—Effa—
Menghadapi Masa Depan
Aku terbangun di tengah malam karena mendengar suara tangisan Kamil. Sambil mengusap mataku yang mengantuk, aku menggendongnya. Sudah waktunya dia disusui. Warna rambut dan matanya mirip dengan Myne, jadi pikiran tentang dirinya muncul di benakku saat aku memberinya susu.
Myne selalu gampang demam atau terbaring di tempat tidur sehingga, sepanjang hidupnya, aku takut dia akan meninggal—bahwa setiap demam bisa jadi merupakan hal yang terlalu berat baginya. Dan kemudian, saat dia akhirnya sembuh untuk pertama kalinya, dia lalu dibawa jauh dariku, ke tempat di mana aku tidak akan pernah bisa menjangkaunya.
Tapi... dia tidak meninggal, pikirku, mencoba menghibur diri sendiri dengan cara yang sama seperti yang selalu kulakukan saat merasa sedih. Myne masih hidup, dan meskipun dia tidak bisa memperlakukan kami sebagai keluarga lagi, kami masih memiliki sedikit ikatan dengannya. Itu sudah cukup untuk menghilangkan sedikit kesedihanku.
Aku penasaran apakah Gunther baik-baik saja. Aku menatap gundukan besar di balik selimut di sampingku, menggeliat dan berbalik seolah tidak bisa tidur. Sebelum aku menyadarinya, aku telah menghela napas berat.
Penting untuk tetap melanjutkan hidup seperti biasa setelah pemakaman berakhir. Gunther harus kembali bekerja, tidak peduli seberapa hancurnya dia, itulah sebabnya dia pergi ke gerbang kemarin. Dia dengan enggan berangkat untuk giliran tugas siangnya pada bel ketiga, tetapi bel keempat bahkan belum berbunyi ketika dia pulang dengan susah payah.
Rupanya, dia meninju bosnya—komandan gerbang—langsung di wajahnya, dan sementara yang lain bersimpati dengan keadaannya, mereka menyuruhnya pulang dan menenangkan diri. Komandan itu diduga mengatakan sesuatu kepadanya tentang Myne. Tidak ada yang tahu persis apa, tetapi beberapa orang mendengar Gunther berteriak, "Bangsawan asing itu masuk karena kau tidak memberi tahu penjaga apa yang kukatakan padamu! Gara-gara kau, aku jadi kehilangan Myne!" sebelum menyerang komandan itu dan pergi ke kota. Itulah yang Otto, salah satu bawahannya dan orang yang mengantarnya pulang, katakan padaku.
Gunther hidup untuk anak-anaknya, dan dia lebih peduli pada Myne daripada siapa pun, terutama saat kesehatannya sedang buruk. Dia begitu menyesali tidak dapat menghentikan bangsawan itu masuk ke kota—bahwa dia tidak dapat melindungi Myne, dan pada akhirnya, malah dia yang dilindungi oleh Myne. Dia sangat tertekan sehingga rasanya seakan-akan dia nyaris membuang seluruh hidupnya.
...Kurasa aku harus membiarkannya sendiri sebentar lagi.
Aku menepuk pelan punggung Kamil untuk membantunya bersendawa, lalu memeriksa popoknya. Saat aku perlahan kembali tidur, aku berharap Gunther akan pulih secepatnya.
"Kurasa itu karena berkat Myne," kata Tuuli tiba-tiba keesokan paginya saat bersiap berangkat kerja. Dia tersenyum lebar yang menunjukkan bahwa dia gembira dengan kenyataan itu, tetapi aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.
"Apa maksudmu?"
“Aku mendapatkan kontrak dengan Nyonya Corinna kemarin. Aku sama sekali tidak takut pergi ke bagian utara kota karena aku pergi ke sana untuk menepati janjiku pada Myne, dan aku tidak takut meminta Nyonya Corinna untuk mempekerjakanku. Itu pasti karena berkat dari Myne.”
