat. Goblin menghabiskan waktunya di bawah tanah. Benar, mereka tidaklah seperti dwarf, tapi kenapa dia dan yang lainnya sangat meremehkan goblin hanya karena mereka tidak kuat?
Sudah terlambat untuk menyesal.
Priestess melangkah hati-hati dengan cahaya lemah obor. Dia menatap punggung Goblin Slayer, langkahnya tidak menunjukkan keraguan atau rasa takut sama sekali. Apa dia tahu apa yang ada di depannya?
“Kita hampir sampai.” Dia berhenti tiba-tiba. Priestess hampir saja menabraknya. Dia menegakkan tubuhnya dengan cepat sebelum Goblin Slayer menoleh ke belakang dengan gerakan mekanikalnya.
“Sekarang, cahaya suci.”
“Ba-baik, Pak. Aku siap.... Kapanpun juga.”
Dia mengambil napas dalam dan menghembuskannya lagi. Kemudian dia memegang erat tongkatnya untuk bersiap, demikian juga Goblin Slayer, mengatur genggamannya pada obor dan tombak.
“Lakukan.”
“O ibunda bumi yang penuh ampunan, limpahkanlah cahaya sucimu pada kami yang tersesat di kegelapan...”
Goblin Slayer menerjang maju seketika Priestess mengangkat tongkatnya. Ujung tongkat mulai bercahaya dengan cahaya menyilaukan layaknya matahari. Keajaiban sang Ibunda Bumi.
Dengan cahaya di belakangnya, Goblin Slayer berlari menuju aula monster.
“GAUII?”
“GOOORRR?”
Terdapat enam goblin, beserta satu yang besar dan satu yang duduk di kursi menggunakan sebuah tengkorak di kepalanya. Para monster menyipitkan mata mereka karena cahaya putih murni yang tiba-tiba dan berteriak kebingungan.
Dan juga, di sana terbaring tak bergerak beberapa wanita muda.
Hal-hal yang suram tidak ragukan lagi terjadi di ruangan ini.
“Enam goblin, satu hob, satu shaman, total delapan.” Goblin Slayer menghitung musuhnya tanpa terdengar sedikitpun rasa takut pada suaranya.
Tentu saja, tidak semua goblin menutup mata mereka.
“OGAGO..GAROA..” Goblin shaman yang duduk di singgasana membaca mantra yang tidak bisa di mengerti.
“GUAI?!” konsentrasinya pecah oleh tombak Goblin Slayer yang merobek tembus perutnya. Dia berteriak kesakitan, dan terjatuh ke belakang kursinya.
Para goblin berdiri tidak bergerak menyaksikkan tragedi ini. Goblin Slayer memanfaatkan kesempatan ini. Pedang Warrior berbunyi ketika Goblin Slayer menariknya dari sarung pedangnya.
“Baiklah, ayo kita pergi dari sini.”
“Apa?! Ba-baik pak!”
Bahkan di saat Goblin Slayer berbicara, Goblin Slayer sudah melesat berlari. Terkejut akan kecepatannya dan tidak tau apa yang harus dilakukan, Priestess mengikutinya. Penglihatan goblin yang telah kembali, akhirnya mengejar mereka.
Dengan cepat Goblin Slayer sudah berada jauh di depan Priestess. Apakah dia sudah terbiasa mengambil peran di garis depan dan belakang, atau ini adalah hasil murni dari latihan dan pengalaman? Apapun itu, dia yang dilapisi armor kulit dan baju besi, dan penglihatannya yang terbatasi oleh helm dapat berlari dengan cepat dan lincah. Sungguh menakjubkan di mata Priestess.
Dan ketika dia melihat Goblin Slayer melompat di mulut terowongan, barulah dia teringat kalimat mantra itu. “Oh— gawat!” dia nyaris mengenai tali yang ada di tanah. Goblin Slayer sudah merapatkan dirinya pada dinding, Priestess dengan cepat melakukan hal yang sama pada dinding sebelah.
“GUIII!”
“GYAA!!”
Mereka dapat mendengar teriakan kemarahan mereka dan suara kaki goblin yang datang menuju celah ini. Priestess mencoba mengintip, dia melihat sesuatu yang besar berada di depan gerombolan— hobgoblin.
“Sekarang! Lakukan lagi!.” Goblin Slayer berteriak kepada Priestess.
Priestess mengangguk, dan mengarahkan tongkat simbol dari kuilnya ke arah terowongan, dan membaca ucapan doa tanpa terbata-bata.
O ibunda bumi yang penuh ampunan, limpahkanlah cahaya sucimu pada kami yang tersesat dalam kegelapan...”
Ibunda Bumi sangatlah penuh ampunan bagi mereka, namun tidak bagi goblin, yang tersilaukan oleh cahayanya.
“GAAUU?!”
Goblin yang terbutakan oleh cahaya, tersandung oleh sebuah tali dan terjatuh.
