JUNI TIDAKLAH SELALU HUJAN
(Part 1)
(Translater : Blade; Editor : Alien Mars)

Bagian 1
Tidak sampai sepuluh menit ambulan pun tiba. Sorata menemani Iori yang kesakitan itu dan ikut naik ke ambulan. Mereka diantar ke rumah sakit yang dekat dengan universitas di sini. Mashiro dan Kanna juga.
Setelah tiba, mereka hanya bisa menyerahkan Iori pada dokter. Mereka terus menunggu pemeriksaannya selesai, namun masih perlu dilakukan pemeriksaan X-Ray, sepertinya sangat menyusahkan.
“Aku hubungi Chihiro-sensei sebentar.”
Sorata meninggalkan Mashiro dan Kanna yang menunggu di ruang pemeriksaan, dan pergi ke aula depan untuk menelepon.
Chihiro yang tetap pergi ke sekolah meski libur, setelah mendengar Sorata menjelaskan situasinya ia pun berkata, “Aku tahu, aku ke sana sekarang.”
Cukup kalimat itu saja sudah membuat Sorata lega.
Setelah mengakhiri panggilannya dengan Chihiro, Sorata kembali ke ruang pemeriksaan.
Namun tidak tampak Iori lagi, begitupun juga dengan Mashiro dan Kanna.
Perawat yang masih berada di sini memberitahu Sorata mereka sudah memindahkan Iori ke ruangan pasien.
“Ruangan pasien, ya. Berarti harus rawat inap?”
“Ya.”
Perawatnya terlihat sangat sibuk, rasanya tidak begitu enak bertanya lagi.
Pokoknya, setelah bertanya posisi ruangan pasiennya, Sorata pun naik lift. Menuju ke lantai 5.
Sorata sempat memikirkan kembali kejadiannya. Tangan kanan Iori jelas-jelas keseleo.
Kalau perlu rawat inap, itu berarti bukan keseleo yang biasa. Apalagi waktu itu kena kepalanya.
Pikiran Sorata terus memikirkan hal yang negatif, membuat ia khawatir.
“Lalu bagaimana dengan pianonya?”
Inilah yang paling Sorata khawatirkan. Perasaan tidak tenang menguasai Sorata. Namun Sorata berusaha melawan perasaan tidak menyenangkan ini.
Bunyi bel berbunyi, liftnya tiba di lantai 5.
Sorata yang tiba di koridor itu segera mengecek peta lantai dan memastikan posisi ruang pasien nomor 503. Ruangan pasien yang berada di sebelah timur, urutan kedua terdalam itulah ruang pasien nomor 503.
Di pintunya tertulis papan nama ‘Himemiya Iori’, seperti di sini.
Sorata mengetuk pintunya beberapa kali.
“Silahkan masuk.”
Yang membalas itu ada suara santai yang tidak asing. Sorata dengan sedikit terkejut dan membuka pintunya.
Masuk ke dalam ruangan dengan tenang.
Dinding dan jendela yang berwarna putih, dan bau desinfektan yang di ruangan pasiennya rasanya menyengat sekali.
Di tengah ruangan pasien ada sebuah kasur. Ini kamar untuk satu orang.
Di atas kasur, Iori terbaring dengan meluruskan kakinya, setelah menyadari yang masuk itu Sorata ia pun menunjukkan senyumannya yang polos.
“Ah, senpai!
Terlihat sangat semangat.
Dibandingkan Iori yang sekarang, Kanna malah sedikit menjaga jarak darinya, dan berdiri dekat jendela.
“…”
Biarpun pandangan Sorata melihat ke padanya, ia hanya terdiam.
Dia merendahkan kepalanya, dan tidak bergerak sedikitpun.
Alasannya karena Iori yang terbaring di atas kasurnya itu, lengan kanannya diikat dan digantung di lehernya.
Mashiro yang duduk di samping kasur itu, melihat ke lengan itu dengan tatapan sedih.
“Bagaimana dengan tangannya?”
Biarpun tidak ditanya juga tahu sangat parah. Namun, tetap harus bertanya, karena Sorata tetap berharap mendapatkan jawaban yang ia inginkan.
