Terkoyak
(Translator : Hikari)
"Kalau kau akan dibaptis sebagai anak Karstedt, kau akan memerlukan nama baru," Pastor Kepala mengusulkan, memecah keheningan yang turun ke ruangan ini. Aku mengerjap bingung, tidak mengikuti logikanya.
"Nama baru?"
"Ya, namamu saat ini tidak kedengaran begitu bagus," Sylvester menyetujui.
Kelihatannya para bangsawan perlu memiliki nama yang panjang, bukan yang pendek, yang berarti semua bangsawan yang akan kutemui dalam waktu dekat berlawanan dengan keinginanku akan memiliki nama-nama yang panjang. Sejujurnya, aku tidak yakin bisa mengingat semuanya.
Tapi aku mengingat semua nama-nama dewa yang panjang-panjang, jadi mungkin aku akan baik-baik saja? …Paling tidak, kurasa akan bisa begitu.
“Idealnya, itu akan jadi sesuatu yang bisa disingkatkan menjadi ‘Myne’ sebagai nama panggilan. Itu akan membantu menjelaskan pada semua orang dari Firma Gilberta yang menggunakan nama lamanya secara tidak sengaja. Myne, ada pilihan yang kau sukai?” tanya Sylvester.
Aku mencoba memikirkan nama baru yang memadukan “Myne”, tapi sayangnya, tidak ada yang langsung muncul di pikiranku.
“...Yang bisa kupikirkan hanyalah nama-nama parah seperti ‘Mynenigou’, ‘Aratamyne’, dan ‘Akaimyne’.”
“Itu semua kedengaran aneh. Kurasa tiap nama itu punya arti tertentu untukmu?” Pastor Kepala bertanya dengan wajah berkerut bingung. Seperti yang dia duga, aku menggunakan bahasa Jepang dari masa-masaku sebagai Urano, jadi tidak ada yang mengerti apa yang sedang kukatakan.
“Itu berarti ‘Myne Kedua’, ‘Myne Baru’, dan ‘Myne Merah’, secara berturut-turut.”
“Kenapa ‘Myne Merah’ jadi salah satu saranmu? Warnamu seharusnya biru berdasarkan kelahiranmu, biru tengah malam berdasarkan warna rambutmu, atau emas berdasarkan matamu. Darimana kau mendapat merah itu?”
“Aku sendiri tidak begitu mengerti, tapi versi merah biasanya cenderung seperti lebih kuat, atau lebih cepat.”
Sylvester memberiku tatapan aneh, tapi aku mendasarkannya pada sesuatu dari teman masa kecilku katakan di kehidupanku sebagai Urano, jadi aku sendiri tidak begitu paham konsepnya. Ibuku sendiri benar-benar yakin dengan tren “pakaian dalam merah keberuntungan”, jadi mungkin itulah salah satu alasan aku secara tidak sadar menghubungkan warna itu dengan kekuatan.
Kebetulan, pakaian dalam merah seharusnya bagus dipakai saat pertaruhannya tinggi. Ibuku pernah memberiku sepasang untuk ujian masuk kuliah, tapi aku terlalu malu dengan rasa sayang keibuannya jadi aku tidak memakainya. Meski begitu aku beruntung lulus dari ujian itu, dan hal itu membuat keyakinan ibuku dengan pakaian dalam merah menjadi semakin dalam. Aku sebenarnya memakai pakaian dalam biru terang waktu itu.
Maaf aku telah menjadi anak yang nakal.
Sementara pikiranku melantur ke mana-mana, mata Sylvester melebar kaget mendengar pernyataanku. “Tunggu sebentar! Akulah yang bingung di sini. Merah adalah warna kekuatan?! Jika kita berbicara tentang kekuatan, warna apalagi selain warna biru, warna suci dari Leidenschaft?!”
Karstedt menumpukan sebelah tangan di dahinya, dan wajahnya terlihat sedikit muram. “Merah adalah warna suci dari Geduldh, sang Dewi Tanah. Itu mewakili kehangatan dan rasa belas kasihan, yang mana berkesan kewanitaan, tapi tidak seperti apa yang sepertinya kau pikirkan.”
…Yeaaaah, oke. Kurasa itulah yang terjadi saat kau memiliki dua kebudayaan yang berkembang sendiri-sendiri.
