JUNI TIDAKLAH SELALU HUJAN
(Part 2)
(Translater : Blade; Editor : Hikari)

Bagian 2
Menunggu tangannya tidak begitu bengkak lagi, pada hari ke-4 setelah masuk ke rumah sakit, yaitu tanggal 23 bulan Juni, operasi Iori dilakukan.
Walaupun ini terdengar seperti operasi yang sederhana, tapi yang namanya ‘operasi’ itu memberi rasa tertekan yang luar biasa.  Sebelum berakhir dengan lancar, Sorata tidak dapat menenangkan dirinya.
Bahkan Iori sendiri juga sangat gugup. Saat Sorata menjenguknya, dia tidak berbicara banyak.
Biarpun begitu, saat operasi selesai, dirinya terlihat seperti tidak apa-apa. Esok harinya pada tanggal 24, saat Sorata menjenguk, Iori dengan semangat berkata :
“Sorata-senpai, rawat inap tidak buruk juga, ya! Setiap hari ada kakak-kakak perawat yang membangunkanku saat pagi, lalu memegang tanganku dengan erat.”
“Itu hanya untuk mengukur suhu badan dan denyut nadi.”
Walaupun Kanna sempat menjelaskan, namun Iori sama sekali tidak kecewa.
“Kakak itu pasti di atas E-Cup ! E dari kata Elephant!”
Dia dengan senang mengatakannya.
“Sekalian tanya, lalu F itu apa?”
Bersemangat itu baik, lalu Sorata coba memulai percakapan dengannya.”
“'Fantastic'-lah, apa kau tidak tahu?”
Dia sepertinyai paham sekali soal dada.
“Maaf…….kalau begitu, bagaimana dengan G?”
“'Great'!”
“Kalau H?”
“'Heaven'!”
“Terima kasih, aku dapat pengetahuan yang baru lagi.”
“Lalu A itu A yang ajaib!”
Iori bahkan menjawab saat tidak ada orang yang bertanya, juga melihat ke arah Kanna seperti tidak ada apapun.
“Yang ajaib itu kehadiranmu.”
Kanna berkata dengan tatapan seperti melihat sampah ke arah Iori.
“Dasar bodoh.”
Yang berubah setelah Iori selesai operasi itu tidak hanya Iori. Sebelum operasi, ekspresi Kanna terlihat sangat kaku, namun sekarang, setelah selesai operasi, dirinya perlahan kembali seperti biasanya.
Dengan begitu, sepertinya menyerahkan tugas ‘menjaga Iori’ pada Kanna tidak akan ada masalah.
Dan hasilnya malah Sorata yang terlalu khawatir, jadi hampir tiap hari Sorata datang ke rumah sakit.
Terkadang setelah pulang sekolah, Sorata mengantar Mashiro ke Sakurasou dulu baru datang, kadang-kadang juga dia datang ke rumah sakit bersama Mashiro.
Tidak peduli yang manapun, selalu Kanna yang sampai duluan, dan duduk di kursi sambil membaca bukunya dengan diam.
Tiap hari juga terlihat ibu Iori diruang pasien. Sikapnya begitu anggun, memberi Sorata kesan yang dalam. Setiap memulai percakapan dengannya, Sorata selalu merasa gugup.
Awalnya ibu Iori sempat mengira Kanna itu pacar Iori. Suatu hari saat Sorata datang menjenguk, mereka sempat mengobrol tentang masalah ini.
“Nah, Sorata-senpai, tolong dengarkan aku! Mamaku bahkan bertanya apa dia ini adalah pacarku!”
“Jangan menggunakan jari untuk menunjuk orang. Juga, kata ‘ini’ terdengar tidak sopan, jangan begitu.”
“Dengan hanya dikira mama kalau aku suka ‘papan datar’ seperti itu, rasanya seperti ingin mati saja.”
“Kalau begitu mati saja.”
“Kanna dan Iori terlihat dekat, ya.”
Melihat kedua orang itu, Mashiro tanpa sadar menyiram minyak di atas api.
“Saat dikira aku suka sama ‘papan datar’ seperti dia, rasanya ingin mati saja……..”
“Kalau begitu kubantu saja.”
