Jimat Hitam

(Translator : Hikari)


“Novis!” Damuel, dengan ekspresi panik di wajah, mengeluarkan tongkat bercahayanya dan berdiri di antara count dan aku. Sementara dia melindungi sisi kananku dengan sebuah cahaya merah, aku terus mengalirkan mana ke batu Uskup Kepala sementara wajahnya menyeringai yakin atas kemenangannya.

“Kau membuang-buang waktumu,” katanya, tertawa lepas.

Tapi sedetik kemudian, feystone hitam itu mengeluarkan suara retak, dan secercah kecil cahaya kuning mulai bersinar dari dalamnya. Sebuah retakan muncul di permukaan feystone yang mulus, kemudian retakan lainnya.

“...Apa?” gumam Uskup Kepala terguncang. Aku mengabaikan dia, menatap tajam feystone tersebut sambil terus mengalirkan mana ke dalamnya. Batu feystone itu berubah menjadi warna kuning di depan mataku. “...Apa yang terjadi?!”

Warna hitamnya memudar, dan untuk waktu yang singkat berpadu dengan warna kuning di dalam feystone itu sehingga terlihat seperti berwarna emas. Sebuah cahaya terang menyilaukan bersinar lewat banyak retakan-retakan tipis yang banyak itu, kemudian feystone tersebut mulai hancur seperti pasir. Uskup Kepala menyaksikan debu keemasan mengalir melalui celah-celah jarinya, bibirnya gemetar dan matanya lebih lebar daripada sebelumnya ketika dia berusaha mempercayai apa yang baru saja dia saksikan. Sementara itu, aku terus melakukan Penghancuran padanya dengan mana.

“Myne, apa yang sebenarnya ka—Nguh!” Uskup Kepala memelototiku dengan mata memerah, kemudian segera mencengkeram dadanya dan mulai batuk-batuk darah saat Penghancur-ku mengenainya dengan telak. Aku mulai menumpuk lebih banyak mana, tapi kemudian terdengar Damuel mengerang kesakitan.

Aku berbalik menghadapnya dan melihat dia sedang berlutut di tanah, setelah terkena telak salah satu bola mana Bindewald. Dia pasti bahkan telah kehilangan tenaga untuk menggenggam tongkat bercahayanya karena benda itu jatuh dari tangannya dan menghilang begitu saja. Damuel perlahan condong ke depan, seakan mengikuti jatuhnya tongkat, kemudian ambruk ke tanah.

“Sir Damuel?!” Aku berlari mendekatinya. Napasnya tersengal-sengal dan tak sadarkan diri. Bahkan memanggil namanya pun tidak membuatnya bangun—yang dia lakukan hanya mengerang.

“Hmph. Kesatria menyedihkan macam apa yang bahkan tidak bisa menahan serangan mana seukuran itu?” si kodok mengejek, mengeluarkan dengusan.

Damuel tanpa pertahanan sementara dia tidak sadarkan diri. Aku melihat sekeliling mencari bantuan, dan melihat tiga prajurit Pelahap di samping Uskup Kepala, hanya satu yang masih berdiri—dan bahkan dia pun bersusah payah untuk berdiri tegak. Tapi pria ketiga ini dengan cepat ditangani saat Ayah menyambar kepala dan menghantamkannya ke tanah seakan-akan sedang memantulkan bola basket, dan matanya berputar ke belakang saat ambruk tidak sadarkan diri. Ayah kemudian berlari ke arahku, menjaga lengan kirinya yang lunglai.

“Myne!”

“Ayah...”

Fran terluka saat perkelahian, dan sedang terengah-engah sambil bersandar pada pintu yang menuju ke Gerbang Bangsawan; Uskup Kepala sedang berlutut di tanah dan membatukkan lebih banyak darah saat para biarawati abu-abunya kalang kabut di sekitar dengan kebingungan; dan Delia sedang memeluk Dirk yang lemas, membeku di tempat. Satu-satunya yang masih berdiri nyaris tak terluka adalah count dan aku.