Tujuanku adalah menggambarkan diriku yang baru, lebih kuat dan lebih sehat daripada sebelumnya, tapi itu tidak sampai pada orang lain.
Pastor Kepala memelototiku, mengetuk seruas jari ke pelipisnya. "Kau seharusnya tahu bahwa kekuatan dan kecepatan sangat tidak sesuai untuk nama wanita. Kurangnya akal sehatmu ini membuatku kembali terkejut. Perlukah aku mengingatkanmu bahwa ini adalah nama yang akan kau gunakan selama sisa hidupmu? Berpikirlah lebih keras, bodoh."
"...Maaf. tapi sejujurnya, aku sama sekali tidak tahu nama seperti apa yang biasanya para bangsawan miliki, atau dengan cara apa mereka diberikan, jadi aku bisa dibilang benar-benar tidak tahu harus bagaimana."
Saat memikirkan nama di Jepang, kami terkadang meminjam sebagian dari nama orang tua, meminta kuil lokal untuk memutuskan, atau mendasarkan nama itu pada tradisi pribadi keluarga. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana nama ditetapkan di sini, dan ketika aku menanyakan detailnya, Sylvester, Karstedt, dan Pastor Kepala kelihatan kebingungan.
"Beberapa orang mengambil nama mereka dari leluhur atau orang-orang hebat dalam sejarah, tapi tidak benar-benar ada aturan apapun di balik itu," Sylvester menjelaskan. Aku mengangguk, merasa tertarik, saat Karstedt mengelus dagunya sambil berpikir, kemudian mengangkat kepala untuk menatapku.
"Jika kita meminjam dari nama salah satu orang tuamu…bagaimana jika kita mengambil inspirasi dari "Roze" di "Rosemary" dan menamaimu 'Rozemyne'?"
"Wow! Itu terdengar seperti nama seorang gadis bangsawan. Aku sangat suka itu. Terdengar lebih manis dan feminim daripada apa yang bisa kupikirkan."
"Nampaknya kau akan harus bekerja keras mengembangkan selera estetikamu yang lebih baik, Myne," kata Pastor Kepala sambil tertawa kecil sebelum berdiri. Kelihatannya dia akan menulis kontrak sihir untuk mengubah namaku dan kontrak yang didiskusikan sebelumnya sebelum orang tuaku tiba.
Tidak lama setelah dia selesai, kami mendengar suara denting bel kecil di luar.
"Masuklah," Pastor Kepala mengizinkan, dan seorang pelayan yang telah menunggu di luar membuka pintu. Fran memandu pengunjung itu ke dalam saat Arno mengumumkan kedatangan mereka dengan kalimat-kalimat panjang bangsawan. Tuuli berpegangan tangan dengan Ayah, dan Ibu sedang menggendong Kamil dengan kain gendong.
“Myne!" Tuuli melepaskan tangan Ayah dan berlari ke arahku, terlihat berseri-seri saat melompat ke pelukanku.
“Tuuli,” aku balas memeluknya, dan setelah mendekap erat, dia melepaskanku dan mulai memastikan aku tidak terluka sedikit pun.
“Dad benar-benar luka dan dia datang menjemput kami dengan wajah menyeramkan. Dia bahkan minta Ibu membawa Kamil ke biara, jadi aku benar-benar takut ada sesuatu yang terjadi padamu, Myne. Aku senang sekali kau selamat.”
Tuuli, dengan sangat polosnya, merasa senang aku selamat, tapi Ibu paham situasinya begitu dia melihat Pastor Kepala dan bangsawan lainnya di ruangan ini. Dia memejamkan mata dengan kesedihan yang mendalam sambil berlutut, Kamil dalam gendongannya.
“Tuuli, ada para bangsawan di sini. Kau harus berlutut,” kata Ayah, menempatkan sebelah tangannya ke bahu Tuuli sambil dia sendiri melakukannya. Tuuli mengerjapkan mata dengan bingung dan melihat sekeliling ruangan, dan begitu dia melihat ketiga pria berpakaian mewah yang sedang duduk dengan tenang di kursi, dia pun buru-buru berlutut.