Kanna mengikat leher Iori dengan kain pembalut. Walaupun menurut Sorata mereka terlihat dekat, tapi kalau ia katakan sepertinya masalahnya akan lebih besar lagi, jadi Sorata memutuskan untuk diam.
Juga, sempat melihat Kanna yang sedang menyuapi Iori makan.
“Sini, aaaa~~”
Kanna dengan membawa tatapan yang dingin, menggunakan sumpitnya untuk menyuap Iori makan.
“Padahal ini bayangan mimpiku, tapi kenapa rasanya kosong? Benar, semua ini karena perempuan dengan dada rata tidak punya pesona.”
Iori melihat ke luar jendela, dan berbisik-bisik sendiri.

“Susah sekali. Cepat buka mulutnya.”
Yang dijepit oleh sumpit Kanna adalah oden yang masih panas. Dia tanpa ragu langsung memasukkannya ke dalam mulut Iori.
“Panas! Panas sekali! Iblis, kau pasti iblis!”
“Huft…………..”
Lalu akhirnya Kanna hanya bisa meniupnya supaya menjadi dingin.
“Walaupun dari laurnya tidak tampak, tapi tidak kusangka kau rela melakukan hal seperti ini.”
Walaupun awalnya salah Iori, siapa suruh dia banyak mulut.
Kanna kemudian menaruh kembali odennya, lalu sumpitnya mengambil potongan ikan.
“Uwaa~~tunggu! Apa yang ingin kau lakukan? Cepat taruh kembali itu! Sorata senpai, tolong gantikan aku!”
Iori memohon dengan pasrah.
“Apa boleh? Aku laki laki, loh?”
“Pasti akan lebih baik dari pada dia!”
Kanna yang ditunjuk Iori terlihat sangat tidak senang. Dan yang merepotkan, Sorata malah dilirik tajam oleh Kanna.
Biarpun Sorata menghabiskan waktunya untuk datang ke rumah sakit mengawasi, Sorata juga melakukan hal yang seharusnya ia lakukan. Saat berada di jalan menuju rumah sakit, dia sempat berpikir tentang ide untuk gamenya; juga sempat mempelajari kembali materi yang diajari disekolah hari ini untuk mempersiapkan ujian yang akan datang.
Walaupun telat beberapa hari dari pada hari diedarkannya, Sorata tetap membeli volume manga Mashiro di toko buku dengan sembunyi-sembunyi.
Sisa 1 volume.
Entah apa memang penyediaannya sendiri atau memang laris sekali. Hari ini, Sorata meninggalkan toko buku dengan berharap karena memang laris.
Lalu hari Minggu, dia pergi kencan dengan Mashiro. Walaupun hanya berkeliling, tapi anehnya, ketika bersama, bahkan hal yang biasa saja menjadi begitu istimewa. Karena meski hanya berduaan, mereka tetap menghabiskan waktu mereka dengan bahagia.
Lalu 1 minggu pun berakhir, tiba di hari Senin bulan Juni tanggal dua puluh tujuh.
---saat istirahat siang, Sorata datang ke atap sekolah bersama Mashiro untuk makan siang.
Beberapa hari ini cuacanya mendung, hari ini juga bukan cuaca yang cerah, namun terlihat langit yang segar. Sorata merasakan kehadiran musim panas yang akan datang sebentar lagi.
“Nah, Sorata?”
“Apa?”
“Ini daging apa?”
Mashiro dengan sumpitnya mengambil daging burger itu.
“Itu daging burger yang biasanya kau makan.”
“Begitukah.”
“Sekalian saja, itu daging campuran dagin sapi dan babi.”
“Jadi aku sapi dan Sorata babi?”
Mashiro mengajukan pertanyaan yang aneh, Sorata bingung harus menjawab seperti apa.
“Maaf, apa yang kau katakan?”
“Bukan daging burger, maksudnya kencan (perhatikan: daging burger dan kencan  pelafalan Jepangnya mirip)”
“……………..”
Tadi sepertinya salah.
Mashiro sejak awal ingin bilang ‘kencan’, tapi mungkin karena otaknya, jadi akhirnya dia bilang ‘daging burger’.
Juga, dipengaruhi daging burger yang ada, Sorata awalnya mengira Mashiro sedang membicarakan soal daging……….sepertinya bukan begitu.
“Shiho tanya aku.”
“Ou, dia tanya apa?”
