BENTUK IMPIAN YANG MEREKA LUKISKAN BERSAMA
(Part 1)
(Translator : Blade; Editor : Hikari)

Tanggal 1 bulan September, hujan turun terus sejak pagi.
Tanggal yang dijanjikan sudah tiba, tapi Iori tidak keluar dari kamar. Entah sudah dipanggil berapa kali, tapi pintu kamar no.103 itu tidak terbuka.
Sorata hanya bisa pasrah berharap kalau besok mungkin ia akan keluar dari kamar dan pergi ke sekolah bersama Mashiro, Kanna dan Rita.
Tidak ada perasaan rindu meski sudah 40 hari tidak datang ke kelas. Ruangan kelas 3 sangat tenang, tidak ada seorangpun yang membahas tentang liburan mereka dan menjadi ramai. Musim panas ini, banyak sekali murid yang terus belajar untuk mempersiapkan dirinya untuk ujian universitas yang akan datang.
Selain itu, yang sering Sorata dengar hanya tentang gosip seorang gadis berambut pirang yang pindah ke jurusan seni. Ada yang bilang ia teman Mashiro, juga ada yang bilang ia tinggal di Sakurasou.
Tentu, Sorata yang tinggal di Sakurasou itu menjadi pusat perhatian dan ditanyai berbagai pertanyaan. ………Sejujurnya tidak ada waktu bagi Sorata untuk bersantai seperti ini, namun ia tidak dapat berbuat apapun.
Walaupun Iori masih begitu, tapi sore ini adalah rapat tentang proses pengerjaan ‘Game Camp’.
Sorata rasa dirinya bisa mengikuti rapatnya dengan tenang, tapi semua itu hancur karena kejadian kemarin. Pengerjaan game yang sampai kemarin dia kira masih lancar-lancar saja, tiba-tiba hancur karena beberapa hal. Itu membuat Sorata sangat pusing.
Tapi, tidak akan ada yang berubah kalau hanya terus berdiam diri. Dengan pikiran seperti itu,Sorata pergi rapat.
Namun yang tidak disangka, ternyata rapat proses pengerjaan game itu berjalan lancar. Atau dengan kata lain, awal proses pengerjaan game ini membuat Totsuka dan Hayakawa terkejut.
“Pertama kali kerja dengan materi yang banyak itu biasanya akan membuat pemula kacau. Sejujurnya aku terkejut kalau proses pengerjaan kalian berjalan lancar-lancar saja.”
“Tapi, untuk ke depannya bagian musiknya masih belum tahu bagaimana………”
“Biarpun begitu, kalau soal kejadian kemarin, kurasa amati beberapa hari dulu.”
“Baik.”
Terhadap saran Totsuka, Sorata juga berpikir begitu. Ini bukanlah masalah apakah harus membuang Iori atau tidak.
“Kalau situasinya berubah lagi, hubungi saja aku, tidak perlu sungkan.”
Setelah mengatakan ini, rapat pertama yang menghabiskan waktu sejam ini berakhir.
Setelah diantar ke depan lift oleh Totsuka, lalu naik ke lift, ternyata ada seseorang di dalamnya, itu wajah yang tidak asing. Setelah menutup tombol ‘tutup’, Fujisawa Kazuki pun menyadari Sorata, dan membuka matanya dengan ‘oh’.
“Apa rapat untuk ‘Game Camp’?”
Fujisawa kemudian mengajak Sorata berbicara di lift yang sedang turun itu.
“Ah, ya.”
“………rasanya ekspresimu terlihat tidak senang.”
“Eh? Tidak, tidak begitu…….”
Sudah terlambat untuk menutupinya. Wajah Sorata tampak kaku di cermin lift.
Liftnya sampai dilantai 1.
“Kanda-kun, sekarang, ada waktu?”
Fujisawa kemudian bertanya dan melihat ke arah sini.
“Huh?”
“Ayo minum teh bersama-sama?”
Fujisawa menunjukkan senyum yang ramah. Tentu, Sorata tahu kenapa ia diajak seperti itu. Walalupun sesaat sempat berpikir ingin menolak, tapi tidak sopan juga, jadi terima saja.
Sorata kemudian dibawa ke toko kopi yang ada di sebelah gedung, Sorata duduk menunggu, dan Fujisawa membawa kopi dingin.
“Ah, maaf, sudah merepotkan.”
“Santai saja, aku masih mampu untuk mentraktir adik kelas yang berasal dari sekolah yang sama denganku kok, jadi tidak apa.”
Benar juga. Kazuki adalah ppembuat game yang terkenal, juga presiden perusahaan yang punya nama. Akhir-akhir ini, sepertinya penjualan perusahaannya sedang bagus-bagusnya.
“Apa pengerjan gamemu mengalami kesulitan?”