Mendadak, di tengah kekacauan ini, pintu menuju ruang Pastor Kepala terbuka. Yang melangkah keluar dari sana adalah dia, meskipun faktanya dia dikatakan sedang tidak ada di tempat. Matanya melebar melihat area bencana di lorong.

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?!” Siapapun akan terkejut saat meninggalkan ruangan mereka dan menemukan sekumpulan orang yang cedera bergelimpangan di lantai, beberapa dari mereka terlihat seperti mayat. Tapi pertanyaan terbesar yang kumiliki adalah kenapa dia tidak menyadari lebih cepat semua keributan yang kami telah buat tepat di depan pintunya. Itulah yang paling membingungkan dari seluruh situasi ini.

“Pastor Kepala, aku yakin bahwa Arno mengatakan kalau kau tidak ada di tempat! Kenapa kau ada di sini?!” tuntut Uskup Kepala, suaranya hampir seperti jeritan. Pastor kepala menatapnya, sama sekali tidak terpengaruh.

“Aku yakin itu sudah cukup membuktikan: Aku menyuruh Arno untuk menginformasikan pada pengunjung manapun bahwa aku sedang tidak ada di tempat. Karena aku pada faktanya tidak benar-benar ada di ruanganku, itu bukanlah suatu kebohongan.” Tidak diragukan lagi kalau dia tadi mengurung diri di ruang kuliahnya. Ruangan itu sama sekali terkunci dari ruangan di luar menggunakan mana, yang mana menjelaskan kenapa dia tidak mendengar kami.

Pastor Kepala mengamati lorong, memperhatikan semua yang bisa dia lihat. Dia menyipitkan matanya sedikit ketika bertemu pandang denganku, jadi aku bersembunyi di belakang Ayah. Mungkin terlihat jelas kalau aku membiarkan mana-ku lepas kendali.

Saat aku menelan ludah, gemetar takut akan diikat di kursi dan dikuliahi tentang teror kulit yang mendidih, Pastor Kepala mengusap pelipisnya dan beralih pada Uskup Kepala. “Sudah cukup tentang diriku, Uskup Kepala. Aku ingin kau menjelaskan apa yang telah terjadi di sini. Kita sepertinya mendapat seorang pengunjung yang tidak pernah kulihat sebelumnya, dan aku harus bertanya siapa dia sebenarnya.”

Uskup Kepala tidak berusaha untuk menjawab pertanyaan Pastor Kepala, dan sebaliknya hanya mengatupkan bibir dan balik memelototinya.Tongkat bercahaya telah menghilang dari tangan Bindewald, dan dia memandang Pastor Kepala dengan ekspresi congkak seorang bangsawan.

“Apakah ada perlunya bagiku memberitahukan namaku pada seorang biarawan? Aku di sini berdasarkan otorisasi yang sesuai.”

“Aku ingin melihat izinmu.”

“Dan mengapa aku harus repot-repot menghabiskan waktuku berurusan dengan seorang Pastor Kepala semata?”

Aku tadinya berpikir bahwa Pastor Kepala adalah seorang bangsawan dengan status yang cukup tinggi dilihat dari caranya berurusan dengan Ordo Kesatria, tapi Bindewald berasal dari duchy lain dan memandangnya hanya seorang biarawan biasa lainnya—tidak peduli apakah dia Pastor Kepala atau bukan. Keangkuhannya mungkin secara penuh dan, kelihatannya terpengaruh oleh hal itu, Uskup Kepala mendapatkan kembali seringaian percaya dirinya. Dia berdiri dan menyeka darah dari mulutnya, wajahnya mengerut setiap kali dia terbatuk.

“Pastor Kepala, dia adalah seorang bangsawan dari Ahrensbach. Jangan katakan jika kau berniat menyebabkan masalah diplomatik sementara archduke tidak ada.”

“Aku yakin kaulah orang yang telah menyebabkan masalah diplomatik. Archduke sedang tidak ada di tempat karena menghadiri Konferensi Archduke, yang berarti dia tidak dapat menandatangani izin apapun untuk bangsawan dari luar,” Pastor Kepala membalas dingin.

