Kau… (8)

(Penerjemah : Ei-chan)


Tidak ada yang merasa aneh Cale mendadak ingin pergi keluar rumah. Ron sepertinya juga pergi ke suatu tempat karena dia tidak ditemukan di manapun. Satu-satunya pertanyaan yang Hans ajukan pada Cale hanyalah ke mana dia akan pergi.


-’Tuan Muda, ke mana Anda pergi?’

-’Jangan khawatir soal itu.’

-’Baik, Tuan! Tapi karena ini adalah hari pertama Anda di ibukota, bisakah Anda tolong kembali tanpa memecahkan satu botol alkohol pun?’

-’...Apa kau benar-benar akan terus bersikap di melewati batas seperti ini?’

-’Tidak begitu. Tolong jaga diri Anda, Tuan Muda.’

‘Not at all. Please be safe, young master.’


Cale menaiki kereta dan mulai berpikir tentang bagaimana caranya berurusan dengan Hans yang terus melewati batas. Kereta itu pun tiba di kuil sementara dia berpikir.

“Ayo turun.”

“Baik.”

Cale melangkah keluar dari kereta. Choi Han terdiam sejak mereka menaiki kereta, tidak, sejak mereka melangkah keluar dari kamar Cale. Dia sepertinya merasakan gejolak banyak emosi di dalam kepalanya sekarang.

Cale hanya tahu tentang kepribadian Choi Han sampai jilid kelima ‘Kelahiran Sang Pahlawan’. Akan tetapi, ada satu hal yang Cale yakin. Walaupun Choi Han adalah orang yang baik, dia tidak mudah ditipu. Dia sangat cerdas.

‘Kalau aku mencoba memberinya alasan yang tidak bisa dipercaya, dia mungkin akan percaya pada awalnya, tapi pastinya akan meragukanku nantinya.’

Choi Han mungkin sangatlah kesepian setelah tinggal dalam kesendirian selama puluhan tahun, tapi pengalaman itu mengajarkan dia bagaimana caranya bertahan hidup sendirian dan gigih berjuang.

Choi Han mungkin berpandangan baik tentang dirinya sekarang dan mengikutinya, tapi, seperti yang terlihat di jilid 5 ‘Kelahiran Sang Pahlawan’, dia adalah seseorang yang nantinya berharap untuk menjadi seorang pemimpin. Choi Han adalah seseorang yang akan hidup demi membuat rasa keadilan pribadinya menjadi kenyataan.

“...Di sini terlalu putih.”

Kuil Dewa Kematian yang Cale lihat begitu turun sangatlah putih, tapi sedikit pun noda yang terlihat. Para penganut Dewa Kematian menganggap putih adalah warna kematian dan membersihkan semuanya lagi dan lagi setiap hari untuk memastikan tidak ada sebutir pun debu di manapun di bangunan ini.

‘Tempat yang sangat menarik,’

Kuil Dewa Kematian terlihat seakan ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa tidak ada yang perlu ditakuti tentang malam dari tindakan-tindakan mereka. Mereka membuka kuil ini bagi para penganut dan yang bukan penganut begitu matahari terbenam.

‘Kelihatannya, para pendeta tidur kalau kau datang saat siang hari.’

Tempat ini benar-benar menarik menurut Cale. Mereka disambut oleh dua pendeta di pintu masuk kuil.

“Semoga kau diberkati dengan istirahat yang damai!”

“Semoga kau diberkati dengan istirahat yang damai!”

Para pendeta Dewa Kematian secara umum sangatlah periang. Walaupun orang-orang mungkin menganggap kematian adalah akhir, filosofi Kuil Dewa Kematian percaya bahwa adalah hal penting menikmati hidup selagi mereka menuju istirahat yang damai.

“Tuan Pendeta.”

Cale perlahan mendekati si pendeta. Pendeta itu mengamati Cale dengan ekspresi penasaran. Cale terlihat seperti antara seorang bangsawan yang sangat berpengaruh atau pedagang kaya raya berdasarkan pakaiannya. Tapi pria di belakangnya terlihat seperti seorang pengemis, walau pedang di pinggangnya membuat dia terlihat kuat.

“Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?”

“Apakah ada Ruang Kematian yang terbuka?”

Ekspresi kedua pendeta itu menegang. Pendeta yang mengajukan pertanyaan itu bolak-balik melihat antara Cale dan Choi Han sebelum bertanya.

“Kematian siapa yang akan Anda pertaruhkan?”

Pendeta itu melirik Choi Han saat berkata demikian. Choi Han saat ini terlihat seperti telah terguling di sebuah gunung dan menderita. Dia juga kelihatan seperti belum makan apapun selama dua hari dan nampak seperti seseorang yang mudah diperdaya. Pendeta itu merasa getir akan hal ini.

Si pendeta mengalihkan pandangannya pada si bangsawan berpengaruh. Rambut merah yang indah dan wajah rupawan. Dia tidaklah begitu tampan, tapi cukup untuk menarik perhatian ke manapun dia pergi. Sebagai tambahan, pria ini sedang tersenyum saat ini.

Cale tersenyum saat mengangkat tangannya sedikit.

“Milikku.”

“Huh?”

Cale tersenyum sekali lagi pada si pendeta yang kebingungan.

“Aku akan mempertaruhkan nyawaku.”

Choi Han menaruh sebelah tangannya di bahu Cale pada saat itu.

“Cale-nim.”

“Apa?”

Cale berbalik untuk melihat Choi Han yang berekspresi kaku sekaligus gelisah.

“Saya akan percaya pada Anda walaupun Anda tidak melakukan ini.”

Cale mulai menyengir dan membalas perlahan.

“Kurasa kau tidak akan percaya.”

Choi Han tidak punya pilihan selain tidak mempercayainya. Bagaimana bisa dia mempercayai Cale saat Cale tidak berencana mengatakan apapun padanya? Karena itulah mereka berada di kuil.

‘Kenapa aku harus mengatakan semuanya pada dia? Itu hanya akan membuatku terlibat dalam masalah.’

Tidak ada alasan untuk melibatkan diri dengan Choi Han sejauh itu. Cale tidak akan bisa menjalani hidup damai jika Choi Han ada di sekitarnya. Ini sudah terlihat. Bukankah Choi Han membawa lebih banyak masalah untuknya dengan membawa semua anak-anak serigala itu?

‘Dia menaiki paus dengan Suku Paus untuk melawan para duyung di kemudian hari.’

Di dunia yang berpusat pada manusia ini, posisi Choi Han yang merangkul baik manusia maupun non-manusia membuat dia mulai berubah. Awalnya adalah Suku Paus. Suku Paus yang muncul di awal jilid 5, sejujurnya, sangatlah menakutkan.

‘Mereka adalah predator paling mematikan.’

Suku Paus adalah yang terkuat dari ras Manusia-Hewan. Mereka juga adalah Manusia-Hewan paling rupawan. Suku Paus memiliki warna yang berbeda yaitu hitam, kelabu, atau merah muda, tapi mereka semua sangatlah rupawan. Sebagai perbandingan, para duyung di dunia ini memiliki dua kaki dan sirip, terlihat seperti manusia yang ditutupi sisik.

‘Tapi mereka begitu keras kepala sampai-sampai mereka bahkan tidak akan bersikap merendah di depan seekor naga.’

Suku Paus sangatlah menyeramkan. Walaupun jumlah mereka kecil, tinju santai mereka bisa dengan mudah meledakkan kepala seorang manusia. Bahkan Lock tidak bisa menandingi Suku Paus.

‘Perangai mereka buas.’

Choi Han terlibat dengan banyak macam orang dan masalah juga. Cale tidak ada keinginan untuk terus terlibat dengannya

“Tuan Pendeta. Ruangannya?”

“Ya, kami ada satu. Saya akan segera menyiapkannya. Silakan menuju ruang bawah tanah.”

“Terima kasih.”

