Turnamen Laga (2)

Part 1

(Penerjemah : Ei-chan)


Siang hari, beberapa hari setelah aku kencan makan malam dengan Aya. Sambil mengunyah sate daging Orc, aku berjalan menyusur jalan utama saat Mururu, yang juga menyantap makanan yang sama, mendadak berhenti. Penasaran ada apa, aku pun berhenti hanya untuk melihat dia menatap lekat-lekat stan makanan lain. Ekornya bergoyang-goyang penuh semangat di balik mantelnya itu lucu tapi mengingat ini sudah berkali-kali, aku menghela napas.

“Kau masih makan saat ini. Paling tidak, tunggu sampai kau selesaikan yang itu.”

“.......kumohon?” 

“Pokoknya tidak.”

Saat aku mengatakan dengan tegas, dia mulai berjalan lagi dengan telinga hewannya yang merunduk sedih. Sedikit mengesalkan bahwa akulah yang merasa begitu bersalah saat dia melakukan itu, tapi aku harus menguatkan hatiku kali ini.

Dan Feirona sedang berjalan di belakang kami sambil tersenyum menikmati pemandangan. Saat aku melemparkan pelototan padanya, senyumnya malah semakin mendalam. Dan karena ekspresi seperti ini darinya, para wanita yang berpapasan dengan kami semuanya langsung terpikat…kurasa. Yah, orang-orang tampan terlihat menarik tidak peduli ekspresi apa yang mereka buat.

Selain Feirona, ada sosok cantik lainnya yang sedang berjalan, Solnea. Melihatnya berjalan di depan yang biasanya Nona Francesca lakukan terasa sedikit menyegarkan. Wanita ini memiliki—hal yang langka untuk dunia ini—rambut hitam lembut panjang, kulit yang putih pucat dan mata semerah batu mirah delima yang nampak agak tak bersemangat. Dia mengenakan mantel hitam serupa denganku yang menjuntai turun dari kedua bahunya. Gaun hitam tipis yang dia pakai mempertegas garis tubuhnya yang sensual, terutama pinggang rampingnya di mana sabuknya terikat.

Normalnya, melihat pria tampan berjalan bersama dengan gadis penyihir terkesan sangat indah, tapi melihat kecantikan samar gadis cantik dengan pria itu juga terlihat luar biasa. Aku merasa hanya aku saja dalam rombongan ini yang tidak memiliki penampilan yang istimewa. Aku mulai merasa depresi hanya dengan memikirkannya.

[Ada apa, Renji?]

“Tidak ada—”

“Aku sudah selesai makan!” (Mururu)

“—itu terlalu cepat. Paling tidak kunyahlah dengan benar.”

“Tidak apa-apa.”

[.......Apa kau bahkan mengerti maksudnya itu?]

Aku sangat yakin, dia tidak mengerti. Sementara aku merenungkan statusku dalam rombongan ini, Mururu sudah menghabiskan dagingnya dan menatapku dengan penuh harap. Dia benar-benar terlihat seperti seekor anak anjing yang sedang menunggu diberi makan. Padahal dia ini serigala…… Kurasa dia pasti ingin lebih banyak makanan. Pandangannya terus beralih-alih dariku kemudian ke lapak jajanan.

“Apa kau sudah lupa apa yang akan kita lakukan berikutnya?” (Renji)

“Tidak masalah. Aku tidak bisa bergerak dengan perut yang kosong.” (Mururu)

“Sejujurnya, tidak akan jadi masalah kalau kau bahkan tidak banyak bergerak. Baiklah, ini yang terakhir, mengerti?”

Seperti memberikan uang receh pada seorang anak kecil, aku memberi dia sekeping koin tembaga. Mengambil koin itu, dia langsung meloncat-loncat ke lapak tersebut dengan kecepatan luar biasa.

