KEPUTUSAN SI GADIS

Berpikir kembali, aku pada saat itu mungkin hanya menginginkan sesuatu yang pasti.

Mungkin, aku hanya ingin memercayai sesuatu.

Memercayai sesuatu atau seseorang.

Tak peduli apapun itu, siapapun itu, semuanya tidak ada hubungannya. Dan dia di sana, hanya muncul dari sana.

Aku menghabiskan waktu yang panjang berpikir di dalam White Room. Tapi waktu yang aku habiskan di ruangan itu, hanya kejapan belaka dalam dunia nyata.

Dalam sekejap aku kembali ke hutan, aku tidak bisa apa-apa kecuali berlutut karena diserang oleh rasa kelelahan yang parah.

Aku terengah-engah dan mengerang. Untuk mengatur pernafasanku, aku menaruh tanganku ke tanah yang ditutupi guguran dedaunan.

Bau rimbun hutan memasuki hidungku ---- ini adalah bau yang sama dengan daun gugur yang membusuk yang dibasahi oleh hujan dan tercampur dengan serangga dan kotoran burung. Mencium bau unik seperti ini, emosiku perlahan tenang.

Suara langkah kaki bisa terdengar mendekatiku di atas guguran dedaunan yang seperti karpet.

Aku mengangkat kepalaku dan menyadari gadis itu yang aku selamatkan dari orc, sedang berdiri di sampingku.



Seragamnya compang-camping dan apa yang dia kenakan sekarang adalah seragam musim panas. Dengan begitu bajunya pasti lengan pendek. Namun lengan kanan bajunya sudah robek total, menampakkan pundak berkulit kuning langsat. Ada juga lubang besar di area dadanya, menampakkan payudaranya di dalam bra. Dia mencoba menggunakan tangannya untuk menutupinya tapi sepertinya tidak berhasil.

Meskipun dia cukup mungil, tapi dia cukup besar---- Aku berpikir dalam hati. (TL Note: Tahu lah apa yang dimaksud "besar" :v cek ilustrasi warnanya di ilustrasi)

Roknya juga sudah robek setengah, menunjukkan celana dalam putihnya. Juga ada banyak memar pada tubuhnya dan dia berdarah dari goresan pada tangan dan kakinya.

Tapi si gadis hanya diam menatapku dengan mata seperti batu obsidian.

Pupilnya benar-benar jernih, membuatnya seperti sangat besar. Itu pasti karena dia tidak mengalihkan pandangannya dari tubuhku.

Meski dia sudah menderita luka yang serius dan penampilannya cukup berantakan, tapi aku tidak tahu mengapa, aku hanya merasa gadis ini sangat cantik.

Pinggiran jidatnya sangat berantakan dan rambut hitam yang mencapai pinggulnya terdapat banyak daun gugur dan ranting padanya. Meski begitu, aku tidak bisa apa-apa selain terpukau akan rambut indah sehatnya itu.

"Kau...."

Suara yang aku keluarkan bukan apa-apa kecuali gumaman sendiri. Itu hanya sesuatu yang tidak sengaja aku ucapkan. Karena aku sudah benar-benar kewalahan oleh auranya dan tidak tahu harus mengatakan apa.

Tapi si gadis terlihat mengerti arti di balik perkataan itu.

"Aku Shimozono Arisu dari area SMP Kelas 3-3" (TL Note: englishnya "Year 3 Class 3" jadi aku lokalisasi saja sesuai kebudayaan Indonesia)

"Shimozono Arisu...."

Gadis itu mengatakan namanya adalah "Shimozono Arisu".

Pihak lain telah memperkenalkan dirinya sendiri, maka aku pikir aku juga harus memperkenalkan diriku sendiri sebagai rasa sopan.

"Aku Gaya Kazuhisa dari area SMA Kelas 1-2."

"Gaya...senpai."

Arisu membungkukkan badannya kepadaku. Daun yang menyangkut di kepalanya juga bergoyang layaknya ahoge yang sering muncul dalam manga. (TL Note: Ahoge itu sebutan untuk rambut yang berdiri sendiri di karakter animanga. Hachiman contohnya punya)

Meski kami dalam kondisi seperti ini, tapi aku tak bisa memungkiri bahwa merasa kondisi ini seperti dalam komik-komik.

Aku tak bisa apa-apa kecuali menertawakannya.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku.... Apa yang salah?"

Arisu menaikkan kepalanya dan menggembungkan pipinya.

"Apa yang kamu tertawakan?"

Aku dengan cepat menjelaskan tentang daun yang ada di kepalanya.

Dan meminta maaf akan kurangnya perhatianku.

Arisu memberikan suara "Mu----", membuat mulutnya menjadi bentuk. Dia menggunakan salah satu tangannya untuk menutupi dadanya dan menggunakan tangan yang lain untuk menggapai puncak kepalanya, sambil bergumam dengan lugunya "Aa---- Aneh sih----".

Dia sepertinya tidak bisa menemukan daunnya.

Aku perlahan berjalan mendekatinya dan dengan cepat mengambil daun yang menyangkut di rambutnya. Semua perasaan ini terasa sangat natural bagiku, bahkan diriku sendiri tidak tahu alasannya mengapa.

"Ah."

Gadis itu menatapku kebingungan. Setelah aku menunjukkan daun itu pada Arisu, aku membuangnya.

"Emm.... Ano~"(TL Note: "Ano" di sini dibaca seperti percakapan bahasa jepang yang sering digunakan karakter anime. Kalau dilokaliasi jadi "Anu" agak terlalu gak enak)

Aku memandangi Arisu, tapi lintasan pandanganku selalu menuju dadanya. Dan wajah Arisu perlahan merona merah karena malu.