“Patah tulang, haha.”
Iori mengatakannya dengan tersenyum.
“Kau…, dengan begitu mudahnya mengatakan.”
Setelah mendengarnya, rasanya wajah Sorata memucat.
Kalau yang patah itu tangan sendiri, mungkin tidak apa-apa, juga mungkin tidak akan begitu khawatir.
Namun karena itu Iori…, karena itu lengan Iori yang masuk ke jurusan musik itu…
Sorata tidak bisa menahan rasa kejutnya setelah mendengar lengan Iori patah.
“Sepertinya tidak begitu parah.”
Yang berkata dengan suara yang kecil itu Kanna.
“Dua buah tulang yang dipergelangan tangannya patah…, katanya bengkoknya parah sekali.”
“Kira-kira berapa lama untuk sembuh?”
Sorata bertanya pada Iori.
“Eh?”
Iori sedikit berbelit-belit.
“Sepertinya perlu operasi untuk meluruskan tulangnya yang bengkok dulu. Dan untuk bisa bergerak bebas seperti sehari-hari diperlukan kira-kira dua sampai tiga bulan, termasuk sembuh untuk bagian dalam diperlukan sekitar setengah tahun. Setidaknya itu kata dokter.”
Bahu Kanna sedikit bergetar, dan dia memberitahu dengan jelas.
“Hn, sepertinya begitulah.”
Biarpun begitu, Iori tetap saja masih tertawa polos.
“Mungkin karena menguntit senpai kencan, jadi dapat hukuman dari Tuhan?”
“Lalu pianonya?”
Mashiro melemparkan sebuah pertanyaan polos pada Iori yang terus bercanda itu.
Dengan satu kalimat ini, perasaan tegang memenuhi seluruh ruangan ni.
“Lalu, bagaimana dengan pianonya?”
Sorata bertanya sekali lagi setelah Mashiro.
“Dengan begitu aku bisa bolos latihan untuk sementara. Aaah…, sepertinya aku harus memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan pacar! Sorata-senpai, tolong kenalkan seseorang padaku.”
Suara Iori yang terdengar ceria itu terdengar sedikit kesepian. Rasanya kegembiraannya ini menyedihkan sekali.
“Mengapa…, mengapa?!”
Kanna yang tiba-tiba mengangkat wajahnya itu menatap Iori dengan tatapan yang tajam.
“Kenapa kau masih bisa tertawa padahal tanganmu itu yang sangat penting?!”
“Kenapa kau marah?”
Sikap Iori tetap tidak berubah.
“…”
Kanna terdiam dengan sikapnya yang seolah tidak tahan dengan semua itu.
Lalu Iori tidak mengatakan apapun lagi.
“…”
Ketenangan ini memenuhi seluruh rungan.
“Semuanya karena aku. Kalau aku tidak menguntit senpai…”
“Huft…, sepertinya harus banyak melatih tubuh ini. Awalnya kukira kalau hanya dia, mungkin bisa ditangkap dengan mudah, tapi akhirnya malah seperti ini.”
Iori berkata dengan suara besar yang seperti ingin menimpa suara Kanna itu, lalu dengan sombongnya sedikit mengangkat tangan kanannya. Sepertinya masih sangat sakit, terlihat wajah Iori yang menyembunyikan rasa sakit itu.
Sekali lagi ketenangan ini memenuhi ruangan.
“Kenapa kau menangkapku?! Tangan itu ada karena untuk memainkan piano, ‘kan?! Sekarang bukan saatnya tanganmu bisa terluka seenaknya!”
“Kanna.”
“Mengapa? Mengapa, huh?!”
“KANNA!”
Kali ini Sorata dengan sedikit kasar memanggilnya.
“———!”
Kanna bagaikan anak kecil yang dimarahi, seluruh tubuhnya bergetar sekali.
“Kanna, apa kau terluka?”
Kanna yang terjatuh dari tangga itu juga menerima pemeriksaan.
“Tidak ada…”
“Kalau begitu berterima kasihlah pada Iori.”
Mashiro menyetuh bahu Kanna dengan pelan.