Cale pun berjalan di belakang si pendeta. Choi Han mengikuti di belakang Cale dengan ekspresi ketidakpastian. Cale menyadari pergerakan Choi Han dan berjalan dengan santai menuju ke area paling dalam kuil.

Setelah lama berjalan, mereka bisa melihat banyak pintu di satu sisi dinding. Pendeta itu membuka salah satu pintu tersebut yang menampakkan sebuah tangga menurun ke ruang bawah tanah.

“Kematian selalu menunggumu di bawah.”

“Bagus. Ayo.”

Pendeta tersebut menyaksikan dengan minat Cale yang berjalan menuruni tangga tanpa keraguan sedikit pun.

‘Kematian’ yang disebut di Kuil Kematian ini juga berarti ‘sumpah’.

Kematian adalah sesuatu yang sudah pasti akan mendatangimu pada satu waktu. Itu bukanlah sesuatu yang bisa kau hindari, dan tanggung jawabmu adalah menerima peranmu di dunia sementara kau ada di sini.

Karena itulah para abdi Kuil Dewa Kematian membawakan akhir yang dikenal sebagai kematian bagi mereka yang melanggar sumpahnya.

Karena inilah, orang-orang yang menuju ke Ruang Kematian ini atau sering disebut Ruang Sumpah, cenderung bersikap merendah dan serius. Kebalikannya, sikap santai dan percaya diri orang ini benar-benar unik di mata pendeta tersebut.

‘Ini membuatku teringat pendeta Cage.’

Wanita itu adalah seseorang yang sangat sering mengumpat kuil, tapi dia tetap saja disayangi oleh sang dewa. Cage. Pendeta itu mendadak terpikir tentang dia, tapi cepat-cepat menghapus dari pikirannya. Di saat yang sama, Cage sedang merasa kesal mendengar suara dewanya lagi.

Setelah menyingkirkan pikiran tentan Cage, pendeta itu menuruni tangga di belakang Cale. Begitu mereka sampai di bawah, pendeta itu membuka pintu dan menginformasikan Cale dan Choi Han.

“Tolong tunggu sebentar. Saya akan mempersiapkannya.”

Pendeta itu kemudian memasuki ruangan tersebut sendirian. Cale melihat ke arah pintu yang tertutup itu dan mulai bicara.

“Kalau kau benar-benar berpikir kita tidak memerlukan ini, aku akan memberitahu satu kebenaran lebih dulu. Bagaimana menurutmu?”

Choi Han langsung menanggapi.

“Ya. Tolong katakan pada saya. Saya percaya pada Anda.”

“Begitukah?”

Cale mengusap dagunya dengan sebelah tangan sebelum dengan santainya mengungkapkan kebenaran itu.

“Yang pertama dari dua kebenaran.”

Pandangannya mengarah pada Choi Han.

“Aku tidak tahu identitas ataupun tujuan dari organisasi rahasia itu.”

“...Apa yang-”

Pupil mata Choi Han mulai bergetar. Di saat itulah, mereka mendengar sebuah suara klik dan si pendeta keluar dari ruangan tersebut.

“Anda bisa masuk sekarang. Orang yang akan mempertaruhkan nyawanya hanya perlu mengangkat tangan begitu memasuki ruangan untuk memberitahu sang Pendeta.”

“Terima kasih. Kami mengerti.”

Dibandingkan dengan Cale yang santai, Choi Han nampak sangat bimbang dan gelisah. Si pendeta menelengkan kepalanya dengan bingung karena ini, tapi dengan tenang meninggalkan area tersebut. Ini bukanlah urusannya. Cale memegang gagang pintu sambil memalingkan wajah pada Choi Han. 

“Sulit untuk percaya?”

“Tentang itu, bagaimana ya...”

Cale bisa melihat Choi Han bersusah payah untuk menjawab. Choi Han berkata kalau dia mempercayai Cale, tapi dia tidak bisa mempercayai perkataan Cale. Bagaimana mungkin Cale tidak tahu? Apa itu masuk akal? Choi Han kemudian mendengar suara Cale di telinganya.

“Aku mengerti.”

