PROLOG – TRADITORE [14:00]
(Translater : DarksLight21; Editor : Hamdi)

Pada awalnya, alam semesta tidak memiliki apa-apa, lalu, dunia tiba-tiba saja terlahir.
Sampai saat ini, ada berbagai macam dongeng yang menggambarkan penciptaan planet Bumi.
Tuhan menciptakan Bumi dalam 7 hari. Atau Dewa Ibu bercinta dengan Dewa Bapak. Atau seorang raksasa atau seekor naga terbunuh, lalu isi bangkainya tumpah, menciptakan segala hal.
Tetapi meskipun dongeng menggambarkan bagaimana Bumi terbentuk, dongeng-dongeng tersebut tidak pernah menggambarkan alasan kenapa dunia itu terlahir.
Keabadian, Ketidakterbatasan, kekacauan—konon katanya dunia muncul tanpa alasan apapun, di tengah-tengah konsep raksasa yang membingungkan pikiran tersebut.
Bahkan dongeng yang disebut sains sekalipun hanya mendefinisikannya sebagai penciptaan langit dan bumi, apa yang disebut Big Bang.
Itu adalah sebuah perluasan raksasa, yang tiba-tiba terlahir dari ‘ketiadaan’ yang bertentangan dari waktu dan ruang.
Kemudian, hal-hal semacam Dewa, cinta, monster, keganjilan serta energi raksasa muncul dari ‘ketiadaan’ ini.
Pada akhirnya—apakah ada alasan khusus tentang penciptaan ini?
Tidak ada.
…Bukan, barangkali memang ada alasannya, tapi paling tidak, sementara orang-orang mempertanyakan alasannya, mereka tidak bisa menemukan sesuatu yang bisa dikatakan sebagai jawabannya.
Hal yang paling pentingnya adalah, apakah pertanyaan ini memang ada tujuannya?
Sebagai contoh, pencipta ‘Clockwork Planet’ ini.
Pencipta terbaru yang mereplikasi dunia ini menggunakan gir.
Dengan kata lain—teruntuk ‘Y’.

“Kenapa kau menciptakan dunia ini?”

Jika ‘Y’ diberi pertanyaan ini, bagaimana dia akan menjawab?
Untuk umat manusia? Untuk menyelamatkan Bumi dari kehancuran?
Apakah sebuah makhluk hidup yang memberikan jawaban masuk akal seperti itu akan menciptakan sesuatu yang ada di luar akal sehat?
Kemungkinan besar dia akan memiringkan kepalanya dan bertanya-tanya,
—Tapi aku tidak pernah memikirkan hal itu.

Malahan, bukan hanya dewa saja yang bisa menciptakan sebuah dunia.
Tinggal menulis sajak, melukis lukisan, menceritakan cerita. Musik dan patung pun bukan masalah.
Kalau tidak mau, tidak perlu memaksakan diri untuk membuatnya; tinggal berkhayal bebas di pikiran masing-masing saja.
Dengan begitu, kita akan mampu menciptakan sebuah alam semesta yang dimiliki oleh kita sendiri.
Selain itu, baik tanpa alasan maupun dengan alasan, hal ini memang tidak memerlukannya.
Orang-orang yang bekerja sebagai novelis, penggambar komik, musisi, maupun pencipta lainnya mungkin menjawab: melakukan hal ini adalah perwujudan pikiran, untuk menghibur semua orang.
Tetapi, jawaban itu hanyalah kebohongan, hanya kepura-puraan.
“Aku membuatnya hanya karena aku ingin.”
—Alasan selain alasan diatas hanyalah alasan yang berlebihan.

Pada awalnya, tidak ada apa-apa disini, lalu, dunia tiba-tiba saja terlahir.
Tidak ada makna sama sekali dalam penciptaan ini.
Tentu saja, bagi kita orang biasa, membayangkan adanya suatu makhluk sangat agung yang membidani keajaiban ini, adalah hal yang bebas dimiliki…
Tapi bagaimanapun juga, hal itu, sama seperti penciptaan dunia, tidak bermakna sama sekali—
Di masa lalu, seorang jenius bernama ‘Y’ menciptakan kembali dunia menggunakan gir.

Lalu, 1000 tahun kemudian…
—Vainney Halter tidak pernah percaya akan takdir.

