INGIN MEMBERITAHU PERASAAN INI
(Translater : Blade; Editor : Hikari) 

Bagian 1
Menyambut malam ketiga di Hokkaido.
Ini adalah malam yang terakhir.
Besok sore mereka akan pulang dengan naik pesawat dari Bandara Hakodate. Lalu, malamnya akan sampai di Bandara Haneda, dan malamnya sudah sampai di Sakurasou. Pada saat seperti ini besok, seharusnya sudah akan tidur dikamar no.101.
Sorata berbaring di kasur, dalam hatinya terus memikirkan hal-hal seperti ini.
Di bawah lampu yang gelap, Sorata dengan melamun menatap ke gambar yang ada di langit-langit kamar.
Padahal sudah ditutup, tapi lampu yang masih terlihat bersinar itu rasanya ajaib sekali.
Iori yang berbaring disamping tertidur pulas.
Dan Ryuunosuke berada di kasur yang satu lagi.
“Nah, Akasaka.”
Walaupun mungkin sudah tidur, tapi Sorata ingin mencari orang untuk mengobrol dengannya, maka Sorata memanggilnya.
“Apa kau sudah tidur?”
“Sudah.”
“Padahal kau masih bangun.”
Sorata tertawa ringan.
“Suara napas Sorata yang tidak tenang itu sangat menggangguku tidur.”
“Kalau begitu maaf sekali.”
“Yang benar saja. Sekarang keluar, dan kembalilah setelah pikiranmu tenang.”
“Benar juga, mungkin lebih baik seperti ini.”
Sorata mulai bangun dengan mengikuti saran Ryuunosuke.
“Hnn~~” Iori mengeluarkan suara yang manja, namun tidak ada tanda-tanda akan bangun.
“Kalau begitu, aku akan segera kembali.”
“Sebelum pikiranmu tenang jangan kembali dulu. Merepotkan sekali.”
“Aku akan berusaha semampuku.”
Sorata pun langsung berjalan keluar dari kamar setelah mengatakannya.
Benar-benar malam terakhir, biar pun sudah mau subuh jam 1, tapi sebagian besar kamar lampunya terlihat masih menyala, dapat terlihat sinar lampu dari celah pintu kamar.
Biarpun dihalang oleh pintu juga bisa dengar suara bicara yang sangat besar. Sepertinya semuanya berharap malam terakhir ini bisa lebih lama. Guru juga sepertinya karena tahu ini, jadi patroli malam ini lebih santai.
Pokoknya, tidak terlihat guru yang bertugas patroli di koridor.
Sorata dengan mudah sampai di lift, menekan tombol, dan naik ke lift yang sudah tiba.
Dengan tidak sadar merasa tertarik oleh promosi ‘lobi pengamat pemandangan’, menekan tombol lantai paling tinggi. Lift pun mengeluarkan suara yang menandakan sedang naik, dan naik dengan perlahan.
Bunyi bel yang menandakan tiba terdengar, setelah pintu lift terbuka seluruhnya, Sorata sampai di lantai tertinggi.
Di tempat yang diapit oleh tempat pemandian pria dan wanita, ada sebuah lobi yang digunakan untuk mengamati pemandangan.
Depannya kaca, jadi bisa melihat gunung Hakodate. Kalau jamnya lebih awal, bisa saja juga mengamati pemandangan malam disini. Bagaimanapun sudah malam, lampu yang berada dijalan rata-rata sudah padam, dan tampak sangat sepi.
“Jam bebas sudah berakhir loh.”
“!”
Terdengar suara dari sebelahnya, Sorata terkejut.
Setelah diperhatikan, Chihiro sedang duduk di kursi yang sepertinya terbuat dari kulit pohon itu sedang menikmati birnya.
“Sensei.”
Sorata kemudian mendekat dan duduk di kursi yang berada disampingnya.
“Kenapa tiba-tiba kau duduk disini?”
“………….akhirnya aku paham.”
“Trik untuk bahagia? Kalau begitu kau wajib memberitahu aku.”
“Maksud ‘salah paham’ yang sensei bicarakan.”
“Begitukah? Omong-omong, ekspresimu terlihat lebih lesu dari biasanya?”
“Karena sudah paham, jadi hanya bisa menunjukkan ekspresi seperti ini.”
Wajah Sorata yang tertampak di cermin itu, sekarang tetap saja terlihat seperti baru selesai menangis.
Di sampingnya, Chihiro juga dengan seperti merasa repot dan menguap.
“Yang benar………bukannya sejak awal sudah kuberitahu kau jawabannya?
“Eh?”
Sorata memberi pandangan yang  bingung pada saat dia bersuara.
Chihiro tidak peduli dengan itu dan terus menikmati birnya.
“Aku sudah pernah bilang kau sedang pusing memilih salah satunya dari 3 pilihan kan?”
“………..”
“Berpacaran dengan Mashiro, atau dengan Aoyama, atau menolak keduanya.”
Sepertinya itu pada malam hari setelah dinyatakan perasaan oleh mereka berdua.
“Kalau saja Kanda tidak punya maksud itu, sama sekali tidak perlu menaruh pilihan berpacaran dengan Aoyama kan.”
“Itu……….”
Setelah dibilang begitu, sepertinya memang begitu.
“Harusnya kau punya cara untuk mengatakan ‘maaf’ dulu kan. Bagaimanapun kau juga tidak sepintar itu sampai akan menyimpannya karena merasa sayang.”
“……….aku juga bisa selicik itu ya.”
Sorata sama sekali tidak menolak pernyataan yang dikatakan oleh Chihiro.
“Kau tidak punya cara untuk melakukan itu. Yang terakhir pasti akan dihancurkan oleh rasa pengkhianatan terhadap Aoyama, jadi pasti akan menyingkirnya dulu.”
“………….”