“Dia tanya ‘apa hari ini juga mau daging burger dengan Sorata’.”
“Maksudnya kencan kali!”
“Jadi ini kencan?”
“Cuma makan siang bersama saja!”
“Kalau begitu, akan kuberitahu Shiho nanti.”
“Tidak, tidak perlu beritahu dia hal seperti itu.”
Mashiro menggigt daging burger mininya, dan setelah menelannya, ia berkata lagi :
“Nah, Sorata.”
“Kali ini apa lagi?”
Sorata mengambil botol tehnya dan meminumnya.
“Kenapa tidak menciumku?”
“Puh~~!”
Teh yang baru masuk dalam mulutnya itu semuanya Sorata semburkan dan dia tersedak.
“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan ini? Ada apa?”
Mashiro mencibirkan bibirnya dan terlihat tidak puas. Biarpun Sorata tidak mau, tapi pandangannya tetap melihat ke arah sana. Sorata ingin menghindari itu dan berusaha mengalihkan pandangannya.
“I-ini sekolah, loh.”
Setelah Sorata memberikan pendapatnya, Mashiro memindahkan pandangannya ke kursi panjang yang ada disebelah.
Sepasang anak kelas 3 sedang duduk di samping mereka. Mungkin ada urusan lain, laki-laki yang berdiri duluan itu setelah berkata ‘aku akan segera kembali’, ia pun mencium pacarnya dan meninggalkannya.
“…………”
“………….”
Di antara Sorata dan Mashiro terdapat sebuah suasana yang sangat susah dijelaskan.
Sorata merasakan tekanan dari Mashiro yang terus mengerjapkan matanya.
Apa ia boleh menganggap ini kesempatannya untuk melakukan ciuman kedua kalinya. Tapi kalau masih ada siswa lain, rasanya ragu mau berciuman di depan mereka.
Omong-omong, kalau menyerah terhadap kesempatan kali ini, kapan lagi bisa. Ayah Sorata pernah bilang, kesempatan tidak pernah menunggu. Kalau hanya karena belum siap dan menyerah, maka tidak akan ada kesempatan lain lagi……….
Coba saja kali ini ikuti nasihat ayah.
Di saat Sorata ingin memutuskan, ponsel Mashiro yang ada di atas kursi tiba-tiba terbunyi.
“Hii!”
Karena masih berpikir, Sorata mengeluarkan suara yang aneh dan hampir jatuh dari kursinya.
Mashiro yang berada di sampingnya mengecek layar ponselnya.
“Ini Ayase.”
Editor komik Mashiro, nama lengkapnya Iida Ayase.
“Halo.”
Mashiro mengangkat panggilan telepon tersebut, lalu terus mengulang kata ‘iya’ dan ‘hn’, tidak ada kata lain, setelah sektiar 1 menit, panggilan telepon tersebut berakhir.
“A-apa yang dikatakan Iida-san?”
“Katanya ingin dicetak ulang lagi.”
Awalnya Sorata sempat berpikir apa maksudnya. Tapi dengan segera, Sorata tahu maksudnya.
“Itu berarti hasil penjualannya sangat baik, 'kan?”
Dia sendiri berkata dengan suara yang ceria.
“Sepertinya.”
“Syukurlah.”
Setelah selesai mengatakannya Sorata pun tersenyum.
“Hn, syukurlah.”
Mashiro juga akhirnya menunjukkan senyumnya.
Menyesuaikan dengan Mashiro yang akan pergi ke kelas lain untuk belajar, kencan saat istirahat siangnya pun berakhir sebelum bel berbunyi. Sorata kemudian berpisah dengan Mashiro di koridor yang terhubung dengan ruang kelas seni.
“Kalau begitu, sampai ketemu sepulang sekolah.”
“Hn, sampai setemu sepulang sekolah nanti.”
Sorata terus melihat bayangan Mashiro sampai menghilang.
Setelah itu, Sorata menghelas napas merasa kecewa :
“Huft.”
Sayang sekali, kali ini juga tidak sempat berciuman. Apa yang harus dilakukannya? Bagaimana caranya untuk memperpendek jarak mereka? Tidak mengerti.
Ini menyusahkan sekali……..
“………sudahlah, tidak perlu buru-buru.”
