DUA PERASAAN
Bagian 1
Setelah bangun, terlihat wajah Iori berada didepan.
Jaraknya tinggal 2cm lagi untuk saling mencium, Sorata dengan refleks mendorong wajah Iori ke samping.
“Huhh~”
Iori kemudian dengan setengah tertidur mengeluar suara, tapi tidak ada tanda-tanda seperti akan bangun. Tidak hanya ini.
“Hoi hoi~egois sekali kau…………”
Sambil mengatakan kata-katanya yang berada dimimpi, sambil memeluk erat bantalnya, dan berciuman dengan bantal itu.
Sorata tidak ingin Iori menciumnya, diapun dengan segera kabur ke samping.
Berdiri disamping kasur, terlihat wajah Iori yang terlihat sangat bahagia, pasti bermimpi bahagia.
Kenapa situasinya seperti ini, alasannya sangat sederhana.
Kemarin malam, disaat Sorata ingin tidur, Iori bermain ke kamar.
Kalau ingin bilang mengapa :
“Tidur denganmu 1 kamar itu tidak mungkin. Sekarang segera keluar, kalau tidak kupanggil polisi nanti.”
Kanna sambil memegang ponselnya, mengatakan ini dengan sikap yang dingin, balaspun tidak sempat langsung diusir ke koridor.
Jadi, Iori yang tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa datang ke kamar Sorata.
Tapi yang disayangkan adalah, kamar ini hanya punya 2 kasur. Disaat Iori datang , salah satu kasurnya sudah ditempati oleh Ryuunosuke, Sorata pun akhirnya terpaksa tidur 1 kasur dengan Iori.
“Hampir saja kehilangan sesuatu yang penting…….”
Kasur yang disamping…….kasur yang ditempati Ryuunosuke sudah kosong, dengan itu, terdengar suara seseorang sedang mengetik dikeyboard.
Pagi jam enam tiga puluh, Ryuunosuke sudah bangun dan sedang bekerja.
“Pagi, Akasaka.”
“Hn.”
Pandangannya fokus ke layar, Akasaka membalas dengan sikap yang dingin.
Mah, setidaknya masih dibalas, begitulah.
Pokoknya sekarang cuci muka dulu, habis itu rapikan rambut, kira kira habiskan waktu 5 menit.
Setelah kembali ke kamar, menyadari di dalam tidak berubah sedikitpun.
Ryuunosuke masih bekerja, dan Iori masih tenggelam dalam dunia mimpinya.
Setelah melihat ke jam, masih ada beberapa saat sebelum waktu makan pagi.
Sorata pun kemudian duduk di kasur yang ditempati oleh Ryuunosuke, dengan tujuan untuk menghabiskan waktu dan ngobrol dengan Ryuunosuke.
“Kemarin malam kau tidur jam berapa?’
Setelah Sorata kembali dari kamar mandi, dalam kamar sudah menjadi gelap.
“Jam 10.”
“Jam berapa bangun?”
“Jam 6.”
Benar-benar pas 8 jam.
“Cara hidupmu sungguh tidak seperti seorang murid SMA yang sedang retreat perpisahan ya…….”
Di kamar lain pasti banyak murid yang begadang. Ada yang bermain kartu, juga ada yang bermain game, juga ada yang membahas siapa yang dia sukai, dan siapa dan siapa yang sudah berpacaran, atau memutuskan untuk memberitahu perasaan saat retret perpisahan, atau membayangkan perasaannya akan ditolak, dan mulai pasrah…….harusnya ini adalah cara seorang murid SMA melewati malam pertamanya saat retret perpisahan.
Juga Sorata bisa pastikan, yang tidur pada jam 10 malan hanya Ryuunosuke seorang.
“Biar aku memberitahu 1 hal yang Kanda tidak tahu.”
“Perasaan seperti kau sedang menyindirku.”
“Kalau tidak, memangnya Kanda tahu?”
“Tahu apa?”
“Alasan kenapa karyawan perusahaan game dalam negeri dipecat.”
“Pagi-pagi sudah bicarakan hal yang begitu………”
“Bagaimana?”
“Hn~~aku pikir sebentar. Aku dengar karena biaya pengeluaranya sangat tinggi, dan terus membuat game yang tidak laku di pasaran kan?”
“Sekarang ini sangat sering kita dengar di dalam maupun luar negeri. Bisa saja kau mendengar candaan yang mengatakan besok mejamu akan hilang, sebenarnya itu bukan candaan.”
“Bukan candaan?”
Maksudnya apa?
“Jujur saja, itu seperti diberitahu ‘mulai bulan depan tidak akan ada tempat lagi untukmu di perusahaan ini, jadi mulai hari ini pergilah cari pekerjaan baru.’ “
Rasanya lebih kejam lagi bila tidak langsung diusir. Sepertinya ini bukan karena diri sendiri yang berpikir terlalu banyak.
Disuruh pergi mencari pekerjaan baru ditempat kerjanya, rasanya sangat tidak bisa diterima.
“Kalau ingin bilang berbeda, memangnya situasi seperti apa pada perusahaan dalam negeri sekarang?”
“Alasan yang paling utama adalah sikapnya saat bekerja. Dengan kata lain, mereka akan mulai mencari korban dari orang yang paginya tidak masuk perusahaan.”
“Huh?”
“Kalau kau kira seorang pembuat game hampir semuanya bekerja pada malam hari, dan hidup dengan kehidupan yang tidak teratur, maka kau sudah salah besar. Sebenarnya kehidupan seorang pembuat game tidak jauh berbeda dengan seorang PNS.”
“Tunggu sebentar, bukannya fleksibel? Yang kulihat, bukannya bisa memilih jam kerja secara bebas?”
“Memang banyak perusahaan yang menggunakan jam fleksibel, tapi tidak sampai bisa memilih sebebasnya, banyak situasi yang seperti masuk tapi tidak digaji, juga ada peraturan harus masuk ke perusahan pada jam kerja yang ditentukan. Selain itu, kalau semua orang bisa bekerja pada jam yang berbeda, apa kau kira kerja sama sebuah tim akan lancar?”
Kesampingkan dulu soal gaji, setelah membayangkan tim yang tidak begitu serasi, jawaban segera keluar.
“…………tidak bisa dilakukan dengan lancar.”
Game akhir-akhir ini dibuat dengan kerja sama tim, saling membahas, sambil mengoreksi sambil membuatnya. Kalau jam masuk ke perusahaan berbeda semua, akan banyak pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dengan lancar. Sorata bisa membayangkan ini dengan mudah.
“Dulu, aku pernah mendengar seorang desain MMORPG, selalu datang bekerja dengan menggunakan kereta terakhir.”
“Kereta terakhir……….sedih sekali rasanya.”
Pasti bekerja sampai pagi baru pulang.
“Tidak peduli dengan teguran dari atas, dia pun langsung dipecat padahal masih pusing mengurus pekerjaannya itu.”
“………ini juga keterlaluan sih.”
“Dengan kata kain, dengan tidak peduli pada tim, dan orang yang melakukan semuanya seenaknya saja, tidak cocok untuk menjadi seorang anggota dalam tim.”
“Seenaknya saja ya………”
Bisa terdengar dari sikap berbicara Ryuunosuke kalau dia sangat membenci dengan ini.
“Rasanya terdengar seperti kau juga salah satunya. Apa aku yang terlalu banyak berpikir?”
“Seperti yang kukatakan, selain ini jangan pikir lagi.”
Jawabannya sangat singkat. Bagi Ryuunosuke, itu merupakan jawaban yang sudah terdengar panjang. Tapi bagi Sorata ini sedikit berbeda, ini membuat Sorata teringat kejadian kemarin……..percakapannya dengan Ikejiri Maya.
“…………itu ya, Akasaka.”
“Apa?”
“Kemarin saat aku berada di perjalanan kembali ke kamar, aku bertemu perempuan yang bernama Ikejiri Maya itu.”
Tangan Ryuunosuke terhenti.
“Juga sempat mengobrol dengannya sebentar.”
Tapi, dengan segera dia lanjut mengetik.
Sorata sama sekali tidak menyadari dengan apa yang dikatakanya.
“Dia menyarankanku sebaiknya tidak membuat game bersamamu.”
“Begitukah?”
Sikap bicaranya tetap terdengar seperti biasanya, tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Ryuunosuke, dan Sorata malah mengatakan yang dia pikirkan pada Ryuunosuke.
“Aku sudah memberitahunya soal aku akan membuat game bersamamu.”
“…………..”
“…………”
“Kanda ingin omong hal apapun dengan siapapun itu, tidak ada hubungannya denganku.”
“Di situasi yang tidak kau ketahui, dengan semaunya ngobrol dengan orang yang kenal……..mendengar hal yang tidak pernah mendengarmu membicarakannya, aku merasa tidak begitu nyaman, jadi ini hanya laporan yang kubuat untuk memuaskan diriku.”
“……….apa dia mengatakan sesuatu yang lain?”
“Tidak, dia hanya omong ini. Rasanya aneh sekali.”
Sorata kemudian meluaskan kakinya, dan berbaring di kasur.
“Begitukah……..baguslah.”
Bisa terdengar suara Ryuunosuke yang terdengar sedikit ‘jauh’ bagiSorata. Apa karena dia mengubah sikapnya? Atau ada alasan yang lain?
Percakapannya putus, dan tidak lanjut untuk beberapa saat.
Seperti ingin mengisi kekosongan ini, saat ini terdengar bunyi bel.
“Siapa itu?”
Sorara merasa penasaran, dan berjalan ke pintu kamar.
Membuka pintu, yang berdiri diluar pintu adalah Kanna yang menggunakan pakaian bebas. Kemeja yang terlihar ringan juga celana yang pendek, sekejap Sorata kira Kanna tidak menggunakan bawahan.
Sama seperti kemarin malam tidak menggunakan kacamata. Dia sedikit mengecilkan matanya, dan dengan curiga melihat ke dalam kamar.
“Kanna-san?”
“Ah Sorata senpai…….tidak salah kan.”
Sepertinya juga tidak menggunakan lensa kontak.
“Dimana kacamatamu?”
“…………..tolong bertanggung jawab dengan perkataanmu.”
“Huh…..oh.”
Jangan-jangan perkataan yang dikatakan Sorata kemarin malam.
“Misaki-senpai ingin aku membangunkan si bodoh ini.”
Kanna tiba tiba mengubah topik.
Padahal tidak mengatakan namanya, tapi Sorata langsung tahu siapa yang dia maksud.
“Iori ya. Sudahlah, kau masuk saja.”
“Pagi-pagi sudah bawa adik kelas ke dalam kamar, apa yang ingin kau lakukan? Aku tunggu disini saja.”
“Kalau sampai beredar gosip seorang murid kelas 1 yang berada di luar kamar laki laki, jangan salahkan aku ya.”
Sorata sambil mengecek koridor, memberi sinyal bahwa seseorang akan tidak senang.
“………..”
Kanna berpikir sejenak, dengan waspada bertanya :
“Kau tidak akan melakukan sesuatu padaku kan?”
“Aku tidak punya hobi pagi-pagi membawa adik kelas ke dalam kamar.”
“Benar juga. Sorata-senpai sudah punya Shiina-senpai juga Aoyama-senpai, jadi tidak perlu melecehkan orang sepertiku.”
“Kenapa perkataanmu menyindir sekali.”
“Karena Sorata-senpai yang tidak menjawab perasaan perempuan merupakan musuh semua perempuan, jadi wajar saja diperlakukan begitu.”
“…………”
Sorata kemudian seperti tertusuk oleh sesuatu, tidak bisa membalas, dan hanya bisa tersenyum pahit.
“Setengahnya bercanda, jadi tolong jangan menunjukkan ekspresi yang bodoh begitu.”
“Itu berarti setengahnya serius kan?”
Kanna tidak menjawab, dan berjalan ke dalam kamar.
Sorata tidak punya cara lain, hanya bisa berjalan ke samping kasur yang terlihat Iori tidur nyenyak.
“Hoi, Iori, cepat bangun.”
“Hn nan……..”
Seperti balasan dalam komik.
Kanna dengan tidak tahan dan menghelas napas……baru berpikir begitu---
“Cepat bangun.”
Dia menarik selimut dengan kedua tangannya, langsung mengeluarkan Iori dari dalam selimut.
Yang terlihat di depan mata adalah Iori yang pakaiannya terlihat kacau, sama sekali tidak tampak rapi, hanya kedua tangannya masih di dalam pakaiannya, tapi depannya terbuka, sikap yang seperti seseorang yang mesum. Kalau diperhatikan dengan jelas, bisa dibilang sekarang Iori hanya menggunakan 1 celana dalam.
“……..”
Kanna dengan tidak berbelas kasihan langsung mengambil jam yang berada disamping kasur dan membenturkannya dengan kepala Iori.
“Sakit!”
Iori mengeluarkan suara jeritan, dan bangung dengan ekspresi yang terlihat kesal.
“Apaan……sisa sedikit lagi aku bisa melihat dada Misaki senpai.”
Iori kemudian protes.
“Sorata-senpai, pagi.”
“Ah, pagi.”
“Aku rasa ya………”
Iori kemudian berpikir dengan ekspresi yang serius.
“Yang namanya ‘Extra Virgin Oil’, bukankah itu terdengar mesum?”
“Aku kira kau akan membicarakan kelanjutan mimpimu……….”
“Bercanda sampai disini saja, cepat ganti baju, sudah mau pergi.”
Tatapan Kanna sangat dingin, tatapannya itu bagaikan sedang melihat sesuatu yang kotor.
“………omong-omong, kenapa gadis dada rata berkacamata itu ada disini?”
“Misaki-senpai menyuruhku untuk membangunkanmu.”
“Kalau begitu, aku lebih berharap Misaki-senpai yang membangunkanku.”
Iori dengan kecewa menurunkan kepalanya. Lalu, seperti menyadari sesuatu dan memiringkan kepalanya.