Walaupun dikatakan begitu memang tidak menyenangkan, namun sepertinya memang begitu. Karena diri sendiri yang tidak pandai dalam mengurus hal seperti ini.
“Karrna Kanda terlalu keras kepala. Tapi, Aoyama juga begitu sih.”
“Itu bukan sedang memujiku kan?”
Chihiro tidak menjawab, malah bertanya semakin dalam.
“Apa kau ingin kabur?”
“Kalau saja ada cara seperti itu…………”
“Kalau begitu anggap saja salah satu rasa ‘suka’nya hanya karena terlalu banyak berpikir, lalu menolaknya, setelah itu anggap saja seperti tidak pernah terjadi.”
“……………”
“Orang dewasa yang pintar ya, semuanya bersikap seperti ini ketika bertemu kenyataan yang merugikan dirinya sendiri, tidak menghadapi perasaan yang akan melukai diri kita sendiri. Jadi anggap saja sejak awal memang sudah tidak ada, nanti perasaan sakitnya hilang sendiri kok.”
“…………”
Memang begitu. Karena begitulah makanya pusing, karena perasaan yang merebutnya ada 2, jadi mencoba untuk memahami.
Jadi seperti yang Chihiro bilang, anggap saja salah satu perasaannya hanya karena dirnya terlalu banyak pikir, jadi sejak awal tidak perlu repot-repot lagi untuk memilih salah satu, atau memutuskan salah satu, dengan begitu mungkin saja situasi Sorata mungkin akan membaik.
Hanya, Sorata sama sekali tidak bisa menerima itu. Tidak mungkin ia bisa menerima itu. Ada sebuah perasaan yang menyuruhnya untuk tidak melakukannya.
“Hal seperti itu……hal seperti itu mana mungkin bisa kulakukan.”
Sorata berkata dengan suara yang kecil, dan ingin melawan perkataan Chihiro.
“Kenapa?”
“Perasaanku yang sekarang! Tidak membolehkanku untuk bersikap seperti itu!”
Berkata tanpa ragu, perasaannya seketika memuncak.
“Perasaan ini ada karena waktu-waktu yang kuhabiskan saat bersama Shiina juga Aoyama! Kalau sekarang aku menolak perasaan ini, anggap hanya terlalu banyak berpikir, atau salah paham, itu sama saja dengan melupakan semua kenangan yang kuhabiskan saat berada di Sakurasou! Bahkan kenangan bahagia saat bersama Shiina dan Aoyama, saat bertengkar……. semuanya sangat berharga…….. jadi……. jadi…….. aku tidak bisa melakukan hal yang akan mengkhinati semua ini!”
Perasaan terhadap keduanya, bukan baru muncul 1 atau 2 hari yang lalu, perasaan ini ada karena masa-masa bahagia saat di Sakurasou. Perasaan ini terus berkembang, dan akhirnya hari ini tiba. Melewati hari-hari yang begitu berarti, Sorata akhirnya menyadari perasaannya.
Jadi tidak boleh menolak sekarang. Untuk sampai di hari esok, maka ada kemarin, lusa, minggu lalu, bulan lalu, bahkan tahun lalu.
Karena mengetahui inilah, Sorata memutuskan untuk menerima ‘2 orang yang menyukai’ dirinya itu. Merasa betapa menyedihkan dirinya, bahkan sempat curiga apa yang dirinya pikirkan, biarpun begitu, daripada lari dari penderitaan, dan membuang kenangan yang begitu berarti.
Akan lebih baik daripada mengkhianati hari-hari yang begitu berarti. Dan harus membawa perasaan sesak dan penderitaan saat ini……….melangkah ke hari esok.
Inilah yang dipelajari Sorata saat berada di Sakurasou. Kehidupan sehari-hari yang bersama-sama di Sakurasoulah membuat Sorata mengerti.
m“alah memilih untuk menjadi repot, dan memilih jalan yang paling sulit? Makanya kubilang kau itu keras kepala sekali.”
“Aku tahu. Aku tahu diriku sangat aneh………..punya perasaan suka terhadap Shiina dan Aoyama, sebenarnya apa yang terjadi………aku pasti sakit………”
“Tidak aneh sama sekali kok.”
“?”
“Juga tidak sakit.”
“Tapi!”
“Jangan-jangan kau masih percaya soal seperti ‘di dunia ini hanya ada 1 jodoh untuk 1 orang’?”
“………….”
“Manusia ya, tidak ‘sebersih’ sampai hanya akan menyukai 1 orang.”
“Tapi…….”
“Perasaan saat kita menyukai seseorang itu bukanlah sesuatu yang bisa kita kontrol dengan mudah, lalu perasaan yang bisa dikontrol itu, juga sulit untuk kita percaya kan?”
“……………”
“Pastilah, saat kita menjadi dewasa, kita bisa berbohong dengan ekspresi yang biasa saja terhadap semua ini. Kata-kata yang pernah kita ucapkan pada orang yang pernah kita temui, atau bahkan perasaan yang kita dapatkan harus kita buang, dan lari dari kenyataan karena tidak ingin terluka. Karena diri kita tahu, memilih salah satu di antara 2 hal yang penting itu, merupakan hal yang sangat susah, jadi awalnya kita perlu membuat urutan. Tapi, untuk apa itu? seperti yang kau bilang tadi, ini sama saja seperti membuang kenangan yang berharga, bahkan itu sama seperti mengkhianati perasaan semua orang yang berada disekitarmu. Apaan sih, padahal cuma seorang Kanda, tapi kau paham tentang ini.”
“Biarpun aku tahu, apa yang bisa kulakukan?”