Dahulu kala, ketika dia masih seorang pemuda, belum diubah menjadi seorang cyborg, sejak hari ketika dia pertama kali masuk ke medan perang, dia selalu—tidak, kemungkinan besar dia memang selalu seperti ini, jauh sebelum saat itu.
Dia melalui sekian banyak medan perang, serta menorehkan sekian banyak kematian.
Disana hanya ada kebenaran polos.
Suatu keyakian kokoh yang telah dipastikan pengalaman dan kenyataan, lalu ketika dia berhadapan dengan serangkaian kebetulan yang sederhana, dia hanya akan menyangkal hal itu serta menyingkirkan pikiran-pikiran yang tidak masuk akal.
Dunia ini tidak bermakna.
Nyawa itu tidak berharga.
Kebenaran itu tidak ada artinya—
Semua itu hanya akan menghilang dengan mudah dari waktu ke waktu, terkadang lenyap dengan cara yang lebih rendah dari kertas yang terkoyak-koyak.
Sebagai perbandingannya, itu sama seperti sebuah mata uang yang kehilangan nilai kepercayaannya sehingga mata uang itu sendiripun kehilangan nilainya dalam sekejap.
‘Takdir’ yang tidak dipercayai akan segera kehilangan nilainya, lalu hanya akan berakhir sebagai sesuatu yang sejenis dengan ‘situasi’.
Oleh karena itu—yang disebut ‘takdir’ itu akan selalu berakhir tanpa banyak usaha.
Jika aku bilang kalau aku ini berbakat menjadi seorang tentara, itu karena aku memahami realita dari kebenaran yang kejam ini. Pikir Halter.

