Membalas Jasa (5)
(Penerjemah : Ei-chan)
Larut malam di sebuah rumah kecil berlantai dua di pinggiran Kota Puzzle. Satu-satunya cahaya di area itu adalah lampu di lantai satu rumah tersebut, bersinar menembus jendela. Putera sulung Marquis Stan, Taylor, si pemilik rumah, mulai mengerutkan wajah.
"Ada apa?"
"Sial. Ugh. Tunggu. Jangan bicara padaku sekarang."
Cage, si pendeta wanita Dewa Kematian, memegangi kepalanya dengan kesakitan.
Clang.
Gelas bir di tangannya terjatuh ke tanah. Taylor dan ketiga orangnya cepat-cepat mendekat.
"Apa? Apakah sang dewa mengatakan sesuatu padamu lagi?"
Taylor memperhatikan dia dengan cemas. Dewa Kematian berbicara pada Cage dari waktu ke waktu. Ini mendadak terjadi pada suatu hari dan akan secara tak beraturan muncul seperti ini. Cage telah menyembunyikan fakta ini dari kuil, dan hanya Taylor beserta ketiga anak buahnya yang tahu tentang itu.
"Ah, menyebalkan sekali!"
Setelah berjuang sebentar, Cage melompat dan menuju ke pintu belakang rumah. Dia bergerak sangat cepat. Dia masih memegangi kepala dan agak sempoyongan, tapi pandangannya fokus pada pintu belakang.
Taylor menyuruh anak-anak buahnya untuk tetap tinggal di tempat sementara dia mendorong kursi rodanya mengikuti wanita itu dari belakang.
'Apa ada yang menyusup masuk?'
Rumah ini memang kecil, tapi ada alarm sihir yang terpasang di mana-mana. Taylor terlalu paranoid terhadap adik laki-lakinya yang tidur tanpa alarm-alarm ini.
Setelah kedua lututnya dihancurkan oleh seorang pesuruh bayaran di kamarnya sendiri di kediaman Marquis, tidak ada tempat yang Taylor anggap aman lagi.
"Cage. Ada apa?"
"Tunggu dulu."
Brak!
Cage menghantam pintu belakang membuka. Taylor hanya dapat melihat sebuah halaman belakang yang aman. Tempat itu menenangkan dan hening, seperti biasanya. Ada sepasang lampu untuk memeranginya, membuat itu area paling terang di properti ini.
Cage mulai menyerbu ke halaman belakang itu dan Taylor mengikuti dari belakang. Cage berjalan menyusuri pagar di perbatasan properti dan mengeluarkan suara terkesiap.
“Hah!”
Ini adalah lokasi tepat di luar jangkauan alarm. Di atas pagar itu terdapat sebuah menara batu yang terbentuk dari lima batu kecil.
Ini hanya cukup besar untuk ditemukan seorang kesatria yang tinggal di rumah ini ketika dia pergi berpatroli nanti.
"... Benar-benar gila. Ini sungguhan."
Beberapa kata kasar meluncur dari mulut Cage. Taylor tiba di sebelah Cage dengan kursi rodanya dan mulai memperhatikan menara batu di atas pagar itu dengan kebingungan.
“Apa ini?”
Menanggapi pertanyaan Taylor, Cage membaca pesan yang tertulis dengan kapur di sebelah menara itu.
"'Robohkan ini kalau kau ingin keinginanmu terkabul.' Begitu katanya."
Kebingungan dan rasa penasaran memenuhi wajah Taylor secara serempak. Cage menghela napas setelah melihat pria itu dan menekan dahinya sendiri dengan jari.
"Menurutku kau merobohkannya. Tidak, ini kedengarannya gila, tapi sang dewa mengatakan untuk merobohkannya."
“…Apa?”
"Ini pertama kalinya sang dewa tidak mengatakan omong kosong. Kenapa dia banyak bicara akhir-akhir? Dia biasanya bicara padaku mungkin hanya sekali setahun."