“Alasan kenapa kau tertarik oleh Mashiro dan Aoyama, hanya karena mereka adalah gadis yang baik, itu berarti waktu yang kalian habiskan itu sangat berharga, hari-hari yang kalian habiskan bersama-sama merupakan sesuatu yang bisa kalian banggakan. Juga, wajar saja bila tumbuh perasaan antara kalian karena terjadi berbagai hal yang menyenangkan. Di lingkungan yang seperti ini, menurutku kalau ada orang yang tidak merasakan apa-apa itu aneh sekali. Lalu, akibat yang timbul dari kejadian ini, itu kau? Tak salah kan?”
“Benar…….”
Hubungan dengan Mashiro ataupun Nanami menghasilkan Sorata yang begini. Walaupun tidak semuanya, tapi kedua orang itu menempati ruang yang sangat luas, Sorata merasakan itu.
Karena kehadiran Mashirolah, dirinya bisa melangkah menuju ke impiannya.
Karena kehadiran Nanamilah, dirinya baru bisa terus berpikir untuk terus berusaha.
“Semuanya hanya berpura-pura saja, memberitahu dirinya hanya tertarik pada 1 orang, lalu terus melanjutkan semua ini. Bukannya tidak ada perasaan sama sekali, bukan perasaan yang tidak berubah sama sekali, bukannya tidak bisa tumbuh perasaan baru. Kalau dilihat dari soal apakah boleh pacaran atau tidak, orang yang berpikir ‘mungkin bisa dicoba’ itu tidak akan hanya ada 1, apalagi setelah menjadi dewasa kau akan semakin merasakan itu.”
“………..”
“Kau juga merupakan salah satu orang yang memiliki salah satu ini, seorang siswa SMA yang ada di mana mana saja, tidak sempurna, banyak sekali kekurangannya, bodoh namun serius, orang baik yang tidak bisa membiarkan kucing berkeliaran di luar, baik dengan Kamiigusa, disayangi Mitaka, bahkan bisa bergaul dengan Akasaka, juga pandai dalam menjaga siswa baru…….lalu, hanyalah orang normal yang menyukai Mashiro dan Aoyama.”
Sorata merasa seperti ingin menangis saja.
“Di dunia ini tidak ada 1 pun orang yang hanya memiliki sisi yang  bagus saja, malahan terbalik.”
“Terbalik?”
“Tidak pernah gagal, juga orang sempurna yang tidak pernah pusing dan salah itu tidak menarik bukan. Aku tidak tertarik dengan orang yang begitu membosankan. Makanya, tidak akan pernah bosan bila tinggal di Sakurasou.”
“Sensei………”
Pandangan Sorata tiba-tiba menjadi tidak jelas.
“Aku dan aku, Mashiro, Aoyama, Kamiigusa, Mitaka dan Akasaka juga. Bahkan Himemiya dan Hase juga……banyak sekali kekurangan kan? Tapi ya, seburuk itukah bila begitu?”
“Ya……….”
Sorata menyukai orang yang tinggal di Sakurasou. Mungkin mereka adalah murid yang bermasalah, namun semuanya terasa menyenangkan.
“Kanda.”
“Ada apa?”
Sorata hampir menangis.
“Pasti karna dirimu yang seperti itulah, Mashiro dan Aoyama tertarik denganmu.”
Perasaan yang sudah ditahan begitu lama oleh Sorata akhirnya berubah menjadi tetesan air mata yang besar, 1 tetes demi 1 tetes keluar dair mata Sorata, dan menempel dilutut.
“Jangan begitu, ini kelihatan seperti aku sedang menjahilimu.”
“Semuanya karna sensei…….”
“Apa? Apa kau merasa tidak puas.”
“Bukan……….”
Sorata berusaha menghapus air matanya namun telat, air matanya tidak memberi tanda-tanda akan berhenti.
“Bukan. Karena sensei mengatakan hal yang begitu lemah lembut, jadi merasa terharu………..”
“………..kalau begitu, aku sekali memberitahumu 1 hal.”
“Apa itu?”
Sorata bertanya sambil membersihkan ingusnya.
Biarpun ingin berhenti menangis, tapi tidak bisa.
“Yang harus kau lakukan sekarang bukan merendahkan dirimu, bukan merasa dirimu sangat hina dan sedih.”
“…………..”
“Sekali lagi akuilah perasaanmu, biarpun kau tidak berguna, buruk atau jelek tidak apa-apa. Kau sudah putuskan akan menghadapi perasaanmu kan? Kalau begitu, menyukai Mashiro atau Aoyama secara bersamaan tidak apa. Hanya sekarang, aku membolehkanmu begitu.”
“………ya.”
“Setelah kau mengakuinya, kau tahu apa yang harus kau lakukan kan?”
“Ya.”
“Coba.”
Sorata mengatakannya dengan sambil menahan tangisannya itu.
“Aku akan memutuskannya sendiri.”
Lalu dia menatap ke Chihiro dan berkata begitu.
“Hanya itu?”
“Setelah diputuskan maka tidak ragu lagi!”
Suaranya setengahnya terdengar habis.
“Benar. Tidak peduli sesakit, susah ataupun pusing apappun, pokoknya kau harus mendapatkan jawabannya.”
“Ya……….”
Jawaban yang disertai dengan suara tangisan itu terdengar sangat menyedihkan.
“Apa yang kau sukai dari Mashiro.”
Suara Chihiro terdengar begitu lembut.
“Mengejar impiannya tanpa ragu……….”
Suara Sorata berubah total.
“Hanya itu?”
“Selalu melihat ke depan……….”
“Lalu?”
“Selalu makan baumkuchen(kue bolu).”
“Ya.”
“Walaupun terlihat bisa diandalkan, tapi selalu egois dan keras kepala, dan marah kalau tidak suka dengan sesuatu……dia juga suka merepotkanku.”
Dengan memikirkan Mashiro, Sorata tersenyum dengan alami. Senyuman yang terlihat menyedihkan karena sedang menangis.