"Tolong jangan pandangi aku terus seperti itu."

"Maaf."

Aku mengalihkan pandanganku.

"Oke. Ano~"

"Saat bicara kepada seseorang, tolong lihat mata orangnya."

Apa sih yang sebenarnya kau ingin aku lakukan? Tak ada pilihan, aku harus memandangi mata Arisu. Aku tidak menyangka aku hampir terhisap masuk oleh kilauan batu obisidan. Dalam kondisi panik, aku hanya bisa menanyakan beberapa pertanyaan tidak beguna.

"Kau baik-baik saja?"

"Ah, ya tidak apa-apa. Semua berkat kamu."

"Itu bagus. Ano~ Hanya beruntung tepat waktu saja."

Tidak, apa yang mau aku bicarakan bukan lah hal ini. Dan Arisu, kau seharusnya tidak membicarakan topik ini juga bukan?

Aku masuk dalam situasi dimana tidak tepat bagiku untuk menyerang atau mundur dan aku hanya bisa mengutuk Arisu dalam hatiku. Arisu, kau seharusnya penuh kecurigaan akan semua hal ini bukan? Seperti magic dan gagak yang sejak awal bertengger di pundakku.

Dan aku seorang pria, kau seharusnya kurang lebih memiliki beberapa pertahanan melawanku. Lagipula hal seperti itu terjadi beberapa saat lalu. Ah, tapi menghadapi seorang gadis yang hampir diperkosa, apa yang harus kukatakan? Tidak. Hal yang lebih penting adalah membuatnya berpakaian dengan benar. Aku melepas kaus seragamku dan memintanya untuk mengenakannya. Tapi setelah aku mengatakannya setengah jalan, lalu aku menyadari....

Setelah pertarungan barusan, kausku juga menjadi sangat compang-camping.

Arisu melihat ke arahku, lalu melihat kausku yang menyedihkan dan tidak bisa apa-apa kecuali memberikan senyum getir.

"Terima kasih atas tawaran baikmu, tapi aku baik-baik saja."

"Hmm, oke, maaf."

Sial. Aku tidak bisa mengendalikan arah pembicaraan. Tidak hanya itu, aku sebenarnya menghancurkan diriku sendiri. Aku mendadak ingin memegang kepalaku dan kemudian lari jauh dari dia secepatnya.

"Ah.... Mengapa lengan dan kaki Gaya-senpai berkilau?"

Untungnya, dia mengambil inisiatif untuk mengajukan pertanyaan padaku, itu sangat membantu.

Ah, tuhanku. Arisu seperti cahaya suci yang bersinar, membuat rasa aku ingin berdoa padanya.

"Yah ini...."

"Ah, maaf. Boleh aku... duduk?"

"Oh oke.... Aku juga kelelahan."

Aku duduk bersama Arisu bersebelahan. Awalnya aku pikir Arisu akan menjaga beberapa jarak dariku. Tapi aku tidak menyangka dia akan menyender padaku dan duduk. Aku bahkan bisa merasakan hangat tubuhnya. (TL Note: Damn, enak bener.)

Aku beralih dan melihat ke arahnya, tapi karena perbedaan tinggi, aku harus melihat ke bawah.

Mata kami bertemu dan senyum malu-malu muncul pada wajah Arisu.

Aku menjelaskan situasinya satu per satu. Meski ada perubahan besar dari rencana awal, tapi aku sudah menghabiskan banyak waktu di dalam White Room, memikirkan cara mana yang terbaik untuk menjelaskan kondisi saat ini kepadanya.

Ada banyak waktu di dalam White Room. Juga hanya pada waktu di ruangan itu saja.

Dengan begitu aku merasa penjelasanku seharusnya sangat jelas dan mudah dipahami.

Aku hanya melewatkan satu poin, yaitu ---- mengapa aku butuh menggali jebakan.

Dia terlihat tertarik pada hal ini. Tapi dia tidak secara khusus menanyakan hal itu, tapi hanya mendengarkanku dan membuat balasan yang sesuai.

Arisu sungguh pendengar yang baik. Tak peduli seberapa mudah penjelasanku, isinya sebenarnya sangat absurd. Jujur, jika itu aku yang mendengarkan ini tiba-tiba. Aku tidak merasa akan bisa memercayainya.

Tapi Arisu baru saja diserang oleh seekor makhluk yang tidak ada secara normal, seperti seekor orc. Mungkin karena hal ini, dia kurang lebih menerima perkataan yang ku katakan.

"Aku kabur ke sini. Makhluk itu... disebut orc kan? Mereka mendadak menyerang area SMP dan semua orang kabur ke mana-mana...."

Jadi itu alasannya, aku mengangguk. Arisu mengangkat kepalanya dan memandang ke arahku tanpa bergerak.

"Bisakah aku menjadi kuat? Bisakah aku juga menjadi kuat sekuat Gaya-senpai?"

Dia mengambil inisiatif untuk bertanya.

"Sepanjang kau bisa membunuh seekor orc, kau seharusnya bisa. Jika kau punya tekad, aku akan membantumu...."

"Aku ingin membunuh."

Arisu tidak ragu untuk mengatakannya. Setelah aku menyelesaikan perkataanku, mungkin 0.5 detik sudah berlalu.

"Tolong Gaya-senpai, tolong janjikan aku kekuatan. Tolong berikan aku kekuatan untuk bertarung. Aku benci menjadi tidak berdaya dan benci diinjak-injak tanpa daya."

"Aku mengerti, tidak masalah."

Semuanya sesuai dengan rencana. Meski kondisi berkembang sedikit berbeda dari apa yang aku bayangkan, tapi itu tetap di jalur yang sama.

Yah... itu harus.