JARAK DI ANTARANYA
(Part 4)
 (Translator : Blade; Editor :Hikari)

Remedial hari kedua akhirnya selesai.
Malam ini juga, Misaki dan mereka kembali dari vila yang ada di pantai. Ditambah dengan Rita yang baru datang, Sorata kembali ke suasana ramai yang seperti biasanya.
Tapi, hanya Mashiro yang belum kembali seperti biasa, setelah 2-3 hari, setiap bertemu Sorata Mashiro terus ngambek dengan ‘muh’ dan ‘hmph’.
Walaupun sudah mencoba untuk menyenangkannya dengan kue bolu dan roti melon yang disukainya, tapi tidak begitu efektif, tidak ada cara lain lagi.
Biarpun begitu, Sorata juga tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan Mashiro.
Sesuai janji hari itu, seminggu setelah hari itu akan ada pertemuan dengan penaggungjawab ‘Game Camp’.
Hari itu, setelah datang ke perusahaan dengan jam yang dijanjikan, Sorata dibawa ke ruang pembahasan. Yang menunggu di dalam ruangan itu adalah Totsuka yang ada di wawancara saat itu, juga beberapa perempuan yang terlihat muda itu. Setelah menerima kartu nama, ternyata namanya Satomi Hayakawa. Posisinya tertulis sebagai bagian pemasaran pertama. Nama lengkap Totsuka adalah Totsuka Wataru, sama-sama di bagian pemasaran.
Fujisawa Kazuki tidak ada. Menjadi presiden perusahaan sekaligus programmer, tentu saja ia sibuk
Sepertinya dia menyadari pandangan Sorata yang sedang mencari Kazuki itu.
“Nanti Fujisawa-san akan datang, karena dirinya paling menyukai pekerjaan seperti ini.”
Dan diberitahu begitu.
Sekali lagi memastikan perencanaan ‘Game Camp’, dan mendengar pejelasan yang hampir sama dari 2 orang itu. Yang satu tentang penyetujuan privasi untuk pekerjaan, yang satu tentang hak pemasaran setelah proyek dipastikan akan dipasarkan………. sederhananya, dia diminta untuk ‘tidak memberikannya pada perusahaan lain’.
Pada persetujuan yang didapatkan itu tertulis kosakata yang Sorata tidak mengerti, tapi Satomi Hayakawa menjelaskannya secara rinci.
“Isi persetujuannya seperti yang dijelaskan tadi, jadi tolong dibawa pulang dan cek lagi.”
“Siap, aku mengerti.”
Kalau bisa, Sorata ingin menolak, tapi setelah diingatkan kalau ini ada ‘sesuatu yang penting’, Sorata pun terpaksa menerimanya. Juga Sorata secara hukum masih belum dewasa, jadi sepertinya persetujuannya perlu izin orangtua. Sorata harus memahami ini agar bisa menjelaskannya pada ayahnya.
Setelah itu dipastikan lagi jumlah bahan yang diperlukan dalam pengerjaan, lalu sekalian diberitahu kalau bagian ilustrasi sudah ada.
Lalu  sekarang giliran Sorata untuk menjelaskan proyeknya.
Tujuannya menyelesaikannya akhir Februari tahun depan.
“Sungguh sebuah rencana yang sudah dipersiapkan dengan baik, ya.”
Setelah melihat berkas yang ditunjukkan Sorata, Satomi Hayakawa terkejut.
“Karena ada seorang programmer yang sangat berbakat.”
Sorata menjelaskannya. Lalu dia menerimanya dengan ‘ah ya’. Sepertinya dia juga tahu nama Akasaka Ryuunosuke.
Lalu akhirnya membuat janji rapat sebulan sekali.
“Anggap saja rapat untuk melaporkan hasil pengerjaan sudah sampai mana. Bagaimanapun, saat membuat game pasti akan bertemu dengan beberapa masalah, jadi kita bisa menggunakan rapat kita untuk membahas itu juga. Ah, tentu, kalau memang punya masalah langsung datang saja tidak perlu tunggu sampai rapat.”
“Aku paham.”
“Jadi sampai disini saja, ya. Kanda kun, tidak masalah, 'kan?”
“Iya, terima kasih banyak untuk hari ini.”