Choi Han melihat ke arah Cale. Ekspresi tenang Cale membuatnya terlihat sangat dewasa. Cale pun bersuara.

"Ayo masuk."

Choi Han mengikuti Cale ke dalam Ruang Kematian yang berada di balik pintu putih.

Sesuai dugaan, ruangan itu benar-benar putih dengan meja, kursi, dan dinding putih. Satu-satunya yang tidak putih di ruangan ini adalah si pendeta yang berdiri di sana dengan mulut dan telinga tertutup.

Pendeta tuli. Cale tidak begitu suka gelar itu, tapi pendeta-pendeta ini cukup dihormati di dunia ini. Para bangsawan dan keluarga kerajaan, siapapun yang memerlukan percakapan rahasia atau diam-diam melakukan kontrak, datang untuk menemui pendeta-pendeta ini.

Cale membungkukkan kepalanya dalam diam untuk menyapa pendeta itu sebelum mengangkat tangannya. Pendeta itu mengangguk menanggapi tindakan Cale dan menunjuk pada kedua kursi di meja.

Cale duduk di sisi kanan sementara Choi Han duduk di seberangnya di sisi kiri. Pendeta itu berpindah ke bagian ujung meja sebelum mendorong secarik kertas pada mereka.

[Bagi orang yang mempertaruhkan nyawanya. Tangan Dewa Kematian akan menyentuh orang yang datang bersamamu. Begitu itu terjadi, kau bisa mengucapkan sumpahmu. Jika kau melanggar sumpahmu, kematian menantimu.]

Benar-benar arahan yang kejam.

Cale mendorong kembali kertas itu pada si pendeta setelah memastikan bahwa Choi Han selesai membacanya. Pendeta itu kemudian mengangkat kedua tangannya seperti yang Cage lakukan sebelumnya. Di saat itulah…

Ooooooooong- oooooooong-

Ruangan putih itu mulai berguncang. Mungkin dikarenakan ruangan ini digunakan untuk melayani sang dewa, asap hitam mulai terbentuk di sekeliling si pendeta begitu ruangan itu mulai berguncang. Asap hitam itu kemudian melingkupi Choi Han dan Cale sebelum membentuk sebuah koneksi antara mereka berdua.

"...Apakah ini kekuatan Dewa Kematian?"

“Ya.”

Cale menanggapi pertanyaan Choi Han sebelum mencoba merasakan benang asap hitam yang melingkupinya. Itu terjadi ketika Cage membuat sumpah juga, tapi kekuatan Dewa Kematian mengingatkan dia pada pertaruhan sumpah ini.

'Aku akan mati kalau melanggar sumpah ini.'

Cale yakin Choi Han merasakannya juga. Mungkin karena itulah wajahnya menjadi kaku. Cale bisa merasakan sentuhan Dewa Kematian dan memulai sumpahnya.

"Pendeta di depanku ini menjamin bahwa dia tidak bisa mendengar, dan jika itu bukanlah hal yang sebenarnya, dia akan membayar dengan nyawanya."

Ini adalah kalimat umum yang diucapkan pertama kali kapanpun sebuah sumpah dibuat dengan seorang pendeta tuli.

"Selanjutnya, aku, Cale Henituse, bersumpah untuk mengatakan yang sebenarnya pada Choi Han di hadapan Dewa Istirahat Abadi, dan, jika apa yang kuucapkan adalah kebohongan meski sedikit, aku akan langsung tewas di tempat untuk membayar harganya."

Segera, kata tersebut membuat wajah Choi Han menjadi kaku lebih jauh. Dia tegang.

Awalnya, Cale memperdebatkan haruskah dia mengatakan segalanya pada Choi Han.

Aku berpindah ke dalam novel yang kubaca. Aku juga orang Korea. Karena itulah aku tahu apa yang terjadi sampai jilid 5. Organisasi rahasia ini menyebabkan masalah di seluruh benua. Benua ini akan segera jatuh dalam situasi kacau balau karena perang.

Haruskah Cale mengatakan semua itu?