Kemarin, Tuuli pergi ke Firma Gilberta bersama Lutz dan berhasil mendapatkan persetujuan untuk pindah ke lokakarya Corinna sudah saatnya kontraknya sebagai lehange diperbarui. Hal itu benar-benar mendadak bagi Tuuli, yang sebelumnya merasa cemas untuk pergi ke bagian kota itu setiap kali dia harus pergi.
Aku penasaran apakah dia akan marah jika aku mengatakan bahwa hal itu mengingatkanku pada Myne?
“Aku masih tidak percaya! Nyonya Corinna benar-benar mengatakan kalau dia akan mempercayaiku untuk membuat tusuk rambut Myne. Aku harus cepat sembuh agar tidak ada yang bisa mengambil pekerjaanku,” kata Tuuli sambil tersenyum bangga, sebelum menambahkan dengan pelan, “Semuanya berjalan lancar karena berkat dari Myne.”
Jika kau bertanya padaku, itu lebih tepat karena rencana Firma Gilberta daripada berkat apa pun—mereka pasti mempekerjakan Tuuli agar mereka punya koneksi lain dengan Myne, mengingat dia sekarang adalah putri seorang bangsawan. Tapi tetap saja, Tuuli senang karena ada benang merah yang menghubungkan dia dengan adik perempuannya, yang di matanya belum mati. Jelas bahwa dia berpikir bahwa jika dia bekerja keras, dia bisa terus bertemu Myne. Dia menghadapi masa depan dan terus maju dengan harapan yang begitu murni hingga terlihat menyilaukan.
“Ibu juga mendapat restu dari Myne, ‘kan? Ibu jadi bergerak jauh lebih gampang daripada sebelumnya. Tapi, Ibu tidak boleh memaksakan diri! Ibu mungkin tidak merasa sakit akibat persalinan lagi, tapi Ibu akan tetap kecapekan karena menyusui Kamil di malam hari.”
Aku merasa seolah Tuuli memberitahuku bahwa aku juga harus menghadapi masa depan, terutama karena berkat Myne telah menyembuhkanku dari rasa sakit dan kelelahan yang kurasakan sejak melahirkan. Aku tidak akan kalah dari putriku sendiri, pikirku, dan saat aku mengenakan celemek, aku mendapati diriku tersenyum untuk pertama kalinya sejak Myne pergi.
“Ibu diberkati oleh Myne, Tuuli—jadi kamu tidak perlu khawatir tentang Ibu. Dan dengar itu, belnya berbunyi dua kali. Semoga harimu menyenangkan di tempat kerja.”
Setelah menyemangatinya sedikit dan mengantar Tuuli ke tempat magangnya, aku mencuci beberapa piring menggunakan kendi berisi air sambil mengawasi Kamil. Aku melihat sekeliling rumah dan menyadari bahwa Tuuli sudah mencuci pakaian untukku, tetapi aku masih perlu mengambil lebih banyak air. Pasar pun akan dibuka hari ini, jadi aku juga harus pergi berbelanja makanan. Kami sudah menghabiskan semua makanan yang disumbangkan oleh tetangga. Aku tergoda untuk cukup puas dengan sisa makanan yang ada untuk makan siang, tetapi dengan adanya Gunther di sini, aku perlu membuat sesuatu yang lebih besar.
...Nah sekarang, dari mana aku harus mulai membersihkan? Pikirku saat Gunther berjalan dengan susah payah keluar dari tempat tidur. Dia bangun lebih terlambat dari biasanya, dan sepertinya dia tidak sedang bekerja giliran tugas malam atau semacamnya. Dia menatapku dengan mata menyipit saat aku bergerak di sekitar rumah, bekerja dengan celemekku.
“Bagaimana bisa kau dan Tuuli tetap bersikap normal? Myne sudah pergi, tahu.”