“Are? Kenapa rasanya kepala aku sakit sekali?”
“Mungkin terbentur saat tidur kali.”
Kanna kemudian berhobong.
“Apaan, ternyata begitu, mau bagaimana lagi.”
Seperti yang diduga dari Iori, dia menerimannya dengan begitu mudah.
“Omong-omong, kenapa wajahmu terlihat beda hari ini?”
Iori menatap ke Kanna dengan wajahnya yang masih setengah tertidur.
“………mananya yang berbeda.”
“Ah!”
“Apa yang ingin kau katakan?”
“Padahal gadis dada rata berkacamata, tapi tidak menggunakan kacamata? Benar, kan? Sorata-senpai, coba kau lihat, benar kan!”
“Eh, aku sudah tahu sejak awal, karena kemarin aku sudah melihat Kanna-san yang tidak menggunakan kacamata.”
“Apa-apaan kau, pakaianmu juga terlihat aneh.”
Iori kemudian dengan tidak berkedip melihat ke pakaian Kanna.
“Ini karena tidak ada pakaian lain yang bisa diganti, Misaki-senpai yang belikan…………mau bagaimana lagi, ini juga bukan aku yang pilih.”
Sekalian beritahu, celana dalam yang dipakai Iori sekarang juga baru dibeli kemarin malam, ada gambar beruang, dan merupakan celana dalam 4 siku yang berwarna warni.
“Wajahmu merah sekali, apa kau sakit?”
“Ituu karena aku merasa malu!”
Terhadap perkataan Iori yang konyol, Kanna hanya bisa berkata jujur.
Mungkin untuk menyembunyikan rasa malunya, sekali lagi dengan tidak mengatakan apapun dia menjitak kepala Iori dengan menggunakan jam.
“Sakit~~!”
“Cepat sedikti, kalau tidak kutinggalkan kau di Hokkaido nanti.”
“Apa kau tidak punya sifat manusia yang lembut dan hangat huh!”
“Tidak jika itu kau.”
“Sekarang itu masanya di mana bahkan toilet akan lemah lembut dengan kita loh!”
“Kalau begitu kau pacaran dengan toilet saja. Cocok loh.”
Kanna pergi sambil berkata-kata begitu, dan tidak memberi Iori sedikitpun ruang untuk membalas, dan keluar dari kamar dengan marah.
“Pagi-pagi kenapa sih? Lagi mens kah?”
Iori sambil memegang kepalanya, berkata begitu.
Syukur Kanna sudah keluar dari kamar, kalau didengar, Iori pasti akan kena jitak sekali lagi.
“Ah ya, Sorata-senpai.”
“Aku tidak merasa ‘Extra Virgin Oil’ itu terdengar mesum ya.”
“Heh? Yang benar? Sorata-senpai dewasa sekali ya, detakan jantungku selalu bertambah cepat ketika mendengar kata itu. Sini, apa kau ingin memegangnya?”
Dia menaruh tangannya di dadanya, dan mengangkat kepalanya melihat ke Sorata.
“Tidak, izinkan aku menolak.”
Sorata kemudian menolak.
“Begitukah………”
Iori dengan kecewa merendahkan pandangannya.
“Sebegitu berharapnyakah kau ingin aku memegangnya?”
“Huh? Bukan! Hanya, bagaimana ya bilangnya……..”
“Bagaimana?”
Iori yang duduk di atas kasur itu, terlihat letih lesu.
“Rasanya tidak bisa tenang.”
“…………”
Sorata tidak mengerti apa maksudnya itu, dan menunggunya terus mengatakannya.
“Karena tidak pernah sekalipun aku tidak memegang piano untuk waktu yang begitu lama………..”
“Begitu lama ya……….”
Sorata tidak mengerti perasaan itu, waktu yang lama yang dibicarakan Iori itu, maksudnya itu mungkin karena merasa tidak nyaman akibat tidak latihan piano kemarin. Benar-benar hanya sehari, baru sehari. Tapi bagi Iori yang tiap hari selalu latihan piano, mungkin itu waktu yang lama baginya.
“Ah, tapi, bukannya menyesal.”
“Begitukah?”
“Sebelumnya aku tidak pernah berpikir untuk istirahat. Selalu takut dengan hanya istirahat 1 hari, nanti jari tidak akan bisa bergerak lagi……..jadi hanya bisa terus bermain piano. Karena begitulah, aku tidak mengerti kenapa diriku ingin bermain piano, mengapa bermain musik. Aku berpikir sudah saatnya menjaga jarak dari musik untuk beberapa saat.”
Melihat Iori yang menunjukkan ekspresi yang segar, bisa terlihat dia bukannay datang ke Hokkaido dengan tidak memikirkan apapun. Walaupun sifatnya begitu, tapi dia selalu serius dengan musik, dan musik sudah menjadi salah satu bagian dari tubuhnya.
“Ah~~tapi tetap saja tidak bisa tenang. Uwoo~~rasanya di bawah pahaku dingin, kenapa bisa begitu? Sorata-senpai, rasanya nyaman sekali!”
Entah apakah untuk mengganti suasana, Iori yang loncat dari kasur sedang menari-nari di kamar.
“Matamu bersinar-sinar begitu sedang lapor apaan……….”
“Laporan di bawah paha!”
“Tidak perlu membuat laporan seperti itu! Atau dengan kata lain, tolong jangan begitu!”
Pagi-pagi sudah menghabiskan banyak tenaga, apa hari ini dia bisa tenang?
“Ah! Akasaka-senpai! Tolong pinjami saya ini!”
Iori langsung mengambil tabletnya walaupun belum diizinkan Ryuunosuke.
“Jangan gunakan sembarangan.”
“Makanya sudah kubilang pinjam. Seingatku seperti ini………..”
Dia dengan pelan menyentuh layarnya, dan mengotrol tablet itu.
Apa yang ingin dia lakukan?
Sorata melihatnya dari samping karena penasaran, di atas layar muncul gambar piano. sepertinya itu adalah aplikasi piano, dengan hanya menyentuh layar maka kita bisa bermain piano seperti didunia nyata.
Iori segera memainkan aplikasi piano itu menggunakan kedua tangannya.
Kesannya tidak tenang, lagu yang sedikit kacau.
Tapi Iori memainkannya dengan bersenang-senang, tapi terkadang juga terlihat dia sedikit serius.
Setelah Iori mulai bermain, Ryuunosuke tidak lagi mengomel untuk meminta tabletnya kembali. Walaupun sekarang tangannya berhenti, tapi pandangan Ryuunosuke tertuju pada Iori, sepertinya ia sedang fokus mendengar musik yang dimainkannya.
Kesadaran Sorata juga tertuju pada musik. Membuat orang penasaran dengan kelanjutannya seperti apa, dan sambungan antar musik, akan ciptakan dunia seperti apakah.
Setelah sekitar 3 menit, Iori selesai bermain 1 lagu.
Sorata menepuk tangannya dan bertanya :
“Lagu apa ini?”
Sorata tidak tahu lagu ini.
“Mungkin lagu ‘ketidaktenangan saat pagi’?”
Nama yang aneh.
“Adakah lagu seperti itu?”
“Ini kubuat secara sembarangan.”
“Huh?”
“Omong-omong, lumayan.”
Setelah Sorata terkejut, Ryuunosuke pun memberikan pendapatnya, sepertinya dia mendengar dengan sungguh-sungguh.
“Eh, tapi benar-benar kubuat sembarangan. Aku menciptakan lagu ini dengan mengikuti perasaan nyaman yang kurasakan tadi.”
Walaupun katanya dibuat sembarangan, tapi hasilnya memuaskan. Setidaknya ditelinga Sorata, ini tidak terdengar sembarangan.
Disaat Sorata berpikir begitu, pandangan Ryuunosuke melihat ke Sorata.
“Ada apa? Akasaka?”
“Di sekitar kita memang ada calon.”
Sorata segera menyadari maksudnya itu. Calon yang dimaksud adalah pembuat musik yang diperlukan di ‘Game Camp’.
Sejujurnya, awalnya agak khawatir apakah bisa melewati penilaian Ryuunosuke, tapi setelah mendengar permainannya Iori, bisa kita ketahui kemampuannya yang tidak perlu diragukan. Apalagi Iori laki-laki , jadi seharusnya Ryuunosuke tidak akan protes.
Masalahnya adalah apakah Iori mau. Tapi, sepertinya akan lebih baik menunggu beberapa saat baru bertanya.
Karena Iori sedang pusing memikirkan ‘harus bersikap apakah menghadap musik’.
“Apa yang sedang kalian bicarakan?”
“Tidak ,tidak ada apa-apa.”
“Begitukah? Kalau begitu, sebaiknya hari ini ke mana ya?”
Iori yang ingin mengganti suasana, segera menggunakan tablet untuk mencari tempat wisata di Hokkaido.
 “Kemarin Sapporo, nanti Otaru dengan Hakodate saja~~”
“Omong-omong, apa kau benar-benar ingin ikut Misaki-senpai…….”
“Misaki-senpai sudah bilang, hari ini mau bawa kami ke Otaru.”
“Begitu ya………”
“Apa rencana Sorata-senpai?”
“Aku ya……”
Di saat Sorata ingin mengatakannya, ponselnya pun berbunyi.
Itu adalah pesan.
Sorata pun mengambil ponselnya dari atas meja, memastikan isi pesannya, ternyata pengirimnya adalah Mashiro.
---tempat pertemuan hari ini.
Subjeknya tertulis begitu.
Setelah Sorata memastikan Sorata pun mengangkat kepalanya.
“Hari aku juga pergi ke Otaru saja.”
Lalu menjawab ke Iori.

Bagian 2
Sangat beruntung, hari kedua retret perpisahan, cuaca Hokkaido tetap mendukung.
Sinar matahari yang hangat dipadukan dengan udara yang segar, tercipta suhu yang sangat nyaman.
Saat siang ada kegiatan berkelompok, mengunjungi pabrik susu.
Lalu bertemu Chihiro di pabrik.
“Kalau mau kunjungan, harusnya kunjungi pabrik bir.”
Dia protes kesal begitu.
“Kalau sudah selesai, aku ingin meminum bir merah, Kanda-kun, tolong siapkan.”
Koharu yang bersama dengan dia meminta hal-hal yang aneh. Tentu saja, Sorata tidak akan hiraukan mereka.
“Oh ya, Kanda, kemarin Kamiigusa juga di hotel.”
“Ah, aku juga melihatnya. Murid kelas 1 Sakurasou juga ada kan?”
“Biarpun kalian memberitahuku hal ini, aku juga tidak  bisa melakukan apapun.”
“Benar juga, inilah batasmu.”
“Aku tidak akan terkena jebakan kalian.”
“Waa~~Kanda kun dewasa sekali~~!”
Mulai terasa begitu di tengah jalan, Sorata menjadi mainan Chihiro dan Koharu.
Setelah kunjungan selesai maka sekarang saatnya makan siang bersama.
Setelah selesai makan siang mereka pun naik bis.
Menuju ke Otaru.
Menurut staff bisnya, paling cepat sampai sekitar 30 menit.
Di waktu seperti ini, Sorata terus mengintip ke Nanami yang duduk disebelah kanannya, dan teringat soal Mashiro dan Nanami yang kemarin datang ke kamarnya.
Lalu, di saat pandangan kedua orang itu bertemu---
“Kanda-kun, ada apa?”
“Tidak, tidak ada apa-apa. Aku tidak sedang melihatmu.”
Sorata memberi penjelasan yang terdengar payah.
“Aku sama sekali tidak memikirkan hal yang terjadi kemarin ya.”
“Aoyama?”
“Sudah janji sebelumnya kan?”
“Hn, ya.”
“Juga katanya untuk mengumpulkan bahannya.”
Sepertinya seluruh percakapannya dengan Mashiro didengar oleh Nanami. Bagaimanapun batasnya hanya sebuah pintu yang tipis, wajar saja.
“Tapi, ini sedikit membuatku berharap.”
“Berharap?”
“Berpikir apa kau akan menjelaskannya padaku.”
Di dalam bis yang sedang bergerak, suara Nanami semakin kecil. Lalu hampir tidak  terdengar di bagian belakang, tapi senyuman yang terlihat saat memindahkan pandangannya sudah menjelaskan semuanya.
“…………”
“…………”
Perasaan gugup yang susah dijelaskan, membuat keduanya tidak tahu harus bagaimana.
“Baik~~sebentar lagi akan sampai di Otaru~~jangan lupa barang bawaannya ya.”
Yang mengisi keheningan saat ini adalah Koharu yang meminjam mic dan meniru staff bis. Walaupun terdengar suara laki-laki yang sedang sorak sorai, tapi perempuannya terlihat tidak tahan.
Pokoknya, sebentar lagi akan sampai di Otaru.
Terlihat laut di luar jendela.
Percakapan Sorata dan Nanami juga berhenti dengan begitu.
Setelah sekitar 3 menit, bis yang dinaiki Sorata dan kawan-kawan pun sampai di hotel Otaru yang akan mereka huni untuk malam kedua ini.
Setelah memastikan pembagian kamar, semuanya memindahkan barang bawaannya masing-masing ke dalam kamar.
Kamarnya berada di lantai 5. Dari luar jendela terlihat pemandangan laut yang sangat luas, rasanya sangat segar.
Setelah melihat kamar mandi, toilet dan kulkas, sudah jam 1:30, setelah ini adalah jam bebas. Berbeda dengan di Sapporo, tempat bermain di Otaru lebih memusat, jadi dibebaskan dari kegiatan kelompok. Setelah memastikan peta Otaru di dalam bis, semua tempat wisata yang terkenal hampir semuanya bisa kita kunjungi dengan jalan kaki.
Ryuunosuke yang sekamar dengan Sorata tidak sedikitpun menikmati pemandangan yang di luar. Setelah sampai di kamar dia pun mengeluarkan laptopnya dan mulai lanjutkan pekerjaannya, sepertinya Ryuunosuke sama sekali tidak punya rencana untuk jalan-jalan keluar.
