Bayangan Pun Turun

(Translator : Hikari)


“Suster Myne, bersediakah Anda untuk mempertimbangkan mengambil pelayan baru untuk menggantikan Delia?”

“Apakah aku harus langsung mencari yang baru?” Aku tidak tinggal di biara seperti yang kulakukan saat musim dingin, jadi sejauh yang kutahu tidak ada alasan yang cukup untuk segera mengganti Delia.

“Lebih cepat lebih baik.”

Sekarang dengan tidak adanya Dirk, Fran bisa tidur saat malam dan mengurus lebih banyak pekerjaan fisik dengan Gil. Rosina, meski begitu, tidak ingin melukai jari-jarinya dengan melakukan tugas rumahan, dan Fran sampai menjelaskan bahwa akan lebih baik bagi semua orang bila Delia segera diganti.

“Jika saya diperkenankan untuk bicara secara terbuka untuk sesaat, saya tahu bahwa Anda masih khawatir tentang Delia dan memiliki kecenderungan untuk bersikap lunak pada orang-orang yang Anda perhatikan. Akan lebih mudah bagi saya untuk merasa tenang jika ada orang lain selain Delia di sini untuk Anda mencurahkan rasa belas kasihan Anda.”

Aku terdiam, tidak bisa menyangkal bahwa hatiku masih terlalu lunak. Dia pasti telah melihatku sesekali memperhatikan sekeliling kamar tanpa tujuan mencari Delia, dan pada akhirnya, Fran benar; lebih penting bagiku berusaha meringankan kecemasan Fran dan Rosina daripada aku yang terus khawatir tentang Delia, yang pergi dan lebih baik tetap pergi.

Aku menghela napas dan menurunkan pandanganku sejenak. “...Jika aku memilih dari biarawati abu-abu, mungkin Monika dan Nicola memungkinkan?” Mereka sama-sama membantu Ella memasak selama musim dingin. Wilma merekomendasikan pelayanan mereka, dan aku sudah tahu bahwa mereka adalah pekerja yang rajin, belum lagi aku bisa   urusan pekerjaan rumahan dan membantu juru masak pada mereka.

Kenyataannya, karena restoran Italia sudah nyaris rampung, semua juru masak kecuali Ella akan segera pergi. Ella ingin tetap tinggal untuk belajar lebih banyak resep, dan aku sudah bernegosiasi dengan Benno untuk membuat itu menjadi kenyataan. Itu merupakan hal yang terbaik lagipula karena kami membutuhkan seseorang untuk mengarahkan juru-juru masak baru yang akan Benno kirimkan. Ditambah lagi, akan lebih mudah bagi Ella untuk bekerja dengan Monika dan Nicola karena mereka sudah saling mengenal.

“Monika dan Nicola? Suster Myne, apakah Anda mampu mengambil keduanya sekaligus?” Fran, mengetahui kondisi keuangan kamarku, membisikkan kekhawatirannya dengan suara rendah. Memang benar bahwa mereka akan sedikit menguras isi dompetku tergantung musimnya, tapi aku sudah mendapat banyak pesanan untuk permainan yang kami buat sebagai pekerjaan tangan musim dingin kami, dan jika buku bergambar terus terjual dengan baik maka aku sama sekali tidak apa-apa.

“Keduanya bekerja keras selama musim dingin, bukan begitu? Seandainya aku hanya memilih salah satu dari mereka sebagai pelayanku maka akan sulit untuk kembali meminta bantuan dari yang satu lagi. Dengan demikian, kurasa akan lebih baik untuk mengambil mereka berdua sekaligus.”

“Saya rasa Anda tidak perlu merepotkan diri dengan perasaan para biarawati abu-abu, Suster Myne.” Rosina mengulas senyum heran, tapi ada sebuah perbedaan besar antara hidup di panti asuhan dan hidup sebagai pelayan. Akan sulit untuk hanya memilih satu saat mengetahui itu.