“Uh! Membuatku bertanggungjawab seperti ini, aku belum bisa berterima kasih!”
Kanna berteriak, dan lari keluar rungan.
“Kanna!”
Suara untuk menghentikannya sudah tidak terdengar lagi olehnya.
“Sudahlah, yang dia bilang juga tidak salah.”
Setelah membalikkan kepala, terlihat Iori yang sedang terbaring di atas kasurnya itu menunjukkan ekspresi yang sedih.
“Aku juga, kalau karena diriku dan kakak terluka, aku pasti akan gila.”
“Iori.”
“Ah, aku tidak apa-apa. Sorata senpai, kuserahkan dia padamu.”
Walau Iori tetap tersenyum, dan di dalam mata Sorata memang terlihat hanya terluka. Tapi karena begitulah…
“Aku tahu. Serahkan padaku.”
Setelah selesai mengatakannya, Sorata dan Mashiro pun meninggalkan ruangan pasien.
Kanna yang dikira Sorata sudah pulang itu, terlihat bayangannya di lobi rumah sakit.
“Sorata, di sana.”
Melihat ke arah jari Mashiro menunjuk, Kanna sedang duduk sendirian di atas kursi panjang. Sorata berjalan ke sana dengan pelan, dan duduk di sampingnya dengan tidak mengatakan apapun.
“Sifatku memang sangat menyebalkan, ya.”
“Aku paham suasana hatimu yang sekarang.”
“…”
“Kalau aku membuat Mashiro terluka parah, mungkin aku akan dihancurkan oleh rasa bersalah.”
Mashiro dan Kanna dengan diam mendengarkan Sorata berbicara.
“Tapi, ya…, menurutku Iori sama sekali tidak ada maksud untuk menyalahkan Kanna.”
“Kalau begitu malahan lebih baik kalau dirinya menyalahkanku, aku mungkin akan merasa lebih lega!”
“Ya, mungkin dengan begitu akan sedikit lebih lega.”
“Tangan yang entah sudah menghabiskan berapa tahun untuk piano itu…, kenapa…”
“Karena tiba-tiba, jadi mungkin tidak sempat berpikir? Cuma karena merasa bahaya, jadi tubuhnya bergerak sendiri.”
“Tapi…”
“Berkat ini, Kanna tidak terluka.”
“…”
Kanna tetap melihat ke lantai, tidak bergerak sedikitpun. Mungkin tidak bisa kembali seperti biasa dengan mudah. Walaupun mungkin bisa menjadi kuat dengan memahami penderitaan sendiri, tapi dirinya malah tidak bisa melakukan apapun terhadap penderitaan orang lain. Perasaan seperti ini menghancurkan hatinya.
“Mengapa…”
Kanna bersuara pelan.
“Mengapa senpai juga tidak menyalahkanku?”
“…”
Sorata tidak menjawab, malah pindah topik.
“Itu, ya, Kanna.”
“Ya…?”
“Maaf, apa boleh menyuruhmu melakukan sesuatu?”
“Baik.”
“Tolong kembali ke Sakurasou untuk membawa pakaian ganti untuk Iori. Ambil dulu bagian untuk dua sampai tiga hari.”
“Aku paham.”
Kanna yang bahkan tidak mempunyai tenaga untuk menolak itu berdiri, dan dengan begitu berjalan dengan langkah kaki yang pasrah, dan keluar dari rumah sakit.
“Aku juga pergi.”
Mashiro bersiap mengejar Kanna.
“Tolong jangan tersesat, ya.”
“Aku akan ikuti Kanna.”
“Kalau begitu, berhati-hatilah.”
Mashiro menganggukkan kepalanya, dengan berlari kecil menyusul Kanna. Setelah tidak tampak lagi bayangan kedua orang itu, Sorata juga berdiri untuk kembali ke ruangan pasien Iori.
Setelah memutar badannya, terlihat Chihiro.
Sensei.”
“Kau sudah mulai ada sedikit sosok kakak kelas, ya.”
“Maksudnya?”
“Bahkan terpikir untuk menyuruh Kanna membantumu, hebat juga.”
“Apa yang sensei katakan?”