Kazuki kemudian mulai menikmati kopinya dan dengan ramah masuk ke topik utama.
“Peka sekali…….”
“Bagaimanapun aku sudah berpengalaman juga.”
Ekspresinya sangat tenang.
“Fujisawa-senpai juga?”
“Tentu, tidak mungkin kau tidak mengalami sedikit pun kesulitan saat membuat game. Kalau benar-benar ada tim seperti itu, aku rasa itu bukanlah tim yang normal.”
“Mengapa?”
Tidak paham maksudnya, Sorata menunjukkan ekspresi yang sepert habis memakan sesuatu yang menjijikkan. Bukan karena kopinya pahit, mungkin karena pengerjaan gamenya seperti yang dibilang Kazuki.
"Yang namanya kerja sama tim itu terbentuk dari berbagai orang yang punya pikiran yang berbeda-beda. Aku rasa kalau suatu saat kalau berbeda pendapat itu wajar saja.”
“Apa Fujisawa-senpai dulu………seperti itu juga saat menantang ‘Ayo Membuat Game’?”
Seharusnya sudah 10 tahun lewat. Kazuki yang saat itu masih belajar di Universitas Seni Suimei menantang ‘Ayo Membuat Game’ bersama 3 temannya. Produk yang mereka hasilkan penjualannya tembus 50 ribu copy, saat itu mereka baru menyelesaikan kuliah mereka, lalu membuat perusahaan yang berdiri sampai sekarang. Fujisawa Kazuki yang merancangnya, Tsujida Kaoru sebagai programmer, Akira Oiso di bagian ilustrasi, dan Sakutaro Ninomiya bagian musik. Belakangan ini masih sempat melihat nama mereka di majalah, tapi, bagaimanapun Fujisawa Kazuki lebih terkenal daripada mereka.
“Entah sudah bertengkar berapa kali……..”
Kazuki tersenyum pahit, seperti sedang memikirkan kenangan dulu.
“Tsujida Kaoru yang pendiriannya tetap, ia sangat benci dengan resiko bug. Setiap kali membahas apa yang perlu ditambahkan, ia terus mengatakan idenya dari sudut pandangnya sendiri dan mengatakan kalau pikiranku kurang aman, lalu mulai memberi penjelasan selama berjam-jam padaku. Tapi, bagaimanapun pada akhirnya aku tetap akan mengatakan ‘aku paham maksudmu, tapi tetap perlu ditambahkan’, jadi pertengkaran pun terjadi.”
Kazuki yang menceritakan ini menunjukkan ekspresi yang seperti kangen akan semua itu. Sorata langsung menyadari alasannya.
“Kemarin, terhadap cara kerja proyek baru, kami membahas sampai beberapa jam, lalu akhirnya, Kaoru bilang ‘tidak bisa ya tidak bisa’  sampai hari ini, tapi setelah aku kembali ke perusahaan, aku tetap akan bilang ‘biarpun tidak bisa tetap akan kita lakukan’.”
“Biarpun kalian sudah membuat game bersama untuk waktu yang lama tetap sama seperti dulu, ya.”
“Tapi, aku rasa karena begitulah, lingkungan kerja kami terasa menyenangkan. Kalau semuanya tidak keberatan dengan ide perancang, dan menyelesaikan pekerjaan seperti robot, aku rasa kita akan kehilangan rasa puas saat kita menyelesaikannya.”
“Itu………biasanya setelah bertengkar, hubungan kita akan menjadi kacau, 'kan?”
Kemarin, setelah bertengkar dengan Ryuunosuke, rasanya tidak nyaman sekali.
“Itu pasti. Terutama saat sedang  berempat, saat kami tinggal di kos yang dianggap sebagai tempat kerja, dan makan tidur bersama, kami bahkan akan mulai bertengkar biarpun itu tidak berkaitan tentang game. Misalnya Akira Oisi dan Sakutaro Ninomiya yang duluan berkata ‘sebenarnya sudah daridulu aku ingin mengatakannya, aku tidak suka dengan caramu menggunakan sumpit, hati-hatilah kau’."
Sorata tidak tahan mendengarnya dan tertawa.
“Semua itu dianggap sebagai candaan sekarang, tapi kurasa dulu itu keadaan yang serius. Kalau sudah tidak mempercayai rekan 1 tim lagi, segalanya pasti tidak akan lancar. Cara menghilangkan rasa tidak percaya itu sangat susah. Kalau kau tidak bisa percaya dengan rekanmu, kau tidak akan bisa membuat game. Percaya dengan apa ia lakukan, juga membiarkan orang lain percaya dengan apa yang kita lakukan, karena perasaan inilah kita bisa menghasilkan game yang bagus. Biarpun kadang kita berpikir ‘sudah cukup sampai di sini’, nanti kita pasti akan berpikir ‘orang itu hebat sekali, aku harus melampauinya’.”