“Akan lebih mudah beristirahat dengan mereka sebagai pelayan Anda daripada Delia,” Fran menengahi. “Bagaimana jika saya pergi dan memanggil mereka?”

“Silakan. Mereka tidak memiliki pengalaman sebagai pelayan, jadi semakin cepat mereka bergabung, semakin banyak waktu yang akan kita miliki untuk melatih mereka. Fran, apa kau akan punya waktu untuk mengajar mereka?”

Aku ingin mereka mempelajari tugas-tugas mereka sebelum restoran Italia dibuka dan mengambil sebagian besar staff dapur kami, tapi Rosina terlalu cemas tentang melukai jari-jemarinya sebagai teladan yang pantas untuk bersih-bersih. Entah Fran atau Gil yang harus mengajari mereka, tapi akan lebih sulit untuk diatur jika Fran tidak punya waktu.

“Sekarang setelah saya bisa mempercayakan pekerjaan dokumen pada Rosina, saya akan memiliki cukup waktu.”

“Kalau begitu, hubungi Wilma dan kita bisa pergi ke panti asuhan besok.”

Kami menetapkan rencana kami untuk besok, dan di saat itulah ada sebuah ketukan di pintu. Para pelayanku akan masuk tanpa mengetuk, sementara penghuni biara seperti Pastor Kepala dan pelayannya akan menggunakan bel. Satu-satunya orang yang mengetuk pintu adalah Lutz dan Tuuli—orang-orang dari kota bawah.

“Apa itu Lutz? Dia sedikit lebih awal hari ini.” Belum lama berselang sejak bel kelima. Aku mendekati tangga dan mengintip ke lantai satu sementara Fran berjalan turun untuk menyambut tamu tersebut.

Damuel membuka pintu dengan ekspresi tegang. Lutz ada di sana, sesuai dugaan, tapi Tuuli ternyata juga ada bersamanya.

“Mari, silakan masuk.” Fran mempersilakan mereka dua masuk, begitu pintu tertutup di belakang mereka, aku mendengar Gil berseru “Tunggu sebentar!” dari jauh. Fran menunggu dengan pintu terbuka sedikit sampai akhirnya Gil datang berlari ke dalam, terengah-engah.

“Tuuli, ada apa?”

“Kami datang untuk menjemputmu, Myne. Ayo pulang sama-sama.” Tuuli tersenyum saat melihatku cepat-cepat menuruni tangga. “Akhir-akhir ini situasinya berbahaya, ‘kan? Aku akan melindungimu, Myne!” dia menegaskan sambil menepuk dadanya.

Gil menjejakkan kaki dengan mantap dan membusungkan dada seakan-akan sedang berkompetisi dengannya. “Saya akan melindungi Anda, Sister Myne! Saya adalah pelayan Anda!”

“Aku menghargai antusiasme kalian berdua, tapi kurasa ini hanya akan mempersulit pengawalku.” Aku mendongak menatap Damuel, yang akan harus menjaga kami semua anak-anak ini, dan dia mengangkat bahu frustasi.

“...Ya, lebih banyak orang yang harus saya lindungi, maka akan semakin berbahaya.”

“Benar? Tolong maafkan mereka kali ini saja, Sir Damuel. Tuuli tidak mengetahuinya.”

Sekarang tidak mungkin lagi kembali setelah mereka semua sampai. Ini sedikit lebih awal daripada yang diperkirakan, tapi kuputuskan untuk pulang dengan semuanya. Rosina membantuku berganti baju dan cepat-cepat bersiap untuk kepergianku.

“Fran, tolong kirimkan pesan ke panti asuhan. Aku akan segera pulang ke rumah sekarang.”

“Mengerti. Saya menanti Anda kembali dengan selamat.”

Kami meninggalkan biara, menyusuri jalan dengan Lutz dan Gil di depan, aku dan Tuuli di belakang mereka, dan Damuel di belakang kami.