Mulai dari sini, babak kualifikasi untuk turnamen laga akan dimulai dan Nona Francesca akan ikut ambil bagian. Kami kemarin memutuskan untuk pergi dan menyemangatinya. Dia nampak sangat bersemangat untuk ikut serta tapi, mari lihat bagaimana kondisinya dalam pertarungan. Sangat mungkin dia akan gugur dalam ronde kualifikasi ini. Jadi, karena ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk menyemangati dia seperti, kami memutuskan untuk pergi hari ini. Aku dimarahi oleh Ermenhilde saat aku mengatakan hal ini terang-terangan. Nada suara marahnya yang tenang dan teduh itu sangat menyeramkan dibanding dengan kemarahannya yang meledak-ledak seperti biasa. Yah, aku juga tidak serius saat mengatakannya. Aku tidak tahu sejauh apa level para murid akademi sihir, tapi aku tahu level para petualang dan prajurit bayaran yang ikut serta. Bagaimanapun, aku juga dulu pernah ikut. Kesempatan di mana dia bisa turut serta dalam laga ini sangat rendah. Meski demikian, dia bisa saja mendapatkan satu kesempatan lewat koneksi keluarga.

Feirona dan Mururu sepertinya sama sekali tidak tahu tentang turnamen, jadi aku mengajak mereka karena sepertinya mereka tertarik. Solnea tidak punya tempat lain untuk didatangi jadi aku membawa dia denganku juga. Seperti yang kau perkirakan, dia sama sekali tidak ada minat dengan turnamen juga.

“Apa rasanya benar-benar seenak itu?” (Sol)

Sementara kami menunggu Mururu, Solnea datang ke sebelahku dan bertanya begitu. Pandangannya tertuju pada Mururu—atau lebih tepatnya, ke lapak itu.

Mururu saat ini sedang menikmati tiruan hot dog dengan roti, sayuran, dan daging orc. Kenapa dia tidak jadi gemuk padahal dia makan begitu banyak daging? Yah, kurasa dia memang banyak bergerak dalam semua perburuan monster yang kami lakukan.

“Yeah, itu sangat enak. Mau juga?” (Renji)

“... …Boleh?” 

“Tidak masalah. Makan satu lagi tidak akan menyakitkan.”

Berkata begitu, aku menyerahkan sekeping koin tembaga pada Solnea juga. Ngomong-ngomong, emas yang sudah kuberikan padanya sebelumnya telah kandas untuk membeli baju. Kelihatannya, Nona Francesca sama sekali tidak berkompromi dalam mendapatkan baju untuk Solnea. Malahan, aku diberitahu bahwa sekeping emas tidaklah cukup jadi dia mengeluarkan uang untuk Solnea juga. Seperti yang diduga dari wanita keluarga bangsawan, kurasa. Yah, itu adalah uang yang dihasilkannya sendiri, jadi tidak masalah bagaimana dia menghabiskannya. Tapi perlu dicatat bahwa Feirona dan Mururu benar-benar lelah pada akhirnya.

Mengambil koin tembaga itu, dia pun menuju ke lapak yang sama dengan Mururu. Sementara aku melihat kepergiannya, Feirona mendekat ke sebelahku.

“Jadi seorang pengasuh sepertinya benar-benar merepotkan.” (Fei)

[Memang.]

“Kenapa kalian berkata begitu?” (Renji)

Kalian pada dasarnya tidak melakukan apa-apa. Hanya Feirona yang mendengar suara Ermenhilde selain aku. Aku masih belum cukup mempercayai Solnea dan Mururu sepertinya akan bersikap berlebihan setiap kali mendengar suara Ermenhilde. Aku bisa percaya Feirona akan bersikap biasa-biasa saja sepanjang waktu. Menanggapi suara Ermenhilde, Feirona mengangkat bahu dan terus bicara.

“Jadi, ada ide tentang siapa atau apakah dia?” (Fei)

“Tidak sama sekali. Aku membiarkan dia bertemu Urano-san juga, tapi tidak ada keanehan katanya.” (Renji)

“Kalau sang Sage berkata begitu, mungkin saja benar.”

[Walaupun aku penasaran apa kau bisa benar-benar mengatakan bahwa tidak ada keanehan pada orang yang secara literal hidup di dalam sebuah kristal.]

Serius. Semalam, aku menyempatkan waktu dan memperkenalkan Solnea pada Utano-san, tapi tidak mendapatkan banyak info. Dia adalah manusia biasa, kelihatannya. Bahkan kristal yang dibawa pulang dari gua itu pun tidak ada bedanya dengan kristal biasa yang dijual murah di toko-toko.