Uskup Kepala goyah dan melihat sekeliling. Ketika pandangannya jatuh padaku, bibirnya menyungging menjadi seulas cengiran licik.

“Di-Dia diberikan izin jauh-jauh hari. Dengan demikian, peristiwa ini bukanlah tanggung jawabku. Myne-lah yang mengganggu kedamaian biara dan menyerang seorang bangsawan. Jika ada yang harus bertanggung jawab untuk hal ini, itu adalah dia. Tangkap dia sekarang juga atas tuduhan pembangkangan terhadap bangsawan.” Uskup Kepala menudingkan jarinya dengan penuh kebencian padaku saat dia mencoba untuk mengalihkan kesalahan. Kemudian dia menatap di antara dua tangannya dan darah yang berceceran di lantai. “Co-Coba lihat saja ini. Dia menyerangku tidak hanya sekali, tapi dua kali. Ini bukanlah hal yang akan dia lakukan tanpa niat jahat. Dia harus bertanggung jawab penuh untuk hal ini,” geramnya, ludah bermuncratan dari mulut.

Bindewald, mengangguk menyetujui, mendukung Uskup Kepala. “Benar, dan dia juga menyerangku. Seorang rakyat jelata semata yang berpakaian jubah biru yang tidak sepatutnya telah melancarkan mana padaku, seorang bangsawan. Dari semua orang, anak ini yang paling patut dihukum.” Bindewald menuding padaku juga, kemudian mengeluarkan suara parau menjijikkan. Itu adalah logika bangsawan yang serupa dengan Shikza dulu gunakan: sama sekali tidak ada rakyat jelata yang diperbolehkan untuk menentang seorang bangsawan.

“Baiklah kalau begitu, Pastor Kepala. Tangkap Myne. Pastikan bahwa dia tidak dapat menggunakan mana-nya,” desak Uskup Kepala.

Pastor Kepala menghela napas sebelum berjalan ke arahku. Ayah menggenggam erat tanganku ketika kami menyaksikan dia perlahan mendekat, dan aku balik menggenggam erat.

“Kulihat kau membiarkan mana-mu mengamuk lagi, Myne.”

“Ada situasi yang mendesak.”

“Sepertinya begitu,” Pastor Kepala bergumam saat menatapku, matanya dipenuhi rasa sedih dan simpati. Lebih dari apapun, itu menunjukkan bahwa dia tidak akan dapat melindungiku.

“...Pastor Kepala, apakah aku akan dihukum karena hal ini?”

“Kau menyerang Uskup Kepala dan seorang bangsawan dari luar, bagaimanapun juga. Kurasa kau, keluargamu, dan semua pelayanmu akan dieksekusi.”

“Maaf, Ayah…” kataku sambil mendongak menatapnya.

Ayah tertawa singkat. “Aku siap untuk mati saat kau pertama kali bergabung dengan biara, dan aku siap untuk mati sekarang. Jangan pikirkan itu.” Tapi aku tetap saja panik.

“Seandainya saja aku menggunakan mana-ku sepenuhnya tanpa menahan diri dan membunuh Uskup Kepala dan si kodok itu sebelum Pastor Kepala keluar. Itu akan menyingkirkan semua bukti,”

Pastor Kepala mengangguk, sekilas rasa perih terlintas di wajahnya. “Sayangnya, karena kau tidak kompeten dan tidak mampu untuk menyelesaikan pekerjaan dengan benar, sudah terlalu terlambat bagimu untuk menyembunyikan buktinya sekarang.”

Pastor Kepala adalah orang yang paling bisa diandalkan dari semua bangsawan yang kukenal, dan bahkan dia pun berkata kalau dia tidak bisa menolongku. Sulit untuk memikirkan orang lain yang dapat membantu.