Bazar Timur Grid Shangri-La, Distrik Chang Klang.
Warung-warung yang terletak di jalanan yang berantakan itu disebut bazar malam, di masa lalu, tempat ini adalah objek wisata yang memiliki banyak karya-karya seni tradisional.
Di titik ini, warung-warung tersebut sedang menjual bebas benda-benda ilegal yang akan membuat pemiliknya dijatuhi hukuman penjara selama seratus tahun—benda-benda itu berupa senjata berbahaya, alat perang, obat mencurigakan, pornografi anak serta album film pembunuhan.
Halter yang sedang berbelanja di salah satu warung tersebut, mengamati sebuah pistol besar yang bisa berubah bentuk yang sedang dipajang disana.
Seorang penjaga warung yang sedikit montok menyapa dari dalam warung.
“Tertarik dengan benda ini? Anda punya mata yang jeli, tuan.”
Sang penjaga warung mengusap-usap tangannya dengan semangat, tanda dia siap untuk menjual, ketika melihat hal tersebut, Halter hanya tersenyum simpul dan menjawab,
“Buatan tangan? Kelihatannya sangat kuat.”
“Pistol ini adalah karya dari seorang pembuat terkenal disini yang tiada duanya. Nama pistol ini adalah ‘Monarca’. Pistol ini menggunakan struktur yang dapat berubah menjadi segala hal mulai dari sniping sampai tembakan menyebar. Pada output maksimum, pistol ini mampu menembakkan 20 peluru 15 mm penembus armor keras. Seorang idiot menderita patah lengan saat dia melakukan tes tembakan dengan pistol ini, tapi anda bisa tenang tentang hal itu, tuan…”
Si penjaga warung terus membicarakan bisnis ini, tapi itu bukan karena kesopanannya.
Halter adalah seorang cyborg komplit.
Dia bukanlah model terbaru, tapi dia adalah model generasi kelima yang diisi dengan banyak persenjataan sungguhan yang digunakan ‘militer’. Selain itu, dilihat dari struktur tubuhnya yang besar bagi seorang pria yang melebihi standar, sudah jelas kalau tubuh cyborgnya bukanlah tipe stealth yang menekan output daya, melainkan tipe assault, yang didesain khusus untuk menangani senjata-senjata berdaya tinggi yang tidak bisa ditangani tubuh yang terbuat dari darah dan daging.
Dengan panjang 47 cm serta berat 17 kg—‘benda besar’ ini bisa dibilang sebagai tantangan terhadap batas dimensi dari sebuah senjata portabel.
Tapi tidak aneh kenapa si penjaga warung mengira Halter akan mampu menggunakan pistol ini dengan mudah.
Jari jemari Halter mengusap pistol yang begitu mengkilat seperti sebuah cermin, lalu dia mengangguk dan berkata,
“Begitu ya, benda ini menarik. Kalau begitu akan kubeli.”
“Baik, terimakasih atas pembeliannya. Tolong pergi ke ‘gudang senjata’ untuk tes menembak. Anda bisa mendapat gratis satu jam selama anda mengatakan nama anda.”
“Makasih.”
Halter membayar pistol yang dia beli, mengambil sarung pistol khususnya, lalu memasukkan pistol yang baru dia beli.
Senapan yang baru dia beli itu lebih mirip meriam mini daripada pistol, tapi ukurannya begitu kecil ketika dipasangkan dengan pinggang orang yang berukuran besar seperti Halter.
Halter merapihkan pakaiannya, lalu berbalik pergi.
Melesat melewati gang-gang kecil diantara warung-warung terbuka disana, dia sampai di sebuah area yang menjual berbagai macam barang. Sebagian besar warung disana menjual senjata, alat perang serta automata yang dimodifikasi secara ilegal.
—Lalu di suatu sudut jalan tersebut, ada sekelompok orang aneh yang menimbulkan keributan.
Halter mengenali kelompok tersebut, lalu berjalan mendekat dengan santai.
“—Naoto! Kau sudah sombong bilang kalau kau sudah paham struktur AnchoR dengan komplit kan!? Apa aku anggap kau sudah mengaku kalah karena kau bilang kalau kau tidak tahu suku cadang yang diperlukan!?”
Orang yang memekik tersebut—dengan suara yang agak kekanak-kanakan adalah seorang gadis berambut pirang.
Sang gadis mengenakan kaos tipis berwarna putih, yang dilapisi dengan kamisol zebra serta celana denim culotte, gaya berpakaian yang cukup bebas.
Kontras dengan pakaiannya tersebut, sabuk berisi peralatan yang tampak begitu tua di pingganggnya begitu mencolok mata.
“Berapa kali kubilang, Marie! Aku bukannya tidak tahu suku cadang apa yang harus digunakan, aku cuma tidak tahu nama suku cadangnya!”
Lalu sang pemuda berambut hitam yang bernama Naoto balas memekik ke arah sang gadis.
Dia mengenakan kaos murah bercorak bunga serta overall biru muda.
Selain itu, dia mengenakan noise canceller hijau yang menekan rambutnya yang longgar dan berantakan.
Meskipun keduanya tidak kelihatan kentara, mereka benar-benar tampak mencolok di jalanan yang dipenuhi dengan warung penjual barang-barang mencurigakan.
“Aku akan tahu saat aku melihat suku cadang sungguhan. Bukan masalah, kan?”
Naoto berseru begitu, lalu si gadis pirang—Marie mendengus dengan sikap merendahkan.
“Oho? Jadi artinya kau akan berkeliling ke tiap warung, memeriksa suku cadangnya satu persatu, tuan muda Naoto? Apa kau tahu berapa banyak suku cadang yang kau perlukan?”
“Sudah kubilang, kita bisa melakukan perbaikan sederhana dengan 68.323.405 suku cadang.”
“Jadi biarpun kita menghabiskan rata-rata satu detik untuk menemukan satu suku cadang, kita akan menghabiskan sekitar 790 hari, tahu? Kau mau tinggal di tempat berbau got ini? Kau ini bodoh ya?”
Mata zamrud Marie melotot, lalu mata kelabu Naoto pun balas melotot.
Jika Halter membiarkan mereka begitu saja—seperti saat ini, kedua anak ini akan terus saling melotot seharian. Dengan nada yang ramah, Halter bicara pada keduanya,
“Yo, nunggu lama?”
Lalu Marie yang masih melotot ke arah Naoto menjawab,
“Nggak juga—masih oke. Belanjanya selesai?”
“Ya. Dapat barang yang lumayan. Kalian sendiri…kenapa, sengketa?”
“Tidak, saya rasa pertengkaran mereka tidak bisa dijelaskan dengan kata sehebat itu.”
Orang yang menjawab dengan tenang tersebut adalah seorang gadis automata berambut perak yang berdiri di samping Naoto—RyuZU.
Wajah cantiknya begitu detail, tubuhnya yang terbungkus gaun hitam jelas tampak sangat memikat—meskipun ini bukan waktu yang tepat, dia sungguh menarik perhatian orang-orang yang lewat.
“Tentu saja Master Marie akan meledak karena rasa irinya yang kasar dan rendahan itu meskipun sudah melihat Master Naoto memutar otaknya tapi belum mendapat jawabannya. Saya sungguh berharap kalau Master Marie akan mampu belajar untuk menyembunyikan rasa irinya—karena itu benar-benar berisik.”
“Siapa yang kau bilang iri!?”
RyuZU mengeluarkan kata-kata kasar dengan panjang lebar sehingga membuat Marie menjadi cukup kesal dan membantah.
Kemudian Marie menunjuk ke arah Naoto—
“Dengarkan, orang, ini, disini, kalau saja dia sehebat mulutnya itu, aku nggak akan banyak mengoceh—”
“Erm…Mama.”
Sementara Marie masih dilanda kemarahan, seorang automata dengan penampilan anak perempuan, AnchoR, menarik-narik lengan baju Marie.
Rambut hitam dan ekspresi polosnya sungguh menggemaskan, bahkan automata mainan terbaik pun tidak sebanding dengannya soal kemanisannya. Tetapi, meskipun kepalanya baik-baik saja, tubuhnya benar-benar rusah parah. Aneh rasanya saat melihat tambalan-tambalan di balik pakaian biasanya—yang terdiri dari gaun satu potong yang menutupi seluruh tubuhnya.
AnchoR pun meminta,
“Jangan bertengkar. Ya?”
Marie langsung memeluk AnchoR dengan muka berseri-seri.
Geraman jengkelnya berubah menjadi suara manis yang biasa digunakan untuk memanjakan seekor anak kucing.