Yah, mungkin adalah hal yang bodoh terus-menerus memikirkan sesuatu yang tidak kau ketahui. Dengan sebuah helaan napas, kuputuskan untuk berhenti memikirkannya. Aku bisa saja jadi terlalu mencurigai Solnea dan malah jadi berdampak buruk padanya. Aku tidak suka hal semacam itu. Aku sebaiknya menghentikan semua itu dalam pikiranku. Akan kuhadapi apapun yang akan terjadi, saat itu benar-benar terjadi.

"Untuk sementara waktu, satu-satunya yang kita tahu adalah dia tidak memiliki energi sihir sedikitpun dalam dirinya."

“Hmm.”

Saat aku berkata begitu, Feirona pun berpikir sambil menumpukan dagu di jari-jarinya. Setiap aksinya membuat dia terlihat menarik, serius.

[Jadi dia pada dasarnya sama dengan Renji, eh?]

"Benar sekali. Yah, aku punya kau, jadi aku tidak punya terlalu banyak masalah." (Renji)

[……..hmm.]

Dalam kasusku, aku hanya tidak punya kekuatan sihir karena aku tidak berasal dari dunia ini sejak awal. Tapi……Bagaimana dengan Solnea? Meski begitu, tidak perlu mengkhawatirkan hal itu untuk saat ini. Memang benar, orang-orang tanpa energi sihir adalah hal langka, tapi bukan berarti mereka tidak ada. Orang-orang khusus seperti itu sesekali dilahirkan. Dan bukan berarti mereka jadi didiskriminasi gara-gara hal itu juga. Kau bisa menggunakan hal-hal praktis seperti sihir kalau kau punya energi sihir tapi tidak semuanya memerlukan itu. Selama kau mendapatkan pendidikan, kau tetap mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang bagus. Sama seperti di dunia kami. Ada begitu banyak hal yang seorang manusia bisa lakukan tanpa energi sihir.

Yang membuat cemas adalah kristal tempat dia tertidur di dalamnya memiliki energi sihir. Dan juga tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Sulit untuk memperkirakan siapakah dia dengan info tersebut. Yang bisa kulakukan hanyalah mengurus dia hanya sebagai seseorang yang sedang berada dalam masalah. Sementara aku berpikir begitu, Mururu dan Solnea kembali sambil berjalan bersisian dan menyantap tiruan hotdognya. Itu bukanlah tindakan yang sopan, jadi aku hanya bisa menghela napas dan tersenyum simpul. Hitam dan putih. Warna mereka bertolak belakang tapi mereka benar-benar terlihat seperti saudara.

"Itu tidak sopan. Ya ampun." (Renji)

"Tapi ini enak." (Mururu)

"Yah, baguslah. Aku menghabiskan uang untuk itu, jadi paling tidak nikmati dengan benar saat memakannya."

"Aku tahu.”

"Kuharap begitu."

Dia tetap tanpa ekspresi seperti biasanya tapi pipinya yang tembam terlihat sangat lucu. Saus tomat yang menempel di mulutnya malah semakin menambah daya pikatnya.

Dan sama seperti si gadis putih, si gadis hitam juga tanpa ekspresi melahap hotdog-nya. Karena dia memakannya dengan sopan dengan menggigitnya dalam suapan-suapan kecil, dia terlihat lebih manis daripada Mururu.

“Rasanya enak?” (Renji)

“Ya.” (Sol)

Saat aku bertanya begitu, dia memberikan sebuah jawaban singkat dan padat. Benar-benar sesuai dengan dirinya.

“Baguslah kalau kalian menikmatinya, tapi ayo kita bergegas sekarang. Kalau tidak kita akan ketinggalan giliran Nona Francesca.” (Fei)

“Oh, iya. Aku hampir saja lupa.” (Renji)

*glek* Ayo cepat kalau begitu, Renji.” (Mururu)

“... … …Kaulah alasan kenapa kita terlambat, kau tahu?” (Renji)

Begitu Feirona mulai berjalan, kami pun mengikutinya. Berjalan di antara Mururu dan Solnea terasa seakan aku memiliki bunga di kedua tangan, tapi sayangnya mereka berdua lebih berkonsentrasi dengan makanan mereka daripada aku. Perut adalah yang pertama, kurasa. Cukup menyedihkan dalam posisiku sejujurnya.

“Renji.”(Mururu)

“Hm?”

“Apa Fran bisa lolos penyisihan?”

Dengan mulut celemotan saus, dia menanyakanku hal itu.

Kalau Fran—Nona Francesca akan bisa lolos babak penyisihan.