“Pemakaman sudah selesai, dan tetangga kita sudah cukup membantu kita. Kalau Tuuli dan aku menghabiskan seluruh waktu hanya dengan menangis alih-alih bekerja, siapa yang akan memberi susu kepada Kamil, atau menyiapkan makanan, atau mencuci pakaian?”
Tidak peduli seberapa sedihnya kami atau betapa besar rasa kehilangan, sudah waktunya bagi kami untuk kembali bekerja jika kami ingin hidup—Gunther seharusnya juga tahu itu.
“Belum lagi, kita ini tidak seperti keluarga pada umumnya. Myne memberi kita banyak berkat. Dia memberi kita kekuatan untuk berjuang mencapai tujuan kita, untuk mengusir kejahatan, untuk menyembuhkan rasa sakit, dan untuk menanggung cobaan dan kesengsaraan—dia memberikannya kepada semua orang yang disayanginya. Jadi, aku baik-baik saja.”
Gunther tiba-tiba mengangkat kepala karena menyadari sesuatu. Aku pun tersenyum padanya.
“Tuuli berjuang untuk menepati janjinya pada Myne dan memanfaatkan sebaik mungkin berkat yang diberikannya, tetapi kau hanya bermalas-malasan seharian, tidak menanggung cobaan ini sama sekali. Aku jadi penasaran, apakah itu berarti dia tidak menyayangimu? Apakah kau benar-benar diberkati?” tanyaku, meski sudah tahu jawabannya.
Mata Gunther terbuka lebar. “Tentu saja! Kami sudah mengucapkan selamat tinggal terakhir, dan luka bakar di lenganku sembuh! Myne pasti menyayangiku!” Melihatnya bereaksi berlebihan ketika menyangkut Myne dan menjadi begitu cemberut, membuatnya terlihat agak lucu karena kepolosannya ini.
“Kalau begitu, kenapa kau tidak menghadapi masa depan dan kembali hidup seperti biasa? Ada segunung hal yang harus kita lakukan. Kalau kau punya waktu untuk bolos kerja, kau punya waktu untuk membantu. Pertama-tama, ambil air.”
“‘Pertama’...?”
“Lalu begitu itu selesai, bisakah kau pergi berbelanja untukku? Pasar sedang dibuka hari ini, tetapi aku masih belum bisa pergi sejauh itu dengan Kamil. Myne pasti akan marah padaku.”
Myne tidak bisa diam selama semenit pun tanpa memberi tahu kami untuk tidak membawa Kamil keluar sampai dia cukup besar untuk menggerakkan kepalanya, karena semua penyakit di luar sana. Gunther tampaknya mengingat hal itu juga. Dia terdiam, mencari kata-kata.
“Ah, lihat. Sekarang Kamil menangis. Sudah waktunya dia disusui.” Aku memberikan ember kepada Gunther yang sedang murung dan cemberut, lalu memaksanya keluar, kemudian mengangkat Kamil yang sedang menangis dan membuka jendela kamar tidur. Kamar ini langsung terang benderang karena sinar matahari yang sangat cerah dari musim panas yang baru saja dimulai. Angin sepoi-sepoi bertiup ke dalam, dan itu membuatku semakin gembira, seolah angin itu meniup suasana sedih dan berat yang telah terbentuk di dalam.
“Ini dia, Kamil.” Aku membuatnya menunggu terlalu lama, dan mulutnya yang kecil bergerak putus asa saat minum sebanyak dan secepat yang dia bisa. Di saat itulah Gunther kembali, membawa ember yang penuh terisi air. Dia mengerutkan kening lebih dalam saat menuangkannya ke dalam kendi sebelum kembali ke sumur.
Gunther perlu beberapa kali pergi bolak-balik ke sumur untuk menyelesaikan pengisian kendi air, setelah itu dia mengambil keranjang belanja dan pergi ke pasar, sambil bergumam tentang bagaimana Myne sudah pasti menyayanginya.