Sorata dan Mashiro sedang pacaran, jadi akan ada banyak waktu untuk mereka berduaan, kalau saja bisa mereka jalani dengan lancar.
Dia kemudian menasehati dirinya sendiri dan dengan kecewa berjalan kembali ke kelasnya.
Sempat melewati beberapa kelas 3 lain, dan pandangannya bertemu dengan seseorang yang kebetulan baru berjalan keluar dari kelas itu.
Dia dan Sorata sedikit terkejut.
Sedikit lebih tinggi dari Sorata, dan rambutnya yang pendek terlihat seperti anggota klub olahraga. Sorata tahu kalau dia adalah anggota klub berenang.
“Yo, Kanda, sudah lama tidak bertemu ya?”
“Ya.”
Miyahara mengangkat tangannya, Sorata juga.
“Omong-omong, kabarnya kau sudah mulai pacaran dengan Shiina-san?”
“Eh? Ah, hn……..ya.”
Pertama kalinya ditanya begitu oleh orang, Sorata seperti ingin menyembunyikannya dan menggaruk garuk kepalanya.
“Apa yang membuatmu malu?”
Miyahara dengan bercanda menusuk-nusuk kening Sorata.
“Bukannya karena kau tiba-tiba bertanya.”
“……..huft, Kanda.”
Miyahara sedikit merendahkan nada bicaranya dan ekspresinya tidak  terlihat ingin bercanda lagi. Pandangannya yang lurus itu menatap Sorata.
Sorata juga bertanya balik :
“Ada apa?’
“Apa kau sudah mengetahui perasaan Aoyama?”
Di koridor yang ribut, suara Miyahara entah kenapa terdengar jelas sekali oleh Sorata.
Pertanyaan yang tidak disangka dan situasi yang tiba tiba ini. Namun, Sorata tanpa disangka begitu tenang.
“………..aku tahu. Dia sudah menyatakannya.”
Lalu dia menjawab dengan suara yang tenang.
“………….”
Miyahara mendengarnya dengan diam.
“Seperti yang kau bilang, aku sudah memikirkannya dengan matang.”
Setelah terdiam sejenak, Miyahara berkata lagi :
“Begitukah. Baguslah.”
Ekspresinya sekejap menjadi lega, dan timbul senyum yang alami.
“Saat kelas 1, masa-masa itu benar benar menyenangkan.”
Pandangan Miyahara melihat ke bawah.
“Kanda memungut kucing putih…….dan memeliharanya di dalam asrama beberapa saat.”
“Ya.”
“Juga sempat khawatir akan ketahuan oleh penjaga asrama, setiap hari ketakutan.”
“Maaf, malah menyeretmu ke dalam masalah ini.”
“Untuk apa meminta maaf? Bukannya sudah kubilang? Masa-masa itu sangat menyenangkan.”
“Benar juga.”
Sorata tersenyum.
“Juga, saat itu, masih ada Aoyama……….padahal awalnya begitu tidak setuju, tapi dia itu orangnya serius, jadi sangat khawatir dengan kucingnya.”
Benar, memang begitu.
Masa-masa itu, kalau dipikirkan kembali lagi rasanya seperti sudah lama sekali.
Sudah 2 tahun sejak saat itu. Sorata merasa waktu berjalan dengan begitu cepat.
Karena masa-masa setelah itu, terjadi banyak sekali hal dan terbentuk kenangan yang tidak terhitung jumlahnya, jadi rasanya benar benar puas.
“Semoga suatu hari nanti………..”
Miyahara melihat ke langit yang berada di luar jendela.
“Kalau saja kita bisa bertiga seperti saat itu.”
Sorata juga melihat ke langit yang ada di luar. Langitnya terlihat seperti masa depan yang cerah.
Setelah berpisah dengan Miyahara dan kembali ke kelasnya, kuncir kuda yang tidak asing itu masuk ke dalam tatapannya. Berada di dalam kelas………biarpun berdiri di sebelah jendela, kuncir kuda yang indah itu tetap menarik perhatian Sorata.
Mungkin karena tadi membahas kenangan kelas 1, dada Sorata serasa tidak enak.
Dan yang mengejutkan itu, Nanami sedang berbicara dengan Akasaka.
Mungkin teman sekelasnya juga merasa aneh, dan terus melihat ke mereka.