Kata-kata Kazuki dengan berat menimpa Sorata, Sorata percaya dengan Ryuunosuke, tapi apa Ryuunosuke mempercayainya…….ia berpikir terus, tapi tidak mendapatkan jawabannya.
“Terhadap pengerjaan game, biarpun pikirannya berbeda, kita tetap akan merasa ‘tidak bisa kalau tidak ada dia’. Karena begitulah, kerjasama antar sesama terbentuk, dan kejadian seperti pemula yang sudah tidak tahan rekan 1 tim nya itu sudah sering sekali kami dengar.”
Setelag mengatakan ini, telepon Kazuki pun berbunyi.
Sorata memberi pandangannya yang seolah menyuruhnya untuk mengangkatnya.
“Maaf.”
Setelah berkata begitu, Kazuki pun meninggalkan tempat duduknya dan mengangkat teleponya.
“Maaf, mungkin agak lama, tapi aku akan segera kembali.”
Apa itu panggilan dari timnya? Percakapan Kazuki juga tidak terdengar, dia hanya menjawab ‘ah, ah’.
Setelah 3 menit Kazuki pun kembali.
“Walaupun aku yang mengundangmu, tapi sekarang aku sangat sibuk jadi harus kembali ke perusahaan.”
“Tidak, aku yang seharusnya minta maaf………tidak, harusnya berterima kasih, padahal Fujisawa-san begitu sibuk, tapi masih meluangkan waktu untuk orang sepertiku.”
“Oh ya, Kanda-kun, kau berencana pergi seminar yang akan diadakan di Universitas Seni Suimei nanti tanggal 18 bulan September?”
“Hn?”
“Itu adalah seminar khusus alumni, jadinya nanti isinya tentang penceritaan kembali kenangan yang aku tidak tahu apakah bisa membantumu, tapi setidaknya aku sudah beritahu.”
“Aku pasti akan datang nanti.”
Biarpun harus melupakan tim yang sekarang, Sorata merasa ia harus hadir dalam seminar ini.
“Kalau begitu, sampai ketemu lagi.”
Setelah menghabiskan kopi dinginnya, Kazuki pun langsung pergi ke perusahaan.
Ini adalah sebuah percakapan yang sangat singkat, tapi Sorata mendapat banyak pelajaran dari itu.
“Proses pengerjaan game ternyata termasuk itu semua, ya.”
Tapi, tidak hanya membuat game. Di saat yang bersamaan mereka juga harus saling membangun kepercayaan, supaya ke depannya bisa menghasilkan game yang bagus, dan mendirikan perusahaan milik sendiri.
Sorata kembali ke Sakurasou saat hari sudah malam. Saat ia sedang mengganti pakaiannya Ryuunosuke datang ke kamar, lalu duduk di kasur. Seperti biasanya, ia sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya.
“Jadi bagaimana?”
Ia langsung bertanya tanpa basa-basi.
Tentu yang dia tanyakan itu adalah soal Iori.
“Aku merasa kondisi seperti itu tidak cocok berpartisipasi dalam pengerjaan game.”
“Aku akan menunggu Iori sampai ia membuat keputusan, dia pasti akan bangkit kembali.”
“Aku tidak tertarik dengan perasaan seperti itu.”
Ryuunosuke kemudian berjalan keluar kamar sambil kerkata begitu.
“Buktinya ada.”
Sorata kemudian menjawab dengan tenang.
“Bukti?”
Ryuunosuke yang menghentikan langkahnya itu kemudian meliaht ke Sorata.
“Sampai saat ini, Iori sudah sering sekali seperti itu. Setiap kali ikut lomba, selalu dibandingkan dengan kakaknya Saori, jadi permainan Iori tidak dianggap sebagai permainannya sendiri. Ia tidak dapat mendengar hasil penilaian miliknya sendiri…….dia selalu dikalahkan oleh kenyataan.”
“………….”
“Biarpun begitu, Iori juga tidak pernah menyerah dengan piano dan terus bertahan, tidak peduli sudah dikalahkan berapa kali. Ia tidak pernah menyerah dengan piano, biarpun menyesal, Iori juga tidak menyerah.”
Mungkin ini juga termasuk ‘perasaan’ yang dibilang Ryuunosuke. Biarpun begitu, kali ini Sorata berkata begitu juga ada alasannya, alasan yang dia percayai.
“Iori itu kuat, lebih kuat dariku.”
Sorata terus menyampaikan pikirannya pada Ryuunosuke, Ryuunosuke terus menatap ke Sorata, mungkin pikirannya berhasil disampaikan.
“Juga ada situasi di mana kau tidak akan bangkit lagi setelah kau terjatuh.”
Tapi, Ryuunosuke tetap berpegang pada pikirannya.
“Kalau tidak ada bukti kalau kali ini bukan situasi seperti itu, kita harus membuat penanggulangan.”