“Yah, entahlah.” (Renji)

Saat aku mengangkat bahu, dia mengerutkan wajahnya terlihat agak kesal. Apa dia ingin aku paling tidak mengatakan dia akan lolos, sekalipun hanya asal berucap?

Tapi, mau bagaimana lagi. Aku bahkan tidak tahu siapa lawannya, dan aku juga tidak tahu level skill dari peserta tahun ini.

Walaupun Nona Francesca sudah terbiasa bertarung melawan monster selama perjalanannya, dia tetap sedikit naif. Aku merasa bagian dari kepribadiannya itu akan lebih sering muncul karena kali ini dia berhadapan dengan manusia hidup dan bukannya monster. Monster dan manusia pada dasarnya berbeda. Aku cemas apakah dia akan bisa menembakkan sihirnya melawan manusia. Bahkan Aya dan Koutarou masih ragu-ragu saat melakukannya. Utano-san tidak bimbang tapi dia nantinya merasa depresi. Bahkan aku ingat betapa parah yang kurasakan setelah pertama kalinya menebas seorang pria. Menyakiti orang lain memberikan banyak beban padamu secara mental. Bisakah Nona Francesca mengatasi beban itu?

Kalau dia bisa… …dia mungkin dapat lolos penyisihan.

“Yah, kemungkinannya mungkin akan lebih berpihak padanya hari ini. Kita tidak tahu dengan pasti siapa yang akan menang sampai kita melihat sendiri pertarungannya.” (Renji)

“Aku mengerti.”(Mururu)

[Realistis sekali. Bukannya tidak masalah kalau kau mencoba sedikit lebih optimis untuknya?]

Aku bukan orang yang seperti itu dan kau tahu itu. Aku hanya mengangkat bahuku menjawab Ermenhilde.

Ekor Mururu seperti merosot dan dia merengut karena tidak mendapat jawaban yang dia harapkan. Walaupun dialah yang awalnya menanyakan hal itu.

Mudah mengatakan seseorang akan menang. Tapi, Nona Francesca-lah yang sebenarnya harus bekerja keras. Itu bukanlah sesuatu yang bisa kukatakan begitu mudahnya seperti itu.

Sambil memperhatikan wajah merengutnya yang manis, aku akhirnya melihat bangunan besar muncul di hadapan kami. Dan jalanan utama rasanya jadi semakin penuh dan riuh seiring kami mendekatinya.

Kolosseum. Bangunan silindris yang cukup tinggi sampai-sampai kau harus mendongakkan kepala untuk melihat puncaknya dan saat ini dipenuhi banyak orang. Semua orang berkumpul di sini untuk menyaksikan turnamen laga. Sudah ada lebih dari ratusan orang di sini. Dan turnamen bahkan belum dimulai. Kerumunan akan jadi semakin besar dan besar.

Umumnya, arena adalah tempat di mana para petualang tak beruang, prajurit bayaran, dan orang-orang muda yang bangga dengan kemampuan mereka mempertaruhkan nyawa bertarung di sini untuk mendapatkan uang. Mereka bertarung melawan manusia, demi-human, beastman, dan bahkan monster tangkapan di sini. Meski begitu, monster yang disertakan hanya yang berlevel rendah seperti goblin, kobold, dan Orc. Dan hanya dalam pertarungan satu lawan satu. Walaupun satu lawan banyak adalah pertarungan yang paling populer di antara penonton. Di dunia ini yang kekurangan cara mendapatkan hiburan, hal-hal berbahaya seperti itu adalah satu-satunya cara untuk membuat mereka merasa sangat bersemangat. Kalau kau menang, hadiahnya besar, kalau kau kalah, kau akan terluka parah. Kau bahkan bisa saja tewas. Tempat seperti itulah yang kami tuju. Yah, yang kuberikan barusan adalah contoh ekstrim, sih.

Normalnya, sangat langka ada orang yang bertarung sampai mati. Melawan manusia, selama kau bilang ‘Aku menyerah!’, pertarungan selesai. Dan sekalipun kau tidak melakukannya, wasit sering akan mendeklarasikan pemenangnya dan itu akan mengakhiri pertandingan sebelum ada keharusan bertarung sampai mati. Mereka yang siap untuk benar-benar mempertaruhkan nyawa dan bertarung melawan monster adalah sekumpulan orang yang amat sedikit dan sangat putus asa. 