Atau, haruskah dia mengatakan sesuatu seperti ini? Aku berpindah ke dalam novel yang kubaca dan berakhir menjadi putera seorang bangsawan kaya. Karena itulah aku mencoba untuk menjalani hidup damai, tapi aku teringat dengan apa yang terjadi di dalam novel, jadi aku mengubahnya sedikit. Aku ingin membuat diriku hidup dalam damai, bahkan sekalipun benua ini dalam situasi perang.

Cale tidak suka keduanya. Yang pertama mungkin menjadikan dia terlibat dalam perang benua dan membuat dia tewas di medan perang, sementara yang kedua bisa membuat kebencian Choi Han membunuhnya. 

Cale tidak mau kedua hal itu terjadi.

"Pertama."

Yang pertama dari dua hal yang sebenarnya.

"Aku, Cale Henituse, tidak tahu identitas dari organisasi itu."

Haah. Choi Han menghela napas dalam-dalam menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dia perlahan menyingkirkan tangannya sedikit untuk melihat Cale masih hidup.

"Aku berkata jujur saat mengatakan kalau aku tidak tahu identitas mereka."

Itulah yang sebenarnya.

Cale—yang aslinya adalah Kim Rok Soo—sudah membaca ‘Kelahiran Sang Pahlawan’ sampai jilid 5, tapi novel itu tidak menyebutkan apapun tentang tujuan ataupun identitas organisasi rahasia tersebut. Yang dibahas hanyalah tentang aksi-aksi organisasi itu.

“Dan satu hal lagi. Aku benar-benar jujur saat mengatakan ini.”

Hal kedua dari dua kebenaran.

“Aku sangat membenci organisasi itu dan berharap mereka menghilang.”

Sudah jelas, Cale masih hidup. Dia tidak suka orang-orang ini yang menyebabkan peristiwa-peristiwa semacam itu. Mereka mungkin juga ambil bagian dalam perang. Cale berharap mereka menghilang sehingga mereka dia bisa hidup dengan tenang di benua yang damai.

Choi Han nampaknya kehilangan kata-kata. Dia memperhatikan benang hitam yang menghubungkan dirinya, si pendeta, dan Cale, sebelum berulang kali melonggar eratkan tinjunya. Cale terkesiap melihat ekspresi menyeramkan Choi Han saat pemuda itu bicara.

“Bagaimana bisa Anda membenci mereka kalau Anda tidak mengenal mereka?”

“Karena aku tahu beberapa hal mengerikan yang mereka rencanakan akan lakukan. Naga Hitam dan Lock adalah salah satunya, Choi Han.”

Cale menudingkan telunjuk pada dirinya sendiri.

“Aku sudah menjalani hidupku sebagai sampah. Itulah mimpiku.”

Ekspresi Choi Han berubah setelah mendengar Cale mengatakan bahwa mimpinya adalah menjadi sampah.

“Aku tidak ada keinginan menjadi penerus keluargaku. Basen Henituse, adik laki-lakiku yang sedarah. Aku berharap dia yang menjadi penerus.”

Ini juga adalah yang sebenarnya. Karena itulah Cale bertanya pada Choi Han.

“Jadi, kenapa aku harus datang ke ibukota sebagai perwakilan keluarga Henituse? Terutama saat aku mengharapkan Basen menjadi penerus? Ayahku, kepala keluarga, menyuruhku untuk pergi, tapi aku bisa saja menolaknya.”

Choi Han menjawab setelah terdiam sejenak.

“...Saya tidak yakin.”

“Itu karena aku tahu bahwa organisasi rahasia itu merencanakan sesuatu di ibukota.”

Pupil mata Choi Han kembali melebar.

“Aku tidak bisa menjawab bagaimana aku bisa tahu. Tapi mereka berencana untuk membunuh banyak orang di ibukota. Aku tidak bisa mengirim Basen ke tempat semacam itu. Aku ingin mencegah hal itu terjadi.”

Tentu saja, Cale tidak berencana melakukan apapun yang mempertaruhkan nyawanya untuk orang lain.