“Dengan cepat sudah menjadi komikus, dan memulai serialisasinya, dan dengan sekejap sudah melangkah maju banyak, membuatku merasa menderita, sampai sampai hampir membencinya. Padahal sudah hampir membencinya, tapi entah mengapa, termasuk ini semua, terhadap dia , aku……….”
Perasaan yang berubah menjadi kata kata ini, Sorata sudah tidak bisa mengatakan apapun.
“Kalau begitu, bagaimana dengan Aoyama?”
Chihiro berhenti sejenak, dan mulai bertanya.
“Aoyama selalu berusaha keras……….menghadapi segala hal dengan serius……..”
Sudah tidak tahu ini berapa kalinya dia mengusap ingusnya. Suaranya terdengar habis, sampai sampai Sorata tidak tahu apa yang sedang dikatakannya sendiri.
“Ya.”
“Walaupun sedikti keras kepala………”
“Tapi, karena begitulah dia terlihat imut kan.”
Sorata mengangguk-angguk kepalanya beberapa kali.
“Akan segera marah kalau bercanda dengan dia…….kadang juga merasa begitu merepotkan, juga rasanya bahaya kalau dia berusaha terlalu keras, walaupun berencana melakukan semuanya sendirian, tapi rasanya tidak bisa membiarkannya. Aneh sekali.”
Sorata tertawa, air matanya terjatuh lagi.
Wajahnya sudah mulai menjadi kotor dan basah.
“Akan kembali dengan logat Kansai saat malu……..juga, sudah janji dengannya untuk semangat bersama-sama, ini benar-benar mendukungku untuk terus berusaha! Apa hati kita terhubung? Tidak hanya janji yang kosong, rasanya bisa terus berusaha bersama sama Aoyama………juga dia sangat sensitif dengan berat badannya……..tapi kemarin lusa masih saja merasa akan bolos kalau tiket potongan harga tidak dipakai, jadi makan 2 es krim? Ini juga memberi kesan seorang gadis, pokoknya……….”
Perasaan………begitu memenuhi dirinya, namun semua tidak dapat berubah menjadi kata-kata………
Perasaan yang tidak palsu.
Lalu, urusan kedua orang itu juga harus diselesaikan hari ini.
Besok, yang hanya bisa berada disamping Sorata hanya 1 orang.
Kelak nanti, yang hanya bisa berada disamping Sorata juga hanya 1 orang.
Karena di dunia ini tidak memiliki sihir yang bisa membuat semua orang bahagia.
Sorata tidak mempunyai kemampuan itu.
Seperti yang Chihiro katakan, Sorata hanyalah seorang siswa SMA yang bisa dijumpai di mana-mana. Masalah sendiri saja sudah tidak mampu, mana mungkin Sorata mempunyai tenaga lebih untuk menggenggam tangan orang lain.
Karena dirinya sudah menjadi orang dewasa yang mengakui hal ini.
Sudah tidak bisa kembali lagi, tidak bisa kembali lagi ke dalam kenangan yang polos dan bahagia. Sudah paham……..masa yang lemah lembut itu ada karena untuk menyambut hari ini…….ada untuk bisa melangkah ke hari esok yang lebih cerah………Sorata sudah memahami itu.
Jadi dia tidak bisa berteriak juga sedih, memikirkan Mashiro dan Nanami yang memilih terus maju, selain menangis, yang bisa Sorata lakukan hanya menangis.
“Sensei…….”
“Wajah yang menyedihkan.”
“………..air mata itu ternyata hangat ya.”
Setelah Sorata menghempaskan seluruh perasaannya, yang tersisa itu perasaan seperti ini.
Selalu mengira air mata itu dingin, tapi ternyata begitu hangat. Sorata dapat merasakan air mata itu sesuatu yang hangat.
“Kanda.”
“Apa?”
“Berterima kasihlah pada kedua orang itu yang mengajarkanmu hal ini.”
“…………!”
Sorata tidak bisa menjawab, suaranya terhenti di suatu tempat, jadi Sorata terus menganggukkan kepalanya di depan Chihiro. Di dalam pikirannya terbayang Mashiro dan Nanami……….
“Aneh, bahkan aku mulai merasa sedih.”
Sambil mengatakannya, Chihiro pun kesampingkan wajahnya.
Melihat dia mengusap matanya, sepertinya bukan karena Sorata terlalu banyak berpikir.
Setelah Sorata kembali ke kamar. Jam menunjukkan subuh jam 2 lewat 3 menit.
Dia berbaring dikasur.
Menarik napasnya pelan-pelan.
“Hei, Akasaka.”
“…………”
Tidak ada balasan.
“Apa kau sudah tertidur.”
“Sudah.”
“Padahal kau masih bangun begitu.”
“Ada apa?”
“Aku ya……..”
Menutup matanya pelan-pelan.
Yang muncul itu bayangan seorang gadis.
“Sudah kuputuskan.”
“…………”
“Sudah diputuskan.”
Suaranya hilang dengan perlahan di malam yang begitu sunyi.
“Begitukah?”
Reaksi Ryuunosuke selalu dingin seperti biasa. Tapi Sorata sekarang malah senang dengan ini. Terhadap segala hal yang terus berubah.
Hal yang tidak berubah.
Sorata berada didalamnya.
“Sudah kuputuskan.”
Lalu, Sorata dan Ryuunosuke pun tidak berbicara lagi.

Bagian 2
Bangun pagi, rasanya segar.
Sorata membuka matanya, menyadari dirinya sedang tidur dengan sikap yang rapi, yang pertama kali dilihatnya bangun adalah cahaya yang berasal dari celah jendela.
Tubuhnya tidak terasa gugup, tidak terasa panik ataupun menyesal, malah terasa semangat.
“Iori, sudah pagi.”
“Aku akan bangun setelah kau menciumku~~”
Iori masih saja mengigau.
“Baiklah, tidurlah selamanya seperti ini.”
Sorata membiarkan Iori.