Di saat Sorata ragu apa sebaiknya kembali ke tempat duduknya, kedua orang itu selesai berbicara, setelah mendengar panggilan temannya, Yayoi, Nanami pun keluar dari kelas dan menyusul temannya itu.
Kali ini gantian Sorata yang berjalan ke arah Akasaka. Tempat duduknya itu di depan Akasaka, jadi wajar saja.
Setelah Sorata duduk, terdengar suara ketikan keyboard dari belakang.
Sorata membalikkan tubuhnya, dan menanyakan hal yang membuat dirinya penasaran:
“Apa yang Aoyama bicarakan?”
“Dia bertanya tentang kondisi tangan si kepala sarang burung.”
Sorata tidak berhenti mengetik, dan membalas Sorata.
“Itu, apa aku bisa menganggap kepala sarang burung yang kau maksud itu Iori?”
Sorata kemudian memikirkan tentang gaya rambut Iori.
“Kalau tidak siapa lagi?”
“Aku rasa di dunia ini ada orang yang lebih cocok untuk sebutan ini.”
“Sekarang di sekitarku tidak ada orang yang bisa dikatakan begitu."
Lalu Sorata merasa seperti tidak apa, dan hiraukan sebutan itu.
“Itu………bagaimana kau menjawab Aoyama?”
“Aku menjawab kalau keseleo yang dia alami itu perlu operasi, lalu memberitahu kalau operasinya sudah selesai dengan lancar minggu lalu, orangnya juga terlihat semangat. Juga aku beritahu, kalau ingin kembali bergerak seperti biasa dan sembuh total, dibutuhkan waktu sekitar setengah tahun.”
“Begitukah.”
“Juga, si kuncir kuda katanya ingin menjenguk.”
“Iori pasti akan sangat senang.”
“Jadi dia meminta bantuanku, kalau tahu hari saat kau tidak akan pergi menjenguk, aku akan memberitahukan dia.
“………….”
Sorata terdiam.
Akasaka yang berhenti mengetik itu, mengangkat kepalanya dari layar laptopnya.
“Kanda, aku ingin protes sesuatu.”
“Katakanlah.”
Biarpun tolak, Ryuunosuke tetap akan mengatakanya.
“Aku bukanlah penghubung antara kau dan si kuncir kuda, kalau ada pertanyaan, omongkan saja langsung ke orangnya.”
“……….kau selalu mengatakan hal yang paling masuk akal, ya.”
“Kau pikir siapa yang memaksaku untuk mengatakannya?”
“Mungkin aku……..”
“Kalau kau mengerti ubahlah situasi saat ini.”
“Maaf, hanya ini saja tidak mungkin. Masih perlu waktu, jadi………kalau dia bertanya soal Iori denganmu, semoga kau bisa menjawab sebisa mungkin.”
“………….”
Ryuunosuke tidak mengatakan apapun, tapi kalau dia tidak menolak, mungkin bisa dianggap terima.
“Aku juga ingin menanyakan sesuatu pada Kanda.”
“Apa?”
“Bagaimana dengan rencana proyekmu?”
Sorata mengeluarkan catatannya dan memberinya pada Ryuunosuke.
Setelah beberapa saat dia menjelaskan pikirannya.
“Walaupun aku sudah berpikir banyak ide, kurasa aku tetap ingin berpartisipasi dengan Rhythm Battler versi sempurna.”
Ryuunosuke menghiraukan ide lain yang ada di catatannya.
“Kalau dilihat dari penyelesaian proyeknya, mungkin ini adalah yang terbaik. Tapi…………”
“Tapi?”
“Apa kau sudah lupa dengan 2 game musikmu yang sudah ditolak sebelumnya?”
“Tentu saja aku masih ingat.”
Mana mungkin bisa lupa dengan itu.
“Kalau tahu, apa kau masih yakin ingin berpartisipasi dengan ‘ini’, sebenarnya apa alasanmu begitu keras kepala?”
Ryuunosuke yang menutup catatan itu menatap ke Sorata.
“Apa alasanku, ya………”
Sorata juga bingung, lalu segera menyadari sesuatu, hanya saja butuh keberanian untuk mengatakannya, aplagi itu di depan Ryuunosuke.
“Tidak ada alasankah?”