“Kalau begitu, peralatannya akan disiapkan dalam 4 hari ini, jadi mohon bantuannya.”
“Saya juga, mohon bantuan semuanya.”
Dan akhirnya pertemuan hari ini selesai.
Peralatannya akan diantar ke Sakurasou pada bulan Jjuli tanggal 30, 4 hari setelah hari ini. Paket untuk Ryuunosuye sebagai seorang programmer. Dan demo untuk Sorata, Iori, dan Rita. Paket untuk programmer itu sepertinya sebuah komputer yang besar.
Rasanya sudah semangat saja kalau membayangkannya.
Tapi, di saat membuka paketnya
“Uh.”
Sorata terkejut dan menghentikan tangannya.
Buku panduan yang sangat tebal, setebal buku kamus.
“Harus baca ini?”
Rasanya tidak mampu.
“Jangan melamun. Sini.”
Setelah berkata begitu, Ryuunosuke segera menghubungkan peralatannya ke kamar masing-masing, tapi hanya kamar Rita yang tidak Ryuunosuke masuki. Jadi Soratalah yang memasang alatnya dengan panduan Maid-chan.
—kalau bukan karena perintah Ryuunosuke-sama, aku pasti tidak akan melakukannya untuk si gadis penumpang. Sorata-sama, kau taklukkan dia sekarang saja.
Dan seperti biasa, Maid-chan terus protes mengenai Rita.
Pemasangannya berakhir dengan lancar. Rasanya tidak begitu susah juga setelah mencobanya.
Besok, akan berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Karena tidak perlu belajar saat liburan musim panas, jadi kapanpun bisa meluangkan waktu untuk pengerjaan game.
Pada minggu yang pertama, Sorata memutuskan untuk membahas dan menetapkan ukuran keseluruhan game. Yang bisa mereka buat itu ada batasnya, lalu rapikan kembali dan membagikan bagian ilustrasi dan musik pada Rita dan Iori, supaya bisa dikerjakan secepatnya.
Lalu minggu kedua mulai memutuskan setelan game, Sorata mulai mendesain bagian-bagiannya. Mulai mengatur luasnya lapangan dan besarnya monster, jumlah dan jenisnya, lalu mencocokkan semua itu dengan mode serangan final bosnya.
Sekalian, hanya bagian gerakan yang rumit itu dikerjakan Misaki. Walaupun Rita sepertinya tidak senang, tapi dia tidak bisa protes apapun soal kemampuan Misaki yang lebih darinya.
“Setelah aku terbiasa dengan pekerjaannya, tolong biarkan aku mengerjakan bagian bossnya juga, ya.”
Dan berkata begitu.
Sampai di minggu ketiga, bagian musik dan ilustrasi masing masing sudah selesai sampai setengahnya. Yang tersisa hanya bagian level saja. Pokoknya, kalau Sorata tidak bisa membuat levelnya, ia tidak bisa melangkah maju.
Sampai saat ini, kode untuk bagian program sudah selesai semua, jadi semuanya mengeceknya bersama sama.
Setelah makan malam, Sorata memanggil Ryuunosuke, Rita, dan Iori untuk berkumpul di kamar no.101.
Memutar lagu yang dibuat oleh Iori. Lagunya ada 2 buah yaitu pada saat bertarung dan melawan final boss.
Dua lagu itu sangat bagus. Tapi, meski lagu untuk saat bertarung sudah bagus, tapi lagu pada saat melawan final boss agak kurang cocok untuk final boss di level paling awal, soalnya masalahnya dengan  pertarungan irama. Semakin tinggi levelnya tentu semakin susah final bossnya di tiap level. Jadi Sorata merasa perlu membuat 1 buah lagu lagi.
“Ternyata Iori hebat juga.”
Rita yang mendengar lagu Iori untuk pertama kalinya berkata begitu.
Tapi hanya Ryuunosuke yang menunjukkan ekspresi kurang puas.
“Lagu ini tidak boleh digunakan untuk pertarungan boss.”
“Huh, bagian mana yang tidak bagus?”