“Pada akhirnya, jimat dari Pastor Sylvester sama sekali tidak membantu. Kurasa kau tidak pernah bisa mempercayai seorang pria yang berkata bahwa dia akan menolongmu,” aku menghela napas sambil mengeluarkan rantai kalung jimat dari balik jubahku. Masih ada api keemasan yang bergoyang-goyang di dalam batu hitam ini, tapi cuma itu saja. Sama seperti Bindewald dan Uskup Kepala katakan, aku akan dieksekusi karena menentang bangsawan sebagai seorang rakyat jelata semata.

Pastor Sylvester, kau pembohong, pikirku dalam hati sambil memperhatikan kalung itu. 

Pastor Kepala membungkuk untuk melihatnya. Dia mengamati batu itu dengan selama sedetik penuh, kemudian melebarkan mata dengan tidak percaya. “Myne, darimana kau mendapat ini?”

“Pastor Sylvester memberikannya padaku sebagai tanda terima kasih karena membiarkan dia bersenang-senang berburu di hutan kota bawah. Dia bilang ini adalah jimat.”

“Aku mengerti. Harus kukatakan, ini jimat yang sangat bagus. Ini akan membuat semuanya jadi lebih mudah,” kata Pastor Kepala, ekspresi datarnya kini digantikan dengan senyum tipis. Kelihatannya jimat ini sangat kuat sampai-sampai Pastor Kepala percaya diri bahwa dirinya akan dapat mengusir Uskup Kepala dan Bindewald.

Maaf karena meragukanmu dan menyebutmu pembohong, Pastor Sylvester.

Saat aku berterima kasih dalam hati pada Sylvester, Pastor kepala memperhatikan antara Ayah dan aku. “Akan tetapi, ini hanya akan berguna jika kau siap untuk menguatkan tekadmu.”

Aku memandangnya. Jika ada cara untuk menyelamatkan keluarga dan pelayanku, semua yang mendukungku sampai saat ini, maka aku bersedia untuk melakukan apapun itu.

“Menguatkan tekadku untuk apa?”

“...Diadosi.”

“Oleh Lord Karstedt? Jika begitu, aku sudah…”

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Pastor Kepala menggeleng menyela. “Bukan Karstedt. Sylvester.”

Calon ayah angkatku bukanlah Karstedt yang bisa diandalkan, tapi Sylvester si pria kekanak-kanakan yang tidak bisa diprediksi? Pemikiran itu begitu mengejutkan sampai-sampai yang bisa kulakukan hanyalah menatap Pastor Kepala, dengan mataku yang terbelalak lebar dan mulut menganga. Untuk sesaat aku berpikir dia hanya bercanda, tapi mata keemasannya benar-benar serius.

...putri angkat Sylvester? Dia adalah jenis orang yang mencolek pipiku di pertemuan pertama dan menyuruhku berkicau “pooey,” tapi aku sudah cukup bertemu dengannya beberapa kali untuk tahu bahwa dia bukanlah orang jahat. Belum lagi, Sylvester memberiku jimat ini karena dia ingin melindungiku. Jika dia ternyata bisa menyelamatkan keluarga dan pelayanku, aku tidak keberatan menjadi puteri angkatnya.

“...Aku siap. Jika itu berarti menyelamatkan semua orang, aku akan langsung melakukannya.”

“Myne!” Ayah berteriak dengan mata melebar, tapi aku hanya menggeleng kepala.

“Maaf, Ayah, tapi aku ingin melindungi semua orang. Kuharap kau bisa memaafkanku.”

“Hanya itu yang perlu kudengar,” Pastor Kepala berkata, menjatuhkan sebuah cincin bersemat batu kuning ke telapak tanganku. Batu ini lebih besar dari lebih transparan dibanding feystone cincin bukti yang barusan rusak; aku bisa tahu dengan sekilas melihatnya bahwa kualitasnya jauh lebih tinggi.

“Myne, berdoalah pada sang Angin untuk perlindungan. Berdoalah untuk melindungi yang kau pedulikan dari mana-ku.”

“Dari mana-mu, Pastor Kepala?” tanyaku sambil mendongak, dan dia mengulas sekilas seringaian jahat yang tidak pernah kulihat dia lakukan sebelumnya.