“Apa yang kamu katakan, AnchoR—Mama tidak bertengkar kok ♪”
“…Tapi Mama sedang marah, kan?”
“Nggak kok. Nggak marah kok. Mama merasa bahagia.”
Marie mengangkat tubuh mekanik kecil tersebut serta mengusapkan pipinya ke tubuh AnchoR seraya berkata begitu.
Tampaknya Marie sudah membuang tingkah yang baru saja dia tunjukkan beberapa detik yang lalu.
“Iya ya, baiknya kita segera membeli suku cadang buat AnchoR. Jangan buang waktu lagi—yuk?”
“Yah, bodo amat…aku terkesan dengan perubahan moodmu yang mendadak itu.”
Naoto memandang kosong, lalu berjalan pergi.

Halter berpikir.
—Berapa banyak orang yang akan memegangi kepala mereka setelah mendengar percakapan ini?
Ini adalah keadaan sebenarnya dari Second Upsilon, dalang serta pelaku di balik ‘Insiden 8 Februari’ yang mengguncang Jepang sampai ke inti-intinya, sekelompok teroris bersenjata yang dianggap musuh oleh seluruh dunia. Mereka mengawali aksinya dengan pengumuman aksi terorisme di Akihabara sebulan yang lalu, memenimbulkan krisis EMP disana, serta pertempuran kecil di Sakuradamon.
Atau itulah yang tampak di permukaannya.
Tapi sebenarnya, bukan seperti itu. Mereka dengan sukarela menjadi kambing hitam untuk menghancurkan semua konspirasi dan mencegah dunia terjatuh dalam krisis. Mereka bukanlah teroris, tapi bisa dianggap sebagai pahlawan.
Bagi mereka yang sedikit mengerti dengan cara dunia bekerja—pengetahuan setingkat ini adalah hal yang umum.
Tetapi…
“…Ngomong-ngomong, kemana paman Vermouth pergi? Sudah dua hari dia belum kembali.”
“Entahlah. Paling dia pergi ke rumah prostitusi entah dimana.”
“Dengan tubuh itu? Orang mesum macam apa dia itu?”
“Kau sudah tahu kalau preman kecil itu mesum kan.”
Pada saat ini, RyuZU mendesis,
“—Master Naoto, hamba sungguh minta maaf karena menyela saat anda mengungkapkan fetish anda yang unik, tapi mohon dengarkan.”
“Papa, mama, ada orang-orang berbahaya disini…”
AnchoR, yang berpegangan tangan dengan Marie, cemberut serta memperingatkan begitu.
Naoto memicingkan telinganya dengan waspada, lalu bergumam,
“Ada orang-orang yang mengincar kita…”
“—Apa yang terjadi? Halter. Kau sudah menyapa milisi lokal disini kan?”
“Sudah. Tapi ada banyak idiot di jalanan ini yang tidak mau mengikuti perintah dan bekerja dalam kelompok, karena mereka pikir kalau mereka itu penjahat. Kau pikir orang-orang itu akan mematuhi peraturan dengan taat?”
Sambil menjawab Marie, Halter menarik keluar pistol yang baru saja dia beli.
Marie dan yang lain merupakan kelompok paling berbahaya di dunia saat ini. Hadiah bagi kepala mereka saja, baik hidup maupun mati, cukup menggiurkan; apalagi organisasi kriminal yang menginginkan teknologi mereka, jumlahnya sebanyak bintang di langit.
Halter tidak pernah menjelaskan masalah ini sebelumnya, lalu dia menghela napas.
Halter berpikir, inilah masalahnya—
Tidak peduli kebenaran macam apa yang semua orang tahu, kedua automata disini memiliki daya tempur melebihi akal sehat, serta dua orang remaja yang dapat dengan mudah memahami struktur inti sebuah negara.
Di hadapan kebenaran kokoh seperti itu, fakta, baik dan buruk, serta prestasi tidak berlaku.