“……….benar, seperti yang Akasaka bilang.”
Kalau jujur saja ini beresiko, seperti yang dibilang Ryuunosuke, Iori sangat mungkin tidak balik lagi sekarang, tidak ada hal yang mutlak.
“Tapi, apa yang harus kita lakukan? Tidak semua yang bisa membuat lagu bisa cocok dengan kita.”
“Kalau penggantinya sih ada.”
Setelah Ryuunosuke berkata begitu, ia menunjukkan laptopnya.
Sorata melihat ke layarnya.
Yang membuat ia terkejut, yang ia lihat itu adalah halaman web Universitas Seni Suimei.
Itu petunjuk seminar.
Tanggal 18 bulan September, hari Minggu.
Sebuah konser kecil yang diadakan jurusan musik.
Di daftar pemainnya Sorata melihat nama yang tidak asing.
Himemiya Saori.
Itu kakaknya Iori. Harusnya ia sekarang kuliah di Australia, mungkin ia kembali ke Jepang karena sedang libur panjang.
“Akasaka, kau serius?”
Ryuunosuke malah ingin meminta kakak kandung Iori untuk menggantikan Iori.
“Kualitasnya pasti terjamin, apa kau keberatan?”
“Bukan itu yang kumaksud!”
Sorata merasa suaranya terdengar keras.
“Aku rasa ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil sekarang.”
Ryuunosuke tetap tenang seperti biasa, ini semakin membuat Sorata marah.
Suasananya menjadi tegang,  suasana yang Sorata benci ini mulai berkumpul.
Saat ini, terdengar langkah kaki dari luar kamar.
“Sorata.”
Itu Mashiro.
“Kau sudah pulang.”
“Ya.”
Ini balasan yang dingin.
“Selamat datang kembali.”
“………..maaf, aku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Akasaka, nanti baru kulanjutkan.”
“Hn.”
Di saat Mashiro berencana kembali ke kamarnya.
“Tidak perlu dilanjutkan nanti, kita sudah selesai berdiskusi.”
Tapi, Ryuunosuke menghentikannya.
“Kanda, batas tanggalnya tanggal 18 nanti. Kalau sampai saat itu si Iori belum bangkit kembali, aku rasa kita perlu untuk mendiskusikan ini bersama kakaknya, juga tidak ada jaminan ia akan menolak, jadi semakin cepat semakin bagus.”
Setelah menyampaikan isi pikriannya, Ryuunosuke langsung meninggalkan kamar Sorata tanpa menunggu jawaban Sorata, dan kembali ke kamar no.102, lalu terdengar suara pintu tertutup.
“Kenapa jadi seperti ini……….”
Sorata duduk di kasurnya dan mengacak-acak rambutnya.
“Sorata.”
“Ada apa?”
“Hn……..kali ini ingin nonton ini.”
Yang Mashiro genggam ditangannya itu adalah tiket bioskop pada tanggal 18 bulan September, tiketnya ada 2.
“Ah, itu………”
Judul filmnya ‘Snowflakes’
Itu adalah anime yang dibuat Misaki tahun lalu.
“Terkejutkah? Kouhai-kun!”
Lalu saat ini Misaki lari kemari.
“Akhirnya aku memulai debutku!”
Walaupun rasanya maksudnya mungkin berbeda, tapi terserah. Pokoknya hebat.
“Kali ini bukan diupload lagi ke web anime.”
“Awalnya si berpikir begitu, tapi setelah editornya bilang ‘ayo tayangkan ini di kota-kota lain’, jadi kubuat karena rasanya mungkin seru.”
Kota-kota yang dimaksud itu adalah Kyoto, Osaka, Nagoya, Fukuoka,dan Sapporo.
“Jadi tahun ini mulai tayang di bioskop. Aku sudah beri tiket ke Mashiron. Datang ya, nanti.”
“Hn, pasti.”
Di saat Sorata baru menjawab, Misaki sudah berlari keluar kamar.
“Sekalian beri no pants tiket bioskop sebagai hadiah!”
“Tu-tunggu, Misaki-senpai, tolong jangan buka!”
Suaranya berasal dari toi…….tidak, dari kamar mandi.
“Sorata, pergi nonton ini.”
Mashiro sekali lagi menunjukkan tiketnya.
“Hn, ya, tapi tanggal 18 siang, aku akan ke seminar Kazuki, jadi sore bisa?”
“Baik, diputuskan begitu.”
“Hn.”
Mashiro tersenyum dengan puas.
“Aku kembali membuat naskahku.”
Tersisa Sorata sendiri di dalam kamar.
Sorata dengan lemah baring dikasur.
Dan sekarang isi kepala Sorata dipenuhi soal pengerjaan game.
“Iori, tolong, aku ingin membuat game bersamamu!”