“Kalau Kanda tidak bisa mengatakannya, biar aku saja yang mengatakannya. Suasananya tidak cocok dengan kondisi yang ada di dalam game. Nanti pasti akan susah untuk dibuat menjadi pertarungan irama, kalau ditaruh di bagian akhir game masih ok, tapi kalau menggunakannya pada awal game rasanya pasti akan buruk.”
“Be-begitukah?”
Iori kemudian menghadap ke arah Sorata seperti ingin meminta menolong.
“Kalau yang ini bisa digunakan untuk bagian akhir pertarungan boss, bagaimana membuat 1 lagi yang berbeda.”
“Baik, dengan senang hati aku akan membuatkannya!”
“Iori, kau perlu memahami isi gamenya dulu baru membuat lagunya.”
“Baiklah!”
Apa dia benar-benar paham? Rasanya tidak.
“Kanda, saat kau membaginya menjadi beberapa bagian kau juga harus menjelaskan dengan rinci suasana seperti apa untuk setiap bagiannya.”
Lalu, sekarang giliran untuk mengecek monster lawan yang dibuat Rita.
Sorata mencoba mengecek, dengan menggunakan alat yang diberikan perusahaan, di layar TV muncul model 3D yang dibuat oleh Rita.
Rita menggunakan remotnya untuk menunjukkan hasilnya.
“Bagaimana?”
Tingkat penyelesaiannya sangat tinggi jadi tidak ada yang perlu diprotes, walaupun ada beberapa bagian saat resolusi tampak kurang bagus karena poligon, tapi ini sudah merupakan hasil yang perlu dipuji.
“Tidak buruk kan?”
Meminta pendapat pada Ryuunosuke, tapi ekspresi Ryuunosuke sekali lagi terlihat tidak puas.
“Bukankah usdah kubilang untuk mengurangi poligonnya sebanyak 30 persen.”
“Jadi sudah kukurangi 30 persen.”
Rita seperti mengatakan ‘bagaimana’ dengan mengangkat dadanya. Dadanya terus bergoyang dibawah pakaiannya.
“Aku tidak bilang untuk mengurangi resolusinya sebanyak 30 persen juga.”
“Bukannya itu wajar? Resolusinya memang akan berubah sesuai poligonnya.”
“Bagi konsumen, mereka tidak peduli alasan seperti itu. Apa kau berencana menjelaskan seperti itu pada pemainmu?”
Ryuunosuke mengatakannya tanpa basa basi.
“Itu……………”
Bahkan Rita tidak dapat membalas.
“Bagaimanapun, kau memulai pekerjaan ini dengan pikiran seperti ‘mau gimana lagi kalau resolusinya kurang karena poligonnya’.”
“Kalau iya kenapa……..”
Rita mengakuinya dengan ekspresi yang sedikit kesal. Ini merupakan salah satu sifat Rita yang tidak terima kalah. Lihat saja sekarang, pandangannya masih fokus menuju Ryuunosuke.
“Mulai sekarang harus memulai pekerjaan dengan tujuan meningkatkan resolusi. Kalau kau memulai pekerjaan dengan pikiran yang asal, tidak mungkin hasil akhirmu akan bagus.”
“Betul juga………….”
“Jujur saja, kalau gadis penumpang sepertimu mempunyai kemampuan lukis yang begitu hebat, harusnya kau bisa membuat model 3D yang lebih menakjubkan. Setelah menguasai cara kerja software, 3D merupakan bagian ilustrasi yang kau kuasai. Tolong jangan membuat aku menjelaskan hal dasar seperti ini.”
Walaupun Rita awalnya sempat tersenyum karena dipuji, tapi akhirnya tetap merasa kesal dengan perkataan Ryuunosuke yang terakhir itu.
“Aku paham. Buat ulang, cukup aku buat ulang, 'kan!”
Dengan suara yang sedikit menyindir, suasananya menjadi sedikit berat.
“Juga, kau Kanda.”
“Aku!?”
Sorata terkejut.
“Lebih selektif saat kau memeriksa unsurnya. Kalau kau hanya ‘Yah, begitu saja’, pemain juga akan ‘Yah, begitu saja' juga.”
Tidak ada kesempatan untuk membalas.
“Tujuan kita adalah untuk memasarkan. Lebih baik lagi kalau bisa masuk sampul majalah. Kau harus tegas tentang hal ini. Biarpun ini game yang kita buat untuk pertama kali, para pemain tidak akan memakluminya hanya karena begitu.”