Ryuunosuke masih berbaring di kasur yang berada di samping Sorata.
“Akasaka, sudah pagi.”
“Kanda menyebabkanku belum tidur selama 8 jam.”
Dia mengangkat badannya, dengan sikap wajah menempel pada bantal. Tubuh yang proporsional dan rambut yang panjang, dan bayangannya akan membuat salah paham kalau dia seorang gadis.
“Kalau begitu lanjut tidur saja.”
Sorata turun dari kasurnya, ia pun pergi sarapan setelah dia selesai sikat gigi dan mencuci mukanya.
Sampai di hotel lantai 2, masuk ke dalam ruang makan. Murid Suiko sedang menikmati sarapannya.
Dengan sekali menghabiskan sup misonya, sekarang baru sadar sup dengan bahan laut ternyata sangat enak. Kalau saja bisa lebih santai, mungkin rasanya akan terasa lebih enak. Tapi, sekarang cukup begitu saja.
Setelah menaruh kembali piring dan lain lainnya ke tempatnya, Sorata kemudian meninggalkan ruang makan dengan menikmati sesaat pemandangan para murid Suiko yang sedang menikmati sarapannya.
Setelah balik ke kamar, selesai mengganti baju, saatnya merapikan bawaan selama 4 hari 3 malam ini.
Melihat ke jam. Jam 9 lewat 40. Sekarang sudah menjadi 41.
Meninggalkan Ryuunosuke dan Iori yang masih tertidur, Sorata berjalan keluar dari kamarnya.
Di dalam hall hotel, terlihat beberapa murid Suiko yang berkumpul.
“Telat sekali!” kata seorang murid perempuan yang menceramahi murid laki-laki. Tapi dengan segera tersenyum lagi, 2 orang itu kemudian berjalan bersama-sama. Reaksi yang manis, sepertinya itu pasangan yang baru menjalin hubungannya saat retret perpisahan ini.
Sedikit lebih telat dari kedua orang itu, Sorata pun berjalan melewati pintu otomatis.
Udara segar siang ini terasa menyegarkan.
Dengan melangkah menuju tujuannya, rasanya ada sesuatu yang tidak cocok, setiap langkahnya terasa ringan sampai dia sendiri merasa bingung. Sorata bahkan mulai melupakan rasanya berjalan biasanya seperti apa, terasa tidak begitu nyaman.
Biarpun begitu, langkah Sorata tidak berhenti. Sudah memutuskan untuk tidak berhenti.
Ini adalah sebuah ketulusan yang Sorata berusaha lakukan. Biarpun telat, atau terlalu lama, harus dengan sekuat tenaga untuk membalasnya. Setidaknya Sorata ingin melakukan ini.
Sudah 10 menit sejak meninggalkan hotel.
Sorata datang ke tempat yang sudah dijanjikan kemarin.
Tempat yang ia datangi adalah stasiun Hakodate.
Stasiun yang terlihat luas ini, di salah satu sudut papan panduan, Nanami sedang menunggu dengan sedikit merendahkan kepalanya.
Setelah Sorata mendekat, sepertinya Nanami merasakan suara langkah kaki, dengan menggelengkan ikatan ekor kudanya dia mengangkat kepalanya.
Ekspresinya pertam-tama itu terkejut.
Lalu seperti mengetahui sesuatu, matanya berlinang air mata.
Lalu, disaat dia menatap ke Sorata, ekspresinya juga menjadi gelap.
Dengan menjaga jarak sekitar 2 meter, Sorata menghentikan langkahnya.
“Begitukah? Ternyata begitu…….”
Nanami menunjukkan senyuman yang terlihat lega.
Sorata melihat ke ekspresinya, dalam hatinya mulai ragu, tapi ia tidak boleh memindahkan padangannya disaat seperti ini. Sorata belum menyampaikan apapun.
“Aku pikir………”
Sorata kemudian mengeluarkan suara yang terdengar seperti dipaksakan.
“Aku pikir, aku pikir, datang ke sini pasti hanya untuk memuaskan diriku sendiri.”
“………”
Nanami menutup bibirnya dengan erat, dan terus menatap ke Sorata.
“Aku juga paham seperti ini hanya akan membuat Aoyama semakin terluka.”
“………..”
“Walaupun aku paham, tapi aku tetap merasa harus begitu.”
“Mengapa?”
“Terhadap perasaan yang Aoyama sampaikan padaku, aku ingin membalasnya dengan serius.”
“…………”
“Dengan menganggap ‘maaf’ itu tidak mengatakan apapun, kalau dipikirkan kembali itu sangat tidak menyenangkan, juga tidak ingin begitulah, maka aku datang. Jadi pada dasarnya mungkin ini hanyalah sebuah perbuatan yang egois dariku.”
Masih ada perasaan yang belum dirapikan, biarpun begitu, termasuk semua ini, Sorata ingin menyampaikan semua ini pada Nanami. Biarpun terlihat payah, memalukan juga tidak apa, karena inilah Sorata yang sekarang. Sorata ingin Nanami melihat dirinya yang sekarang.
Seperti Nanami mengerahkan semuanya, menyampaikan perasaannya, Sorata juga berpikir akan cukup dengan membalas sepenuh hati.
“Aku berpikir lama sekali, tetap tidak tahu apa yang harus kulakukan, sekarang juga tidak yakin apa bagusnya seperti ini. Walaupun tidak yakin, hanya inilah yang kuyakini.”
“…………”
“Aku…….aku akan menyakiti Aoyama. Untuk memastikan menyakiti Aoyamalah aku datang ke sini.”
Dorongan yang hampir pecah itu, tertahan dalam hati.
“Aku, aku………….”
“Hn…………”
“Aku menyukai Shiina.”
“……………”
“Menyukai Shiina lebih dari apapun.”