“Sebelas.” Goblin Slayer dengan cepat menghujamkan pedangnya pada goblin yang terjatuh menuju otak makhluk itu, makhluk itu kejang-kejang sesaat kemudian mati.
“Ya-yang lainnya hampir sampai!” teriak Priestess. Dia telah kehabisan keajaiban, ritual pengabungan jiwa yang berulang-ulang telah membuat tubuhnya kelelahan. Wajahnya memucat akibat lelah berlebihan.
“Aku tau.” Goblin Slayer mengeluarkan sebuah botol dan melemparnya mengarah tubuh hobgoblin. Botol itu pecah dan mengeluarkan cairan hitam kental dari dalam botol. Aromanya yang tidak mengenakkan membuat Priestess berpikir itu adalah racun yang tidak dikenalnya.
“Sampai jumpa di neraka.”
Goblin Slayer menendang tubuh hob yang basah itu masuk ke dalam terowongan. Para goblin yang tidak menyangka ada sebuah gulungan daging besar yang berguling ke arah mereka, menusukkan pedang mereka ke arahnya.
Namun ketika mereka sadar bahwa itu adalah penjaga mereka, mereka panik. Mereka mencoba menarik senjata mereka yang tertanam dalam tubuh hob yang terlumasi oleh cairan hitam....
“Dua belas, tiga belas.”
Mereka sudah terlambat.
Tanpa rasa penyesalan, Goblin Slayer melempar obornya mengarah ke dalam terowongan. Terdengar suara  whoosh di saat mayat hobgoblin itu terbakar api. Memangsa dua korban lain bersamanya.
“GYUUUUUIIIAAAA!!” teriak goblin yang menggeliat di tanah, terbakar dan berguling ke bawah terowongan. Priestess tersedak oleh aroma daging yang terbakar tepat di depannya.
“A-apa itu?”
“Beberapa bilang minyak medea, yang lain petrolum. Itu bensin.” Dia mendapatnya dari seorang alchemist. Dia menambahkan, “Sangat mahal hanya untuk efek yang sederhana.”
“Ta-tapi di dalam—sana, wanita yang di culik—!”
“Api itu tidak akan menyebar dengan hanya beberapa tubuh yang dibakarnya. Jika mereka masih hidup di dalam, ini nggak akan membunuh mereka,” katanya, “dan kita masih belum kehabisan goblin.” Priestess mengigit bibirnya lagi.
“A-apa kamu mau masuk lagi?”
“Nggak. Ketika mereka sudah nggak bisa bernapas, mereka akan keluar dengan sendirinya.”
Pedang Goblin Slayer telah hilang, tersangkut pada kepala hob yang tebakar di bawah terowongan. Dia juga tidak ingin bertarung dengan pedang yang berlumuran dengan otak.
Dia mengambil sebuah senjata yang di jatuhkan hobgoblin, sebuah kapak batu. Itu hanyalah sebuah batu yang diikatkan pada sebuah stik—primitif dengan kata lainnya. Tapi itu juga membuatnya mudah digunakan.
Goblin Slayer mengayunkannya dengan cepat di udara, mengetesnya. Dan menyadari dia dapat menggunakannya menggunakan satu tangan dengan mudah.
Terpuaskan, dia mengeluarkan satu obor lagi dari dalam tasnya.
“Ini,” kata priestes menawarkan sebuah korek. Namun Goblin Slayer hampir tidak menoleh kepadanya.
“Makhluk ini tidak pernah berpikir seseorang akan menyiapkan penyergapan untuk mereka,” Dia berkata.
Priestess tidak menjawab.
“Jangan khawatir,” Goblin Slayer mengayunkan kapaknya dengan terkoordinasi. “sebentar lagi akan berakhir.”
Dia benar.
Dia mengatasi semua goblin yang muncul dari balik asap dan api. Satu tersandung tali yang kemudian kepalanya hancur, yang kedua melompati tali, hanya untuk tersayat oleh kapak batu yang sudah menunggu, yang ketiga pun juga sama. Kapak itu sudah tidak mampu menembus tubuh makhluk keempat, jadi Goblin Slayer mengambil pentungan makhluk itu.
“Tujuh belas. Kita masuk.”
“Ba-baik, Pak!” Priestess dengan buru-buru mengikuti Goblin Slayer yang melangkah maju masuk ke dalam gumpalan asap.
Merupakan pemandangan yang mengerikan di dalam aula. Hobgoblin yang terbakar sampai habis, shaman yang terbaring dengan tombak yang menembus tubuhnya, para wanita yang terbaring di tengah-tengah kotoran di tanah.
Sesuai perkiraan Goblin Slayer, asap itu mengambang di atas mereka.
Namun Priestess menyadari bahwa berhasil selamat terkadang bukanlah suatu berkah ketika dia menemukan tubuh Fighter.
“Ughh...eurrggh...”
Tidak ada lagi yang tersisa di perut Priestess. Dia hanya merasakan sensasi pahit dan terbakar di tenggorokkannya dan air matanya yang mulai mengalir lagi.