“Kalau begitu, aku keluar dulu.”
Setelah Sorata memberitahu Ryuunosuke, dia pun sudah siap keluar.
Karena sudah janji dengan Mashiro.
Setelah beberapa menit, Sorata sampai di depan stasiun Otaru yang jaraknya sekitar 300 meter dari hotel.
Inilah tempat pertemuan yang diberitahu Mashiro tadi pagi lewat pesannya.
----sore jam 2. Di depan stasiun Otaru.
Biarpun ini pesan yang sangat singkat, tapi bisa begitu sudah sangat bagus. Soalnya awalnya bahkan ‘Sorata’ tidak bisa dia ketik dan pernah beberapa kali mengirim pesan dengan kata-kata yang salah.
Sorata melihat ke jam.
Sudah lewat dari sore jam 2, juga sudah mendekati 2:30………
2 atau 3 menit lagi akan menjadi 2:30.
Setiap bertemu murid Suiko yang lewat didepan stasiun, Sorata selalu ditatap dengan pandangan ‘untuk apa kau disana’, rasanya sedikit terganggu.
Sorata juga bukannya suka berdiri disini terus.
Menunggu seperti ini juga tidak baik, Sorata memencet tombol ponselnya, dan menelepon Mashiro. Ini sudah yang ketiga kalinya. 2 kali sebelumnya tidak dapat dihubungi, jadi berakhir gagal.
Setelah Sorata menelepon Mashiro, di depannya pun terlihat bayangan seoang gadis yang sedang berlari ke stasiun dari arah hotel.
Setelah berhasil dihubungi, Sorata pun dengan tidak mengatakan apapun menutup  teleponnya.
Gadis yang terpaksa berhenti karena lampu merah, dengan membawa pandangan seperti sedang menonton perlombaan tennis, melihat ke mobil yang terus lewat dari tadi. Setelah lampu menjadi hijau dia pun berlari lagi.
Berlari sekuat tenaga.
Bergerak dengan gaun yang rasanya sangat lemah lembut, 1 tangan mencegah topi besar yang digunakan untuk menghindari matahari, dan berlari ke sini dengan menggunakan sandal yang lucu namun terlihat sangat susah untuk dipakai jalan.
Di depan dadanya memeluk buku sketsa yang tidak begitu cocok dengan penampilannya hari ini.
Rasanya aneh tapi nyata.
Yang sedang berlari ke tempat Sorata berada itu adalah orang yang tidak asing baginya……..Mashiro.
Selalu semaunya saja, sama sekali tidak menunjukkan ekspresinya, juga suasana hati biasanya sangat stabil……..biarpun saat sedang berlari pun, kalau bukan karena Sorata menarik tangannya, dia pasti tidak akan bergerak.
Lalu, ada apa dengan sekarang?
Hanya terlihat dia berlari ke sini arah Sorata dengan membawaa sikap yang sedikit panik.
Setelah pandangannya saling bertemu, Mashiro pun menambah kecepatannya lagi.
Sampai langkah terakhir tidak pernah melambat sedikitpun,  Mashiro sampai di samping Sorata. Napas yang tidak teratur, pipi yang juga memerah. Sepertinya sedang memikirkan rambutnya yang tidak rapi itu, Mashiro menggunakan tangannya merapikan bagian yang terlihat dari bawah topi.
Setelah mengatur napasnya, dia pun memanggil :
“Sorata.”
“Ke-kenapa?”
Rasanya begitu tidak nyaman ketika dipanggil seperti itu, Sorata dengan refleks mengesampingkan wajahnya.
“Apa sudah menunggu lama?”
“Tentu saja, kau sudah telat 30 menit loh.”
“Uh.”
Entah kenapa, Mashiro menunjukkan ekspresi yang tidak puas. Padahal orang yang terpaksa menunggu adalah Sorata.
“Kenapa marah?”
“Tentu saja karna kau terlambat!”
“Tapi aku sudah berlari.”
Mashiro dengan tidak senang mengerucutkan bibirnya.
“Ini aku tahu, tapi kalau ingin cepat, harusnya kau sudah mulai buru-buru saat sampai di hotel!”
Dari hotel berjalan sampai sini, dibutuhkan sekitar 5 menit.
“Karena persiapannya menghabiskan banyak waktu.”
Mashiro dengan pamer membusungkan dadanya. Tapi berbeda dengan sikapnya itu, dia merendahkan pandangannya, terlihat sedikit tidak tenang.
Gerakan macam apa ini………sama sekali tidak seperti Mashiro, seperti seorang gadis yang normal. Walaupun rasanya terlihat bodoh, tapi ini imut sekali.
“Habiskan lumayan banyak waktu.”
Sikap berbicaranya kali ini terdengar seperti sedang menjelaskan.
Mashiro yang terlihat begitu menebarkan perasaan yang tidak tenang namun juga berharap. Sorata rasanya seperti bisa merasakan debaran jantungnya itu, debaran jantung Sorata juga bertambah cepat sekejap.
Berkat ini, perasaan ‘kagum’ Sorata terhadap Mashiro selama ini, menghilang sekejap.
“Ka-kalau begitu, seharusnya sudah bersiap siap sejak awal.”
Walaupun mencoba mempertahankan suasana hatinya yang tenang, tapi badannya dengan aneh menghadapkan arah yang lain. Tapi, ini juga wajar saja.
Kalau sekarang menatap Mashiro dengan arah yang lurus, akibatnya akan buruk. Benar, Sorata berpikir begitu.
“Hanya begitu?”
“A-apanya hanya begitu?”
Lidahnya tidak bisa bergerak dengan lincah.
“Hal yang ingin kau katakan.”
“A-apa aku masih boleh protes beberapa kalimat lagi?”
Candaannya juga menjadi kaku.
“Tidak boleh protes.”
“Ka-kalau tidak, kau mau aku omong apa?”
Keringat membasahi punggungnya.
“………”
Mashiro menatap ke Soraa, juga bahkan menatap Sorata dengan pandangan yang tersembunyi di bawah topinya. Dari tadi rasanya aneh. Gerakan Mashiro, sikap juga perkataannya, semuanya bersifat menghancurkan. Saat ini, Sorata hampir ditaklukkan.
Ekspresinya berbeda. Kulit Mashiro yang sejak awal memang sudah sangat putih, hari ini rasanya terlihat lebih putih lagi. Sorata mengintip sejenak, sepertinya dia tahu alasannya.
“…………a-apa kau make up?”
Tidak tahan dengan tekanan juga keheningan yang begitu berat, Sorata dengan mati-matian berbicara.
“Hn.”
Merupakan make up alami yang hampir tidak tampak.
“………….”
“…………..”
Tatapan Mashiro terlihat sedang mengharapkan sesuatu. Lalu, Sorata malah tidak tahu harus berbicara seperti apa. Imut, cantik, tidak buruk, atau terlihat lebih dewasa, sama sekali bukan dunia ini, Mashiro yang sekarang berbeda dengan yang biasanya, sangat mengacaukan akal Sorata. Dia juga dengan cepat merasa bibirnya kering.
Di saat dia sedang memikirkann topik, dia memindahkan pandangannya.
“A-apa Misaki senpai yang membantumu?”
“Aku memintanya mengajariku, lalu sisanya aku urus sendiri.”
Mashiro tiba-tiba memperpendek jarak antara keduanya.
“Ti-tidak begitu buruk.”
Sorata tiba-tiba dengan alami membusungkan badannya, dan memepertahankan jarak awalnya. Akan semakin bahaya bila semakin dekat dengan Mashiro.
“Aku sangat pandai melukis sesuatu.”
“Jadi menganggap wajahmu sendiri seperti kanvas?”
Tapi kalau berpikir begitu, rasanya bisa memahami kenapa make upnya sangat bagus.
“Sorata.”
“Ke-kenapa?”
“Hanya itu?”
Mashiro menatap Sorata.
“Ha-hanya itu!”
“Terserah.”
Terlihat tidak seperti terserah saja.
“Terserah.”
Sekali lagi dia mengatakannya.
“Ya sudah.”
“Ka-kau aneh sekali! Omong-omong, bukannya sekarang mau pergi mengumpulkan bahan untuk pemandangan!”
Sorata menggunakan jarinya menunjuk ke buku sketsa yang sedang dipeluk oleh Mashiro.
“Be-benar! ini untuk mengumpulkan bahan!:
Sorata mengatakan ini seperti ingin memberitahu dirinya sendiri, berusaha menenangkan dirinya.
“Hn.”
Lalu di belakang terdengar balasan yang begitu, Soratapun melangkahkan kakinya.
“…………Sorata bodoh.”
Segera terdengar suara yang begitu kecil, sepertinya tidak salah dengar.
Yang pertama mau pergi ke kanal sungai yang mewakili tempat wisata Otaru.
Berjalan bersama Mashiro lewat jalan di stasiun yang begitu luas. Tidak, Mashiro selalu terlambat 1 langkah.
Rasanya tidak tenang.
Di depan terlihat laut, mood harusnya menyenangkan, tapi tidak terasa begitu saat bersama Mashiro, rasanya susah sekali. Juga percakapan diantara mereka tidak terlihat alami.
“S-syukur cuaca hari ini bagus.”
“Ya.”
“…………”
“…………”
“A-apa kemarin di Sapporo seru?”
“Seru?”
“………..”
“………..”
“Be-begitukah, baguslah.”
“Baguslah.”
“………….”
“…………..”
Dengan begitu, rasanya merasakan perasaan pasangan yang baru kencan untuk pertama kalinya.
Tidak, bukan ‘rasanya’, jangan-jangan memang begitu.
Mashiro memilih pakaiannya dengan serius, bahkan make up. Juga reaksinya saat telat, semuanya seperti pasangan yang baru kencan untuk pertama kalinya.
---kalau begitu, apa ini kencan?
Setiap menyadarinya, Sorata merasa semakin tidak bisa mengatakan apapun.
Bahkan perjalanan menuju kanal sungai yang tidak sampai 10 menit, terasa begitu lama dan suasananya begitu kaku.
Teringat kemarin, dengan Nanami rasanya juga seperti kencan, tapi saling menjaga jarak, biarpun sempat terjadi suasana yang aneh, Sorata masih bisa memikirkan cara untuk melewati itu. Namun, Sorata tidak bisa seperti itu saat dengan Mashiro.
Sorata berpikir setidaknya harus bersama dengannya seperti biasanya.
Dalam pikirannya terus berpikir harus seperti biasanya.
Tapi sampai sekarang jawabannya belum keluar.
Sampai sekarang seperti apakah percakapannya dengan Mashiro.
Setiap hari saat sekolah, pulang sekolah, juga bukannya ngobrol terus. Mashiro bukan orang yang suka berbicara, dan Sorata juga begitu.
Jadi juga ada saat ketika keduanya berjalan dengan diam. Beberapa saat yang lalu masih tidak begitu memikirkan ini.
Lalu, sekarang bahkan tidak hanya tidak bisa memulai percakapan, rasanya juga sangat gugup. Tekanan yang begitu berat menghampiri Sorata.
Karena perasaan yang tidak tenang ini, Sorata secara alamiah menambah kecepatannya saat berjalan. Pemikiran ingin cepat-cepat sampai di kanal sungai juga semain kuat. Tapi saat sudah sampai di kanal sungai, masalah juga tidak akan selesai…….
Dua orang itu sampai di jalan besar yang dipenuhi orang orang juga mobil-mobil besar. Sepertinya maju sedikit lagi akan sampai di kanal sungai.
Sorata berhenti karena lampu memerah, Mashiro kemudian menyusul dengan sedikit berlari kecil.
“Sorata…………”
Sorata berbicara dan mematahkan suara Mashiro memanggilnya.
“Sepertinya kanal sungainya ada didepan.”
“…………hn.”
Terdengan balasan yang seperti masih ingin mengatakan sesuatu. Bagi Mashiro yang selalu mengatakan appaun yang dia inginkan, ini adalah reaksi yang sangat jarang terlihat.
“Hn?”
“………..tidak apa apa.”
Sikap berbicaranya yang sedang kesal, sedikit menganggu orang.
Lampu pun menjadi hijau, Sorata sambil protes dengan Mashiro sambil berjalan.
“Kenapa? Katakan saja.”
“Tidak ada.”
Sama sekali tidak berguna. Sebenarnya apa yang dia inginkan? Di saat Sorata berjalan sambil berpikir, tujuannya Otaru, kanal sungai, sudah berada didepan.
Di jalan yang dipenuhi mobil-mobil besar. Saat lihat dari foto, mengira ini tempat yang tenang, di sekitar juga banyak gudang, dengan berpikir dari arah pembangunan sejarah, seperti ini rasanya lebih alami.
Turun ke bawah sekitar beberapa tangga……..tempat yang lebih rendah sekitar 3 meter dari jalanan, ada jalan khusus untuk berjalan ke kanal sungai.
“Mau turun?”
“Hn.”
Turun lewat tangga, pemandangan pun menjadi baru. Karena pemandangan yang sedikit rendah, rasanya seperti melihat pemandangan yang ada di foto. Tidak, pemandangannya berubah seperti di dalam foto.
Permukaan air yang tenang; gudang yang membuat orang merasakan sejarahnya. Juga karena sama sekali tidak terlihat jalan besar, jadi tidak perlu khawatir mobil berlalu ke sana ke sini.
Terlihat pengunjung yang menikmati waktu santainya disini. Juga pasangan yang sedang melihat ke sungai di depan pagar, juga ada pasangan suami istri yang sedang foto, juga terlihat murid Suiko yang di mana-mana.
Juga orang yang sedang duduk di kursi panjang sedang melukis pemandangan sungai, tidak tahu apakah memang orang sini, lukisannya terlihat indah. Di atas kayu besar yang lunak terlihat beberapa lukisan yang indah, juga tertulis harganya.