"Apa hubungannya antara menara batu ini dengan itu?"
Cage menoleh untuk berkontak mata dengan Taylor.
"Titik balik kehidupan kita. Itulah yang dia katakan."
Dewa Kematian hanya mendatangi Cage saat dia tidur. Tidur serupa dengan kematian. Karena itulah kenapa tidur menjadi semacam jalur bagi Dewa Kematian. Akan tetapi, kali ini, dia mendengar dewanya sementara dia sedang minum-minum.
Cage berpikir mungkin Dewa Kematian marah padanya karena minum terlalu banyak bir dan karena itu dia menerimanya dengan senang hati. Dia ingin agar dewanya ini berhenti mengusiknya. Akan tetapi, Dewa Kematian memberikan pesan yang berbeda.
"'Keputusannya ada padamu. Akan tetapi, jangan robohkan kalau kau ingin menjalani hidup yang damai.' Itulah yang dia katakan."
Wanita itu menatap menara batu. Ada sesuatu di bawahnya.
"Ada sepucuk surat di bawah timbunan menara batu. Kurasa mereka menumpuk menara ini untuk surat itu."
Dia kembali menoleh untuk menatap sahabatnya, Taylor. Pria itu harus mendongak dari kursi rodanya, jadi walaupun dia dapat melihat menara batu itu, dia tidak dapat melihat surat yang ada di bawahnya.
"Aku tidak merasakan kekuatan aneh apapun dari sekeliling menara itu."
Walaupun dirinya tidak sesensitif penyihir sebenarnya, dengan menggunakan kekuatan suci dapat membuat Cage cukup sensitif dan perseptif terhadap sekelilingnya. Dia dapat merasakan apakah ada kutukan atau energi negatif apapun yang melingkupi sebuah benda atau tempat. Dia, bagaimanapun juga, ada pelayan Dewa Kematian.
Dia menunggu respon Taylor.
Taylor menatap langit malam, sebelum kemudian perlahan beralih untuk menatap Cage.
"Robohkan."
Cage langsung meninju menara batu di depannya itu.
Prak. Prak. Prak.
Batu-batu di atas pagar itu berjatuhan semuanya. Taylor hanya menyaksikannya dengan tatapan kosong.
'Jangan robohkan kalau aku ingin hidup damai?'
Taylor tidak pernah hidup dengan damai. Dia juga tidak menginginkannya. Dia akan menemukan cara untuk menyembuhkan kakinya dan terus maju. Lalu kemudian-
‘Aku akan menggulingkan keluargaku yang jahanam ini.’
Taylor mengulurkan tangan dan Cage menyerahkan padanya amplop tersebut. Taylor langsung membuka dan menemukan surat tersebut ditulis dengan sihir yang mencegah orang untuk mengenali tulisan tangan si pengirim. Para bangsawan sering menggunakan benda ini.
Taylor membuka surat itu tanpa ragu. Dua kalimat pertama surat itu, yang dapat terlihat berkat lampu-lampu di pekarangan, langsung menarik perhatiannya.
[Putera Mahkota memiliki kekuatan kuno. Namanya adalah ‘Bintang Penyembuhan’ dan tidak berguna untuknya. Itu adalah kekuatan sekali pakai yang bisa menyembuhkan segala jenis cedera.]
[Dia ingin menukarnya dengan metode untuk menahan pangeran kedua dan ketiga dalam kendalinya.]
Tangan Taylor mulai bergetar.
“Ada apa?”
Cage menegang setelah melihat ekspresi Taylor dan tangannya yang gemetar. Akan tetapi, wanita itu tidak lama kemudian menjadi tenang.
“Ha!”
Itu karena Taylor mulai tertawa. Dia kemudian menyerahkan surat itu padanya.
“Ini benar-benar akan jadi titik balik kehidupan kita.”
“Apa sebenarnya yang kau bicarakan?”