Aku pun selesai menyusui Kamil, mengganti popoknya, lalu melihat sekeliling ruangan yang terang benderang saat menidurkannya. Di sudut, aku melihat debu mulai menumpuk. Kamar tidur kami selalu sangat bersih gara-gara keinginan kuat Myne untuk tidur di kamar yang bersih, tetapi sekarang setelah dia pergi, kamar ini menjadi kotor setelah beberapa hari tidak ada yang membersihkannya.
“Aku harus membersihkannya saat Kamil tidur. Aku ingin menjaga semuanya tetap seperti saat Myne masih di sini, sebisa mungkin.”
Setelah selesai, aku memutuskan untuk mulai mencuci popok kotor Kamil karena jumlahnya begitu banyak. Aku menggantungkanya di tali jemuran, lalu Gunther kembali sambil membawa banyak barang. Dia telah membeli banyak barang agar kami tidak perlu berbelanja lagi dalam waktu dekat.
"Aku pulang. Aku akan menaruh semua ini di ruang persiapan musim dingin, ya?" katanya, nadanya terdengar ceria, sangat kontras dengan betapa menyedihkannya dia saat keluar.
"Apa terjadi sesuatu di luar sana?"
“Dalam perjalanan ke sana, aku berpapasan dengan Gil yang sedang membawa anak-anak yatim piatu ke hutan. Aku bertanya tentang keadaan Myne. Dia akan segera pergi ke Wilayah Bangsawan, tetapi dia baik-baik saja dan hanya mengkhawatirkan kita.”
Gil adalah salah satu pelayan Myne. Dia adalah anak yang sering mengantar Myne pulang, dan Myne berkata bahwa dia adalah seorang pekerja keras yang menjaga bengkel di panti asuhan tetap berjalan bersama Lutz.
“Apa yang kau katakan padanya, Gunther? Aku yakin kau memberinya pesan untuk Myne.”
"Aku menyuruhnya untuk memberi tahu Myne bahwa kita semua menghadapi masa depan dan tidak perlu cemas tentang kita... Hei, kenapa ekspresimu begitu? Aku tidak bisa memberi tahu Myne bahwa aku sedang libur kerja sebentar gara-gara meninju mulut komandanku," kata Gunther buru-buru, terbata-bata dan kelihatan canggung. Dia ingin menjadi ayah yang dihormati anak-anaknya, dan terutama tidak ingin terlihat tidak keren di depan Myne.
"Itu artinya kau harus kembali bekerja agar Myne tidak khawatir, bukan? Jadi, kapan kau berangkat?" tanyaku sambil tersenyum menggoda. Alis Gunther berkerut dalam, cemberut frustrasi, dan berkata "besok" sambil menghindari tatapanku.
Namun, aku bisa melihat jejak senyum merayapi wajahnya. Ada kehidupan dalam suaranya lagi, dan dia melihat ke atas alih-alih ke bawah. Pastinya dia hanya memasang wajah berani untuk saat ini, tetapi aku tahu dia akhirnya memutuskan untuk menghadapi masa depan dan melangkah maju, hampir pasti karena dia akhirnya benar-benar merasa bahwa dia masih memiliki sedikit hubungan dengan Myne. Dia tahu dia bisa mengatakan pada Myne tentang kami dengan berbicara kepada Gil, anak-anak dari panti asuhan, dan Lutz.
Gunther tidur nyenyak malam itu, tidak bergerak sama sekali bahkan ketika Kamil mulai menangis. Suasana hatinya yang berubah begitu drastis dalam satu hari benar-benar khas dirinya, sehingga aku pun mau tidak mau merasa sedikit senang.
“Gunther benar-benar menyayangi Myne, ya ‘kan, Kamil? Suasana hatinya berubah total begitu mendengar tentang Myne dari Gil,” kataku, menepuk punggung Kamil setelah menyusuinya. Dia pun membalas dengan sendawa kecil.
FB : https://www.facebook.com/kiminovelFP
Donasi: https://trakteer.id/kiminovel
Youtube: https://www.youtube.com/c/KimiNovelYT
0 Comments
Posting Komentar