“Ya. Jika pintu di sebelah sana terbuka dan mana bocor ke mana-mana, akan sangat merepotkan memperbaiki semuanya. Buatlah perisai angin di sekitar pintu untuk mencegah hal itu. Keadilan ada di pihak kita sekarang, Myne. Yang terbaik adalah kita menggunakan kesempatan ini untuk mengeliminasi orang-orang yang melawan kita.”

Kelihatannya Pastor Kepala luar biasa frustasi dengan situasi yang Uskup Kepala dan si kodok buat. Aku tidak tahu keadilan apa tepatnya yang ada di pihak kami, tapi meski begitu, dia membalikkan badan dengan cengiran senang di wajahnya sebelum berjalan menuju mereka berdua.

“Pastor Kepala, apa kau sudah mengunci mana Myne?” Uskup Kepala bertanya sambil melirik ke arahku.

“Aku memberinya alat sihir,” Pastor Kepala membalas dengan lancar. Alat sihir yang dia berikan padaku adalah untuk menggunakan mana, bukan untuk menguncinya, tapi Uskup Kepala mengartikan balasan itu dengan cara yang paling dia sukai. Ketegangan menghilang dari tubuhnya yang terkena Penghancur dan dia menyeringai congkak.

“Bagus sekali. Aku yakin yang terbaik adalah kita mempercayakan kriminal berbahaya ini pada Ahrensbach dan membiarkan mereka untuk menyingkirkan dia dari duchy ini.”

Pastor Kepala memanggil tongkatnya dengan senyum licik, seakan-akan mengejek Uskup Kepala karena bertingkah sombong seperti biasanya. Dia kemudian mengarahkan tongkatnya pada Uskup Kepala. Ini jelas sebuah ancaman.

“A-Apa yang kau…?”

Pastor Kepala merapalkan sesuatu sambil mengayunkan tongkatnya, yang membuat cahaya melesat keluar dari ujungnya dan melilit Uskup Kepala. Dia terjatuh ke tanah seperti sebuah boneka tak bernyama, kemudian mulai menggertakkan gigi.

“Pastor Kepala! Apa maksudnya ini?!”

“Akan menyusahkan jika kau mati di sini. Itu saja.”

“...Mati?” ulang Uskup Kepala, tertegun dengan kata-kata kasar yang mendadak muncul. Pastor Kepala membalikkan badan dan menghadap Bindewald, yang menunjuk pada tongkat bercahaya Pastor Kepala dengan kepanikan yang jelas di matanya.

“Kenapa seorang biarawan biasa punya itu?!”

“Karena aku adalah seorang bangsawan yang lulus dari Akademi Kerajaan, tentu saja.” Kelihatannya tongkat bercahaya itu adalah bukti kelulusan dari Akademi—sesuatu yang seorang biarawan yang dibesarkan di biara tidak akan pernah dapatkan. Itu bukanlah sesuatu bangsawan dari duchy lain akan tahu, tapi Pastor Kepala tidak dibesarkan di biara; dia adalah seorang bangsawan yang statusnya cukup tinggi, sampai-sampai saat di luar biara, komandan Ordo Kesatria akan berlutut di depannya.

“Mari kita berduel, Count Bindewald?”

“Kenapa kau tahu namaku…?”

“Bagaimana mungkin aku melupakan nama bangsawan luar yang mencoba memasuki kota tanpa izn dari archduke,, hanya untuk dihentikan oleh Ordo Kesatria?” Pastor Kepala tahu semuanya tentang peristiwa itu, termasuk nama Bindewald dan situasinya. Seperti biasa, aku benar-benar terkesan dengan kerajinannya. Adalah hal yang baik mendapatkan dia sebagai sekutu.

“Kau mungkin kau akan aman selama kau bisa meloloskan diri dari duchy ini, tapi kami kini tahu bahwa keadilan ada di sisi kami. Aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu mudahnya.”

“...Keadilan, katamu?”

Aku bisa merasakan Pastor Kepala mengalirkan mana-nya ke tongkat. Bindewald pasti merasakannya juga, karena dia berhenti menatap dan buru-buru mempersiapkan tongkatnya sendiri.