Cage mengambil surat itu dari Taylor dan mulai membacanya. Dia berhenti sejenak setelah membaca tentang kekuatan kuno dan Putera Mahkota, tapi kemudian lanjut membaca sisanya. Kepalanya kemudian tersentak saat membaca bagian bawah surat.
[Kakimu mungkin tidak bergerak, tapi kepala, lengan, mata, dan mulutmu bisa. Apa yang ada padamu masihlah segar bugar.]
[Keputusan ada di tanganmu, Taylor Stan, putera sulung Marquis Stan.]
Taylor menatap ke dalam kegelapan di sudut halaman dan mulai berucap.
“Cage.”
“Yeah?”
“Ayo tinggalkan tempat ini pada butler, dan menuju ke ibukota sekarang.”
“Baiklah.”
Dia memutuskan untuk turut serta dengan keputusan Taylor yang masih hidup. Dia adalah seseorang yang telah mengalami kematian jauh lebih banyak daripada siapapun karena dirinya adalah pendeta Dewa Kematian, dan karena itulah dia jadi sangat jelas tentang nilai kehidupan.
“Aku yakin Taylor yang cerdas akan mengatasi semuanya. Kau sangat pandai dalam hal itu.”
Cage mempercayai pikiran dan kemampuan Taylor.
“Kau benar. Aku dulu sangat pandai.”
‘Dulu’. Cage memandang Taylor setelah mendengarnya berkata dalam bentuk lampau.
“Aku seharusnya tahu bagaimana caranya mengurus diriku sendiri.”
Sayangnya, Taylor melukai kakinya karena dia tidak mengurus dirinya sendiri dengan baik dan membiarkan dirinya lengah.
Taylor mendongak untuk menatap rumah kecil dua lantai itu. Dia tadinya merasa cukup frustrasi berada di sini selama beberapa bulan terakhir mengikuti petunjuk yang bahkan dia tidak tahu apakah itu nyata atau tidak. Daripada terus melanjutkan usahanya yang sia-sia, mungkin akan lebih baik untuk pergi sebentar.
Setidaknya Dewa Kematian tidak berbohong. Taylor memang membutuhkan titik balik. Dia pun berbicara.
“Kalau itu adalah Putera Mahkota, kita harus menyamakan waktunya dengan acara kerajaan. Kita harus bergegas.”
“Baiklah. Ayo bergegas.”
“Apa tidak masalah? Kita akan bertemu dengan banyak orang dari kuil kalau kita pergi ke ibukota.”
“Apa yang bisa mereka lakukan? Mengusirku? Itu akan sangat bagus. Aku hanya mengkhawatirkanmu.”
“Terima kasih.”
“Tidak perlu.”
Mereka saling tersenyum dan berbicara di saat bersamaan, saat Cage mengangkat surat itu.
“Penolong.”
Yah, mereka tidak yakin apakah orang ini adalah penolong mereka atau bukan, tapi mereka sama-sama merasa bahwa penulis surat ini adalah penolong mereka. Itu berarti, pada akhirnya, mereka harus menemukan penolong ini dan membalas budi.
Dua pasang mata, yang jernih tanpa tanda-tanda habis minum-minum beberapa waktu yang lalu, menatap hening surat tersebut. Itu adalah tatapan orang yang telah menemukan titik balik mereka.
Si anak kucing merah yang menyaksikan semua ini dari atas atap rumah lain berbisik pada kakaknya, On.
“Noona, kita bisa pulang ‘kan sekarang?”
“Ya. Kita sudah melakukan tugas kita. Ayo makan daging.”
“Woohoo!”
Kedua anak kucing itu melompat dari atap ke atap saat kembali ke tempat mereka tinggal.
Keesokan harinya, Cale sedang berdiri dengan lengan terlipat dan wajah berkerut. Pandangannya naik turun memperhatikan orang di depannya.