—Kalau saja Dewa itu tidak ada.
Jika segalanya didorong oleh ‘keajaiban’ yang maha kuasa, ‘sihir’ yang norak, atau ‘takdir’ yang tidak bisa dihindari, maka tidak akan ada orang yang bisa menolak, tidak akan ada orang yang bisa mengeluh.
Tapi kenyataannya adalah mereka hanyalah manusia di permukaan. ‘Kekuatan’ raksasa yang mereka miliki masih tidak bisa dibatasi oleh sistem apapun.
Tidak peduli apa yang keduanya sendiri pikirkan, apa yang mereka miliki adalah ‘wewenang’ luar biasa yang setara dengan Dewa.
Tetapi…

—Vainney Halter tidak percaya pada Dewa.
Setidaknya, dia pasti tidak akan percaya pada Dewa yang absolut, tunggal dan maha mengetahui.
Karena Halter tahu—
Dia tahu kebenaran pahit dan dingin, bahwa tidak peduli seberapa kuatnya suatu hal—tidak ada satupun di dunia ini yang absolut.
Sejak insiden itu di Tokyo, polisi, ‘militer’ dan berbagai macam organisasi kriminal datang mengepung Naoto dan yang lain dengan kekuatan penuh demi menangkap mereka—tapi mereka semua salah besar.
Pemikiran sederhana mereka, yaitu mencoba menantang Gir Imajiner serta Gir Kekal dengan kekerasan itu sendiri adalah hal yang salah.
Mereka harusnya tidak melawan orang-orang yang tidak bisa mereka kalahkan—mereka harusnya menyingkirkan orang-orang tersebut.

—Vainney Halter bukanlah seorang Meister.
Dia tidak punya bakat supernatural untuk memahami dunia ini seperti dua orang anak di depannya, juga tidak memiliki ketrampilan yang dimiliki para spesialis di ‘Meister Guild’. Bahkan setelah membuang kerugian akibat tubuhnya yang berupa cyborg, sebagai seorang Gazelle—pengetahuan dan keahlian yang bisa diperoleh orang biasa dari bekerja keras, itulah batasannya.
Tapi itu belum cukup.
Tidak peduli seberapa rumitnya sebuah jam, selama ada satu suku cadang yang bermasalah—maka semuanya akan berhenti.
Tidak peduli bakat seperti apapun, kebenaran ini tidak akan pernah berubah.

—Oleh karena itu, dia hanya perlu melakukan ini.