Pastor Kepala mengalirkan mana yang begitu besar jumlahnya ke tongkat miliknya sampai-sampai aku pun terkesiap. Itu mengerdilkan sedikitnya mana yang si kodok itu gunakan sebelumnya.

“Ayah, cepat bawa Sir Damuel ke pintu tempat Fran berada!” teriakku, kemudian bergegas menuju Fran. Dia meringis dan mencoba untuk berdiri ketika aku mendekat. “Jangat bergerak, tetap duduk!” Aku tidak bisa mengenalinya dari jauh, tapi Fran dipenuhi dengan sayatan-sayat kecil dan memar. “Maaf, Fran. Apa kau baik-baik saja?”

“Sayalah yang seharusnya meminta maaf—Saya sama sekali tidak bisa membantu Anda.” Tidak mungkin seorang biarawan abu-abu yang tidak terlatih dalam bertempur dan diajarkan sejak lahir bahwa kekerasan adalah hal yang salah bisa terbiasa dalam situasi seperti ini. Akulah yang salah karena membuat dia terlibat dalam hal ini.

“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau berhasil mendapatkan hanya sedikit sayatan tanpa menghalangiku. Kau memiliki mata yang bagus; dengan latihan yang tepat, kau akan jadi petarung yang baik,”Ayah menghibur Fran sambil membawa Damuel ke pintu.

Aku melangkah ke depan untuk melindungi sehingga mereka semua akan berada di belakangku, kemudian mulai berdoa sambil mengalirkan mana ke dalam cincinku. “Oh Dewi Angin Schutzaria, pelindung segalanya. O kedua belas dewi yang melayani di sisinya…” Aku membayangkan sebuah perisai mengelilingi kami dan pintu saat aku melanjutkan. “Tolong dengarlah doaku dan pinjamkanlah aku kekuatan ilahimu. Berkatilah aku dengan perisai angin, sehingga aku dapat menghempaskan orang-orang yang berniat jahat padaku.”

Dengan sebuah suara logam yang tajam, sebuah perisai angin muncul di udara.

“Myne…” gumam Ayah, tidak pernah melihatku menggunakan sihir sebelumnya. Aku tetap memunggunginya dan terus mengalirkan mana ke perisai angin itu.

Aku akan melindungi mereka, apapun yang terjadi!

Pastor Kepala dan Bindewald masih hanya mengalirkan mana ke tongkat mereka tanpa menembakkan apapun, tapi itu saja sudah cukup untuk menyebabkan percikan-percikan bunga api berterbangan di udara sekitar mereka. Salah satunya mengenai perisai angin dan meletus menjadi ledakan-ledakan kecil.

“Tidak masalah. Aku akan melindungi kalian semua.”

Mana mereka yang membengkak berefek Penghancur pada segala sesuatu di sekitar mereka, dan dengan tanpa perlindungan, Uskup Kepala dan para pelayannya berbaring di tanah sambil gemetar ketika percikan-percikan itu berterbangan di sekeliling mereka. Di tengah-tengah semua itu, Delia mati-matian mulai mencari tempat aman, dengan memeluk erat Dirk. Begitu melihat perisai anginku, dia berdiri dengan kaki gemetar.

“Tolong, Suster Myne! Tolong! Tolong selamatkan Dirk!” teriaknya putus asa. Tapi aku sudah benar-benar kerepotan mengalirkan mana ke dalam feystone cincinku untuk mempertahankan perisai angin dan menahan jumlah mana yang luar biasa banyak yang memancar dari Pastor Kepala dan Bindewald. Melindungi Ayah, Fran, dan Damuel yang tidak sadarkan diri adalah prioritasku; aku tidak punya keleluasaan untuk pergi menolong Delia dan Dirk.

“Datanglah sendiri ke perisaiku kalau kau ingin aman. Aku tidak bisa bergerak.”

Delia mencondongkan diri ke depan untuk melindungi Dirk dari percikan-percikan yang berterbangan, mati-matian menghindari gelombang Penghancur saat dia berjalan mendekat. Langkah kakinya berat seakan-akan dia sedang didorong ke tanah.