“Arno, Fran—pergilah.” Pastor Kepala mengosongkan ruangan, menyuruh pergi para biarawan abu-abu yang telah memandu keluargaku ke dalam. Pintu pun ditutup rapat, dan Sylvester—pemegang otoritas tertinggi di ruangan ini—dengan santainya melambaikan tangan.
“Duduklah. Aku mengizinkan kalian bicara.”
“Sebuah kehormatan bagi kami, tuan.” Ayah memberikan salam prajurit sebelum duduk di kursi. Ibu melakukan hal yang sama, berjalan dengan lesu ke kursi yang kosong. Tuuli melihat sekeliling dengan gelisah, merasakan ketegangan di udara, kemudian duduk di sebelahku.
Sylvester menyilangkan kaki dan menghela napas sebelum mulai berbicara. “Situasi mendesakku untuk mengadopsi Myne dan membuatnya menjadi puteriku.”
“...Saya mengerti.”
“Buatlah seakan-akan Myne si rakyat jelata telah mati di sini.”
Tuuli langsung menegakkan kepala dan melihatku, wajahnya memucat. “Apa ini karena salahku?! Kau diserang karena aku datang menjemputmu, ya ‘kan?!”
“Tidak, Tuuli. Penjahatnya ada di dalam biara selama ini, jadi aku akan tetap diserang sekalipun kau tidak datang menjemputku.” Aku berusaha keras menjelaskan situasinya sebaik mungkin supaya Tuuli tidak menyalahkan dirinya sendiri. Aku memberi tahu dia bagaimana situasinya jadi semakin berbahaya sampai-sampai aku harus menyerang seorang bangsawan, yang mana merupakan sebuah kejahatan yang bisa membuat keluarga dan para pelayanku berada dalam bahaya juga. “Jika harus menyalahkan seseorang, adalah aku yang membuat kalian semua terlibat dalam hal ini… Itu menakutnya, ya ‘kan Tuuli?”
“Itu memang menakutkan. Memang, tapi…adopsi…?” Tuuli menatap lantai, air mata berlinang dari matanya. Aku mengulurkan tangan dan mengelus rambutnya.
Sylvester menatap Tuuli, ekspresi meringis perih melintas sesaat di wajahnya sekilas saja sebelum dia berbicara tenang dengan ekspresi keras seorang archduke. “Myne perlu menjadi puteri seorang bangsawan tingkat atas supaya aku bisa mengadopsinya. Kalian, keluarganya, memperumit hal itu. Aku mempertimbangkan untuk mengeksekusi kalian semua untuk menghindari masalah yang akan muncul, tapi karena itu tidak diragukan lagi akan membuat Myne hilang kendali, aku memutuskan untuk menyelamatkan nyawa kalian. Akan tetapi, itu tidak mengubah fakta bahwa kalian tidak bisa bertemu lagi sebagai keluarga.”
Pernyataan tegas Sylvester membuat semua orang di keluargaku tersentak kaget. Mereka menatap dia dengan mata terbelalak dan bibir gemetar.
“Lokakarya Myne akan tetap ada dan menghasilkan kertas, buku dan barang-barang lainnya. Dia juga akan tetap memiliki kamarnya di biara, jadi jika kalian menandatangani kontrak ini, kalian akan bisa menemui dia untuk urusan bisnis. Hanya itu yang bisa kuizinkan.” Sylvester mengeluarkan sebuah kertas sihir yang digunakan sebagai kontrak sihir kami—itu adalah salah satu kontrak yang baru saja Pastor Kepala selesai buat. “Myne, bacakan ini untuk mereka. Mereka akan lebih mempercayaimu daripada siapapun dari kami.”
Sebagian besar rakyat jelata tidak bisa membaca, yang membuat banyak kasus di mana orang-orang terpedaya untuk menandatangani kontrak yang merugikan. Aku telah mendengar bahwa bahkan ada pedagang yang menderita kerugian besar akibat tidak mengerti kalimat eufimisme yang para bangsawan selipkan dalam kontrak mereka. Karena itulah penting bagi kaum yang buta huruf untuk memiliki seseorang yang bisa mereka percaya untuk membacakan bagi mereka.