Dan Mashiro, entah sejak kapan sudah memilih tempatnya, mulai membuka buku sketsanya. Dengan menempel pada pagar yang dibuat untuk menghindari terjatuhnya pengunjung, Mashiro mulai melukis. Tangan kanannya dengan lincah bergerak, setiap masuk ke situasi yang begitu, berbicara dengan dia juga tidak akan dihiraukan.
Sorata duduk di samping kursi panjang yang kosong, sambil melihat ke bayangan Mashiro yang sedang menggerakan pensilnya itu.
Gadis yang sedang menikmati pemandangan kanal sungai ; bangunan tua yang terlihat romantis, mirip sekali sebuah lukisan. Rasanya seperti berada di negeri yang berada di masa 10 tahun yang lalu –perasaan seperti ini menghampiri Sorata.
Setelah beberapa saat, mulai berkumpul orang-orang di sekitar Mashiro yang begitu. Setiap orang melihat Mashiro bagaikan sebuah lukisan, dan menghentikan langkahnya.
Lalu tidak bisa memindahkan pandangannya dari Mashiro, mereka pun melihat ke buku sketsa Mashiro, dan keluarkan suara seperti ‘hebat sekali’, ‘indah sekali’ atau ‘wah~~’.
Mereka semua tidak tahu, tapi bagi Mashiro, bahkan ini merupakan lukisan nyang sederhana baginya, seperti naskah kasar, hanya digunakan sebagai bahan latar belakang untuk komiknya nanti……..
“Kau memang hebat sekali.”
Kemampuannya menarik pandangan orang yang di sekitar, mempunyai kekuatan seperti merebut jiwa orang lain.
Mungkin ini bisa dijuluki sihir.
Sorata juga merupakan salah satu yang tertarik olehnya.
Tidak tahu alasannya. Dengan bakat yang begitu mendominasi, juga usaha yang begitu banyak, membuat orang yang di sekitarnya mengakui kehadiran dirinya.
Kekuatan yang diciptakan oleh gerakan juga hasilnya.
Mashiro memiliki kemampuan yang Sorata inginkan.
“Sorata.”
Setelah mendengar suara yang memanggil dirinya sendiri, Sorata pun sadar dari lamunannya.
Wajah Mashiro berada di depannya. Dia memajukan badannya, dan dengan lurus menatap ke wajah Sorata yang sedang duduk di kursi panjang itu.
“Oh!”
Sorata dengan refleks mengesampingan badannya, dan memperlebar jaraknya.
Pandangannya menjadi luas, terlihat seluruh tubuh Mashiro.
Tapi, pandangannya tertarik oleh sesuatu.
Baju yang sedikit terbuka, kulitnya yang putih terlihat. Dan kesadaran Sorata pun tertuju pada pakaian dalam yang berwarna biru muda itu.

Setelah telat menyadarinya, otaknya memberinya sebuah peringatan.
Dengan segera mengangkat pandangannya, dengan segera menatap ke Mashiro.
Apa  dia sadar Sorata sedang melihat ke bagian itu?
Hasilnya dengan cepat keluar.
Mashiro dengan seperti sedang menutupi bagian baju yang kosong, menggunakan buku sketsanya menutupi wajahnya………
“Kau melihat kemana?”
“Bu-bukan.”
“Tak boleh lihat loh.”
“Su-sudah kubilang bukan!”
“Hal seperti itu hanya boleh dilakukan pacar.”
“Ke-kenapa kau mengatakan itu di situasi begini!”
Otaknya serasa terbakar, sama sekali tidak bisa memikirkan apapun.
“Apa Sorata juga menyukai dada?”
“Jangan samakan aku dengan Iori!”
“Kalau begitu, apa tidak suka?”
“Bukan masalah suka atau tidak suka…….pandangan secara alamiah akan tertuju ke sana, bi-bisa dibilang sifat alami, kalau memang terlihat akan dengan tidak tahan melihatnya. Karena sepertinya bisa terlihat jadi melihat ke sana, ini seperti mendengar suara uang logam yang terjatuh, semua orang akan dengan refleks melihat ke arah uang terjatuh kan!”
“Apa yang besar lebih baik?”
“Apa kau tidak mendengar penjelasanku yang tadi!”
“Seperti punya Misaki?”
“Yang seperti itu jarang terlihat kan.”
“Punya Rita juga besar.”
“I-iya.”
“Apa kau pernah melihatnya?”
“Aku hanya melihatnya dari luar hoi!”
“Katanya setelah diremas akan menjadi besar, apa itu benar?”
“Aku pikir itu hanya gosip tidak benar, tapi, jangan tanyakan hal seperti ini ke aku!”
Mungkin saja ada cara meremas dada supaya jadi besar……….
“Omong-omong, bisa tidak kita jangan membahas topik seperti ini di tempat yang mewakili tempat wisata Otaru?”
“Aku juga tidak ingin membahas ini.”
“Kan Shiina yang memulai percakapan ini!”
“…………”
“Kenapa tidak bicara?”
“………….”
“Ingin diam?”
Mashiro menganggukkan kepala.
“………kalau benar-benar ingin bilang, Shiina sama sekali tidak waspada.”
“………….”
Mashiro terus diam, dan pandangannya seperti ingin mengatakan sesuatu. Terhadap Mashiro yang begitu, Sorata sedikit aneh. Harusnya Mashiro sekarang terlihat marah tetapi tidak, malah terlihat tidak semangat.
Harusnya Sorata tidak mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya menjadi begitu……..
“Shii-Shiina?”
Memanggilnya, tapi dia tampak lebih tidak semangat lagi, menjadi lebih kecewa. Sorata sama sekali tidak mengerti.
“Ke-kenapa? Kalau kau ingin mengatakan sesuatu……..”
Bahkan Sorata belum selesai mengatakannya.
“Tidak apa-apa.”
Dan menimpa perkataan Sorata dengan suara yang kecil.
“…………”
Aneh. Apa yang terjadi? Dia memang terlihat tidak senang karna sesuatu, tapi apakah itu, Sorata sama sekali tidak tahu.
“Apa pengumpulan bahanmu………sudah selesai?”
Jadi hanya bisa pindah topik.
“Hn.”
“Kalau begitu ayo pergi ke tempat lain.”
“Hn.”
Sorata kemudian mebawa Mashiro yang terlihat tidak semangat itu pergi dari kanal sungai.

Bagian 3
Setelah pergi dari kanal sungai, pergi ke distrik Kitano.
Menurut informasi yang didapatkan dari buku panduan perjalanan, sepertinya di sana pernah menjadi pusat perdagangan di Hokkaido, merupakan perkumpulan daerah bank ala barat yang dibangun saat era Meiji dan Showa.
Jalanan yang terbentuk dengan begitu unik, Sorata dan Mashiro sedang berjalan di sana.
Mashiro mempertahan jaraknya di belakang Sorata, biar Sorata menghentikan langkahnya untuk menunggunya, tapi setiap sadar terlihat dia ketinggalan di belakang lagi.
Setiap Sorata menghentikan langkahnya, dia terus menatap ke pinggang Sorata dan memberi pesan yang tidak berkata-kata.
“…………..”
“Shiina, omong saja apa yang kau inginkan?”
“………tangan.”
“Hn?”
“Aku ingin menggandeng tangan.”
“…………”
Pikiran Sorata terus membayangkan situasi itu, tapi pikirannya mengatakan Sorata tidak bisa mengatakan situasi itu.
“Maksudnya tanganku dengan tangan Shiina?”
“Benar.”
“Tunggu, ini tidak terlalu baik kan?”
“Mengapa?”
Tempat wisata yang bisa dikunjungi murid Suiko itu terbatas, sebelumnya juga  terlihat beberapa murid Suiko di depan stasiun Otaru, di depan kanal sungai juga ada beberapa, bahkan tadi sempat berpapasan dengan 2~3 kelompok di distrik kitano. Kalau bergandengan dalam keadaan seperti ini, apa yang akan terjadi? Jawabannya segera tampak. Pasti gosip akan menyebar dengan kecepatan cahaya.
“Mengapa?”
Mashiro bertanya sekali lagi.
“………”
Mungkin saja sudah ada alasannya dalam otak Sorata, tapi Sorata tahu itu hanyalah sebuah kehobongan besar………
Merasa terganggu karena permintaan Mashiro, itu bukan karena masalah dilihat orang lain.
Sama sekali tidak perlu menyeret orang lain, yang diperlukan hanya 2 orang saja yaitu Mashiro dan Sorata.
Di situasi yang belum menjawab pernyataan cinta Mashiro sekarang………bagaimana bisa Sorata bisa dengan santai menggandeng tangan Mashiro.
Itulah alasan sebenarnya.
“Po-pokoknya tidak boleh!”
“Sorata bodoh.”
Suara kecil yang hampir tidak terdengar itu, terdengar sangat depresi.
“Shi-Shiina, lihat, sepertinya disana ada toko yang menarik.”
Sorata mencoba mengubah suasana, dan menunjukk ke bangunan kayu tua yang ada didepan. Itu adalah toko kaca yang sering kita jumpai di Otaru.
Tidak menunggu Mashiro, Sorata pun langsung masuk ke dalam toko.
Mashiro pun dengan terpaksa mengikutinya.
Di dalam toko yang sempit  tapi rapi ini, tertaruh hiasan kaca dimana mana.
Ada gelas kaca, gelas bir merah, juga produk seperti botol minum, juga ada hiasan dengan bentuk hewan.
Merah, kuning, orange, hijau, biru, ungu, setiap warna tampak cerah, dan bersinar dalam toko.
“Indah sekali.”
Mashiro kemudian mengambil gelas kaca yang berwarna biru air, hampir sama transparan dengan gelas kaca yag biasa dan bersinar dalam mata.
Sepertinya tertarik.
Sorata akhirnya sedikit lega.
“Retret perpisahan kah?”
Bertanya dengan begitu ramah, itu adalah seorang karyawan perempuan yang umurnya terlihat antara 25~30.
“Ah, ya.”
“Ruang kerja yang ada di dalam bisa dipakai untuk mencoba membuat kaca, mau mencoba untuk menciptakan kenangan?”
Melihat sosoknya saat senyum, mungkin dia menganggap Sorata dan Mashiro merupakan pasangan yang sedang kencan saat retret perpisahan.
Tapi, pada dasarnya memang ada beberapa masalah yang rumit, jadi rasanya terganggu.
“Maksudnya apakah mencoba meniup kaca di depan tongkat yang sedang terbakar itu?”
“Ya, meniup di tongkat itu.”
Entah sudah berapa kali lihat ini di TV, dengan menggunakan ketel yang sudah panas melelehkan kacanya, sambil berputar sambil menggunakan tongkat yang berbentuk seperti sedotan bertiup, dan menghasilkan bentuknya. Walaupun rasanya ingin mencoba, tapi apa orang luar seperti kami bisa? Apalagi itu terlihat sangat panas.
“Sorata.”
Dipanggilnya di saat seperti ini, yang ada hanya firasat buruk.
“Ke-kenapa?”
“Aku ingin coba membuatnya.”
“Tunggu, tunggu sebentar, kalau nanti  kena panasnya gimana!”
“Kalau khawatir, juga ada barang yang tidak memerlukan api.”
Karyawannay dengan ramah menjelaskan.
Dia mengambil gelas kaca dari lemari yang ada di samping. Itu adalah gelas kaca yang transparan dan jernih, di atasnya sepertinya bahkan terukir beruang yang menggigit ikan salmon.
“Bagian yang agak kasar ini, dibuat dengan meniupkan pasir. Ini namanya menyemprot pasir, bisa mengukirkan lukisanmu sendiri ke atasnya loh.”
Mashiro terlihat sangat tertarik dengan gelas kaca.
Kalau begitu tidak perlu khawatir lagi. Sepertinya tidak apa-apa.
“Kalau begitu mau coba?”
“Mau.”
Mashiro segera menjawabnya.
Seperti yang karyawan perempuan itu jelaskan, ruang kerjanya ada di samping toko.
Yang bertanggung jawab menjelaskan adalah laki-laki, seorang paman yang kira-kira berumur 30…….tidak, harusnya seorang aniki (kakak laki laki) . Pokoknya, dengar dulu penjelasannya, Sorata dan Mashiro kemudian duduk di depan meja kerja, mulai melukis pada kertas yang diberikan.
Selanjutnya digunting, dan membuat bentuknya.
Mashiro dengan diam menggerakan pensilnya di atas kertas.
Sorata meggambar sebuah garis tapi menghapusnya, dengan begitu Sorata terus mengulang kejadian itu.
Setelah sekitar pengerjaan 10 menit, aniki yang bertugas menjelaskan itu pun memulai obrolan.
“Pacarmu lucu juga ya.”
“Huh? Ah, tidak, dia bukan pacarku.”
“Ah, begitukah?”
Walaupun tidak mengerti anikinya sedang mengharapakan apa, tapi dia dengan jelas menunjukkan ekspresi yang kecewa.
“Aku menyukai Sorata.”
Mashiro yang masih dalam pengerjaannya itu mengangkat kepalanya, tiba-tiba mengatakan sesuatu yang begitu, dia terlihat begitu tidak puas. Jangan-jangan ia marah karena soal pacar. Biarpun begitu, Sorata tidak bisa mengakui Mashiro sebagai pacaranya dalam situasi seperti itu.
“Oh, oh oh?”
Aniki itu merasa terkejut.
Setelah dia mengedipkan mata beberapa kali ia pun bertanya :
“Kau adalah Sorata?”
“Ya.”
Sorata akhirnya hanya bisa mengangkat tangan dengan pasrah, terlihat seperti menyerah dengan mengangkat tangannya.
“Nanami juga menyukai Sorata.”
Mashiro kemudian lanjut menambahkan kenyataan yang menggemparkan.
Pandangan aniki pun kemudian melempar pandangan seperti ingin bertanya ‘siapa Nanami itu?’
Ini bukan lagi menyerah, Sorata hanya bisa terdiam.
“Teman sekelas.”
“Woh!”