Tepat sekali.
“Yang ingin kukatakan hanya ini. Kalau begitu, aku kembali untuk membuat tingkatan level, bagaimanapun aku juga ingin Kanda lebih cepat memasukin bagian tingkatan level.”
Ryuunosuke kemudian berdiri keluar kamar tanpa menunggu balasan dari semuanya, lalu terdengar suara pintu kamar sebelah tertutup.
“Kalau saja ia lebih pandai berkomunikasi sedikit saja, pasti bagus.”
Rita kemudian protes dengan suara yang kecil, ini juga karena dirinya sadar apa yang dikatakan Ryuunosuke itu benar.
“Dragon-senpai, ketat sekali.”
Iori masih belum terbiasa.
Kemudian ponsel Sorata menerima sebuah pesan.
---pesan Ryuunosuke-sama ‘cepat kembali kerja sana, jangan buang buang waktu’. Kalau kalian berani memperlambat Ryuunosuke-sama, nanti kukirimin virus, loh. Maid chan.
Lalu menunjukkan pesan itu pada Iori dan Rita.
“Ryuunosuke, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu!”
Rita mengatakannya sambil berjalan ke kamar Ryuunosuke, sepertinya dirinya sudah mencapai batas untuk menahan emosinya.
“Dragon-senpai hebat sekali.”
Kedua mata Iori terlihat sedang bersinar.
“Dengan sebentar saja memahami kalau cara kerja dan pikiranku salah. Omong-omong, aku sudah mengerti sekarang.”
“Kalau begitu, kita harus bersemangat, suapaya Akasaka tidak marah.”
“Siap!”
Sorata dan Iori yang berjanji begitu kemudian mendengar suara ketukan pintu kamar yang keras.
Lalu esok harinya, saat sore, Ryuunosuke datang ke kamar.
“Kanda, mesin gamenya sudah selesai.”
Sambil berkata begitu, ia memasangkannya di komputer.
Setelah selesai memasangnya, layarnya muncul peta yang dibuat Rita. Bagian hutan, daratan, pegunungan, semua dapat diganti dengan menggunakan mouse.
Setelah memilih petanya, hanya perlu mengguanakan mouse meng-klik monster lalu tinggal menaruhnya ditempat yang disukai. Pohon pohon dan rumah juga seperti itu.
Setelah selesai mengatur, saatnya menambah gerakan bertarung.
Dengan hanya begitu menyelesaikan 1 bagian. TV yang dikamar sudah menunjukkannya, sudah bisa menggerakan karakternya dengan remot.
“Akasaka……….seberapa hebat sih kau?”
Sorata bertanya begitu karena pengalamannya saat membuat game shooting. Mesin ini praktis sekali. Saat Sorata mencoba membuatnya sendiri, di layar hanya ada huruf dan angka, lalu setelah beberapa minggu baru ada tampilannya sebagai sebuah game.
Tidak perlu bersusah susah seperti dulu lagi, semuanya menjadi mudah. Ini pasti akan menyenangkan.
“Kalau begitu, setelan setiap tantangannya dan levelnya semua kuserahkan pada Kanda.”
“Ah, akan kuusahakan.”
Hanya perlu mengatur jumlah dan letak musuh dan mengatur levelnya.
“Kalau ada bagian yang kurang praktis, beritahu saja. Aku akan mengubahnya kapan pun.”
“Aku akan mencobanya.”
“Kalau begitu, mulai besok aku coba coding bagian untuk musik.”
“Tolong, ya.”
Hari-hari yang penuh kesibukan itu dengan begitu cepat berlalu.
Biarpun begitu, Sorata tetap meluangkan waktu untuk kencan dengan Mashiro setiap minggu. Nonton film, pergi ke kebun binatang, lalu belanja bersama-sama.
Walaupun kadang takut ia akan meminta untuk mengizinkan dirinya untuk membantu pengerjaan game, tapi sejak habis pulang dari pantai, Mashiro tidak pernah mengungkapkannnya.
Apa ini berarti dia menerimanya? Walaupun berharap begitu, tapi kadang sikap Mashiro aneh, rasanya seperti ada sesuatu yang mengganggunya.