“Jadi, apa pendapatmu soal ini, Feirona?” (Renji)

“Kuharap dia menang, sungguh. Francesca sudah benar-benar bekerja keras untuk ini.” (Fei)

Begitu, ya. Apa hanya aku yang terlalu keras?

Sambil berpikir begitu, kami bergabung dengan barisan orang juga. Aku bisa bebas masuk untuk diriku sendiri, aku merasa tidak enak hati membiarkan orang-orang ini menunggu antrian. Saat memperhatikan sekeliling, aku melihat ada banyak orang yang hanya melihat mereka yang sedang menunggu untuk masuk ke dalam arena. Selain itu ada banyak lapak di sini daripada di jalan utama.

“Rasanya menyakitkan kalau kerja kerasmu tak terbayar.”

“……Yeah.”

Aku merasakan kelembutan tertentu dari kata-kata Feirona. Apakah itu berasal dari pengalaman pribadi? Atau dia ternyata telah mengembangkan rasa kesetiakawanan dengan Nona Francesca saat bepergian dengannya? Apapun itu, pria elf ini sepertinya mengharapkan kemenangan Nona Francesca. Dan juga Mururu. Mereka ini benar-benar mulai jadi akrab. Melihat hubungan mereka yang hangat ini, aku pun tersenyum. Sadar akan hal itu, aku menyembunyikan mulutku dengan tangan kanan tapi si Elf bermata tajam mengalihkan pandangannya seakan dia tidak melihatnya. Aku penasaran apa dia merasa senang atau malu.

“Oh iya, apa kalian tidak ikut?” (Renji)

Mendadak teringat, aku bertanya begitu. Aku tahu bahwa Feirona maupun Mururu sama-sama lebih berkemampuan daripada petualang biasa. Mereka mungkin tidak akan menang sampai akhir tapi mereka bisa saja cukup jauh dalam turnamen.

Tapi, menyadari pikiranku, Feirona menggelengkan kepala. Mururu hanya lanjut makan hotdog-nya. Gadis ini benar-benar memprioritaskan makanan lebih dari apapun, ya…

“Aku tidak suka menarik perhatian.” (Fei)

“Aah, aku benar-benar mengerti maksudmu.” (Renji)

[... …Dan kenapa kalian tidak ada masalah dengan itu?]

Ermenhilde menghela napas jengkel pada kami berdua. Aku sudah biasa tapi langka bagi Feirona untuk mendapatkan reaksi yang sama denganku dari Ermenhilde.

“Renji tidak akan muncul?” (Sol)

“Hm?”

Suara muncul dari seseorang yang tidak terduga.

Solnea, yang sedang makan seperti Mururu, bertanya padaku. Aku tidak kaget, tapi ini agak tidak biasa. Kupikir dia tidak akan merasa tertarik dengan hal semacam itu. Yah, kalau begitu jangan bawa dia ke tempat seperti arena. Aku merasa seseorang akan mengatakan itu padaku. Terserahlah. Aku tidak boleh melepaskan pengawasan pada gadis amnesia, ya ‘kan?

“Sudah diputuskan kalau aku akan ikut. Di pertandingan utama hari kedua walau begitu.” (Renji)

Turnamen dibagi menjadi dua hari. Hari pertama adalah pertarungan tim. Dan hari kedua adalah turnamen satu lawan satu dengan babak kualifikasi dimulai dari babak penyisihan hari ini dan kami para pahlawan yang dipanggil pun termasuk. Paling tidak, senjata yang kami gunakan bukanlah pedang suci atau iblis tapi pedang latihan bermata tumpul. Aya seharusnya juga agak dibatasi itu.

Seperti yang Utano-san inginkan, akan sangat bagus kalau kami bisa menarik banyak kerumunan orang untuk menonton pertunjukkan.

“Aku mengerti.” (Sol)

“Kenapa, apa kau tertarik dengan hal seperti ini?” (Renji)

“Maksudnya?” (Sol)

“Turnamen, arena, pertarungan pada umumnya. Apa kau tertarik dengan hal semacam itu?”