Kali ini suara terkejut yang terdengar semangat.
“Inikah itu? Itu, cinta segitiga!”
Aniki itu semangat dalam waktu sekejap. Tapi wajar saja, ini merupakan cerita yang sangat menarik bagi orang asing.
“Huft, buat terkejut saja, ini pertama kalinya aku melihat hubungan seperti ni. Ternyata yang namanya cinta segitiga itu nyata ya. Cinta segitiga………….eh, membuat orang terkejut saja, cinta segitiga! Sama sekali tidak tampak loh, kalau kau ternyata sangat populer!”
“Ya……….”
Entah kenapa, diserang sampai seperti ini, tapi malah rasanya menyegarkan.
Di samping Sorata yang sedang tersenyum pahit, Mashiro kemudian tiba-tiba berdiri.
“Uwaa! Ada apa?”
“……….”
Mashiro yang merendahkan kepalanya, kemudian menggesekkan kedua pahanya.
“Shiina?”
“………….”
“Toilet berada dibelakang loh.”
Aniki kemudian menggunakan tangannya menunjuk ke tirai yang berwarna biru tua, Mashiro dengan tidak mengatakan apapun langsung berjalan ke sana.
“Kalau ingin pergi ke toilet langsung omong saja.”
“Dik, kau tidak mengerti ya.”
“Huh?”
“Itu yang namanya hati perempuan muda.”
Aniki itu seperti merasa perkataannya itu berarti sekali, terus mengangguk-angguk kepalanya.
Mashiro yang kembali dari toilet itu kemudian terlihat marah, terlihat kesal, juga terlihat sedikit depresi, juga membawa sedikit suasana kacau yang malu-malu, langsung kembali duduk ke tempatnya tanpa memandang ke Sorata.
“Sorata bodoh.”
Selanjutnya langsung terdengar suara yang kecil itu mengatakannya.
“Ini tidak beralasan sekali?”
“…………”
Mashiro tidak peduli pada Sorata yang ingin dia menarik perkataannya itu.
“Sudah.”
Dia memotong percakapan, dan menunjukkan lukisan yang sudah dia selesaikan.
Tidak perlu banyak komentar, pokoknya karya yang sangat luar biasa. 10 kucing dengan berbaris maju, semua itu adalah kucing yang dipelihara Sorata. Urutannya mulai dari depan adalah Hikari, Kibou, Kiji, Tsubasa, Komachi, Aoba, Asahi, lalu Mizuho, Tsubame dan Sakura.
Mencoba menaruhnya di atas gelas kaca, dengan pas mereka membentuk 1 lingkaran, Hikari yang berada didepan ikut dibelakang pantat Sakura, dan mebentuk sosok terus melingkar.
“Hm, lukisan pacar perempuan terlihat sangat bagus.”
“Sudah kubilang bukan pacar……….”
Sorata menjelaskannya, Mashiro kemudian sekali lagi melmpar pandangan tidak senang pada Sorata.


Aniki malah tidak mendengar perkataan Sorata.
“Sebaliknya, lukisan pacar terlihat buruk. Hn, buruk sekali, buruk sampai ingin tertawa.”
Setelah aniki selesai mengatakannya, dia pun tertawa.
“Apa tidak apa aniki mengatakan sesuatu seperti ini pada pelanggan ?”
“Sejak kecil aku begitu jujur, di raport juga tertulis begitu.”
“Wali kelasmu memang pandai menilai orang ya.”
“Sepertinya begitu?”
Bahkan candaannya dilelehkan  dengan senyuman, sosoknya yang santai membuat Sorata teringat dengan Jin.
“Tapi, hn, gambarmu juga bukannya tidak bisa dikatakan tidak mirip kelelawar lah.”
“Yang kugambar itu kucing.”
“Baik, kalau begitu mari mulai tahap pemotongan.”
Aniki pura-pura tidak mendengar perkataan Sorata.
Dengan dengan ekspresi yang seperti tidak terjadi apapun, mengeluarkan 2 buah pemotong, dan memberi gambarnya pada Sorata dan Mashiro dengan senyuman.

Bab 4
Pengerjaannya menghabiskan waktu sekitar setengah jam. Setelah mendapat gelas kaca yang sudah selesai, Sorata dan Mashiro pun kemudian pergi dari ruang kerja itu.
Dua orang itu berjalan ke toko suvenir juga toko cemilan diantara Sakaimachi Hondori, sampai bertemu persimpangan 4. Dalam perjalanannya sempat pergi ke toko yang menjual lilin dan kotak musik, juga makan kue bolu di toko cemilan yang terkenal.
Selanjutnya, pulang ke lobi hotel pada sore jam 6.
Murid Suiko yang terlihat dimana-mana. Kemungkinan sama seperti Sorata, baru pulang bermain dari Otaru. Padahal tidak ada apa-apa tapi terlihat beberapa orang mengobrol di lobi, mengeluarkan suasana yang tidak ingin kembali ke kamar.
Sorata berjalan ke eskalator, dan bertanya pada Mashiro :
“Apa Otaru seru?”
“………..”
Awalnya kira Mashiro akan langsung menjawab, namun Mashiro malah tidak mengatakan apapun dan berhenti di tengah lobi hotel.
“Shiina?”
Sorata membalikkan kepalanya memanggilnya.
“……….”
Ekspresinya terlihat serius.
“Ada apa?”
“……bosan sekali.”
Sorata sekejap masih merasa itu bukan suara Mashiro, juga tidak seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.
“Eh?”
Menjawab dengan suara yang kecil, dan kulit terasa suhu disekitar sekejap menjadi dingin.
“Bosan sekali.”
Mashiro memegang erat topi yang dia lepaskan tadi, menunjukkan ekspresi yang bingung juga sedih, dan mood yang terlihat sedikit buru-buru dan menyesal.
Sorata yang ragu harus menjawab seperti apa, memindahkan pandangannya ke udara. Nona penjaga kasir mungkin menyadari suasana yang tidak tenang, dan melihat ke Sorata. Pilar yang didepannya ditaruh tumbuhan hiasan yang berdaun besar, juga hiasan lampu yang berada diatas langit-langit hotel semua itu tidak bisa dilihat oleh Sorata, lalu pandangan Sorata dengan segera kembali ke Mashiro.
Tangannya yang memegang erat topinya itu gemetar. Setelah melihatnya Sorata menyadari sesuatu---barang yang dibawa Mashiro menghilang.
“Buku sketsamu mana?”
Kedua tangannya memegang erat topinya.
Walaupun gelas kaca yang dibuat diruang kerja ada disimpan ke dalam tas Sorata, tapi tidak ada ingatan buku sketsa yang simpan ke dalam tasnya. Sorata mengecek ke dalam tas, ternyata memang tidak ada.
“Hilang.”
“Hilang dimana?”
Alasan kenapa berteriak, karena merasa bimbang setelah mendengar Mashiro mengatakan ‘bosan sekali’.
“Aku akan pergi mencari.”
Di saat Sorata membalikkan badannya dan bersiap pergi, terdengar suara Mashiro dari belakang.
“Tidak perlu.”
“Apa?”
Sorata dengan terkejut membalikkan kepalanya.
“Tidak perlu.”
“Kenapa? Itu adalah bahan yang penting untuk komik kan?”
“Tidak perlu lagi.”
“Apa yang kau katakan?”
“Aku tidak memerlukannya lagi.”
“Kenapa sikapmu hari ini aneh?”
“Yang aneh itu Sorata.”
Mashiro menutup bibirnya membentuk huruf ‘-‘, dan menatap ke Sorata dengan pandangan yang tidak puas. Tidak, lebih tepatnya melirik.
“Aku mananya yang aneh?”
“Akhir-akhir ini selalu menghindariku.”
“!”
Perasaan terkejut membuat Sorata terdiam, seluruh tubuhnya sekejap menjadi kaku, bibirnya gemetar. Biarpun begitu, dalam hatinya terus menolak kenyataan itu.
“Kenapa sekarang kau membicarakan ini?”
Untuk menyembunyikan perasaan bersalah yang tidak ingin disentuh, hanya bisa menolak sekuat tenaga. Sorata merasa kali ini dia keterlaluan, biarpun begitu, Sorata tidak bisa menahannya.
“Kenapa kau marah?”
Tentu saja karena perkataannya tepat mengenai sasaran.
Tapi, kata kata yang keluar selanjutnya dari mulut Sorata merupakan alasan lain.
“Semuanya karna kau mengatakan kata-kata yang aneh!”
Setelah Sorata mengatakannya, dalam pikirannya masih sadar kalau marah-marah tidak akan bisa menyelesaikan masalah.
“………..tidak, aku tidak marah.”
Lalu, hanya bisa mengecilkan suaranya, dan menyembunyikan perasaannya ini.
“Bohong, padahal kau sedang marah.”
Tentu, Mashiro juga merasakannya.
Sorata mengkhianati perasaan yang menyuruhnya untuk tenang, kata-katanya menjadi tajam, dan terus menyerang Mashiro. Selain itu, tidak ada cara lain untuk melindungi bagian yang tidak ingin disentuh.
“Semua salah Sorata.”
“Ah?”
“Tidak memuji pakaianku!”
Suara Mashiro terdengar jelas di seluruh lobi. Kehadiran murid Suiko di sekitar menjadi semakin kuat lagi, semua perhatian tertuju pada Mashiro yang berteriak.
“Rambutnya juga sudah kutata.”
“………apa yang kau katakan?”
Apa sekarang saatnya membahas topik seperti ini?
“Juga make up.”
Yang Sorata tanya itu adalah soal buku sketsa.
“Jalannya juga cepat sekali! Kaki terasa sakit karena sandal yang kupakai!”
Semua yang dikatakan Mashiro semakin tidak masuk akal, Sorata merasa bingung harus menjawabnya seperti apa, dan tidak tahu harus menangani ini seperti apa.
“Juga tidak memanggil namaku!”
“…………”
“Padahal sudah dibilang saat sedang berduaan panggil aku dengan namaku…………”
Di depan mata terlihat ekspresi Mashiro yang menangis.
Melihat ke Sorata…….hanya melihat ke Sorata, dan menyalahkan Sorata.
“Aku juga ingin menggandeng tangan!”
Penonton di sekitar semakin banyak, sekarang saatnya jam bebas selesai, waktunya murid Suiko kembali ke hotel……..
“Itu kenapa? Ada apa?”
“Apa itu pasangan yang sedang bertengkar?”
“Itu Shiina san kan? Apa 2 orang itu sedang pacaran?”
Lobi sekejap menjadi ribut.
Bahkan pengunjung berhenti karena situasi yang tiba-tiba ini. Nona penjaga kasir itu sedang ragu apakah harus mengentikan Mashiro.
“Shiina, tunggu sebentar, ke sini.”
Lebih baik ganti tempat dulu. Sorata berpikir begitu, dan ingin menarik lengan Mashiro.
“Lepaskan aku.”
Segera dilepaskan.
“Kalau disini, semuanya melihat……….”
“Memangnya kenapa?”
“……….”
“Aku sedang bicara dengan Sorata.”
Mashiro menunjukkan tatapan ‘selain ini semuanya tidak penting’.
Sepertinya mengatakan apapun tidak berguna lagi juga tidak tahu harus hadapi ini seperti apa. Begitu galau harus mengurus Mashiro seperti apa, ini pertama kalinya.
Selanjutnya, keraguan Sorata membuat marah Mashiro.
“…………sudah.”
“Apa?”
“Aku tidak peduli pada Sorata lagi!”
Dia melempar topinya ke Sorata.
“Ah!”
Sorata dengan panik melindungi wajahnya, akibatnya topinya terjtuh. Di saat dia membuka matanya yang tutup sekejap tadi, Mashiro sudah dengan cepat berjalan ke eskalator.
Fukaya Shiho yang melihat dari keramaian itu kemudian berlari ke sini, mengambil topi yang jatuh di depan Sorata, dan pergi mengejar Mashiro. Walaupun dari pandangannya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya tidak mengatakan apapun, jadi tidak tahu sebenarnya apa yang ingin dikatakannya.
“Sialan!”
Sampai bayangan Mashiro tidak terlihat lagi, Sorata mengeluarkan perasaan yang kesal itu. biarpun sudah selesai marah-marah, tetapi suasana hatinya tetap tidak berubah; biarpun dia menginjak lantai berkali kali dengan kuat, perasaan yang kesal ini terus bertambah.
Kalau berdiri disini terus, sepertinya akan menjadi gila.
Sorata kemudian berjalan ke arah rute pelarian, menambahkan kecepatannya berjalan, dan berlari keatas.
Setelah sampai di lantai 5 jantungnnya pun dengan cepat berdetak.
Setelah sampai dikoridor, dia berhenti didepan kamar no.503 yang akan dia tinggal hari ini.
Dia mengulurkan tangannya pada gagang pintu, tapi tangan yang memegang gagang pintu itu tidak bergerak.
“…………..”
Dengan kesal memegang dadanya.
“Aku sendiri juga tahu!”
Memang salahnya sendiri.
Salah diri sendiri yang belum menjawab apapun.
Hal seperti ini, Sorata sendiri paling jelas. Biarpun begitu, dia tetap tidak tahu harus hadapi Mashiro yang begitu agresif seperti apa.
Apa sudah cukup dengan memuji pakaiannya, merasa takjub setelah melihat make upnya, menggandeng tangannya, dan memanggil namanya? Bolehkah Sorata melakukan itu saat dia belum mendapatkan jawaban? Tidak boleh hanya menggunakan kata-kata dan penampilan luar menghadapi Mashiro yang serius.
“Kalau tidak apa yang harus kulakukan!”
Sorata dikendalikan oleh emosinya, kemudian menabrakkan kepalanya ke pintu. Setelah sesaat, perasaan yang sakit dan panas itu mulai melebar dikeningnya.
“Sakit.”