“Baiklah kalau begitu.”
Di saat Priestess muntah, Goblin Slayer menginjak-injak api yang menjalar dengan bensin di tanah.
Goblin Slayer berjalan menuju shaman yang tertusuk. Goblin itu terlihat terkejut oleh kematiannya sendiri. Bayangan Goblin Slayer yang berdiri di depannya terpantul di matanya.
“Sudah kuduga.” Kata Goblin Slayer, dengan segera mengangkat pentungannya.
“GUI?!” shaman terkejut, di saat dia melihat pentungan tersebut mengarah turun padanya. Kali ini dia benar-benar mati.
Membersihkan otak yang tercecer di pentungannya, Goblin Slayer bergumam “Delapan belas, yang berlevel tinggi benar-benar kuat”
Goblin Slayer mulai menendang kasar pada singgasana yang sekarang sudah tak bertuan. Priestess terkejut kembali ketika dia menyadari bahwa itu terbuat dari tulang manusia.
“Trik tipikal goblin, lihat.”
“A-apa?” Priestess mengusap mata dan mulutnya di saat dia mendongakan kepalanya. Tepat di belakang singgasana terdapat satu papan kayu usang yang di gunakan goblin sebagai pintu.
Sebuah tempat tersembunyi— atau hanya itu saja? Tongkat Priestess berbunyi dengan genggamannya.
“Kamu beruntung.”
Di saat Goblin Slayer menarik papan itu, terdengar teriakan bernada tinggi, bersamaan dengan tumpukan hasil jarahan. Empat anak goblin yang ketakutan terdapat di dalam.
“Makhluk ini cepat berkembang biak. Kalau partymu datang lebih telat, akan ada lima puluh dari mereka dan mereka akan menyerang secara bergerombol.”
Ketika dibayangkan— apa yang akan terjadi pada mereka dan semuanya— Priestess merinding Priestess membayangkan beberapa lusin goblin memperkosanya dan mengandung anak goblin....
Menatap mereka yang ketakutan, Goblin Slayer mengatur pegangannya pada pentungan.
“Kamu...kamu bunuh anaknya juga?” dia bertanya, namun dia sudah tau jawabannya. Dia terkejut akan kedataran suaranya sendiri di saat dia mengatakan itu. Apakah hatinya, emosinya, sudah mati rasa dikarenakan realita yang mengerikan? Dia ingin hal ini menjadi benar, untuk kali ini saja.
“Tentu saja,” dia berkata dengan tenang dan mengangguk.
Dia pasti sudah melihat hal seperti ini berkali-kali.
Dia sudah mengetahui alasan dia memanggil dirinya sendiri “Goblin Slayer”.
“Kita menghancurkan sarang mereka. Mereka tidak akan melupakannya apalagi memaafkannya, dan yang berhasil selamat dapat belajar dari ini, dan menjadi lebih pintar.” Dia berkata sambil mengangkat tongkatnya yang masih diselimuti ceceran otak shaman. “Nggak ada alasan untuk biarkan mereka hidup.”
“Walaupun mungkin...ada goblin yang baik?”
“Goblin yang baik?” dia menghembuskan napasnya seolah-olah dia yang tidak pernah terpikir oleh ide itu.
“Mungkin saja... jika kita mencari, tapi...”
Dia tidak berkata apapun dalam beberapa saat, kemudian dia berbicara.
“Satu-satunya goblin baik adalah goblin yang tidak pernah keluar dari lubang busuk mereka.”
Dia mengambil langkah.
“Dengan ini dua puluh dua.”
                                                                                *****
Ini adalah cerita yang sudah biasa kamu dengar di mana-mana.
Sebuah desa di serang goblin, beberapa wanita diculik.
Beberapa pemula mencoba untuk membasmi para goblin sebagai quest pertama mereka.
Tapi goblin yang terlalu banyak, membuat party mereka terbantai.
Atau satu berhasil selamat dan menyelamatkan para wanita,
Dalam masa mereka diculik, para wanita dipaksa menjadi mainan para goblin.
Diliputi rasa takut, mereka meminta perlindungan pada kuil.
Seseorang yang selamat, secara perlahan hilang dari dunia, tidak pernah meninggalkan rumahnya lagi.
Di dunia ini, hal seperti ini adalah hal sehari-hari yang terjadi layaknya matahari terbit.
Benarkah? Priestess tidak yakin. Apakah hal seperti ini adalah hal yang sudah biasa?
Dan jika memang benar, jika dia mengetahui ini sebelumnya, dapatkah dia mempercayai Ibunda Bumi?
Pada akhirnya hanya dua hal yang dia sudah yakin.
Yaitu, dia akan terus melanjutkan sebagai petualang.
Dan Goblin Slayer membasmi semua goblin yang ada di sarang mereka.
Namun, itu juga tidak lebih dari sebuah dongeng yang sering diceritakan.