Sorata ingin pura-pura, namun malah ditertawakan Chihiro.
“Kau pasti menyuruhnya membantumu untuk mencegah dirinya berpikir yang tidak-tidak.”
“Pikiranku dibaca begitu saja oleh orang rasanya sedikit mamalukan.”
“Berkatmu, pekerjaanku jadi berkurang satu, kau sudah lumayan banyak membantuku.”
“Tolong lakukan pekerjaanmu dengan serius, ya.”
Sorata protes ke Chihiro dengan pandangannya yang terlihat polos itu.
“Aku lakukan pekerjaanku dengan baik, kok. Seperti mengurus prosedur untuk rawat inap, lalu menghubungi orangtuanya.”
Pekerjaan yang lumayan merepotkan.
“Apa Kanda ingin menggantikanku?”
Pura-pura saja tidak dengar.
“Sudah berhasil menghubungi orangtua Iori?”
“Sudah kujelaskan pada mereka.”
“Lalu?”
Chihiro terdiam sejenak, mungkin sedang ragu untuk mengatakannya atau tidak.
“Setelah kubilang Iori keseleo, mamanya terkejut sampai tidak mengatakan apapun.”
“Pantas saja.”
Mungkin masih tidak bisa dibandingkan dengan kakaknya, Saori, tapi bagaimanapun Iori berhasil masuk ke Suiko, jadi seharusnya orangtuanya masih berharap dengannya.
“Mungkin sampai di sini sudah tengah malam, tapi mereka akan tiba hari ini. Sebelum itu, kuserahkan Himemiya padamu.”
Di saat Sorata ingin membalas ‘tidak apa-apa’ tiba-tiba diganggu oleh ponsel Chihiro yang berdering. Chihiro yang mengangkat telepon dengan membalikkan badannya terhadap Sorata. Kalau dianalisi dari keadaannya, seperti itu adalah ibunya Iori.
Walaupun rasanya penesaran, tapi Sorata lebih khawatir dengan Iori, Sorata putuskan untuk kembali ke ruangan pasien.
“Iori, aku masuk ya.”
Sorata yang kembali ke ruangan pasien itu menyapa, dan membuka pintunya.
“Eh? Sorata senpai, bukannya kau sudah pulang?”
Setelah melihat Sorata, Iori mengeluarkan suaranya yang ceria seperti biasanya.
“Aku tidak pernah berkata kalau aku akan pulang, ‘kan?”
Sorata balas dengan begitu, dan duduk di kursi yang ada di samping kasur Iori.
“Apa tanganmu sakit?”
Sorata melihat ke tangan kanan Iori yang dibungkus itu, Iori juga iku melihat ke tangannya sendiri.
“Bagaimanapun keseleo, ya begitu.”
“Hn, benar juga.”
“Ya.”
“…”
“…”
“Nah, Iori.”
“Ada apa?”
“Masih ada bagian lain yang sakit tidak?”
“Kurasa tidak. Bagian lain juga suda diperiksa oleh dokter.”
Sorata tetap memasang ekspresinya yang serius itu di depan Iori yang menjelaskan keadaannya dengan ceria.
“Misalnya di bagian ini…, apakah tidak sakit?”
Sorata memegang ke bagian hatinya, bertanya sekali lagi.
“…!”
Saat ini, Iori rasanya seperti sedang menggigit sesuatu untuk bertahan. Biarpun begitu, ia mencoba berusaha untuk tersenyum, dan bersikap seperti biasanya.
“Tidak perlu menahan lagi.”
“…”
Iori seperti sedang menahan sesuatu, dan merendahkan kepalanya.
“Karena aku tahu tanganmu itu berbeda, sama sekali berbeda dengan tanganku.”
“Sorata senpai…”
Iori yang memaksakan dirinya bersuara itu sedikit bergetar.
“Ini adalah tangan yang didapatkan dengan terus berlatih, ‘kan? Hasil yang didapatkan dengan bermain piano setiap hari.”
“…”
Tidak terlih t senyuman di wajah Iori lagi.
“Mana mungkin tidak khawatir.”
“…!”
Bahu Iori sedikit bergetar, suara yang dihasilkannya itu terdengar seperti sedang menahan nangis.