“Aku menghargai niatmu, Tuuli, tapi kau benar-benar tidak boleh menjemputku pulang seperti ini,” aku memperingatkan.

“Kenapa tidak?”

“Jika terjadi sesuatu yang berbahaya, Sir Damuel akan harus fokus melindungiku. Dia mungkin tidak akan dapat melindungi kita berdua sekaligus kalau kau ada bersama dengan kami.” Damuel memang benar adalah seorang kesatria, tapi dia tidak dapat melakukan semuanya. Dan sudah jelas, dia di sini untuk menjagaku, bukan dia; keselamatanku akan menjadi prioritasnya dalam kondisi darurat, dan tidak ada jaminan dia akan bisa menyelamatkan Tuuli jika terjadi sesuatu. Dia mungkin harus mengabaikan Tuuli saat kabur denganku, dan skenario terburuknya adalah Tuuli mungkin dijadikan sandera untuk melawan kami.

“Yang ada, kaulah yang lebih dalam keadaan berbahaya di sini daripada aku.”

“...Baiklah.” Tuuli menggembungkan pipi dan mengerutkan wajah padaku, cemberut. Aku tahu dia ingin mengatakan kalau dia bisa melindungiku juga, tapi wajah imutnya pun tidak akan mengubah fakta ini. Aku yang dalam bahaya adalah hal lain, tapi aku tidak bisa membiarkan Tuuli membahayakan dirinya seperti ini.

Kami melewati alun-alun pusat dan mengarah ke selatan menuju ke Jalan Perajin, kemudian berbelok ke arah rumah kami. Kami mengambil jalan kecil yang lebih sedikit orang daripada jalan utama, dan di sana kami melihat Otto, dari semua orang. Dia sedang memegang sebatang tombak dan melihat sekeliling sambil berjalan, benar-benar seperti sedang berpatroli mengelilingi kota.

“Hai, Otto. Lama tidak bertemu.”

“Myne!” Wajah Otto menjadi cerah begitu melihatku. “Aku senang kau selamat. Sungguh. Sekarang aku tidak perlu khawatir akan dihajar sampai mati oleh Kapten.”

Fakta bahwa inilah reaksinya begitu melihatku begitu mengkhawatirkan. Apa dia sudah melakukan sesuatu yang akan membuat Ayah menghajarnya sampai mati?

“...Otto, apa yang telah kau lakukan?”

“Hei, bukan aku. Itu gara-gara komandan dari gerbang timur dan penjaga yang sedang bertugas,” Otto membalas sambil mengangkat bahu. Kelihatannya dia sedang di dalam ruangan mengerjakan dokumen ketika para penjaga yang berdiri qerbang dan komandan membuat kesalahan yang membuat Ayah pantas untuk menghajar mereka sampai mati; dan dia baru saja dikirim ke sini untuk memastikan mengurus kekacauan mereka. “Itu terjadi siang ini, ketika Kapten menghubungi para komandan dari tiap gerbang lain dan pergi ke pusat kota untuk memberitahu mereka sesuatu yang penting.”

“Apa?” aku membelalakkan mata. Hal penting itu kemungkinan adalah fakta bahwa Archduke sedang tidak ada dan tidak ada izin baru yang diberikan. Aku punya firasat yang sangat buruk tentang apa yang akan terjadi berikutnya.”

Menurut Otto, meskipun Ayah giliran tugas siang, dia harus pergi bekerja di gerbang timur sebelum waktunya untuk berganti giliran. Dia segera pergi ke komandan, menjelaskan situasinya, dan meminta dia untuk mengatur sebuah pertemuan dengan komandan lainnya di pusat kota. Dia sana Ayah mengatakan apa yang Damuel telah katakan padanya—bahwa archduke sedang tidak ada di tempat dan kemungkinan ada izin palsu—sebelum kembali ke gerbang timur.