Ryuunosuke mengeluarkan suara tidak senang. Tidak, karena dia sedikit menyipitkan matanya, jadi  ekspresinya terlihat tidak begitu senang.
“Kau tidak boleh marah.”
Sorata mengingatkannya.
“Apa itu alasan yang akan membuatku marah?”
“Rasanya aku tidak bisa menolak kemungkinan itu.”
“Jangan berbelit-belit lagi, buang-buang waktu saja.”
Setelah mendenagr Ryuunosuke berkata begitu, Sorata memutuskan.
“Karna aku ingin membuat ini, inilah alasannya.”
Sorata dengan tidak menyembunyikan apapun dan memberitahu Ryuunosuke.
“……….”
Ryuunosuke juga tidak mengatakan appaun, terus menatap mata Sorata.
“Akasaka?”
Sorata tidak tahan terdiam terus, dan memanggil Ryuunosuke.
“Begitukah. Aku mengerti, kita berpartisipasi dengan Rhythm Battler ver.sempurna.”
“Eh? Bolehkah?”
Terhadap reaksi yang sama sekali tidak disangka itu, Sorata sampai melamun.
“Soal tingkat kesusahan game dan kontrol keseimbangannya, masih bisa diperbaiki olehku yang berpengalaman. Tapi, aku tidak bisa mengontrol Sorata. Walaupun ini hanyalah pikiran anak-anak, tapi kita tidak bisa meremehkan niat ‘ingin membuat’.”
“Apa kau sedang merendahkanku?”
“Benar.”
“Perkataanmu sama saja seperti biasa kau mengejekku!”
“Kalau begitu, karena hari ini sudah tanggal 27 bulan Juni, sudah tidak ada banyak waktu lagi hingga tanggal 10 bulan depan. Cepat pastikan tahap-tahap untuk berpartisipasi ke dalamnya.”
Walaupun rasanya tidak bisa dijelaskan, tapi Sorata memutuskan untuk tidak peduli. Dibandingkan dengan hal itu, malah lebih baik kalau Ryuunosuke terlihat semangat, ini juga bisa mendorong motivasi Sorata.
“Yang pertama, biarkan aku menjadikan proyek ini menjadi sebuah program.”
“Oh.”
“Kanda dapatkan saja dulu data-data yang diperlukan untuk pengerjaan sebenarnya kita nanti.”
“Eh, tunggu sebentar……..apa tidak perlu merapikan berkas-berkas untuk berpartisipasi?”
“Hal seperti itu tinggal tulis di catatan saja sudah cukup, sejam juga selesai.”
“Eh, tapi, nantinya perlu membuat laporan, loh?”
Kalau tidak dilaksanakan sampai titik tertentu, rasanya tidak begitu percaya diri terhadap tekanan para juri, dan tidak yakin bisa berpresentasi dengan lancar.
“Dalam 10 hari, aku akan menyiapkan demonya.”
“Huh?”
“Kanda cukup menjelaskannya sambil memainkannya.”
“Apa kau serius?”
“Di ‘Game Camp’ tertulis ‘boleh menggunakan demo’. Tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkannya, 'kan?”
“Memang benar, sih……….”
Siapa yang pernah terpikir mempersiapkan demonya dalam waktu 10 hari ? Setidaknya Sorata tidak pernah memikirkan itu.
“Aku akan mengajarkanmu bagaimana caranya supaya proyek gamemu yang baru bisa lulus.”
Ryuunosuke yang menunjukkan senyuman yang tidak terlihat takut apapun itu terlihat dapat diandalkan.
Bahkan Sorata iktu merasa senang.
“Masalahnya juga ada pada unsure-unsurnya……..hn, kurasa berkas karakter untuk demonya, pakai Maid-chan saja…….”
Ryuunosuke menunjukkan ekspresi yang kurang puas. Namun tidak perlu bertanya juga sudah tahu maksudnya.
“Musikkah?”
“Bagaimana menurutmu?”
Tentu, yang dimaksud Ryuunosuke itu bagaimana dengan Iori.
“……………”
“Walaupun demonya bisa memakai musik dari sumber gratis, tapi dilihat dari unsur proyeknya, kurasa para juri akan sangat memperhatikan bagian musiknya loh.”
“Aku tahu. Hari ini saat aku menjenguk, aku akan coba bicarakan dengan dia.”