“Setelah mengurus semua masalah setenang mungkin, aku ingin kembali ke wilayah Henituse.”

“...Anda tidak bisa memberitahukan saya bagaimana Anda mengetahuinya?”

“Tepat. Aku tidak bisa mengatakan pada siapapun—tidak peduli siapa orangnya—tentang hal itu.”

Mata Choi Han penuh dengan tanda tanya, tapi mulutnya tetap terkatup.

Cale tidak tahu identitas organisasi rahasia itu tapi dia tahu beberapa hal yang nantinya akan mereka lakukan. Dia juga sangat membenci mereka dan ingin mereka lenyap.

Kepala Choi Han semakin tertunduk saat dia merenungkan banyak hal. Isi kepalanya sekarang benar-benar semrawut. Meski begitu, kekuatan Dewa Kegelapan yang muncul lewat benang hitam itu memberinya ketenangan. Dia tahu bahwa Cale bisa tewas saat ini juga kalau dia berbohong.

“Meski begitu, aku akan mengatakan satu hal lagi padamu.”

Satu lagi. Itu membuat Choi Han cepat-cepat mengangkat kepalanya untuk menatap Cale.

“Kebenaran terakhir.”

Ini adalah kebenaran ketiga yang Cale katakan pada Choi Han.

“Aku tidak ada keinginan untuk mencelakaimu.”

Cale percaya diri saat mengatakan itu. Dia tetap hidup, yang berarti itu adalah kebenaran.

Choi Han mengerutkan wajah.

Tap. Tap.

Choi Han mulai mengetuk-ngetuk pahanya dengan tinju terkepal. Walaupun ketukannya tidak terlalu keras, urat-uratnya menonjol dari tinju yang terkepal erat itu. Dia perlahan mengangkat kepalanya. Cale masih hidup.

“...Saya mempercayai Anda.”

Mendengar tanggapan yang memerlukan waktu begitu lama untuk terucap, Cale mengulang kata-kata yang telah dia katakan pada Choi Han sebelum mereka memasuki ruangan ini.

“Aku mengerti.”

Dia pun tersenyum.

Haah.

Choi Han menghela napas sambil tetap duduk di meja itu. Dia mengangkat kepala untuk menatap Cale. Mata pria itu masih murni seperti biasa, tapi nampak gigih.

“Cale-nim. Tolong berjanjilah satu hal. Maka saya akan sepenuhnya mempercayai Anda.”

‘…Aku tidak mengira hal seperti ini akan terjadi.’

Cale merasa tidak yakin dengan tanggapan Choi Han. Seharusnya bukan masalah besar karena dia bisa mendapatkan cara membuat apapun agar bisa sesuai keinginannya, tapi kalimat ‘sepenuhnya mempercayai Anda’, itu sulit untuk diterima Cale. Meski demikian, dia tidak bisa menolaknya saat ini.

“Tentu. Apa itu?”

“Cale-nim.”

“Ya?”

“Saya harus membalas dendam pada organisasi itu. Saya rasa, ini adalah pertama kalinya seumur hidup saya begitu membenci seseorang atau sebuah organisasi.”

Amarah memenuhi mata polos Choi Han. Sebuah rasa nostalgia bisa terlihat di balik kemarahan itu juga. Choi Han mungkin sedang memikirkan Desa Harris.

‘Mm.’

Cale menahan suara apapun terluncur dari mulutnya. Karena inilah dia tidak mau Choi Han bersamanya, sekalipun Choi Han memutuskan untuk mengikuti dia. Choi Han adalah orang yang baik, tapi dia selalu menyelesaikan apapun yang sudah ditekadkannya. Karena inilah Cale menunggu permintaan terakhir Choi Han dengan gugup.

Choi Han akhirnya bicara.

“Tolong beritahukan pada saya bagaimana pun caranya jika Anda mengetahui identitas mereka.”

“Ah-, yah, tentu.”

‘Kupikir dia akan meminta hal yang sulit.’

Cale memperlihatkan ekspresi kaget saat membuat sumpah.