Saat kencannya akan berakhir, Mashiro selalu melirik ke arah Mashiro seperti mengharapkan sesuatu.
“Ada apa?”
Biarpun Sorata bertanya begitu
“Tidak ada.”
Hanya dijawab begitu. Lalu sesaat lagi, ia akan melirik diam-diam ke arah Sorata lagi. Jelas-jelas dirinya ingin mengatakan sesuatu.
“Makanya, ada apa?”
“Tidak ada.”
“Serius, ada apa?”
“Tidak ada.”
“Bukan tidak ada, itu.”
“Tidak ada.”
Setiap bertanya selalu dijawab begitu, tidak paham sama sekali, tapi juga tidak kesal, jadi biarkan saja.
Dengan begitu, hari demi hari dilewati, lalu akhirnya sudah tanggal 20 bulan Agustus. Iori yang pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin itu akhirnya melepaskan perban yang ada di tangan kanannya.
Tangan kanannya yang sudah beristirahat selama 2 bulan itu terlihat halus, rasanya seperti patah kalau tidak berhati-hati. Biarpun begitu, Iori tidak terlihat sakit sedikitpun.
“Selamat datang kembali, kawan!”
Dan dengan bahagia mengatakannya.
“Selamat tinggal, perban!”
Dan perbannya di lempar ke arah udara, dan jatuh di lantai restoran.
Tapi, bagaimanapun tangannya pernah patah, gerakan tangannya terlihat kaku, Iori mencoba untuk memutar pergelangan tangannya, tapi ia terlihat kesakitan.
“Aaaaaaaahhhhhh! Sakit!”
“Sebodoh apa si kau.”
Kanna kemudian mengambil perban yang jatuh dilantai itu.
“Bukannya dokter sudah bilang, pergelangan tanganmu masih memerlukan rehabilitasi.”
Lalu mulai memasangkan perban lagi pada Iori.
“Selamat datang kembali, perban…….”
Iori kemudian menurutinya.
Mulai hari kedua, setiap hari Iori harus pergi untuk rehabilitasi.
Rasanya setiap kali dia keluar, ia terlihat sangat bahagia, lalu setelah bertanya
“Yang bertanggungjawab untuk rehabilitasiku itu adalah seorang suster dengan dada yang besar!”
Dan mendapatkan jawaban yang tidak mengejutkan.
Proses rehabilitasinya sepertinya berjalan lancar, lalu setelah seminggu, ia sudah bisa menggunakan sumpit dengan lancar.
Tanggal 31 bulan Agustus. Hari terakhir liburan musim panas.
Saat malam, Yuuko yang kembali dari kampungnya di Fukuoka, dia membawa suvenir dari sana
“Ini untukmu Onii-chan! Ngomong-omong, Si Rubah Betina yang merebut kamar no.203 itu di mana!”
Dengan keras dia mengatakannya.
“Wah, anak SD dari mana ini?”
Tapi, setelah dijawab Rita dengan tersenyum.
“ I CANNOT SPEAK JAPANESE!”
Yuuko menjawab dengan bahasa inggris yang terdengar kaku itu.
“Bahkan bahasa Jepang juga kau tidak bisa………..”
Setelah memperkenalkan Yuuko pada Rita, setelah itu Yuuko mengeluarkan tugas liburan musim panasnya.
“Membantu sekali, Kanna-chan. Ah, tapi, apa tidak apa-apa?”
“Naskahnya sudah selesai kemarin, jadi sekarang aku tidak ada kerjaan sambil menunggu pihak editor.”
“Begitukah? Mohon bantuannya.”
Setelah itu, setelah selesai makan malam dan mandi, Sorata dan Ryuunosuke mulai bersiap untuk rapat ‘Game Camp’ besok.
Setidaknya berjalan sesuai rencana.
Lalu setelah itu mereka berhenti dibagian musik.
Awalnya diputuskan untuk membuat beberapa lagu, tapi mulai pertengahan Agustus, kinerja kerjanya kurang, telat seminggu. Walaupun lagu yang dihasilkan bagus, semua itu sesuai yang diberitahu Sorata, jadi kalau telat sedikit sepertinya tidak apa.