Berkata demikian, aku melihat ke arah pintu masuk arena. Solnea juga mengikuti arah tatapanku dan melihat ke sana. Tapi, dia diam saja. Tidak mendapat balasan, setelah beberapa waktu aku kembali menatap Solnea tapi menemukan dirinya yang sedang menatapku. Aku masih tidak merasakan gelombang emosi apapun darinya. Pandangannya masih seperti sedang melamun. Sebenarnya, terus ditatap seperti dari jarak dekat membuat degup jantungku sedikit meningkat.

“Tidak, tidak juga.” (Sol)

“Aku…mengerti… …” (Renji)

Merasa sedikit malu karena tatapan langsungnya, aku kehilangan kata-kata untuk sesaat. Pada saat itulah, Mururu yang sejak tadi makan sampai sekarang mendongak melihatku.

“Wajahmu merah.” (Mururu)

“Hanya imajinasimu.” (Renji)

Fufufu, sekarang hari yang panas untuk akhir tahun ini, ya?” (Fei)

[…….Cih.]

Kalian benar-benar akrab, ya. Seseru itukah meledekku? Sial. Menggaruk pipiku yang terasa seperti akan kram, aku mengalihkan pandangan. Melihat itu, Solnea hanya memperhatikan kami dengan kebingungan. Kurasa dia sekedar sedikit penasaran tentang pertarungan dan karena itulah dia bertanya begitu. Tidak ada alasan lain di balik itu, mungkin. Aku cuma bereaksi berlebihan melihat dia berkata begitu, itu saja. Dan pada pandangannya juga.

Entah kenapa, aku jadi salah tingkah saat ditatap lekat-lekat seperti itu. Apa karena aku kurang percaya diri? Karena aku merasa mereka akan melihat orang seperti apakah Yamada Renji?

“Tapi, Renji. Aku tertarik melihatmu bertarung.” (Sol)

“Baiklah, aku mengerti. Yah, aku akan mencoba berjuang keras dalam pertarunganku, jadi pastikan untuk menikmatinya.” (Renji)

Meski demikian, lawanku adalah Souichi. Sekedar berjuang tidak akan membuatku menang, tapi aku tidak berniat untuk menyerah bahkan sebelum memulainya. Untuk awalnya, paling tidak aku akan mencobanya.

[Tidak biasanya. Kupikir kau akan sangat enggan melakukan hal semacam itu?]

Aku penasaran apa yang dia pikirkan tentang aku saat Ermenhilde berbicara dengan nada agak kaget. Normalnya, di saat-saat seperti ini, aku biasanya akan mengatakan sesuatu yang menyedihkan dan Ermenhilde akan mengomeliku. Begitulah yang biasanya terjadi.

Bahkan aku berpikir begitu. Aku tidak suka menarik perhatian, dan aku pun juga tidak suka menggunakan Ermenhilde dalam turnamen. Dalam situasi di mana keuntungan dari cheat untukku hampir minimal, kekuatanku hanya sedikit melebihi petualang biasa. Bahkan sekalipun aku melawan Souichi dengan menggunakan pedang latihan, hanya ada sedikit kesempatan bagiku untuk menang. Seperti yang Ermenhilde katakan, aku mungkin mengerahkan sedikit usaha dan kalah dengan cepat lalu selesai. Paling tidak, aku tidak akan mengatakan sesuatu seperti ‘Aku akan bekerja keras’.

[Aku mengerti, aku mengerti. Bagus.]

Kemudian menyusul adalah suara sangat senang dari Ermenhilde. Biasanya ketika aku mendengar itu, aku akan asal bicara dan menggodanya, tapi entah kenapa aku tidak bisa mengatakan apapun. Karena aku tahu apa yang Ermenhilde sedang pikirkan dengan sangat mudah. Dia hanya tulus merasa senang bahwa aku memutuskan untuk bekerja keras. Bagaimanapun, dia telah mengatakannya padaku untuk sekian lama. Dalam artian berbeda dari tatapan Solnea, aku menutup mulutku.

Tapi kali ini, tidak ada satupun yang sepertinya menyadari reaksiku. Aku memperhatikan dengan melamun kerumunan yang berkumpul di depan arena. Dan Solnea terus menatapku.

“Ada apa?”(Renji)

“Kau orang yang menarik.” (Sol)

Hanya berkata begitu, dia kembali melahap tiruan hotdog-nya. Tidak dapat memahami apa yang sebenarnya dia maksudkan dengan itu, aku hanya bisa memiringkan kepala dengan bingung.

[Seperti biasa, dia gadis yang aneh.]

Yang benar saja.