Sorata merasa menderita. Menyakiti Aoyama dengan kata-katanya sendiri, namun dia juga terluka karena melihatnya dirinya yang dilukai seperti itu. namun, Sorata tidak diperbolehkan menunjukkan penderitaannya di wajahnya, karena dia tahu yang sedih, sakit, dan menderita itu Nanami, bukan diirnya sendiri.
“Kanda-kun……….”
Nanami menggigit bibirnya.
“Ada apa?”
“Katakan sekali lagi.”
“……….aku menyukai Shiina, menyukai Shiina lebih dari siapapun.”
Sorata mengulanginya kata demi kata.
“Sekali lagi.”
Nanami memintanya, kemudian Sorata menarik napasnya kuat-kuat.
“Aku sangat menyukai Shiina!”
Di depan stasiun Hakodate, perasaan Sorata meledak, menyebar ke langit yang tampak cerah.
Di bawah langit ini, dalam mata Nanami masih terlihat air mata yang bisa jatuh kapan pun. Namun, air matanya tidak jatuh setetespun. Nanami malah kemudian menguatkan diirnya, dan menunjukkan senyumnya.
“Kau sudah mengatakan ini pada orang yang salah.”
“……….maaf.”
Hanya ini yang bisa Sorata jawab.
“Ah~~”
“…………”
“Ditolak ya.”
Suara Nanami yang serak itu menuju ke langit.
“Pagi ini, Misaki-senpai datang ke kamarku.”
“…………”
“Memberitahuku hasil audisi.”
“Hasilnya bagaimana?”
Biarpun tidak tanya juga tahu jawabannya.
“Dia bilang aku lolos. Aku berhasil lolos.”
Air matanya masih tertahan di dalam matanya, Nanami menunjukkan senyumannya.
“Selamat, Aoyama.”
“Hm, berkat Kanda-kun.”
“Ini karena Aoyama berusaha, aku tidak melakukan apapun.”
Sorata dari dalam hatinya merasa begitu. Ini semua adalah hasil yang Nanami perjuangkan, bagian yang dibantu Sorata itu bahkan tidak mencapai 1 per 100.
“Tidak, walaupun aku sangat senang mendengarmu berkata begitu, tapi bukan begitu. Tentu aku sangat berterima kasih kau sudah menemaniku latihan untuk audisi……tapi, tidak hanya begitu……….”
“……….”
“Aku………”
“…………”
“Aku ya………..”
“………….”
“Karena aku menyukai Kanda-kun lah, aku bisa terus berusaha hingga saat ini.”
Nanami menunjukkan senyuman yang lemat lembut. Sorata mengigit bibirnya, karena kalau tidak begitu, perasaannya sekali lagi akan meledak.
“Jadi, sampai saat in terima kasih.”
“………Aoyama.”
“Terima kasih sudah memberikanku semangat untuk terus berusaha.”
“………..”
“Walau sepertinya aku harus berusaha sendirian untuk masa depan nanti.”
Nanami mencoba untuk tertawa, namun gagal.
Dengan sekejap dia merendahkan kepalanya, kembali ke sosok yang tadi. Itu pasti karena kalau tidak begitu, air matanya akan terus keluar.
“Mashiro sedang menunggumu loh.”
Nanami mengeluarkan suara yang tenang.
“Mm……..”
“Jadi, cepatlah pergi.”
Suaranya bergetar, Nanami mati-matian menahannya.
“…………”
“Tolong……….pergilah!”
“Aoyama.”
“Kalau tidak, aku tidak bisa menangis.”
Daripada kata-kata yang ia ucapkan, Nanami menunjukkan senyumnya.
“Aku tahu. Aku akan pergi.”
Setelah Sorata selesai mengatakannya ia pun langsung meninggalkan Nanami.
Sebuah kekuatan yang tidak tampak sedang mengikat tubuhnya sendiri.
Berat. Kedua kaki dan badannya terasa berat sekali.
Biarpun begitu, Sorata tetap melangkahkah kakinya dengan perlahan.
Saat ini, terdengar suara dari belakang.
“Berlarilah!”
Teriakan yang jelas.
Membuat tubuh Sorata terasa disambar petir.
“Berlarilah ! Kanda Sorata !”
Biarpun berteriak begitu, kata-katanya tetap jelas.
Inilah suara Nanami yang disukai Sorata. Suaranya yang sekuat tenaga.
Sorata dengan kuat menginjak tanah, dan mulai berlari.
Tidak membalikkan kepalanya, hanya terus fokus ke depan……….
Dia tidak peduli lagi, dia mati-matian berlari menuju gunung Hakodate yang ada di depan matanya.
Mashiro sedang menunggu.
Sempat berpapasan dengan murid Suiko yang hendak menuju ke Isahaya, semuanya melihat ke Sorata yang berlari dengan mati-matian. Sorata sama sekali tidak terganggu dengan itu dan terus berlari.
Melewati depan hotel, dan kebetulan bertemu dengan Misaki, Iori dan Kanna yang berjalan keluar dari hotel. Walaupun mereka mengatakan sesuatu pada Sorata, tapi Sorata tidak membalas mereka.
Sudah memutuskan untuk tidak kembali lagi, dan terus berlari menuju ke Mashiro.
Saat mulai beralri, perasaannya juga semakin menguap.
Pokoknya, ingin bertemu dengannya. Ingin sekali bertemu dengan Mashiro, sekarang ingin segera bertemu dengannya.
Karena menyukainya.
Lebih menyukainya daripada siapapun.
Tidak peduli itu sifatnya yang tidak terima kalah, atau suka menyerahkan hal merepotkan pada orang lain, mengerjai Sorata habis-habisan, berusaha untuk impiannya, bahkan dengan bakatnya yang secara tidak sengaja itu melukai Sorata………
Banyak bagian yang Sorata sukai darinya.
Tapi juga banyak bagian yang Sorata tidak suka darinya.