The next day, Cale was standing with his arms crossed and a frown on his face. His gaze was looking up and down at the person in front of him.
Pakaian Cale bahkan lebih mewah dan menyolok daripada biasanya.
-’Tuan Muda! Sekalipun saya, Hans, tidak ada di sana, bagaimana bisa Anda berguling-guling seperti itu di gunung?’
-’Wakil Kapten ini seharusnya mengawal Anda!’
-’Aigoo, Tuan Muda. Ron sangat sedih.’
Cale berdandan karena dia kesal dengan tatapan-tatapan yang didapatnya setelah pulang dengan penampilan acak-acakan karena merangkak melintasi gua. Pakaian mewah yang dia kenakan terlihat sangat bagus dengan rambut merahnya. Cale jelas tidak kekurangan apapun dalam hal penampilan.
Tapi ada alasan lain kenapa Cale terlihat kesal saat ini.
“Kau akan pergi seperti itu?”
Mereka sedang berdiri di depan penginapan. Cale berdiri di sana dengan lengan bersilang dan memperhatikan Choi Han. Pemuda itu membawa sebuah tas kecil dan pedang.
“Ya.”
Tidak ada jamuan khusus ataupun pesta perpisahan untuk Choi Han yang pergi. Baik Cale maupun Choi Han tidak mau hal seperti itu.
Karena itulah perpisahan ini pun sangat kecil.
Cale, anak-anak kucing, Hans, Ron, Beacrox, dan Wakil Kapten. Hanya itu. Fakta bahwa Wakil Kapten ada pun sedikit aneh, tapi dia berdiri di sana dengan wajah berkerut seperti Cale saat menyampaikan salam perpisahannya.
“Haah.”
Cale menghela napas sebelum mengeluarkan sebuah tas kecil dari sakunya dan melemparkannya pada Choi Han. Pemuda itu menangkapnya dengan muda. Choi Han mengenali tas tersebut. Itu adalah tas berukuran sama dengan yang Cale berikan pada si Naga Hitam. Choi Han membuka tas itu dan menemukan obat-obatan dan berbagai benda berguna lainnya di dalamnya. Dia mengangkat kepala dan menatap Cale. Cale hanya berbicara blak-blakkan saat mereka berkontak mata.
“Apa? Kau mau apa? Buang saja kalau kau tidak mau.”
Choi Han tidak berkata apapun, tapi Cale mengucapkan apapun yang dia ingin katakan. Dia lalu berbalik dan menuju ke kamarnya.
“Selamat jalan.”
Cale berekspresi datar saat berbalik setelah mengucapkan perpisahannya. Seharusnya tidak ada alasan lagi untuk bertemu Choi Han. Yah, meski begitu, itu setelah sekali lagi. Mereka akan bertemu kembali di ibukota, sebelum dia melepas Choi Han pergi dengan Ron dan Beacrox, bersama dengan beberapa perintah. Setelah itu, dia berencana untuk tidak berkontak lagi dengan Choi Han sama sekali.
“Aku akan segera kembali.”
Tanggapan Choi Han—yang sepertinya menyiratkan sedikit kegembiraan—membuat Cale merinding, tapi dia tidak berbalik menoleh. Choi Han merasa memang Cale orang yang seperti itu, tidak menoleh balik. Pandangannya kemudian beralih pada yang lainnya.
“Sampai bertemu di ibukota!”
“Ahem. Aku akan melatih diri sehingga aku akan menjadi pengawal pribadi Tuan Muda saat kita di ibukota.”
Deputi butler Hans dengan riangnya mengucapkan selamat tinggal, sementara Wakil Kapten menanggapi dengan nada sangat kesal.
“Aku akan menjaga pisauku tetap tajam.”
“Sampai bertemu kembali.”
Beacrox dan Ron mengucapkan perpisahannya juga. Tentu saja, si anak-anak kucing menepuk kaki Choi Han dengan tapak kaki mereka untuk mengucapkan selamat jalan.