“Bukan.”
“Iori?”
“Bukan begitu!”
Iori yang tetap merendahkan kepalanya itu menjatuhkan air matanya. Selimut yang berwarna putih itu, perlahan dibasahi air mata dan menjadi kelabu.
“Aku…, aku…!”
Tangan kirinya yang bergerak dengan bebas itu memegang erat tangan kanannya, jarinya yang dipegang erat olehnya berubah menjadi merah.
“Aku benar-benar berpikir sudah hancur. Di saat tanganku sakit, depan mataku semuanya serasa menjadi hitam, aku berpikir sudah hancur, benar-benar hancur.”
Iori yang tiba-tiba membangunkan dirinya itu wajahnya sudah dipenuhi air mata.
“Bahkan saat diambulan, aku juga berpikir semua ini hanyalah mimpi!”
“Iori.”
“Tapi…, tapi, aku malah…!”
Suara Iori yang jelas itu memenuhi ruangan yang diam ini. Ini membuat Sorata lebih derita lagi, karena dirinya sangat paham perasaan Iori sekarang.
“Sekarang memikirkan hal yang terbalik! Dalam hati berpikir, mungkin dengan begitu akan ada alasan.”
“…”
“Alasan untuk tidak mengikuti lomba pada bulan Juli nanti dan merasa lega! Tidak perlu mengikuti lomba nasional yang pernah nee-san mendapatkan juara—tiga tahun yang lalu!”
“…”
“Kalau tangan keseleo, semuanya juga akan merasa tidak ada cara lain lagi…, akan ada alasan untuk menyerah soal piano. Aku, aku…!”
“Iori…”
Sorata yang berdiri itu memeluk Iori.
“Aku merasa sedih pada diriku yang seperti itu!”
Iori terus memeluk Sorata, membuat Sorata merasakan seluruh penderitaannya.
“Iori itu kuat.”
“Aku sama sekali tidak kuat!”
Suaranya terdengar tidak begitu jelas.
“Keraguan ini adalah bukti Iori itu kuat.”
Iori bisa menghadapai pikirannya, dan jujur terhada pdirinya sendiri. Kalau ini tidak kuat? Lalu apalah ini?
“Sorata-senpai…, aku, aku…”
Suara, tubuh, dan jiwa Iori bergetar, seperti menyesal dan terus menangis.
Malam ini, Sorata yang pulang malam karena masalah Iori, menyiapkan makan malamnya di ruang makan Sakurasou. Jarum jam menujukkan beberapa menit lagi ke arah sebelas.
Di meja makan ada Chihiro, Kanna, Sorata, Mashiro bahkan Misaki juga. Kanna dan Mashiro yang sempat kembali mengambil pakaian ganti Iori, sepertinya bertemu dengan Misaki yang baru kembali dari pekerjaannya, lalu Misaki pun mengantar mereka ke rumah sakit.
Setelah lewat dari jam sepuluh, ibu Iori sampai di rumah sakit, Sorata dan lainnnya memutuskan untuk menyerahkan Iori pada keluarganya, dan pulang dengan naik mobil Misaki.
Jin sepertinya kembali ke Osaka karena besoknya ada kuliah.
Mungkin semuanya sudah lelah, semuanya hanya fokus menghabiskan makanan yang ada di depan mereka.
Setelah membereskannya, Iori tiba-tiba berkata, “Kalau begitu, kebetulan semuanya sudah berkumpul, mari mulai rapat Sakurasou.”
“Akasaka tidak, juga, diantara kita ada seorang tetengga.”
Pokoknya coba protes dengan tenang dulu.
“Aku adalah penghuni kebanggan Sakurasou, loh!”
Sejak kapan menjadi seperti itu?
“Itu dibuat kemarin olehku, aku memutuskannya kemarin malam.”
Misaki menjawab sendiri padahal tidak ada yang bertanya. Jangan-jangan suara hatinya terdengar? Sasuga alien.
Sensei, rapatnya bahas apa?”
Sorata memberi pertanyaan.
“Tentu hal-hal tentang Himemiya.”