Sorata berbisik sendiri, dan menaruh tasnya di depan pintu, kemudian balik lagi ke arah rute pelarian. Dengan mulai menambahkan kecepatan berlarinya, setelah sadar dia pun sudah turun sampai kebawah.
Sampai dilantai 1, dan pergi keluar dari lobi hotel.
Dengan sekuat tenaga berlari dijalanan Otaru dibawah sinar mahatari terbenam.
“Sial!”
Sorata mengeluarkan suara yang kesal, sendiri juga tak tahu kenapa menjadi kesal, pikirannya mnejadi semakin tidak jelas.
Menjadi sangat lelah, menahan sakit, sambil protes sambil berlari……..padahal sudah tahul alasan yang sebenarnya.
Karena Mashiro.
Kehadirannya dengan aneh membuat Sorata terus berlari.
“Kenapa sih!”
Orang-orang yang sedang berjalan terkejut karena teriakan Sorata yang tiba-tiba. Padahal tubuhnya sama sekali tidak mendengarnya, tubuhnya dengan sendirinya berlari, dalam hatinya berteriak terus. Setiap menghentikan kakinya, tidak berteriak lagi, tapi perasaan yang ada di hatinya akan terus mengalir, tubuhnya serasa ingin pecah. Jadi hanya bisa berlari terus, teriak terus.
Sorata kemudian sampai di kanal sungai dulu.
Saat pagi datang ke sini, Mashiro masih membawa buku sketsanya, dan melukis didepan pagar.
Sorata turun lewat tangga, berdiri di depan kanal sungai. Melihat ke sekitar, tapi tidak terlihat barang yang seperti buku sketsa.
Setelah kecepatannya menurun keringatnnya pun mulai terus keluar. Sorata dengan tidak peduli mengelap pakai bajunya, tapi dengan segera keringatnya keluar dari kepala lagi.
Tempat yang pernah mereka kunjungi Sorata cari satu-satu. Setelah memastikan tidak ada buku sketsa, Sorata pun berlari lagi.
Setelah pergi dari kanal sungai, pergi ke distrik Kitano.
Berbeda dengan saat pagi, sedikit orang. Bagi Sorata yang ingin melihat ke sekitar, ini lebih mudah.
Setelah melewati distrik Kitano, datang ke Sakaimachi Hondori yang dipenuhi toko-toko.
Pokoknya, cari tempat yang pernah dikunjungi dengan Mashiro dulu.
Pergi ke toko yang pernah dikunjungi, menanyakan hal tentang buku sketsa. Walaupun karyawannya pada awalnya merasa bingung dengan Sorata tapi semuanya mengingat Sorata, jadi cepat mengerti. Sorata tidak merasa terkejut, karena ini wajar saja.
Yang terakhir, pergi ke toko kotak musik yang dikunjunginya terakhir kali bersama Mashiro, selain tempat itu tak ada tempat lain lagi.
Pernapasan Sorata menjadi kacau, bagian dadanya terasa sakit, terasa jantungnnya sedang berusaha memompa udara ke seluruh tubuh. Tapi, udara yang dipompa sepertinya tidak tepat waktu, tenggorokannya juga terasa kering, tidak bisa menghirup udara dengan lancar.
Kecepatannya melambat, walaupun ingin berlari sekuat tenaga, tapi kakinya sudah tidak bisa menuruti Sorata lagi. Beberapa kali hampir kehilangan keseimbangan, hampir terjatuh.
Setelah sampai di depan toko kotak musik, tenggorokan Sorata tersedak sesuatu, dan batuk dengan hebat, karena itulah dia terjatuh.
Kakinya sudah tidak mampu lagi, Sorata terjatuh seperti anak kecil.
Telapak tangan dan lutut yang terluka akibat terjatuh mulai terasa sakit serasa terbakar. Kalau diperhatikan dengan jelas, celananya berlubang pada bagian lutut yang terluka.
Sorata tidak bisa mengambil napas dengan lancar, jadi tidak bisa segera berdiri.
Memutar badannya, dan dengan susah payah mengganti ke sikap baring.
Di atas jalanan batu ini masih terasa suhu saat pagi, terasa kehangatan dibelakang punggung.
“Semuanya salah Shiina!”
Sorata tiba tiba berteriak.
Kenapa dan karena apa, alasannya tidak penting lagi.
Tapi alasan kenapa sekarang Sorata begitu semua karena Mashiro, hanya ini yang bisa dipastikan.
Sampai saat ini juga begitu.
Sudah seperti ini sejak awal bertemu………
Sorata selalu dipermainkan oleh Mashiro.
---kau ingin menjadi warna apa?
Di depan sitasiun, pandangan Sorata tiba-tiba tertarik oleh auranya yang bagaikan mimpi itu. pertanyaan yang begitu tiba-tiba ini, membuat Sorata terkejut.
---nama Sorata tidak buruk, terdengar sangat bagus, aku suka.
Perkataannya yang tiba-tiba itu membuat debaran jantung bertambah semakin cepat, hatinya dengan mudah tertarik olehnya. Perasaan saat itu sudah menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
Tapi, yang lebih mengejutkan ada setelah itu.
Merasa bingung dengan kamarnya yang kacau balau, dan setelah tahu dia adalah orang yang bahkan tidak bisa mengganti pakaiannya sendiri, Sorata merasa putus asa.
Juga dipaksa untuk menjaga Mashiro…….tiap hari membantunya memilih pakaian yang akan digunakan; membantunya mencuci pakaiannya; setelah selesai mandi bantu mengeringkan rambutnya ; juga harus pergi ke sekolah bersama sama supaya tidak tersesat; makan semua barang yang tidak dia suka……….tiap hari selalu begitu.
Kehidupan bertanggung jawab atas Mashiro, sudah lewat dari setahun.
Karena inilah Sorata lebih dekat dengan Mashiro dari pada siapapun, dan mulai menjadi dekat dengannya.
Makanan yang dia suka adalah kue bolu; udang goreng harus lepas bagian luarnya dulu baru mau makan ; makan roti juga hanya makan bagian lunaknya; tidur dibawah meja, tapi itu karena tiap hari dia selalu menggambar manga sampai tertidur, dengan fokus mengejar tujuannya. Setiap sudah memutuskannya tidak akan ragu lagi, tekad yang begitu kuat membuat orang lain iri rasanya.
Dia juga terkadang akan memakan sesuatu padahal belum bayar; menjadi kesal saat bertemu hal yang tidak menyenangkan baginya; tidak berterima kalah, sangat keras kepala, apalagi saat dia marah, sangat susah untuk membuatnya kembali baikan ; pantang menyerah,  dan akan terlihat lucu saat dia memiringkan kepalanya karena bertemu sesuatu yang tidak dia mengerti; suaranya yang memanggil Sorata juga terasa nyaman; terkadang bisa langsung tahu sikapnya yang sok mengerti padahal tidak mengerti, rasanya lucu sekali; bisa melukis lukisan yang luar biasa; juga tidak merasa bangga dirinya yang begitu hebat, sikap seperti itu sangat luar biasa. Padahal dia hebat sekali, tapi sendirian dia tidak bisa melakukan apapun, membuat orang merasa aneh tapi menarik. Kadang juga akan susah saat menjaganya, akan menjadi salah paham melihat tingkahnya yang tanpa penjagaan sama sekali, dan kadang akan merasa  tidak tahan dengan sikapnya yang lagi malu, juga pandangan akan tertarik olehnya, walaupunsuara yang terdengar kecil tapi rasnya sangat nyaman didengar. Dia juga membuat Sorata berlari ke sana ke sini, membuat Sorata repot, membuat Sorata bingung, dan mengacaukan perasaan Sorata……..
Juga, Mashiro yang mengatakan dirinya menyukai Sorata…………
Contohnya tidak ada habis habisnya.
Termasuk semua ini, Mashiro adalah Mashiro.
Termasuk semua ini, sampai tinggi bersama di Sakurasou, juga pernah membuat suasana menjadi kaku karena bertengkar…………
Termasuk semua ini, kehadiran Mashiro sudah memenuhi hati Sorata.
Merasa ragu terhadap kehadirannya, merasa gugup ketika mendengar suaranya, walau juga dipermainkannya habis-habisan, dan merasa kesal. Tapi terhadap Mashiro yang kuat begitu, juga pernah beberapa kali terluka.
Sejak kapan, di dalam hati Sorata ada begitu banyak Mashiro.
Mashiro sudah memberi Sorata perasaan yang begitu banyak.
Lalu Sorata yang menghadapi perasaan Mashiro itu, tidak bisa dijelaskan dengan 1 kata………tidak sesederhana perasaan ‘kagum’.
Walaupun kagum juga termasuk salah satu perasaannya menghadap Mashiro, tapi tidak hanya itu. Ini bukan semuanya.
Dengan merapikan semua perasaan yang ada, akan menghasilkan apa?
“…………”
Sorata menutup matanya, dan bertanya pada dirinya sendiri.
---hal seperti itu kau akan tahu setelah tanya dibagian ini Kouhai-kun.
Tiba-tiba pikirannya teringat kata kata Misaki.
“Tanya saja disini.”
Sorata menaruh tangannya di depan dadanya, dan bertanya sekali lagi.
“……………”
Dia melihat sebuah sinar. Dalam sinar itu, terlihat Mashiro yang sedang tersenyum.
“Ternyata begitu ya………”
Mungkin saja sudah tahu sejak awal.
Karena tidak punya keberanian menganggap ‘2 buah perasaan muncul dengan bersamaan’………..lalu, saat untuk menghadapinya sudah tiba.
Sorata membuka kedua matanya, bintang-bintang yang ada dilangit menatap dirinya.

Bagian 5
Di toko kotak musik yang merupakan harapan terakhir, juga tidak menemukan buku sketsa Mashiro.
Sorata tidak tahu harus bagaimana lagi,hanya bisa mencarinya sambil berjalan.
Lalu, biarpun balik ke kanal sungai, juga tidak terlihat barang yang terlihat seperti buku sketsa.
Stamina sudah pada batasnya, Sorata sampai di kanal sungai, dan dengan lelah duduk di atas kursi panjang.
Merapikan napasnya yang kacau itu, bahkan telinganya menjadi aneh, seperti di atasnya ada suara yang aneh. Dia mencoba menelan ludahnya beberapa kali, mencoba untuk membuat telinganya kembali normal.
Kanal sungai yang diterangi oleh lampu itu berbeda dengan tadi pagi, rasanya romantis. Entah apakah terlalu banyak berpikir, rasanya semakin banyak pasangan disini.
Yang sendirian duduk diatas kursi panjang, sepertinya hanya Sorata sendiri.
Saat ini ada bayangan kecil yang mendekati Sorata.
“Sorata-senpai.”
“………….”
Sorata dengan tidak mengatakan apapun mengangkat kepalanya, terlihat Kanna yang menyembunyikan tangannya dibelakang,
“Tak kusangka akan bertemu ditempat seperti ini, kebetulan sekali, Kanna.”
“Bukan kebetulan.”
“Hn?”
“Karena aku melihat Sorata-senpai dan Shiina-senpai di lobi hotel.”
“Begitukah……….maaf, membuatmu khawatir.”
Apa karena inilah Kanna keluar mengejar kami?
“Bu-bukan karena itu…….ada barang yang ingin kuberikan.”
Kanna dengan sedikit ragu mengeluarkannya dari belakang punggungnya, itu adalah buku sketsa yang pernah dilihat.
“Ah!”
Kedua tangan Sorata langsung mengulur ke buku sketsa itu.
“Aku terus mencari ini!”
“Makanya aku mengantarnya ke sini.”
“Apa Kanna juga ikut mencari? Terima kasih.”
Bagaimanapun sudah mendengar percakapan antara Sorata dan Mashiro, ini wajar saja.
“Tidak, itu………”
Pandangan Kanna melihat ke mana-mana.
“Setelah siang, kami juga di Otaru…………”
Dari tadi dia terus bertele tele.
“Lalu, kebetulan melihat Sorata-senpai dan Shiina-senpai……..”
Setelah mendengar sampai sini, Sorata akhirnya mengerti apa yang ingin dikatakan Kanna.
Dengan gampang saja, dia mengikuti Sorata dan Mashiro.
“Hanya karena arah jalannya sama, lalu menyadari Shiina-senpai melupakan barangnya di toko suvenir.”
“………..”
“………….”
Kanna sendiri pasti juga tahu alasannya terlalu memaksa.
“Saat seperti ini harus berterima kasih pada kebetulan itu kan.”
“Apa kau tidak marah?”
“Apa lebih baik aku marah?”
“Belum dihukum sudah dimaafkan, rasanya tidak tenang.”
“Kanna terlalu serius.”
“Aku sudah menyiapkan diriku.”
“Begitukah, tapi maaf, sekarang aku tidak punya niat untuk melakukannya. Omong-omong, kenapa kau memberi ini padaku? Bukannya lebih baik beri pada Shiina……….atau setidaknya meneleponku, jadi aku tidak perlu berlari sekuat tenaga di Otaru seperti orang bodoh.”
“Email dan nomor telepon Sorata, aku tidak tahu semua.”
Terlihat ekspresi Kanna yang tidak puas.
“Ah, benar juga……….”
Ditegur begitu, Sorata memang belum pernah bertukar nomor telepon dengannya. Mungkin karena merasa akan sering bertemu di Sakurasou, jadi merasa tidak perlu.
“Ayo bertukar sekarang.”
Sorata kemudian menyarankannya dan mengeluarkan ponselnya.
“Ya.”
Kanna yang langsung menerimannya itu, kemudian mengeluarkan suara kecil setelah membuka tasnya :
“ah!”
Ekspresinya menjadi kaku.
“Apa kau lupa membawanya?”
“Bu-bukan. Itu………..”
“Ah~~tidak ingin memberitahu nomornya pada laki laki?”
“Juga bukan. Karena dibanding laki-laki lain, aku sudah lebih percaya dengan Sorata-senpai.”
Dia mengatakannya dengan memindahkan pandangannya.
Kalau begitu, untuk apa dia ragu.