Aku berdiri dan menuju ke bagian meja di mana pena dan tinta dibariskan. Sylvester, Karstedt, dan Pastor Kepala berada di sisi kiriku, sementara keluargaku di sebelah kananku. Aku mengambil kontrak itu sambil memperhatikannya, kemudian mengerutkan wajah; rasanya sangat menyakitkan, begitu menyakitkan bahwa aku harus membacakan sebuah kontrak yang akan membuatku terpisah dari keluargaku.
“Myne akan diumumkan telah meninggal. Dengan demikian, tidak satu pihak pun bisa mengakui satu sama lain sebagai keluarga apabila mereka sampai bertemu. Myne harus diperlakukan sebagaimana memperlakukan seorang bangsawan. Demikianlah isi dari kontrak ini.” Aku menaruh kertas itu di meja dan memandang Tuuli, yang sedang duduk paling jauh dariku, mulai menangis lagi.
“Kalau aku tanda tangan ini, apa itu artinya kau tidak akan jadi adikku lagi, Myne?”
“Kita tidak akan menjadi kakak beradik lagi meskipun kau tidak menandatangani ini.” Kontrak ini pada dasarnya ada hanya agar kami dapat terus saling bertemu; adopsiku akan tetap terjadi bagaimanapun juga.
“Aku tidak mau itu!”
“Aku juga, tapi aku tidak mau menempatkanmu dalam bahaya lagi. Kau selamat kali ini, tapi mungkin saja tidak di kali berikutnya. Mereka mungkin akan mengincar Ibu dan Kamil. Semuanya karena aku…”
Raut wajah ngeri melintas di wajah Tuuli yang sudah memucat. Dia pasti teringat rasa takut yang dia rasakan ketika diculik. Belum lama waktu berlalu sejak sebilah pisau ditodongkan ke lehernya; sudah jelas dia akan merasa ketakutan.
“Aku tidak mau terus membuat keluargaku dalam bahaya. Tolong mengertilah, Tuuli. Ini demi kalian.”
“Tapi…” Tuuli menggigit bibirnya dan mengerang, tidak bisa setuju denganku. Aku juga ingin menangis. Pandanganku mengabur, dan setetes air mati mengalir ke pipiku.
“Tuuli, kumohon. Tuliskan namamu di sini. Kalau tidak, kita tidak akan bisa bertemu lagi. Sekalipun kita berhenti menjadi keluarga, sekalipun aku tidak bisa memanggilmu kakakku, aku setidaknya ingin terus menemuimu. Aku tidak ingin ini menjadi perpisahan untuk selamanya.”
“Apa?” Tuuli menatapku dengan mata terbelalak, kemudian tiba-tiba berdiri dan berlari ke arahku, air mata mengalir sementara dia berlari. Aku langsung memeluknya.
“Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk membuat buku dan mainan untukmu dan Kamil, ya? Datang dan kunjungi aku di biara dan kamarku. Biarkan aku menemuimu. Aku ingin tahu bagaimana kabarmu.”
“Myne. Jangan menangis.” Tuuli mengeratkan pelukannya dan berbicara dengan nada tertahan, berhenti sesaat ketika dia mencoba memaksa bicara di antara tangisannya. “Aku akan datang… mengunjungimu di biara. Aku akan bekerja keras… dan belajar membaca… jadi aku bisa… membaca bukumu. Mengerti?”
“Uh huh. Aku ingin kau datang berkunjung, dan kemudian membawa pulang mainan dan buku. Kamil tidak bisa datang ke biara sampai pembaptisannya, jadi aku akan membutuhkanmu untuk memberikan dia hadiah-hadiahku.” Aku menatap Tuuli, dan kehangatannya memaksa wajahku yang berkerut menjadi seulas senyuman.
Tuuli mengelap ingus dari hidungnya sambil menanggapi. “Tentu. Aku pasti akan memberikan dia hadiah-hadiahmu.”
“Selain itu, kau ikut lokakarya Corinna, ‘kan? Kalau kau bekerja keras dan menjadi seorang penjahit kelas atas, aku akan memesan bajuku darimu. Aku ingin kau membuatkan pakaian untukku suatu hari nanti, Tuuli.”
Permintaanku memulihkan cahaya di mata Tuuli yang merah membengkak, dan dia mengangguk tegas. “Aku janji. Aku akan membuat pakaianmu, apapun yang terjadi.”
“Aku sayang padamu, Tuuli. Aku sangat bangga memiliki seorang kakak perempuan sepertimu.”