Karena itulah, Sorata menyukai Mashiro.
Pokoknya, semuanya.
Perasaan yang memikirkan Mashiro ini memenuhi dadanya.
Tidak ada celah untuk tidak merasa khawatir.
Tidak tahu apakah dirinya pantas untuk Mashiro.
Sama sekali tidak peduli dengan masalah pantas atau cocok.
Juga tidak berkaitan dengan impiannya Sorata, bahkan dirinya baru mulai melangkah.
Karena begitulah, mungkin akan ada saatnya dirinya dihancurkan bakatnya Mashiro? Atau mungkin akan ada saatnya dirinya membenci Mashiro yang terus melangkah ke impiannya.
Biarpun begitu, itu tidak masalah lagi. Yang penting masa depan dapat mengakui perasaan ini, dengan melangkah perlahan.
Terus mengejar bayangan Mashiro, hingga suatu hari bisa berdiri disampingnya, tidak apa setiap hari hanya sedikit, yang penting terus melangkah maju.
Karena tidak peduli betapa tidak berguna, jelek, dan memalukan, yang penting terus melangkahkah kaki, tubuhnya pasti akan ikut terus maju……..
Hatinya berpikir begitu, cukup berada di samping Mashiro. Sorata akan memanfaatkan masa-masa seperti ini untuk menjadi pasangan yang serasi dengan Mashiro.
Tentu akan ada saat dimana mereka bertengkar karena saling tidak paham, dan saling melukai, tapi semua itu, cukup mereka lalui bersama.
Bersama dengan Mashiro.
Sedih, bahagia, ataupun marah……….semua itu sangat berharga. Di dalam semua ini, dirinya juga pasti akan semakin menyukai Mashiro, lebih dari sekarang.
Jadi, dirinya ingin bertemu dengan Mashiro.
Tidak peduli apa yang akan ditemuinya pada masa depan, tidak akan ada masalah selama mereka mengingat perasaan ini.
Terus bersama dengan Mashiro.
Ingin memberitahunya. Ingin memberitahunya setelah bertemu dengannya.
Setelah Sorata sudah dekat dengan tempat pemberhentian kereta gantung, langkah kakinya terasa berat sekali.
Tebing yang panjang.
Semakin naik ke atas, semakin berat rasanya, dibanding dengan tekad yang ingin terus maju itu, kecepatannya malah semakin lambat.
“Sial!”
Dengan kesadarannya, Sorata terus melangkah maju meski kakinya sudah tidak mau mendengarnya lagi.
Setelah tiba di tempat pemberhentian, selesai membeli tiket kereta, naik ke kereta gantung yang sudah mau berjalan.
Sorata menatap ke pintu yang akan tertutup itu dengan tidak sabar.
Walaupun kereta gantung sudah mulai berjalan dengan perlahan, tapi diruang yang tertutup ini, entah kenapa Sorata merasa tertekan.
Dirinya seperti terkurung di dalam kandang binatang, dan berkeliling didalam kereta gantung.
Setelah tiba dipuncak, Sorata langsung berlari keluar.
Sempat diteriaki oleh kakak-kakak yang ada di kereta gantung.
“Maaf ! aku sedang buru buru!”
Tapi, setelah mengatakan Sorata pun pergi.
Di tempat yang kemarin. Sebelah kereta gantung……
Setelah melihat ke jam, sudah jam 10 lewat 25.
Melewati tempat parikir mobil, berlari menuju ke lapangan yang ditunggu Mashiro.
Seperti kipas yang sudah dimatikan, gerakan kaki Sorata semakin melambat. Lalu ia berhenti ditengah lapangan.
“Jangan-jangan……….”
Melihat ke sekitar, tidak  terlihat bayangan Mashiro, bahkan 1 orang pun tidak ada.
Sorata mengambil ponselnya, dan meneleponnya.
“……………”
Tidak terdengar apapun dari ponsel……Sorata sekali lagi berlari. Kembali ke tempat pemberhentian kereta gantung.
Setelah melihat ke kakak pemandu yang menegur Sorata itu, Sorata pun langsung bertanya : “Permisi ! Apa tadi ada sisiwi SMA yang naik kereta gantung? Seorang gadis yang putih dan seperti peri !”
“Huh? Oh, maksudmu gadis yang baru naik kereta gantung itu?”
Kakak pemandu itu merasa bingung, namun dia tetap menunjukkan ke kereta gantung yang sudah jauh.
Penumpangnya ada 4, 5 orang. Sorata dengan mudah menemukannya.
Yang berdiri membelakangi Sorata itu, tanpa diragukan lagi adalah Mashiro, tidak mungkin salah.
“Mashiro!”
Sorata meneriakinya.
“Tunggu sebentar!”
Namun segera dihentikan oleh karyawan yang sedang bekerja.
“Mashiro!”
Kereta gantung dengan lancar turun dari gunung, dan dengan segera mencapai tempat pemberhentian yang ada dibawah kaki gunung.
Sorata ingin mengejarnya sekarang.
Namun diberitahu harus menunggu 10 menit lagi.
Di saat menunggu, Sorata terus menelepon Mashiro.
Tapi, dia mengangkatnya.
10 menit yang terasa selamanya itu akhirnya sudah selesai.
Sorata segera menaiki kereta gantung, dan sampai di tempat pemberhentian yang ada di bawah kaki gunung.
Setelah bertanya karyawan yang menjual tiket pergi ke manakah Mashiro, Sorata mulai berlari.
Di sekitar sini hampir semuanya tebing yang naik turun, tidak bisa berjalan dengan lancar, rasanya tidak sabar sekali.
Setelah berlari sekitar 3 menit, pemandangan mulai sedikit beurbah.
Ini adalah jalanan yang penuh dengan gaya negeri lain, rasanya juga sedikit mirip dengan Yokohama.