“I-itu…….tidak ada maksud lain sih.”
Kanna kemudian menjelaskannya dengan pandangan menolak.
Namun mungkin pada akhirnya sudah memutuskan, akhirnya dia keluarkan ponselnya.
Itu adalah ponsel warna putih yang sederhana, diatasnya tergantung gantungan yang Sorata belikan kemarin, model beruang putih ‘beruang iblis~~’
“Cepat sekali kau menggantungnya.”
“Ti-tidak bolehkah?”
“Tidak, malah lebih cepat lebih baik.”
Dua orang dengan begitu memulai obrolan, saling menyalakan infra red, dan muncul nomor telepon dan alamat e mail.
Kanna sepertinya juga mengubah marganya.
Setelah mengintip sebentar, terlihat dia mengubah ‘Kanda Sorata’ menjadi ‘Sorata-senpai’.
Ekspresinya terlihat sedikit senang.
“Alasan aku datang mencari Sorata-senpai, karena ingin menanyakan sesuatu.”
Sorata sekejap tidak mengerti apa yang ingin dikatakannya, tapi dengan segera sadar itu hanya kembali ke topik yang sebenarnya. Mungkin ada kaitannya tentang Sorata yang bilang langsung kembalikan buku sketsanya ke Mashiro.
“……ingin menanyakan sesuatu?”
“………..apa aku boleh duduk disampingmu?”
Pandangan Kanna kemudian berpindah ke tempat duduk kosong yang ada disamping Sorata.
“Tentu saja boleh.”
“Maaf mengganggu.”
Setelah selesai mengatakannya diapun duduk.
“Kalau begitu, apa yang ingin kau tanyakan?”
Pandangan Kannda melihat ke permukaan air kanal sungai.
“Kalau selalu melihat ke orang itu, apa itu bisa dianggap cinta?”
“Mungkin.”
Padahal ini pertanyaan yang tiba-tiba, tapi Sorata malah menjawabnnya dengan alami, ini bahkan dirinya sendiri merasa terkejut. Mungkin ini akibat beberapa minggu ini terus memikirkan soal ini.
“Dengan mendengar suara orang itu, akan dengan tidak tahan mencari bayangannya, apa itu juga bisa dianggap cinta?”
“Aku pikir mungkin.”
Sorata juga seperti Kanna, memindahkan pandangannya ke permukaan air kanal sungai yang tenang, tapi kesadarannya berada ditempat lain. Yang muncul dipikirannya sekarang adalah hal-hal tentang Mashiro dan Nanami………..
“Apa juga termasuk tiap malam sebelum tidur akan terus memikirkan orang itu?”
“Hn.”
Sorata menjawab dengan suara yang tenang, dan menganggukan kepala.
Lalu, berdiri perlahan.
“Biarpun kau bertengkar dengan orang itu, merasa marah dengan orang itu, tidak ingin bertemu lagi dengan orang itu, atau bahkan tidak ingin bicara dengan orang itu lagi, tapi pada akhirnya pikiranmu dipenuhi oleh orang itu, itu pasti cinta.”
Dia terus mengatakan perasaan yang dia rasakan itu.
“Apa ‘orang itu’ yang dibicarakan Sorata-senpai, adalah Shiina-senpai?”
“…………..”
“Ataukah Aoyama-senpai?”
Kanna bertanya tanpa berbelas kasihan.
“…………….”
Sorata kemudian terdiam. Tapi, tidak terasa sesak, mungkin karena dirinya menerima perkataan yang dikatakannya tadi. Mungkin karena dirinya semakin dekat dengan sosok asli perasaan ‘suka’.
“Pokoknya aku merasa benci terhadap barang yang aku benci.”
Tidak menunggu Sorata menjawab, Kanna mengatakan pikirannya sendiri.
“Begitukah.”
“Aku tidak bisa dengan mudah memaafkan pasangan yang bertengkar, juga akan bertahan lama. Aku tidak ingin berbicara lagi dengan orang yang akan membuatku marah.”
“Ketat sekali ya.”
“Aku membenci orang yang melukaiku.”
“…………..”
“Jadi aku merasa iri setelah mendengar perkataan Sorata.”
“Iri?”
“Biarpun bertengkar, atau merasa marah, tetap saja suka, aku merasa ini hal yang luar biasa. Ini berarti, bahkan bagian yang dia bencipun dia juga suka mungkin.”
“Begitukah?’
“Rasanya seperti pura-pura baik.”
“Mungkin saja begitu.”
Sorata hanya bisa tertawa pahit.
“Tapi, aku merasa orang yang bagian baik ataupun buruknya tetap bisa disukai Sorata-senpai itu, adalah orang yang sangat beruntung.”
Pada akhirnya, pandangan Kanna tetap ada pada permukaan air kanal sungai, tidak membalas pandangan Sorata. Dia dengan erat mengepalkan tangannya yang berada di atas lututnya, dan wajahnya terlihat sedang melindungi sesuatu dengan mati-matian.
Di saat Sorata berpikri harus membalas seperti apa----
“Aku mau pulang ke hotel.”
Kanna mengatakannya.
“Kalau terus disini, nanti aku akan mendorong Sorata-senpai ke dalam kanal sungai.”
“Kenapa?!”
“Karena senpai berbohong padaku, jadi aku berharap kau bisa mendapatkan hukuman yang setimpal.”
“Huh?”
Sama sekali tidak tahu apa yang dikatakannya, Sorata mengangkat alisnya.
“Sebelumnya bukannya kau pernah memberitahuku orang yang kau suka?”
“Ah……….”
Itu adalah hal yang terjadi sebelum Kanna dipindahkan ke Sakurasou. Sorata yang dengan tidak sengaja mengetahui masalah Kanna, memberitahunya supaya bisa saling menjaga rahasia………..jadi Sorata memberitahunya orang yang dia sukai.
“Saat itu aku benar-benar merasa begitu, walaupun mungkin kau tidak akan percaya.”
“aku bisa percaya pada Sorata senpai, karena aku percaya diri bisa mengetahui apa kebohongan senpai.”
“Apa itu artinya kalau aku sangat polos?”
Mungkin merasa senang karena melihat ekspresi Sorata yang ragu, Kanna tersenyum.
Selanjutnya dia tidak peduli dengan pertanyaan Sorata, dan berdiri.
“Kalau begitu, aku akan balik.”
“Perlu aku antar sampai ke hotel?”
“Ti, tidak perlu. Hotel lumayan dekat dari sini.”
Setelah Kanna mengatakannya, jarinya pun menunjuk ke hotel yang akan ditempati oleh Sorata dan mereka.
Sepertinya hari ini juga 1 hotel.
“Hati-hati ya.”
“Ya.”
Berdiri tegak, Kanna yang berjalan pergi itu pun terlihat semakin jauh, dengan cepat naik tangga, sekejap kemudian tidak terlihat lagi.
Sisa sendiri, rasanya di sekitar tidak terdengar suara lagi.
Setelah Kanna pergi, tinggal buku sketsa yang ada ditangannya.
Sorata membuka halamannya.
Kanal sungai yang dilukis Mashiro menghabiskan beberapa halaman.
Walaupun hanya naskah, tapi bagi Sorata, itu tidak terlihat seperti naskah sama sekali, kalau langsung pun sepertinya tidak masalah. Daripada foto yang diambil atau pemandangan yang ditangkap oleh mata, lebih terasa perasaan, gerakan orang-orang juga kehangatan dari lukisan Mashiro. Tidak peduli dilihat kapanpun rasanya luar biasa, hatinya juga tergerak setelah melihatnya.
Sorata terus mengganti halamannya.
Juga ada lukisan Menara TV Sapporo, taman Odori juga Menara Jam.
Semua ini adalah tempat yang dikunjungi Mashiro kemairn.
Selanjutnya apa yang dia lukis? Sorata dengan berharap terus mengganti halamannya.
“Ini……….”
Yang terlihat adalah lukisan yang sama sekali tidak disangka, mirip seperti komik.
Di halaman yang tdak digambar panelnya, dengan sembarang menggambar pasangan di sana.
Walaupun tidak begitu detail, namun anak laki lakinya mirip Sorata, dan anak perempuannya mirip Mashiro.
Awalnya bertemu di stasiun. Lalu dengan menggunakan kosakata yang sederhana seperti ‘gaunmu terlihat bagus’ , ‘gaya rambutmu terlihat berbeda dengan biasanya’. Perempuannya merasa senang karena dipuji, juga ada pemandangan yang malu karena dipanggil namanya.
Di situasi yang seperti ini, dua orang dengan mesra menggandeng tangannya, si laki-lakinya berjalan sesuai temponya perempuan.
Waktu yang hanya milik mereka berdua, dan ruang yang hanya milik mereka berdua.
Semua ini mirip dengan situasi Sorata dan Mashiro hari ini. Walaupun akhirnya berbeda, tapi situasinya hampir sama.
Pemandangan kencan yang terlihat romantis.
Setidaknya Mashiro datang dengan berharap situasi yang begitu.
Mashiro melukis dengan begitu, dan melatih dirinya untuk rencana ini dengan caranya sendiri, ingin menghabiskan waktu yang bahagia bersama Sorata……….
Namun, Sorata yang belum menjawab pernyataan perasaanya itu, sekarang belum bisa dengan langsung memuji pakaiannya, atau berjalan dengan menggandeng tangannya.
Tapi ini melukai Mashiro.
Kalau begitu, yang benar yang mana?
Sorata berpikir begitu, dan terus mengganti halamannya.
Tetap lukisan yang digambar dengan gaya komik. 2 orang yang menikmati pemandangan malam, 2 orang yang naik bus bersama, juga 2 orang yang sedang berada dalam gereja.
Sepertinya semua ini adalah hal yang ingin Mashiro lakukan bersama Sorata, semua merupakan tempat wisata yang disarankan buku panduan perjalanan.
Sorata merasa dadanya sakit karena tidak bisa mewujudkan ini dengan perasaannya yang sekarang.
Menutup kembali buku sketsanya.
Mengapa akhirnya menjadi begitu?
Selalu merasa dirinya menyukai Mashiro.
Harusnya menyukai dia.
Namun, diri yang tidak dapat melakukan apapun rasanya tidak berguna sekali………
Mashiro yang terus melangkah maju terlihat begitu menyilaukan……..
Pada malam Natal tahun lalu, pada perasaan yang baru tumbuh itu, Sorata menutupinya.
Mungkin saja itu salah. Perasaan yang terus tertekan ini harusnya awalnya jujur, tapi sekarang malah jadi seperti ini, sudah tidak jelas yang mana yang depan yang mana yang belakang…….
Karena begitulah melukai orang disekitar, sendiri juga merasa derita. Sebenarnya apa yang sudah dilakukan dirinya sendiri?
Sorata dengan melamun melihat ke gudang yang berada di depan, saat ini tiba-tiba ada seseorang memanggil namanya.
“………..Sorata.”
Melihat ke kanan, juga melihat ke kiri
Jaraknya sekitar 4~5 meter dibawa lampu gas, Mashiro sedang berdiri disana, dengan memeluk buku sketsanya bagaikan hartanya.
“Kau………”
Sorata segera mengerti karena dia kehilangan buku sketsa, jadi dia datang lagi untuk menggambar.
Dia dengan refleks berdiri, Mashiro pun mundur ke belakang.
Dada sekejap merasa sakit.
“Ini.”
Dia menunjukkan buku sketsanya pada Mashiro.
“Ah.”
Mashiro mengeluarkan suara yang kecil.
“Apa aku boleh ke tempatmu?”
“………hn.”
Suaranya hampir tidak terdengar.
Sorata dengan memastikan setiap langkahnya dan mendekati Mashiro.
Dia memberi buku sketsanya padanya, Mashiro kemudian mengecek isi isinya.
“Itu punyaku.”
“Kanna yang menemukan dan mengantar ke sini.”
“Harus berterima kasih ke dia.”
“Hn, ya.”
“…………”
“………….”
Setelah masalah selesai percakapannya pun berhenti.
“Itu, Shiina.”
“………..ada apa?”
“Maaf, biarpun sekarang aku merasa pakaian Shiina terlihat bagus, diriku yang sekarang juga belum boleh memuji. Biarpun aku merasa make up bagus, aku juga tidak bisa mengatakannya.”
“……….”
“Aku tidak bisa menggandeng tanganmu saat jalan, nama juga………biarpun sedang berduaan, diriku yang sekarang belum boleh memanggil namamu.”
“…….begitukah?”
Mashiro dengan depresi merendahkan kepalanya.
“Aku akan dengan serius memikirkan jawabannya. Sebelum itu, aku tidak bisa mengatakannya, juga tidak melakukannya.”
“Sorata.”
“Apa?”
“Aku ingin selalu berada di samping Sorata.”
“…………”
“Tapi, rasanya sakit bila terus bersama Sorata.”
Mashiro memegang erat dadanya.
“…….Shiina.”
“Hari ini juga, karena mau bersama dengan Sorata………..jadi banyak bersiap, banyak berpikir, berharap bisa menjadi menyenangkan, tapi semuanya tidak lancar, bahkan setengahnya pun tidak, tidak berjalan dengan menyenangkan.”
“…………..”
“Aku takut.”
“…………..”
“Aku takut pulang ke Sakurasou.”
Karena setelah retret perpisahan selesai, tidak bisa seperti dulu lagi……….
Tidak peduli bentuk seperti apa itu, hanya ini yang merupakan kenyataannya. Tidak hanya karena kenyataan, Sorata juga harus memutuskan ini sebagai pernyataan.
“Bisa jadi aku tidak bisa lagi selalu bersama Sorata?”
“Itu…….”
“Kalau aku berada di sampingmu, bagaimana dengan Nanami?”
Sorata hampir tidak bisa menjawab.
Dia mengerti betapa sakitnya itu, tapi tidak punya cara untuk membuat keduanya tetap tersenyum………..
“Aku pasti akan mulai membenci Sorata yang tidak melihat ke aku lagi.”