Akhirnya, si Naga Hitam, yang menggunakan sihir tak kasat matanya untuk tinggal di halaman selama siang hari dan berbaring di jendela saat malam, mengirimkan mana tak terlihat pada Choi Han.
“Aku sudah menerima begitu banyak, tapi sepertinya aku terus yang menerima pada akhirnya.”
Choi Han memasukkan tas sihir itu ke dalam sakunya sebelum mulai tersenyum. Cale tidak melihat karena memunggunginya, tapi ini pertama kalinya mereka melihat Choi Han tersenyum cerah seperti itu.
“Aku akan menemui kalian semua di ibukota.”
Choi Han mengucapkan selamat tinggalnya dengan hormat sebelum melangkah pergi dari penginapan. Seseorang seperti dirinya, yang telah menghabiskan waktu puluhan tahun dalam kesendirian yang bahkan terasa lebih buruk daripada kematian, kini telah menemukan tempat untuk kembali. Dia juga telah memiliki orang-orang yang harus dia balaskan budinya.
‘Aku harus menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya.’
Choi Han berjalan menjauh dari Cale dan yang lainnya, menuju ke luar Kota Puzzle.
Keesokan paginya, rombongan Cale menaiki kereta kuda dan bersiap meninggalkan Kota Puzzle juga.
“Tuan Muda, kita siap untuk berangkat.”
“Baiklah”
Cale mengangguk pada perkataan Ron, dan Ron cepat-cepat menutup jendela dan menaiki kereta untuk mulai bergerak. Mereka memulai kembali perjalanan mereka.
“Apa yang kalian lihat?”
Cale menatap si anak kucing bersaudara, yang terus bergerak-gerak gelisah menghindari pandangannya. Anak-anak kucing itu tersentak dan mengalihkan pandangannya. Cale pun tersenyum.
“Apa? Apakah kalian menemui seekor naga atau semacamnya?”
Heup. Cale mendengar anak-anak kucing itu terkesiap, tapi mengabaikannya. Choi Han mungkin sudah pergi, tapi sekarang seekor naga mengikuti mereka. Akan tetapi, dia tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan itu.
Setelah sehari perjalanan, mereka kini bersiap-siap untuk berkemah.
“Permisi. Jika tidak keberatan, bolehkah kami berbagi tempat perkemahan dengan Anda?”
Sebuah kereta kuda tiba di area perkemahan Cale, dan orang itu sepertinya adalah seorang kusir yang turun dan mendekati Wakil Kapten.
“Bolehkah saya bertanya siapakah Anda ini?”
Wakil Kapten bertanya sekalipun dia sudah tahu jawabannya setelah melihat ular merah di pakaian pelindung si kusir. Si kusir membungkuk pada Wakil Kapten dan Cale yang berada di belakangnya lalu memperkenalkan diri.
“Nama saya Tom, dan saya adalah bagian dari kediaman Marquis Stan.”
‘Sial.’
Cale hampir mengucapkannya secara langsung sambil memperhatikan kereta kuda yang terlihat lusuh tanpa lambang keluarga. Jendelanya terbuka dan Cale bisa melihat wajah Taylor Stan.
“Nama saya adalah Taylor Stan. Saya melihat lambang keluarga Henituse dan meminta bantuan, walaupun saya yakin ini tidaklah ideal.”
Jika ini adalah area perkemahan Count Henituse yang kuat, Taylor berpikir mungkin dia bisa aman untuk malam ini. Hal ini tidaklah begitu bagus dalam pandangan Cale.
Cale sekarang bertemu dengan putera sulung Marquis Stan, Taylor, dan si pendeta wanita gila, Cage. Dia memikirkan si naga yang akan berburu babi hutan atau kijang untuknya saat ini dan mulai mengerutkan alis.
‘Sial.’
Satu pergi dan tiga muncul.
0 Comments
Posting Komentar