Kami berpelukan erat sekali lagi, kemudian Tuuli menandatangani kontrak sihir sambil sesenggukan. Aku merasa sedikit ironis bahwa huruf-huruf yang dia susah payah pelajari selama musim dingin jadi terbukti berguna di sini.
Dia mengeluarkan pisaunya dan menyayat jarinya untuk membuat cap jari darah. Bagiannya selesai, dia kembali ke kursinya, masih sesenggukan menahan tangis.
“Myne.” Ibu berdiri dari kursinya, menyerahkan Kamil di kain gendongnya pada Ayah. Dia berlutut di sebelahku sementara aku berdiri di sebelah kontrak itu, dan sambil berlutut, dia memelukku dalam dekapan yang hangat. Mungkin karena aroma susu, aku jadi terbungkus dalam aroma manis nostalgik saat aku melingkarkan lenganku di sekelilingnya juga.
“Ibu…” Aku tidak bisa berpikir harus mengatakan apa saat dia terus memelukku erat. Sementara aku berdiri di sana dalam keheningan, Ibu berbisik padaku dengan nada risau.
“Terlalu cepat bagimu untuk meninggalkan orang tuamu.”
“Maaf, Ibu.” Dia memelukku begitu erat sampai-sampai aku bisa mendengar detak jantungnya sementara dia bicara. Dia mengelus rambutku seperti yang biasa dia lakukan saat malam ketika kami pergi tidur, dan mulai memberiku daftar peringatannya yang biasa.
“Jaga dirimu baik-baik, Myne. Kau selalu mudah sakit. Minta bantuan dari orang-orang di sekitarmu saat kau memerlukannya. Dengarkan apa yang mereka katakan supaya kau tidak terus menjadi masalah bagi mereka. Dan jangan langsung menyerbu melakukan semuanya sendirian. Bantulah saat kau bisa, tapi jangan terlalu mengandalkan orang lain. Dan…”
Biasanya aku akan berhenti memperhatikan saat ini, tapi menyadari bahwa aku tidak akan pernah lagi mendengar nasihatnya seperti ini membuat hatiku mencelos. Aku mengangguk, masih memeluknya, dan mendengarkan setiap perkataannya, tapi dia berkata terlalu banyak sampai akhirnya dia hanya mengulang-ulanginya. Itu hampir membuatku tertawa.
“Dan akhirnya, satu hal terakhir.”
“Masih ada lagi?” Aku mendongak dan akhirnya terkekeh sedikit. Senyum Ibu pun luruh, dan aku bisa merasakan air matanya menetes ke wajahku.
“Jangan terlalu memaksakan dirimu. Tetaplah aman dan bahagia. Ibu menyayangimu, Myne. Myne-ku yang berharga.”
“Aku juga menyayangimu, Ibu.”
Ibu memelukku sebentar lagi, kemudian perlahan melepaskanku dan berdiri.
“Ibu, apa kau perlu aku untuk… Apa kau perlu aku untuk menuliskan namamu?” Ayah bisa menandatanganinya berkat pekerjaannya, dan aku telah mengajari Tuuli bagaimana menulis sementara dia belajar di biara. Kurasa Ibu belum tahu bagaimana caranya menulis, tapi dia menggeleng pelan terhadap tawaranku.
“Ibu belajar dengan Tuuli selama musim dingin; Ibu ingin membaca surat-surat yang kau tulis juga. Tidak banyak, tapi Ibu bisa menulis nama-nama semua orang sekarang.” Ibu tersenyum malu-malu dan mengambil pena sebelum menuliskan namanya dan Kamil dengan tangan gemetar. Begitu selesai, seperti Tuuli, dia juga mengecap kontrak itu dengan darahnya.
Ayah berjalan mendekati kami, menggendong Kamil di kain gendongnya; dia mungkin akan menyerahkan Kamil pada Ibu, sementara Ibu tetap berdiri alih-alih kembali ke kursinya.
“Um, Ayah. Bisakah aku menggendong Kamil?”
“Ya.” Ayah melepaskan kain gendong, membutuhkan bantuan Ibu untuk melakukannya karena dia nyaris tidak bisa menggerakkan lengannya, kemudian menyerahkan Kamil padaku.