Didepan mata terlihat banyak bangunan gereja.
Sekarang akan melewati gereja.
Di saat ini, Sorata mendengar obrolan siswa lain yang sedang menjalani retret mereka………
“Hm, apa kau merasa gadis itu lumayan cantik?”
“Apa dia orang sini?”
“Mau coba gombal tidak?”
“Sudahlah, pasti sudah punya pacar.”
“Benar juga~~pasti tidak akan menganggap kita.”
Sorata yang awalnya masih ingin berlari itu, terhenti.
Kumpulan siswa laki-laki itu membelakangi Sorata, mulai berjalan ke arah stasiun Hakodate, mulai membahas topik tentang game.
Sorata mulai mengatur napasnya, dan melihat ke bangunan yang ada disampingnya.
Gereja yang tua.
Disamping pintunya masih ada beberapa kelopak bunga sakura.
Lukisan yang ada di buku gambar Mashiro kemarin terlintas di dalam otak.
Ada sebuah lukisan dengan 2 orang berdiri di depan gereja.
“Tolong!”
Sorata hanya bisa berdoa, dan masuk ke dalam gereja.
Terdengar suara hatinya berdetak.
Tidak peduli dengan tubuh yang memerlukan oksigen, hatinya terus berdetak dengan kuat.
Melepaskan sepatu dekat tempat masuk.
Pintu yang terbuat dari kayu itu dihiasi gagang pintu berwarna emas.
Sorata membukanya dengan perlahan, menginjakkan kakinya dilantai yang terbuat dari kayu itu.
Langit-langit yang terlihat tinggi, dan bau yang tua ini mengerumuni hidung. Dan pujian yang terdengar indah ini membuat Sorata berdiri tegak dengan sendirinya.
2 baris kursi yang panjang dan tersusun rapi.
Seperti tertarik, Sorata berdiri ditengah. Dan di depan altar………terlihat bayangan seorang gadis.
Sinar matahari yang lembut yang masuk dari celah jendela itu, menyinari seluruh gereja ini, Mashiro sedang berdoa dengan diam. Apa yang dia doakan? Bahkan untuk mendapatkan penghargaan orang baru dan serialisasi pertamanya, dia tidak pernah berdoa pada Tuhan……
Bayangannya memberi perasan yang misterius, seperti ia akan menghilang kapan saja.
“Mashiro.”
Di saat memanggilnya, Sorata manju selangkah, ingin memegang erat-erat tangannya sebelum ia menghilang, ingin memeluknya dengan kedua tangan ini.
Pundak Mashiro bergetar sekali, di saat badannya berputar ia masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi, dan menunjukkan ekspresi yang polos.
“Sorata……….?”
Sorata tidak tahan dan berjalan lebih cepat lagi.
“Aku menyukai Mashiro!”
Di saat selesai mengatakannya, dia hampir berlari.
“Sorata!”
Mashiro juga berlari. Biarpun dengan kaki yang seperti sudah mau patah, tetap terus berlari. Dia berlari ke arah Sorata, mengulurkan kedua tangannya menuju Sorata.
Terus fokus, dan menuju bayangan itu…….
“Sorata!”
Lalu akhirnya jatuh dalam pelukan Sorata.
Walau Sorata berhasil memeluknya, tapi karena lututnya sudah tidak kuat lagi, dengan begitu mereka jatuh di tengah gereja.
Kedua tangan Mashiro yang berpegang erat pada bagian kepala Sorata bergetar, tapi Sorata tidak berani mengatakan apapun. Karna seluruh tubuh Mashiro masih terus terus bergetar gemetaran.
 Kedua tangan Sorata memeluk punggungnya dengan lembut, tubuhnya yang kurus itu serasa akan patah bila kita memeluknya dengan erat. Biarpun begitu, perasaan Mashiro yang jatuh dalam pelukan tetap memenangkan itu semua. Untuk memastikan perasaan ini, Sorata tidak ingin Mashiro pergi kemana pun, dan ingin terus memeluknya.
“Aku menyukai Mashiro.”
Mashiro mendengarnya.
“Hn.”
Mashiro mengangguk-angguk kepalanya, dia menggesek-gesek keningnya dipundak Sorata.
“Aku paling menyukai Mashiro.”
“Hn.”
Suaranya tidak terdengar begitu jelas.
“Maaf, sudah membuatmu menunggu lama.”
“Tidak apa.”
Biarpun begitu, tetap terdengar masih takut.
“Benar-benar maaf.”
“Yang penting kau datang.”
Mashiro sedang menangis.
“Maaf.”
Membuat dia menunggu hingga hari ini; sudah membuat dia menunggu begitu lama hari ini; membuat dia nangis-----Sorata mengingat semuanya dalam hatinya.
“Yang penting ada Sorata.”
“Aku menyukai Mashiro.”
Andaikan saja ada kata-kata lain yang lebih bisa menyampaikan seluruh isi hati ini.
“Hn…………”
Namun, Sorata tidak tahu akan itu.
“Aku sangat menyukaimu.”
Tenggorokan Sorata bergetar.
“Hn…………”
Setelah sesaat, 2 orang itu tidak berbicara, hanya terus saling berpelukan dan saling memastikan detakan hati dan suhu masing masing. Ingin terus seperti ini selamanya.
“Nah, Sorata.”
Setelah sesaat, Mashiro mengangkat kepalanya.
“Hn?”
“………….”
Namun ia tidak mengatakan apapun.
Dan melihat ke langit-langit gereja.
Tangan Sorata terus membelai pipi Mashiro, mencoba membantunya menghilangkan air mata.
“Aku akan lebih menyukai Mashiro kelak nanti.”
“Aku juga, Sorata.”
Setelah kedua orang itu saling mengucapkan janjinya, bibir mereka pun saling bertemu, dengan tidak memedulikan apapun mereka berciuman sekali.