"Pada saat Kapten kembali, mereka telah membiarkan sebuah kereta bangsawan lewat. Komandan gerbang timur tidak memberitahu apapun pada para penjaga, jadi mereka bahkan tidak pernah mengira bahwa izin masuk itu mungkin saja palsu. Kapten baru mengetahui kesalahan itu ketika tiba waktunya untuk bertukar giliran kerja. Dia meledak marah pada si komandan karena tidak memberi tahu semua penjaga apa yang dia sudah katakan, kemudian lari ke biara untuk memastikan kau baik-baik saja. Kau tidak bertemu dengannya di sana?"

Aku secara refleks mendongak melihat Damuel, lebih mencemaskan tentang fakta bahwa sebuah kereta bangsawan telah dibiarkan masuk daripada fakta bahwa aku melewatkan Ayah di perjalanan ke sini. Matanya membelalak tidak percaya.

“Mereka membiarkan keretanya lewat?! Jangan-jangan, itu adalah kereta bangsawan yang sama dengan tempo hari?”

“Yap. Kau tahu banyak ya—itu memang kereta yang sama. Saat ini semua penjaga di gerbang timur sedang mencari mereka, tapi tidak ada yang menemukan. Mungkin mereka sudah berada di Area Bangsawan? Kurasa kesatria di gerbang utara mungkin sudah menangkap mereka malahan,” Otto berpikir sambil bersuara. Kelihatannya meskipun archduke sudah melarang masuknya para bangsawan dari luar kota ke dalam duchy, tidak semua prajurit merasakan bahaya dan kedaruratan yang sama.”

“Kau tentunya sudah menghubungi Ordo Kesatria?! Damuel berteriak, alisnya naik dalam kemarahan, tapi Otto menaruh sebelah tangannya di dagu dan harus berpikir sebelum menjawab.

“...Entahlah? Mungkin komandan melakukannya. Kapten langsung lari, jadi mungkin mereka belum tahu.”

“Kau seharusnya melaporkan ini secepatnya, bodoh!” Damuel langsung mengeluarkan tongkat bercahayanya sambil berteriak pada Otto yang kurang menyadari situasi genting ini. Dia mengabaikan Otto—yang bergumam “Huh? Tunggu, kau seorang bangsawan?” setelah melihat tongkat tersebut muncul begitu saja—dan menembakkan sebuah cahaya merah yang menandakan permintaan bantuan ke udara.



Para kesatria akan datang sekarang, pikirku dalam hati dengan lega sambil menatap cahaya merah yang melesat ke langit—hanya untuk melihat Tuuli menghilang dari sudut mataku.

“Eh? Tuu—” Sebelum aku sempat berbalik, sesuatu yang kasar menutup wajahku dan membuat pandanganku menggelap. Aku merasakan diriku terangkat ke udara, kemudian melonjak-lonjak naik turun. “Waa?!”

Aku bisa mengetahui dari lengan yang melingkar di kaki dan punggungku bahwa seseorang telah mengangkatku dan mulai berlari. Dalam kepanikan, aku mencoba meronta, tapi hal terbaik yang bisa kulakukan saat terkekang begini hanyalah memukul lemah pada benda kasar apapun ini yang menutupiku. Dinilai dari kilasan-kilasan cahaya yang menyelip masuk lewat lubang-lubang kain di depan wajahku, aku bisa menebak bahwa mereka telah menutupiku dengan karung kemudian mengangkatku.

“To-Tolong…”

“Myne! Tuuli!”

“Kembalikan mereka!”

Aku mendengar teriakan Lutz dan Damuel dari balik kegelapan ini, dengan beberapa pasang langkah kaki yang berderap mengejarku. Tuuli juga telah diculik; aku bisa mendengar apa yang terdengar seperti suara teriakannya. Dinilai dari keriuhan jalan utama yang semakin samar, si penculik kemungkinan berlari ke arah yang berlawanan ke dalam gang.