Mendengar nama itu, bahu Kanna bergetar sekali.
Setelah Kanna pulang, ia tidak mengatakan apapun. Ia merendahkan kepalanya, seperti robot menggerakkan sumpitnya, mungkin dia juga tidak begitu nafsu makan. Hanya piringnya sendiri yang masih terisa banyak makanan.
“Kalau yang keseleo itu tangan kanan, kalau tidak ada orang menjaganya, akan sangat repot, loh.”
Chihiro berkata sambil membuka birnya.
“Apa ibunya Iori akan terus berada di sini?”
“Ia bilang setelah operasinya selesai dan sampai Iori keluar dari rumah sakit kira-kira dua minggu lagi, ia akan tinggal di hotel dekat sini. Untuk sembuh total sepertinya butuh dua sampai tiga bulan. Pokoknya tidak bisa terus berada di sini. Juga sepertinya dia punya urusan.”
“Kalau begitu, dengan begitulah pekerjaan untuk merawat Iori terbentuk!”
Misaki tiba-tiba berdiri dengan membawa wajah yang ceria, dan entah kenapa terus melihat ke Sakurasou. Chihiro juga begitu, bahkan Mashiro juga meliahtnya. Sorata sudah paham apa maksud mereka, tidak ditanya juga tahu. Kalau dengan memikirkan anggota-anggota yang ada di Sakurasou, jawabannya sudah jelas. Yang bisa bertanggungjawab atas pekerjaan ini hanya Sorata sendiri.
“Eh, itu, aku bisa menjaganya.”
“Tapi, tenang saja, tidak akan membiarkan kau melakukan semuanya sendiri.”
Chihiro menghabiskan birnya.
“Jadi anggap saja aku memohon.”
“Baik. Yang bertanggungjawab untuk menjaga Iori sudah diputuskan!”
Lalu saat ini terdengar suara keras yang seperti ingin menimpa suara Misaki, “Aku akan bertanggungjawab.”
Semua pandangan tertuju pada Kanna.
Sekarang juga Kanna masih memasang ekspresi ketakutan dan melihat ke arah meja. Tidak, sepertinya ia tidak melihat ke meja.
“Ini adalah salahku, jadi aku akan bertanggungjawab. Sorata-senpai sudah kelas 3, jadi harusnya sibuk.”
“Tidak perlu pedulikan aku.”
Kanna tidak membalas.
“…”
Mungkin Kanna sudah memutuskannya sendiri.
“Coba pastikan dulu dengan Hase saja. Apa kau benar benar mengerti? Menjaganya berarti membantunya mengganti pakaian, mandi, juga mencuci pakaiannya, loh?”
Nada bicara Chihiro terdengar seperti ‘kau tidak mampu melakukannya’.
“Aku akan bertanggungjawab.”
Kepalan tangan yang ada di atas pahanya itu sedikit bergetar. Sifatnya yang keras kepala itu terlihat berbahaya bagi Sorata.
“Tetap tidak bisa diserahkan padamu.”
Dia jelas jelas menolaknya.
“Mengapa!”
Kanna berdiri dengan menaruh kedua tangannya di atas meja.
“Karena kau anak kecil yang bahkan tidak mengerti dengan hal kecil seperti ini.”
“———!”
“Kalau ingin mengerti, cobalah bertanya pada Kanda.”
Setelah Chihiro meninggalkan tempat duduknya, ia berjalan keluar dari ruang makan dan sama sekali tidak peduli pada percakapan yan belum selesai itu.
Sensei!”
Sama sekali tidak peduli pada Kanna.
Kanna yang entah harus berbuat apalagi itu membalikkan kepalanya menghadap ke Sorata.
Melirik ke Sorata dengan tatapan yang serasa ingin menangis itu.
“Yang ingin dikatakan sensei itu, kalau kau yang menjaga Iori dengan perasaan ingin menebus kesalahanmu, kurasa Iori juga tidak akan tahan dengan itu.”
“…”
Sorata memberitahu Kanna tanpa mengurangi satu kata pun, dan Kanna dengan tidak tahan ingin menangis.
“Kalau tidak aku harus bagaimana!”