“Suster Myne, Anda akan menolong Delia?” Fran bertanya menegurku.

Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak punya keleluasaan untuk menolong dia. Tapi jika dia sendiri ingin masuk ke dalam perisai ini, dia bebas melakukannya.”

“Tapi…” Fran melanjutkan sebelum terdiam, tidak puas.

Aku menurunkan pandangan. Aku bisa mengerti ketidaksetujuannya, dan aku ingat bahwa dia telah memintaku untuk melepaskan Delia, tapi aku tidak merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk meninggalkan mereka menghadapi mana di luar sana dan membiarkan mereka mati bersama. Dirk terutama sudah di ambang kematian, setelah dipaksa untuk melakukan kontrak dan mana-nya dikuras paksa. Dia sama sekali tidak bersalah di sini.

Begitu aku menjelaskan ini pada Fran, dia menelan kembali tegurannya, tapi masih ada perasaan terluka di wajahnya. Yang dia lakukan hanyalah berbisik, “Tolong jangan biarkan dia memanfaatkan Anda.”

Delia mendekat ke perisai, kemudian ambruk kelelahan. Meski begitu hal tersebut tidak cukup untuk membuat dia melepaskan Dirk. Sembari dia duduk dengannya dalam pelukannya, Delia mendongak melihatku, rambut merah menyalanya berkitar di belakangnya. “Saya sangat berterima kasih padamu, Suster Myne.”

“Delia, aku akan mengizinkanmu di dalam perisai ini karena aku tidak ingin melihat satu pun dari kalian yang mati. Tapi itu bukan berarti aku sudah melupakan yang telah kau lakukan. Tolong sadari itu.”

“...Tentu saja.”

Para pelayan Uskup Kepala melihat hal itu dan sepertinya berpikir bahwa sekalipun aku tidak memaafkan mereka, aku paling tidak menyelamatkan nyawa mereka. “Suster Myne, bolehkah kami memasukinya juga?” kata mereka, masing-masing berjalan sempoyongan dan ingin memasuki perisai ini juga.

“Jika kalian bisa memasukinya, maka tentu saja.”

“Kami berterima kasih.”

Tapi dari tiga orang yang mencoba memasuki perisai angin, hanya satu yang berhasil. Dua yang lainnya terhempas mundur oleh angin.

“Kyaah?!”

“Tidaak!”

Delia dan si biarawati yang berada di dalam perisai sama-sama mengerjapkan mata ketika mereka menyaksikan dua orang lain yang terhempas itu.

“Tapi kenapa...?”

“Mereka yang berniat jahat tidak bisa memasuki perisai.”

Bukan salahku kalau mereka terhempas; perisai ini pada dasarnya tidak akan membiarkan siapapun yang berniat jahat pada orang-orang yang ada di dalam perisai untuk masuk. Kedua biarawati itu tadinya berniat jahat entah padaku, karena menyerang Uskup Kepala dengan mana; Ayah, karena memukul sesama biarawati, Jenni; atau Delia dan Dirk, mungkin karena memasuki perisai ini duluan. Aku tidak sesuci itu sampai mencoba menyelamatkan orang yang berniat jahat padaku atau orang-orang yang dekat denganku, juga tidak punya waktu untuk mempedulikannya.

“Sayang sekali mereka tidak bisa masuk, tapi mau bagaimana lagi,” aku bergumam tepat saat Pastor Kepala mengucapkan beberapa kata, mana-nya membengkak luar biasa. Tepat ketika semuanya akan meledak, pintu di belakang kami berderit membuka.

“Kamu menunggu, eh Myne?” kata Sylvester sambil menyengir saat dia dan Karstedt melangkah keluar, tepat saat mana melesat dari tongkat Pastor Kepala dan Bindewald. “A-Ada apa ini?!” pekiknya.

“Kalian berdua, masuk ke dalam perisai! Dan tolong tutup pintunya!” teriakku saat menyaksikan dua cahaya mana yang sangat besar bertubrukan di depan mataku.