“Bagaimana, Akasaka?”
“Bukan pertanda baik.”
Bagi Ryuunosuke, ini sudah bisa dibilang positif.
“Bagaimana kalau kita bertanya pada Iori?"
Setelah mengambil daftar jadwal dan berjalan ke kamar no.103, Ryuunosuke juga mengikuti Sorata dengan membawa laptopnya.
“Iori, apa ada waktu?”
Sambil mengetuk pintu sambil bertanya.
“Ah, ya! Silahkan!”
Membuka pintunya dan masuk ke dalam. Iori sedang duduk di depan komputer, dan sedang fokus ke arah monitor. Dia sepertinya sedang membuat lagu karena di sana terlihat partitur.
Ryuunosuke yang juga masuk ke dalam itu duduk di arah kasur, Sorata kemudian duduk di sampingnya.
“Apa lancar-lancar saja?”
Bertanya dengan melihat ke arah Iori.
“Ya, rasanya sangat menyenangkan!”
Mendapatkan jawaban yang berbeda dengan pertanyaannya, tapi karena itu Iori, ini sering terjadi, jadi tidak perlu dipikirkan.
“Tapi saatnya pusing rasanya ingin muntah saja, seperti sekarang ini.”
Walaupun merasa ini bukanlah hal yang bisa dikatakan dengan wajah yang tersenyum, tapi Iori dengan aneh terlihat senang.
“Hn~kurang sedikit lagi, kurang sedikit lagi akan kukeluarkan sesuatu yang menakjubkan.”
“Cepat ke toilet.”
“Maksudku itu kesan untuk lagunya! Huft, eh, apa ini daftar jadwalnya?”
Sepertinya dia menyadari berkas yang ada di tangan Sorata.
Lalu saat ini, suara yang terdengar anggun itu kemari.
“Ah, disini.”
Rita kemudian membuka pintunya.
“Hoh.”
Dengan tidak sengaja merasa takjub dan mengeluarkan suara, semua itu karena pakaian Rita.
Ia menggunakan seragam, seragam musim panas Suiko.
Padahal ukurannya tidak kecil, tapi bagian dadanya terlihat agak sempit. Bagian pahanya juga terlihat indah.
Walaupun saat tahun lalu Rita pernah meminjam seragam Misaki dan memakainya, tapi Sorata tidak bisa terbiasa dengan hanya melihatnya sekali.
“Rita-senpai cantik sekali! Tolong menikah denganku!”

Iori kemudian melamar.
“Maaf, aku sudah mempunyai orang yang kusukai.”
Lalu, baru sedetik langsung ditolak.
“Tapi, hebat sekali!”
Biarpun ditolak, Iori tetap terlihat bersemangat.
“Bagaimana, Ryuunosuke? Cocok?”
Setelah berputar sekali, roknya sedikit terangkat. Seperti tampak tapi sebenarnya tidak, tersisa sedikit lagi tapi Rita segera menutupi bagian itu.
“Mulai besok aku akan menggunakan ini dan belajar di Suiko.”
Pasti akan mencolok.
“Sudah saatnya bagiku untuk mendengar pendapat Ryuunosuke, 'kan?”
“Tidak cocok.”
Lalu tetap mengetik di laptopnya.
“……………”
Rita sedikit tidak senang, pasti dia menunjukkannya dengan memikirkanini.
Tapi seperti yang Ryuunosuke katakan, Sorata juga merasa seragam Suiko tidak cocok dengan Rita, malahan itu terlihat cosplay bagi Rita. Pokoknya seragam sekolahnya tidak cocok dengan Rita.
“Kanda, kembali ke topik utama.”
“Hn? Ah.”
“Kalian bahas apa sampai berkumpul begitu?”
Pandangan Ryuunosuek seperti mengatakan tidak perlu menjawab.
“Ah, karena pengerjaan laguku lambat jadi mulai diskusi solusinya……'kan?”
Namun sangat disayangkan, Iori yang sudah kehilangan akalnya itu karena Rita tidak bisa diharapkan.
“Kalau begitu, aku juga ikut.”
Dengan menggoyangkan roknya, Rita masuk ke kamar. Dan duduk diantara Ryuunosuke dan Sorata, dan segera, Ryuunosuke membuat jarak.