“…………”
“……..berbeda sekali dengan yang dipikirkan.”
Mashiro dengan sedikit demi sedikit mulai memberitahu perasaannya yang sedih itu ke Sorata.
“Kukira itu hal yang menyenangkan.”
“…………..”
“Jadi yang namanya cinta menderita sekali.”
Sorata kemudian mengigigit bibirnya untuk menahan diri, kalau tidak begitu maka akan menangis, dan akan terpengaruh oleh perasaanya itu dan memeluk Mashiro dengan erat………
“Apa Nanami juga begitu?”
Lalu Sorata tidak bisa menjawab apapun.

Bagian 6
Hari ketiga retret perpisahan, agak susah untuk mepertahankan mood yang tinggi itu, semua murid Suiko menunjukkan tanda-tanda sudah terbiasa dengan ini.
Menyelesaikan kegiatan kelompok saat siang, setelah selesai makan siang mereka pun naik bis pergi ke Hakodate.
Jaraknya sekitar  250km.
Sudah lewat dari 3 jam sejak berangkat dari Otaru, tapi sepertinya Hakodate masih jauh. Menurut nona staff bis, sepertinya masih memerlukan wakt usekitar 1 setengah jam.
Tempat yang begitu luas, seperti yang diduga dari Hokkaido.
Bahkan suasana yang maish ribut sejam yang lalu, sekarang pun menjadi tenang. Satu murid demi satu murid jatuh tidur.
Mungkin karena sebagian besar murid terus begadang selama di Sapporo dan Otaru, jadi sekarang tertidur seperti robot yang baterainya habis.
Sorata yang duduk ditengah bis, di depan maupun belakangnya terdengar suara mengigau. Mungkin karena memikirkan mereka, jadi suara yang dihasilkan begitu kecil.
Walau Sorata juga mencoba untuk tidur beberapa kali, tapi gagal.
Semua ini salah Ryuunosuke yang duduk di samping jendela terus mengetik di laptopnya itu. Selain hari pertama, malam hari kedua juga sama, kamar Sorata sudah gelap saat malam jam 10.
Sorata juga karena tidur yang cukup, jadi masih bertenaga.
“Jangan menatapku dengan pandangan tanpa urusan dan terlihat tidak puas itu.”
“Aku ada urusan loh.”
Di saat Ryuunosuke berbicara ke Sorata, pandangannya tetap fokus di laptopnya.
“Biarpun ada urusan, jangan menatapku dengan pandangan tidak puas seperti itu.”
“Kalau begitu apa yang harus kulakukan?”
“Mana mungkin aku tahu?”
“……….benar juga.”
Percakapan dengan Ryuunosuke selesai begitu saja. Aura ‘jangan mengobrol denganku’ terlalu kuat, mugnkin berharap Sorata tidak mengganggunya.
Sorata tidak punya cara lain lagi, hanya bisa duduk dengan diam.
“Nah, Kanda kun.”
Saat ini, terdengar suara dari tempat duduk yang berada di seberangnya.
Nanami yang masih tidur dari tadi,entah sejak kapan sudah bangun, wajah sebelah kanan yang menempel pada tempat duduk itu tampak merah. Sepertinya lebih baik tidak mengatakannya.
“Apa?”
Dengan mencocokkan suasana yang tenang ini, bertanya dengan suara kecil.
“Pemandangan malam Hakodate sepertinya tidak buruk.
Saat bis sampai matahari juga mungkin sudah terbenam, merupakan saatnya untuk menikmati pemandangan malam.
“Ya.”
Sorata tidak berkata banyak, hanya membalas tanpa sadar.
“Kanda-kun, kau terlihat tidak semangat.”
“Jangan mengatakan hal yang sama seperti Misaki-senpai.”
“………….”
Nanami terjatuh diam.
“Aoyama?”
“Apa terjadi sesuatu lagi antara kau dan Mashiro.”
“Topiknya inikah? Apalagi ‘lagi’……..”
Tapi ya, ini kenyataannya.
“Aku benar-benar sangat menantikan pemandangan malam nanti.”
“Begitukah.”
“Kalau tidak apa, aku ingin melihatnya bersamamu.”
“Tidak masalah si……..”
Apa sudah tidak perlu melanjutkan topik yang tadi?
“Spa kau tidak janji duluan dengan Mashiro?”
“…………”
Suasananya saat bersama Mashiro tidak memungkinkannya untuk mengajak Mashiro. Karena masalah yang terjadi kemarin, hubungan dengan Mashiro menjadi semakin merepotkan.
“Memang terjadi sesuatu ya. Aku mendengar gosip kalian bertengkar di lobi hotel loh.”
“Haruskah dibilang gosip……….dua dari tiga benar, tapi satu dari tiga tidak.”
“Yang mana yang benar?”
“Hotel dan lobi.”
“Apa biasanya hal seperti itu akan dipisahkan………tapi, apa tidak bertengkar?”
“Aku berpikir itu bukan bertengkar.”
Hanya Mashiro yang terlihat tidak tenang. Hanya begitu.
“Karena balasanku membuatnya menunggu terlalu lama.”
“Kalau diomong seperti ini olehmu, aku tidak bisa lanjut bertanya lagi.”
Karena Sorata mengerti inilah dia dengan sengaja mengatakannya.
“Nah, Kanda-kun.”
“Apa?”
“Soal besok?”
Hari terakhir retret perpisahan.
“Apa kau sudah punya rencana untuk jam bebas nanti?”
“Belum.”
“Bisakah kau pertimbangkan untuk bersama denganku?”
“……………”
Sorata tidak bisa menjawab dengan segera, dan terdiam sejenak.
“Apa boleh kupikirkan sebentar?”
“Hn.”
“Karena aku pernah berjanji untuk memberimu jawaban…….sebelum retret perpisahan ini selesai kan.”
“Ya.”
“Kalau begitu aku akan dengan bersungguh-sungguh mencari jawabannya. Setelah kupikirkan dengan matang……..seperti yang Aoyama bilang, soal masa depan yang begitu juga akan kupikirkan, akan kupertimbangkan. Sekali lagi aku akan dengan serius memikirkannya.”
“Terima kasih.”
“Yang perlu terima kasih itu aku.”
“Benar juga.”
Nanami pun tersenyum setelah selesai mengatakannya. Sorata tidak tahu dengan perasaan seperti apakah dia menunjukkan senyumnya.
“Ah, apa kau mau makan ini?”
Nanami kemudian mengeluarkan kotak berisi cemilan dari kantong yang berada di depan tempat duduknya. Dikotaknya tertulis ‘beruang iblis Hokkaido limited edition~~coklat putih’.
Sorata mengambil 1. Itu adalah bentuk dengan beruang lucu.
Setelah menaruhnya ke dalam mulut, aroma yang manis sekejap menyebar.
“Kemarin malam Misaki-senpai mampir ke kamarku, dan memberiku banyak.”
Seperti yang diduga dari Misaki.
Biarpun tidak melihatnya, Sorata bisa membayangkannya.
Sorata tertawa karena merasa lucu, Nanami juga dengan begitu menunjukkan senyumannya.
Setelah 1 setengah jam, bis pun sampai di hotel Hakodate. Setelah membawa barang bawaan ke dalam kamar, dengan sedikit buru-buru mulai jam makan malam.
Setelah selesai makan, Sorata sekali lagi naik bis, dan pergi ke gunung Hakodate.
Untuk menikmati pemandangan malam Hakodate yang terkenal.
Jam sudah lewat dari malam jam 8.
Jalan yang sedikit timbul mengikuti alur gunung, bis pun naik ke gunung dengan memutar ke kiri dan kanan.
Setelah sekitar setengah perjalanan, terdengar suara sorak-sorai dari tempat duduk yang berada di kanan. Di antara pohon yang begitu lebat, sepertinya terlihat sedikit pemandangan malam.
Yang disayangkan adalah, di tempat Sorata tidak tampak. Pemandangan malam kemudian ditutupi lagi oleh pohon dengan cepat.
Setelah ini, terus terdengar suara sorak sorai dari dalam bis, mengulang sekitar 4 kali, akhirnya sampai ditempat pemberhentian bis.
“Baik~~jam bebas 30 menit sudah dimulai~~”
Bersamaan dengan suara Koharu, mereka pun turun dari bis.
Sesuai janji sebelumnya, Sorata dan Nanami berjalan untuk menikati pemandangan malam.
Setelah naik sekitar beberapa tangga, di depanpun tidak ada penghalang lagi.
Perasaan gemetar naik dari bawah kaki ke atas badan. Walaupun sudah pernah mendengar kalau pemandangannya indah sekali, tapi ini lebih tidak bisa dideskripsikan menggunakan kata-kata. Sorata merasa luar biasa berada di depan pemandangan malam Hakodate.
“Hebat sekali.”
Dengan tidak sadar terus memuji.
Jalanan yang bersinar. Tidak, tidak terasa sedang melihat pemandangan jalanan, tapi sebuah karya hebat diatas kanvas yang bahkan tangan kita tidak bisa mencapainya, bagaikan bintang langit yang menyebar diatas daratan.
Dimana mana terdengar suara terharu.
Kalau saja lebih sepi pasti lebih hebat. Sepertinya juga ada murid sekolah lain, jadi di atas tempat observasi sedikit sempit. Padahal pemandangannya begitu bagus.
“Aoyama, apa kau tidak apa-apa……..”
Sorata kemudian membalikkan kepalanya.
Namun pada saat yang bersamaan, tidak tampak lagi bayangan Nanami.
Setelah melihat ke sekitar tetap tidak ketemu. Kalau berdiri tidak bergerak nanti mengganggu yang lain, Sorata dengan terpaksa bergerak mengikuti arus keramaian itu.
Berjalan semakin ke dalam, dan terlihat mobil kabel yang bergerak dari bawah ke atas. walaupun diseberang  juga ada tempat observasi, tapi lebih rendah 1 tingkat dari temapt observasi yang berada disini, tapi setidaknya masih bisa menikmati pemandangan malam ini.
Yang paling penting adalah, seorang perempuan yang menunggu sendirian, ini membuat Sorata memutuskan untuk ke seberang.
Setelah dia balik lewat jalan sini, kembali lagi ke tempat parkir mobil. Dan mulai menuju ke arah mobil kabel.
Walaupun tidak datar, tapi seperti yang dibayangkan bisa melihat pemandangan malam dengan jelas.
Perempuan yang Sorata pikrikan juga masih ada.
“Shiina.”
Shiina yang menaruh tangannya di atas pagar itu membalikkan kepalanya dengan perlahan. Mashiro yang terlihat begitu sempurna dengan latar belakang pemandangan malam, seperti sedang melihat pemandangan di film atau novel, membuat orang tidak tenang.
“Kau menemukan tempat yang bagus ya.”
Disini bisa dengan santai menikmati pemandangan malam.
“Hn.”
Mashiro yang menganggukan kepalanya dengan pelan itu, terus menatap ke Sorata.
“Besok sudah mau pulang.”
“………..ya.”
Mashiro dan Sorata berdiri bersama, dan menikmati pemandangan jalanan di Hakodate.
Tempat observasi yang ada di atas terdengar suara sorak sorai yang semangat. Namun, di sini tenang sekali, di sekitar hanya ada beberapa pengunjung yang biasa.
“Sorata.”
“Ada apa?”
“Besok aku ingin bersama denganmu.”
“Mau kumpulkan bahan lagi?”
Sorata bertanya dengan menyembunyikan perasan gugupnya.
“Bukan.”
Mashiro segera menjawab.
“Kalau begitu………..”
“Karna menyukai Sorata, jadi ingin terus bersama.”
Dengan jujur……….Mashiro dengan jujur mengatakan keinginannya.
“Alasannya hanya ini.”
Hati Sorata merasa bimbang, terdengar suara debaran jantungnya yang bertambah cepat, seluruh tubuhnya gemetar.
“Apa tidak boleh?”
“Bukannya tidak boleh………”
“Kalau begitu kenapa?”
“Karena Aoyama juga mengajakku, aku memintanya untuk menunggu jawabanku.”
Sorata mengatakannya dengan jujur.
“Begitukah……..”
Mashiro berbisik sendiri.
Saat ini, terdengar suara lain dari tempat lain.
“Boleh.”
Sorata kemudian dengan terkejut membalikkan kepalanya, Nanami berdiri disana.
“Aoyama………..”
“………….”
“Maaf, karena melihat Kanda-kun kesini……….jadi aku ikut ke sini dan tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian.”
“Tidak apa.”
Nanami mengatakan dengan seperti ingin mematahkan suara Sorata yang bimbang :
“Biar Kanda-kun yang memilih akan bersama siapakah besok.”
“…………”
Sorata tidak bisa mengatakan apapun, jantungnya seperti dipegang erat erat.
“Dengan begitu ayo mengakhiri ini.”
“!”
“Aku atau Mashiro, Kanda-kun pilih saja.”
Sorata segera sadar yang dia bicarakan bukan soal besok.
‘akhiri’ yang dimaksud dengan Nanami itu, sama seperti artinya.
“Aku akan menunggumu di depan stasiun Hakodate.”
Sikap Nanami pantang mundur, walaupun sebenarnya dalam hatinya menahan berbagai ketidaktenangan.
“Kalau Mashiro?”
“Aku……….akan menunggu Sorata disini.”
“Jamnya diputuskan pagi jam 10 bisa?”
“Hn.”
Mashiro pun membalas dengan menganggukan kepala.
Kalau dilihat dari hotel yang ditinggali, arah stasiun Hakodate dan gunung Hakodate terbalik. Tentu saja, Sorata tidak mungkin bisa muncul secara bersamaan di 2 tempat, yang bisa dia pilih hanya 1.
Dua orang itu menatap ke Sorata.
Menarik napas pelan-pelan.
Hatinya sama sekali tidak bisa tenang.
“Aku tahu.”
Biarpun begitu, Sorata tetap menjawab dengan menatap mata kedua orang itu.