Kanna berusaha menahan air matanya, dan luapkan emosinya.
“Seperti biasa. Bersikaplah seperti biasa padanya.”
“Eh?”
Mungkin terkejut mendengar ucapan Sorata, Kanna merasa sedikit lega.
“Tapi, kurasa inilah yang paling sulit.”
Sorata menambahkan.
Hubungan antar orang akan berubah karena beberapa faktor. Juga, perasaan dan hubungan yang sudah mengalami perubahan ini susah untuk kembali seperti awal lagi.
“Seperti biasa…, kalau aku bisa bersikap seperti biasanya terhadapnya, kalau begitu, pekerjaan ini bisa diserahkan padaku?”
Sorata tidak bisa menganggukkan kepalanya. Walau terdengar gampang, tapi sebenarnya tidak begitu. Sorata merasakan susahnya untuk ‘tidak segan pada lawan’ karena hubungannya dengan Nanami.
Berbeda dengan pemikirannya Sorata, Misaki mengangkat tangannya dengan maksud setuju. “Aku tidak masalah!”
“Aku juga.”
Bahkan Mashiro setuju.
Senpai, bahkan Mashiro juga!”
Sorata ingin semuanya tenang sedikit.
“Kanna.”
Karena Mashiro ingin berbicara, jadi dirinya kehilangan kesempatan itu.
“Ada apa?”
“Kalau ada hal yang tidak bisa kau lakukan, katakan saja.”
Awalnya entah apa yang akan dikatakannya, tidak disangka itu sebuah kalimat yang amat biasa. Sedikit…, tidak, rasanya mengejutkan sekali, tapi di saat yang bersamaan juga merasa senang, dalam hatinya terasa hangat.
Di saat Sorata tenggelam dalam perasaan yang hangat ini, Mashiro berkata lagi, “Sorata akan membantu apa saja.”
“Kenapa hal seperti ini selalu kau yang katakana?!”
“Karena aku pacar Sorata.”
“Apa? Aku bilang, ya…!”
“Barangnya Sorata itu sama saja dengan barangku.”
Mashiro yang terlihat puas dengan perkataannya itu mengangguk-angguk kepalanya.
“Nanti saja kita bicarakan cara kita berhubungan untuk ke depannya.”
Sebenarnya bagaimana dia menganggap Sorata?
“Apa sedang pamer hubungan kalian?”
Nada bicara Kanna terdengar dingin, seperti tidak tahan dengan ini. Sepertinya dirinya sudah kembali seperti biasanya.
“Bagaimana menurut Sorata-senpai?”
“Apanya bagaimana?”
“Apa kalau ditambah dengan syarat, aku bisa menanggung pekerjaan ini?”
“Oh, itu yang kau maksud?”
“Tolong dipikirkan.”
Kanna menunjukkan tatapan yang dingin, dirinya sudah kembali seperti biasanya.
“Kalau kau setuju, aku tidak akan menyelesaikan semuanya dengan sendirian.”
“Aku setuju.”
“Baik! Diputuskan si Hase pan akan menjaga Iorin~~!”

Bulan Juni tanggal 19, hari minggu.
Rekor pertemuan Sakurasou hari ini tertulis.
—Pekerjaan untuk menjaga Iorin yang terluak karena menolong si Hase pan, diputuskanlah Hase pan yang bertanggungjawab~~! Tapi, kalau ada masalah harus segera minta tolong pada Kouhaiku, ya! Ditulis - Mitaka Misaki
—Kenapa senpai yang tulis rekor pertemuannya?! Balas - Kanda Sorata.
—Tolong diubah tulisannya. ‘Pekerjaan menjaga Himemiya Iori yang keseleo itu, diputuskan Hase Kanna akan bertanggungjawab’. Balas - Hase Kanna
—Ditolak! Balas - Mitaka Misaki
—Sorata-senpai, tolong aku. Balas - Hase Kanna.
—Maaf, aku tidak bisa membantumu. Balas - Kanda Sorata.
—Aku ngomong dulu, aku buat rekor pertemuan bukan untuk membahas hal konyol seperti ini. Balas - Akasaka Ryuunosuke.