“Pokoknya saat ini aku harus lebih bersemangat lagi!”
Iori berteriak.
“Ditolak.”
“Aku ini pria yang dapat diandalkan pada saat yang diinginkan, loh.”
“Soal jiwa seperti itu,  tidak ada gunanya untuk dibahas, loh.”
Iori terlihat kecewa setelah dikatakan begitu oleh Ryuunosuke.
Rita kemudian mengelus kepala Iori, lalu sekejap Iori bangkit lagi. Tapi, entah apakah karena udah kehilangan keberaniannya untuk berbicara dengan Ryuunosuke, Iori duduk tanpa mengatakan apapun.
“Itu, Iori, kami mempunyai pertanyaan untukmu.”
“Pertanyaan apa?”
“Apa akan menghabiskan banyak waktu untuk membuat sebuah lagu dengan variasi yang berbeda?”
Pandangan Ryuunosuke, Rita dan Iori kemudian fokus ke arah Sorata.
“Sering ada, 'kan? Misalnya kotak musik yang mempunyai 8 suara berbeda……….”
Sorata sambil berpikir sambil melihat ke arah keyboard yang ada di sudut.
Mungkin mereka sudah paham maksud Sorata.
“Maksudnya solo piano kan.”
Iori yang meninggalkan meja itu berjalan ke arah keyboard. Dengan pelan ia menekan, suaranya tidak nyala, karena tidak dicolok.
Tidak ada debu, pasti selalu dibersihkan.
“Aku juga ingin membuat partitur versi beda, tapi memerlukan waktu.”
“Begitukah.”
“Tapi, pekerjaannya bukannya tidak akan lanjut kalau aku tidak punya ide, jadi seharusnya bisa lebih cepat.”
Sambil berkata begitu Iori duduk di depan piano dan mengulurkan tangannya ke arah stop kontak.
“Lalu, kalau tangan ini bisa kugerakkan dengan lancar………”
Dengan membawa ekspresi yang tidak tenang, kedua tangannya yang ada di atas keyboard itu sedikit bergetar, pahanya juga gemetar.
Iori lalu menarik napas dan mulai bermain.
Itu adalah lagu yang Iori buat di versi demo. Melodi yang seperti pembuka lagu anime.
Iori dengan santai memainkannya, jujur saja, Sorata merasa tenang setelah melihat ini. Tapi, setelah itu, permainannya mulai kacau. Segera Sorata sadar Iori salah bermain, lalu segera tubuhnya dipenuhi keringat.
Perasaan tegang memenuhi ruangan ini.
Iori mulai bermain lagi dari bagian yang salah, tapi setelah sesaat ia bermain salah lagi.
Mulai terasa perasaan gelisah yang ditunjukkan Iori, lalu perasaan gelisah itu membawa kesalahannya yang ketiga kalinya.
“Apa-apaan ini………….”
Terdengar suara yang pasrah.
“Kenapa ini…………”
Ia gemetaran tidak percaya.
“Kenapa, tangan ini………”
Iori dengan wajah yang pucat melihat ke tangan kanannya.
“Ini bukanlah tangan kananku!!”
Iori yang berteriak begitu berdiri dan mengangkat tangan kanannya.
“Iori!”
Sorata kemudian segera berlari ke arah Iori dan menahan Iori.
“Lepas! Lepaskan aku!”
“Tenanglah Iori!”
“Bagaimana aku bisa bersikap tenang sekarang ini!”
Iori segera kehilangan kekuatannya setelah dia berteriak, Sorata sampai harus mengerahkan banyak tenaga untuk menopang Iori…..
Lalu dengan pelan meninggalkan keyboard, Sorata membuat Iori duduk di samping Rita.
“Maaf…………”
Iori dengan sedikit lelah mengatakannya.
“Tolong biarkan aku sendiri saat ini………..”
Tidak peduli dengan Sorata yang masih ragu, Ryuunosuke berdiri duluan. Walaupun sempat takut kalau Ryuunosuke akan mengatakan sesuatu, tapi Ryuunosuke hanya melirik ke Iori lalu berjalan keluar kamar.
“Ah, Ryuunosuke!”