“Aku, Cale Henituse, akan memberitahu Choi Han begitu aku mengetahui identitas mereka. Aku akan membayar dengan nyawaku seandainya aku melanggar sumpah ini. Cukup?”

“Ya, terima kasih banyak.”

Choi Han akhirnya mulai tersenyum. Dia terlihat merasa lega. Cale pun berpikir saat mengamati Choi Han yang seperti ini.

‘Bagaimana aku bisa mengetahui identitas mereka?’

Untuk mengetahui identitas mereka—tepatnya, bahkan untuk menemukan petunjuk terkecil pun tentang identitas mereka—dia akan harus menjalani rute yang sama dengan yang Choi Han jalani di dalam novel. Dia pastinya gila kalau sampai melakukan itu. Begitu Choi Han keluar dari ibukota dan Kerajaan Roan, dia akan bertemu dengan berbagai macam pahlawan; manusia maupun non-manusia.

Memikirkan itu saja membuat Cale merasa parah.

“Kalau begitu, kita selesai?”

“Ya.”

Bam!

Cale mengangkat tangan dan menghantamkannya ke atas meja. Gebrakannya itu membuat meja sedikit bergetar dan si pendeta membuka matanya lalu mengangguk. Ruangan itu pun bergetar sekali lagi.

Ooooooong-

Dengan begitu, asap menghilang dari tubuh masing-masing. Ini sedikit berbeda dari ketika Cale mengalaminya dengan si pendeta wanita gila Cage. Cale merasakan dua sumpah tertanam pada tubuhnya saat dia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya.

Itu adalah cek 10 juta gallon. Cale menaruh uang itu di depan pendeta yang duduk tenang tersebut lalu bangkit berdiri. Dia kemudian mengucapkan selamat tinggal pada si pendeta sebelum menuju ke luar ruangan. Choi Han menatap bolak-balik antara uang itu dan Cale, sebelum mengikuti pria itu keluar ruangan dan menutup pintu. Dia kemudian memperhatikan Cale dengan kebingungan.

Cale dengan santai menanggapi pandangan Choi Han.

“Tidak ada yang gratis dalam hidup ini.”

“Saya mengerti.”

Cale kembali menaiki tangga dan menemukan pendeta yang tadi sedang berdiri di pintu masuk lantai pertama.

Pendeta itu menyapa Cale yang masih hidup.

“Semoga kehidupanmu berlanjut sampai waktu yang ditakdirkan.”

Ini adalah cara mereka memberitahukanmu agar tidak melanggar sumpah sehingga kau bisa terus hidup. Ucapannya ini benar-benar tidak ada ampun.

“Terima kasih banyak, Tuan Pendeta.”

Cale berterima kasih pada si pendeta sambil tersenyum menanggapi. Pendeta itu masih merasa senyuman Cale dan nada suara santainya itu aneh, tapi Cale hanya melintasinya untuk meninggalkan kuil.

Dia kemudian menaiki kereta dan mulai bicara lagi begitu kereta bergerak.

“Sebagai informasi, si penyihir gila itu, orang itulah pemimpin peristiwa yang akan terjadi di ibukota.”

“.....Apa saya diperbolehkan untuk membunuhnya begitu melihatnya?”

“Kenapa kau menanyakanku hal yang sudah jelas? Lakukan saja sesukamu.”

‘Tidak ada masalah untukku.’

Akan tetapi, si penyihir gila itu adalah penyihir tingkat tertinggi dan spesialis teleportasi, jadi Choi Han tidak pernah bisa melakukan apa yang dia inginkan dalam novel.

“Ya. Akan saya pastikan untuk membunuhnya.”

Cale berpaling dari wajah marah Choi Han. Itu terlalu ganas untuk Cale tangani.

Begitu mereka sampai di kediaman mereka, ada individu lain yang Cale rasa sulit untuk ditangani.

“Tuan Muda.”

“Ron.”

Ron si pembunuh bayaran—yang menyunggingkan senyum ramah di wajahnya—datang mencari Cale yang sedang mencoba beristirahat di kamarnya.