“Kapten! Myne di dalam karung itu!”

“LEPASKAN PUTRIKU!”

Aku mendengar Otto berteriak, kemudian raungan marah Ayah, dan mendadak tubuhku berputar-putar melintasi udara. Kurasa si penculik telah melemparkanku untuk bertahan dari serangan Ayah. Dalam kegelapan, aku tidak bisa tahu apa yang sedang terjadi, dan tidak bisa berbuat apapun saat aku menghantam tanah berbatu dan berguling di atasnya.

“Ow!”

“Myne!”

“Suster Myne!”

Tepat saat aku mendengar Lutz dan Gil yang memekik panik, karung itu ditarik, memaksaku untuk duduk. Aku mengerjap dalam kegelapan dan beberapa detik kemudian karung pun ditarik membuka, mengembalikan penglihatanku. Cahaya yang mendadak muncul membuatku menyipit.

Aku terus duduk di tanah, memandang sekeliling sambil mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya lagi. Lutz dan Gil mengamatiku sementara Damuel memeriksa sekitar, berdiri melindungi di sebelahku. Di belakangnya ada Ayah, dengan tombak terhunus, dan Otto.

“Di mana Tuuli?!”

“Di sana,” Gil membalas, matanya penuh dengan kemarahan dan frustasi. Aku mengikuti ke mana matanya mengarah dan melihat Tulli sedang disandera—seorang pria menempatkan sebilah pisau di leher Tuuli dan melangkah mundur untuk kabur. Tuuli, matanya terkunci pada pisau itu, membeku sangat ketakutan.

“Ti-Tidak…” dia tercekat, wajahnya pucat pasi sambil gemetar, air mata di menggenang di matanya.

Semua kekuatan sihir di dalamku langsung mendidih, mengalir ke seluruh tubuhku. Dalam sekejap, sesuatu dalam diriku pun patah seperti sebatang ranting.

“Myne?!”

“Suster Myne?!”

Aku perlahan bangkit berdiri. Tubuhku cukup panas untuk mendidihkan air, tapi pikiranku sedingin dan setenang sungai es. Aku telah menghabiskan waktu sekitar setahun di biara mempersembahkan kekuatan sihirku secara rutin, termasuk saat ritual berskala besar, dan kelihatannya aku jadi semakin baik dalam mengendalikan kekuatan sihirku lebih dari yang kupikirkan. Penghancuran yang menyerang apapun yang ada dalam pandanganku saat aku murka terhadap Uskup Kepala, kini dapat diarahkan pada satu target tunggal—instingku membuatku merasa yakin akan hal itu.

“Hei. Kau pikir, apa yang sedang kau lakukan pada Tuuliku?” tanyaku, memelototi si pria yang menekankan pisaunya pada leher Tuuli.

Wajahnya segera berubah. Sebelumnya, wajahnya merah karena marah dan adrenalin, tapi sekarang menjadi ungu gelap seakan dia berhenti bernapas. Dia mencoba meloloskan diri dari Penghancuranku, tapi dia nyaris tidak bisa bergerak sama sekali. Wajahnya menjadi kaku, matanya terbuka lebar.

“Singkirkan tangan kotormu dari Tuuli dan enyahlah dari pandanganku, atau kalau tidak bukan dia yang akan mati di sini—kaulah yang akan mati.” Dunia di sekelilingku menjadi lambat, dan saat pria itu mulai kejang-kejang dengan mulut berbusa, aku perlahan memperkuat tekanan dari kekuatan sihirku untuk semakin menyerangnya.

“Ngh... Ah!” Mulutnya bergerak-gerak, dan sedetik kemudian sesuatu yang tajam berdesing melewati udara dan menusuk lengan pria itu.

“Apa?” Aku mengerjap kaget, kembali sadar tepat saat Ayah melompat ke pria itu, dengan pisau di tangan. Tidak dapat menghindar karena masih terpengaruh Penghancur, si penculik langsung terkena pisau itu.