Dengan gerakan yang wajar, Halter mencengkeram bagian belakang leher Naoto, lalu menodongkan pistol ke pelipisnya.
Suasananya menjadi beku.
“…Boleh saya bertanya apa yang sedang kau lakukan, besi rongsok?”
RyuZU pelan-pelan membalikkan tubuhnya.
Halter menghadapi niat membunuh dari pandangan RyuZU yang mungkin mampu membunuh siapa saja, lalu dia tersenyum dan berkata,
“Begitulah, Missy. Mengutip film kelas tiga, lakukan yang kukatakan kalau kalian ingin orang ini hidup.”
“Paman?”
“Halter, apa yang kau—!?”
Naoto bergumam tidak percaya, sementara Marie membelakkan matanya dengan kaget, tidak bisa berkata apapun.
Halter menyandera Naoto, dan pelan-pelan menambah jaraknya dari RyuZU sambil berpikir,
Aku masih hidup—
Bisa dianggap kalau ini adalah kemenangan baginya.
Halter hanyalah seorang cyborg militer tua, normalnya, mengingat kemampuan mengerikan dari automata disana, dia akan dicincang dengan kecepatan yang tidak akan dia sadari.
Mengingat posisi dan timing ini, meskipun dia tidak bisa memotong peluru atau pistolnya sebelum Halter mampu menarik pelatuknya dan menembak kepala Naoto …
RyuZU sendiri punya rencana cadangan.
RyuZU mampu membalik situasi ini dalam sekejap dengan menggunakan Dual Time—Mute Scream.
Tapi RyuZU tidak melakukannya. Dia tidak bisa melakukannya.
Karena dia mengerti kalau itu sia-sia saja.
“Terimakasih karena sudah berhati-hati.”
Halter masih tersenyum, lalu melanjutkan kata-katanya,
“Kalau kau pikir cuma aku yang mengincar Naoto, yah, itu salah besar. Baik Naoto dan aku pasti akan mati nanti.”
“…”
“Untuk berjaga-jaga saja, akan kukatakan kalau bukan hanya penembak jitu di sekeliling kita. Aku tahu kemampuanmu dan telinga Naoto, tidak sulit bagiku menyiapkan panggung yang menyegel segalanya.”
Benar, itu tidak sulit.
RyuZU membutuhkan beberapa detik sebelum dia bisa masuk ke mode ‘Mute Scream’. Dengan anggapan kalau beberapa detik tersebut bisa diminimalisir, itu hanya satu masalah yang terpecahkan.
Setelah RyuZU masuk ke mode ‘Mute Scream’, daya yang dihasilkan dari pegasnya akan habis.
Jika dia masuk ke dalam Dual Time tanpa mengetahui posisi musuh—ancaman, posisi dan jumlahnya, jika dia melupakan satu saja, Naoto akan menjadi tidak terlindungi dan terancam bahaya.
RyuZU tentu saja tidak bisa mengambil resiko seperti itu.
“Apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
“Pergi, tentu saja. Sabit hitammu itu benar-benar mengerikan.”
“Baiklah—lakukan saja. Meskipun kau kabur ke jamban—mohon maaf atas kata kotornya. Meskipun kau bersembunyi di bawah penutup toilet, aku akan menyeretmu keluar, meskipun aku harus meratakan seluruh kota ini…”
“Tidak masalah. Kuharap kau melakukannya—kalau begitu pertarungan antar saudari akan dimulai.
“!? Itu—”
Naoto berontak dari cengkeraman Halter.
Tetapi, Halter tetap bersiaga dan menodongkan pistolnya ke arah Naoto.
“Maaf Naoto. Tidak ada usul maupun pertanyaan. Kau bicara apapun, aku akan langsung menarik pelatuknya. Mengoceh lagi, rencana ini akan gagal.”

“…Ugh.”
Perasaan dingin pistol tersebut di pelipisnya membuat Naoto bungkam sebelum dia berbicara.
Di sisi lain, Marie berteriak dengan suara bergetar,
“…Apa yang terjadi disini? Halter, apa yang kau lakukan?”
Halter melihat sang gadis menunjukkan kebingungan dan kemarahan, dua buah emosi yang menusuknya dengan pelototan gadis tersebut, lalu Halter meringis sambil menjawab,
“Maaf Marie, ini juga pekerjaan.”
“Pekerjaan…?”
“Seorang pelanggan berharga menaruh hadiah besar untuk kepala dan telinga orang ini. Dia mampu memahami sebuah Menara Inti, kau tahu seberapa berharganya bakat ini tanpa perlu kukatakan, kan?”
“Kenapa—kau mengkhianati kami!?”
“Berkhianat?”
Halter mengulangi kata-kata Marie dengan kosong, dia terperanjat.
“—Maaf Putri. Aku tidak ingat menandatangani kontrak denganmu, maupun menerima gaji darimu. Aku hanya membantumu berdasarkan niat baikku—sebagai salah satu warga dunia, aku tidak bisa membiarkan emosiku menghalangi pekerjaanku, kan?”
“HALTER—!!”
Marie memekik keras dengan bibir gemetar karena marah.
Orang bisa mendengar sedikit kebencian dari kata-kata tersebut.
—Tapi bagaimanapun juga.
Bakat dan kemampuan yang mengguncang dunia tersegel begitu saja.
Dan dalam suasana rawan yang hampir meledak ini, Halter tersenyum enteng—mengenang arti dari ‘pekerjaan’ kali ini.

Semuanya berawal dari dua hari yang lalu—-