Aku menggendongnya dengan benar, setelah akhirnya belajar bagaimana melakukannya, dan matanya terbuka ketika aku memandangi wajahnya. Aroma manis bayi Kamil tertangkap hidungku ketika mengusapkan pipiku ke pipinya; aku menarik napas dalam-dalam, kemudian memberi dahi mungilnya sebuah kecupan. “Kurasa kau tidak akan mengingatku, tapi aku akan membuat banyak buku bergambar untukmu. Pastikan membaca semuanya untukku, ya?”
Aku menyerahkan Kamil kembali ke Ibu sebelum dia mulai menangis. Setelah merasa ragu untuk beberapa saat, Ibu membuat sayatan kecil di jari Kamil, kemudian mengecapkannya di nama Kamil sementara dia menangis kesakitan.
Ibu pergi sambil menenangkan Kamil, meninggalkan aku dengan Ayah. Dia memelukku dengan lengan kanannya saja karena luka bakar di sebelah kirinya membuat dia tidak bisa banyak menggerakkannya.
“Ayah, lenganmu tidak apa-apa? Rasanya sakit, ya ‘kan? Maaf… Ayah jadi terluka gara-gara aku.”
“Tidak. Ayah adalah ayahmu, tapi ayah tidak cukup kuat… Ayah tidak bisa melindungimu. Maafkan Ayah, Myne,” Ayah memaksa bicara dengan suara rendah, wajahnya mengerut dengan rasa sesal dan air mata yang mengalir ke pipinya. Saat aku merasakan lengannya mengencang di sekelilingku, aku menggelengkan kepala tanpa henti.
“Tidak, Ayah. Ayah selalu melindungiku sepanjang hidupku. Kalau aku sampai menikah nanti, kuharap dia adalah orang yang kuat yang bisa melindungiku seperti Ayah.”
Mendengarnya, Ayah mengerutkan alis dan menggeleng, sekarang menyengir sambil berkaca-kaca. "Myne, kalau siapapun yang kau nikahi tidak bisa melindungimu, Ayah akan datang dan menghajarnya sendiri."
"Uh huh… Aku tahu Ayah akan selalu ada untukku, Ayah." Aku memeluknya lebih erat, dan Ayah membenamkan wajahnya di bahuku.
“Yah… Ayah selalu ingin mendengar Puteri Ayah berkata begitu, tapi sekarang begitu Ayah mendengarnya dan kau akan pergi, rasanya lebih menyakitkan dibanding apapun."
Ayah telah melindungi dan membesarkanku sepanjang hidup, dan aku tidak bisa berhenti menangis. "Namaku akan berubah, dan aku tidak bisa memanggil 'Ayah' lagi, tapi… aku akan selalu menjadi puterimu. Aku akan melindungi kota ini, dan Ayah, dan semua orang. Pasti."
“Myne.” Ayah mendekapku lebih erat, dan aku tidak bisa menghentikan ledakan emosi dalam diriku. Cincin yang Pastor Kepala pinjamkan mulai bersinar ketika mana-ku mengalir ke dalamnya
“Myne.” Dad squeezed me tighter, and I couldn’t stop the explosion of emotions inside of me. The ring the High Priest had lent me started shining as my mana poured into it.
(Ilustrasi)
“Apa?!”
“Myne!”
Ayah melangkah mundur dengan kaget, melihat antara cincinku yang bersinar dan ketiga bangsawan yang semuanya berdiri dengan tongkat bercahaya di tangan.
“Myne, tahan dirimu!”
“Tidak. Mana-ku meluap karena rasa cinta untuk keluargaku, jadi aku harus menggunakannya untuk mereka,” gumamku. Cincin itu bersinar lebih terang, dan mulutku mulai nyaris bergerak sendiri mengucapkan sebuah doa.
“Oh Raja dan Ratu yang perkasa dari langit yang tak berujung, engkau Dewa Kegelapan dan Dewi Cahaya yang berdaulat; O Kelima Yang Abadi yang berkuasa memerintah alam fana, Dewi Air Flutrane, Dewa Api Leidenschaft, Dewi Angin Schutzaria, Dewi Tanah Geduldh, Dewa Kehidupan Ewigeliebe; kumohon engkau mendengar doaku dan melimpahkan berkatmu.”