Rita segera keluar kamar mengejar Ryuunosuke.
“Sorata-senpai juga……..”
“Iori, tidak boleh memukul Iori.”
“………..”
Tidak ada balasan.
“Kalau bagaimanapun kau inign memukul sesuatu, pukul saja aku.”
“………….”
“Kau tidak boleh terluka lagi.”
Tetap saja tidak balasan.
“Kalau begitu, aku akan keluar.”
Lalu setelah mengatakan ini, Sorata menutup pintunya.
Ryuunosuke dan Rita ternyata menunggu di koridor.
“…………..”
“…………..”
Dengan pandangan yang seperti merencanakan sesuatu dan melihat ke arah Sorata.
Lalu saat pintu toilet terbuka, Kanna yang menggunakan piyama itu berjalan keluar. Seperti ia segera sadar suasana sekarang agak aneh.
“Apa yang terjadi?”
Lalu bertanya.
Tidak ada yang menjawab. Lalu, Ryuunosuke melempar sebuah ‘bom’.
“Kanda, kita cari penanggung jawab musik yang baru saja.”
Lalu berkata begitu pada Sorata.
“………Apa maksudmu?
Sorata dengan tidak percaya melihat ke arah Ryuunosuke.
“Harusnya kau paham.”
Kanna dengan kebingungan melihat ke Ryuunosuke dan Sorata.
“Iori sudah tidak bisa lagi.”
“Kenapa kau yakin sekali?”
“Berhentilah berpikir positif lagi. Bagaimanapun aku tidak merasa dia bisa membuat lagu yang bagus dalam keadaan seperti itu.”
“…………..”
“Aku bisa membayangkan situasi setelah hari ini, kinerja kerja kita semakin melambat, dan itu pertanda kalau proyek kita akan gagal.”
“Tapi…”
“Kalau kau tahu kapalmu rusak, untuk apa kau berlayar menggunakan kapal itu?”
“Itu………”
“Ini bukanlah proyek dengan pikiran ‘kalau tidak bisa, mau bagaimana lagi’.”
“Iori sendiri belum memutuskan apapun, tapi kemudian berdiskusi mencari staff baru, bukannya terlalu egois?”
“Biarpun egois, semuanya tidak akan berarti kalau proyek kita gagal. Bukankah begitu, Kanda?”
“………….”
“Harusnya sudah kubilang sejak awal, suatu hari pikiran di antara kita pasti akan bertentangan.”
Ryuunosuke kemudian melihat ke arah Rita.
“Sepertinya kau ingin mengatakan sesuatu padaku juga.”
“Tidak kubilang kau juga mengerti kan.”
Orang yang tidak bisa membedakan dengan jalas apa itu seni dan apa itu game, tidak akan bisa menghasilkan karya yang bagus.
“Aku juga seperti Iori, selalu serius dalam pengerjaan game.”
“…………….”
“……………”
Ryuunosuke dan Rita kemudian saling menatap, perasaannya seperti akan meledak.
Hanya Kanna yang belum memahami apa yang terjadi sebenarnya.
“Kalau terus begitu biarpun gamenya selesai, pasti tidak akan ada perasaan puas ataupun terharu, hanya akan menghasilkan sebuah cangkang kosong, apa kau mau begitu Kanda?”
“………….”
Tidak mungkin, Sorata tidak membuat game dengan tujuan seperti itu. Padahal sudah Sorat sudah mengenggam kesempatan itu, Sorata tidak ingin menyia-nyiakannya. Sorata bagaimanapun ingin menghindarikegagalan. Sorata sudah memutuskan untuk melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan gamenya.
Tapi, akhirnya, Sorata tidak dapat mengatakan ini. Tidak ada cara yang bisa mengubah keadaan sepert ini.
“Sepertinya, tujuanku dan tujuan Kanda sedikit berbeda.”
Pernyataan Ryuunosuke yang tegas itu membuat gerakan besar dalam hati Sorata. Hati Sorata seperti terbentur sesuatu yang keras.
Proses pengerjaan game yang selalu berjalan lancar belakangan ini, entah kenapa tiba-tiba diselimuti awan hitam yang pekat.
Setelah sadar, Sorata sudah di tengah-tengah hujan badai itu.