Aku perlahan merentangkan lengan, dan sebuah cahaya samar berkibar bersinar dari dalam cincin setiap kali aku mengucapkan nama masing-masing dewa. Aku memperhatikan cahaya mana-ku itu dan terus melanjutkan doaku, agar keluargaku dapat diberkati sebanyak mungkin begitu aku pergi.
“Kupersembahkan hati, doa, rasa syukurku, dan memohon perlindungan sucimu. Anugerahkanlah mereka yang kusayang kekuatan untuk berusaha meraih tujuan mereka, kekuatan untuk menghindari niat jahat, kekuatan untuk menyembuhkan rasa sakit mereka, dan kekuatan untuk bertahan menghadapi ujian dan penderitaan.”
Sebuah cahaya kuning lembut memenuhi ruangan, kemudian mulai menitik turun dari atas seperti keping-keping salju bercahaya. Cahaya itu tidak hanya mendarat di atas keluargaku; aku bisa melihat beberapa terbang keluar dari ruangan, seakan-akan pergi ke orang-orang lain yang berharga bagiku.
“Luka bakarnya hilang…” kata Ayah, mengusapkan sebelah tangannya ke lengan kirinya yang kini bersih tidak terluka.
“Itu adalah kekuatan penyembuhan dari Flutrane.”
“Myne, Ayah bangga mempunyai puteri sepertimu. Gunakan kekuatan yang telah diberikan padamu dengan benar, dan lindungi kota ini.”
“Aku tidak akan menggunakannya untuk apapun yang akan membuat Ayah marah. Aku janji.”
Setelah membenturkan tinju denganku, Ayah beralih ke kertas kontrak dan menandatanganinya, tangannya gemetar saat melakukannya. Dia kemudian menyayat jari menggunakan sebilah pisau dan mengecapkannya ke kontrak, sebelum menundukkan kepala dan menggertakkan gigi.
Aku mengambil pena itu dan memandang keluargaku satu per satu. Tuuli sedang melihatku dengan mata memerah; Kamil tidak lagi menangis, mungkin karena berkatku telah menyembuhkan luka sayatnya; Ibu menangis dalam diam, memeluk Kamil di dadanya sambil memperhatikanku; dan akhirnya, Ayah berdiri di sebelahku, kepalanya tertunduk dan sebelah tangan menutupi matanya.
“Ayah, Ibu, Tuuli, Kamil. Aku sayang kalian semua.”
Di depanku ada dua kontrak: yang satu untuk menghentikanku menyebut mereka sebagai keluargaku, dan yang satu mengubah namaku dari “Myne” menjadi “Rozemyne”. Aku mengetatkan gigi dan menandatangani keduanya dengan cepat, kemudian mengulurkan telapak tanganku pada Ayah. Menangis, tapi tetap teguh, dia membuat sebuah sayatan kecil di jariku untukku, dan aku mencapkan darah yang merembes keluar ke kedua kontrak itu. Dalam sekejap, keduanya meletup menjadi api keemasan dan menghilang, bersama dengan tanda tangan semua orang.
“Kontraknya sudah terikat. Di hadapan kita berdiri Rozemyne, puteri dari seorang bangsawan tingkat atas,” Sylvester berkata sementara keluargaku tersentak kaget karena api yang mendadak muncul. Mereka menatap lantai, kemudian berlutut.
“Kami mohon diri kalau begitu.”
“Tolong jaga diri Anda baik-baik, nona.”
“...Selamat tinggal.”
Sekarang begitu aku menjadi puteri seorang bangsawan tingkat atas, kami tidak lagi bisa bersikap setara. Mereka tidak akan mengerti maksud dari sebuah bungkukkan—kebudayaan di sini tidak berkembang dengan cara yang sama—tapi aku tidak peduli; aku menekuk pinggangku sembilan puluh derajat dan menundukkan kepala, berharap dapat menyampaikan rasa hormat dan terima kasihku sebisa mungkin.
“Terima kasih telah datang hari ini. Aku berdoa dari dalam lubuk hatiku bahwa kita akan bertemu kembali suatu hari nanti.”
Dengan demikian, mereka yang dulu kukenal sebagai keluargaku pun pergi, dan aku, sekarang Rozemyne, tidak bisa mengikuti mereka. Aku sendirian.
0 Comments
Posting Komentar