“Agh!” Dia berteriak saat darah menyembur dari lukanya. Ayah kemudian mendorongnya jatuh, dan Tuuli jatuh ke tanah saat mereka bergulat.

“Tuuli!”

“Kau tidak apa-apa?!”

Gil dan Lutz segera berlari ke Tuuli, menyeka percikan darah dari pipinya.

“...A-aku tadi takut sekali,” kata Tuuli, duduk di tanah dengan terguncang.

Aku mulai berlari juga, tapi baru saja aku mulai melangkah, aku melihat sesuatu berkelebat di sudut mataku. Aku berputar dan melihat pria lain—orang yang Ayahku hadapi sebelumnya, dan mungkin yang tadi mencoba menculikku—sedang mengangkat tangannya. Ada sebuah cincin di jarinya, dan feystone tersebut berpendar. Aku langsung paham bahwa dia sedang mengalirkan kekuatan sihir ke dalamnya dan melakukan hal pertama yang bisa kupikirkan. Aku menoleh pada Ayah, yang sedang menghajar pria yang satu lagi, dan berseru.

“Ayah! Awas!”

Ayah pun berputar, dan Damuel meraung “Gunther! Mundur!” sambil melompat ke arahnya untuk mendorong dia menjauh.

“Ngh?!”

Setelah mendorong Ayah menjauh, sesuatu seperti perisai muncul di tangan kiri Damuel yang dia gunakan untuk memblokir cahaya sihir yang ditembakkan ke arahnya. Pria itu pastinya tidak mengira bahwa serangannya akan ditahan saat dia menatap Damuel dan melangkah mundur, terguncang.

“Gunther, orang ini memiliki kekuatan sihir. Aku akan mengurusnya! Kalian semua kembalilah ke biara dan peringatkan Lord Ferdinand!”

“Baik! Otto, bawa Myne!” Ayah berseru sebelum menggendong Tuuli, yang kakinya terlalu gemetar untuk berdiri, dan berlari cepat ke jalan utama. Tersentak sadar kembali, Lutz dan Gil berlari mengejarnya. Otto mengangkatku dan juga mengikuti, kembali menuju biara.

“Myne, kau berderah…” Otto meringis bersimpati turut merasakan sakit sambil berlari. Aku mengikuti arah matanya ke lututku, di mana darah mengalir sampai ke betisku.

“Itu pasti terjadi saat aku jatuh.” Tadi rasanya sama sekali tidak sakit karena adrenalin, tapi begitu aku melihat luka tersebut, rasa perih menyengat langsung menyerangku. Darahku ini mengingatkanku pada darah yang menyembur dari pria lain itu.

“...Otto, ini adalah situasi gawat di mana, um, kita sangat membutuhkan bantuan, ya ‘kan?” tanyaku, memperhatikan Ayah, Lutz, dan Gil yang menyelinap melewati aliran orang-orang di jalan utama. Otto pun memekik menanggapi.

“Itu sudah jelas, ‘kan?!”

“Aku hanya mau memastikan tidak akan ada yang marah kalau aku memanggil bantuan.”

Aku menekankan ibu jariku ke lututku yang berdarah, kemudian menarik keluar kalung yang selalu kupakai sepanjang waktu supaya aku bisa mengoleskan darahku ke batu hitam mirip batu onyx itu.

Untuk sekejap, batu itu bersinar kuning terang, tapi tidak ada hal lain yang terjadi; satu-satunya perubahan adalah ada lidah api kuning yang kini bergoyang-goyang di dalam batu hitam itu. Mungkin ini mengirimkan pesan pada Sylvester, atau hanya sebuah alat sihir untuk memberitahu lokasiku. Aku sama sekali tidak tahu meski sudah mengoleskan darahku.

“Benda apa itu?”

“Jimat. Kelihatannya ini akan membantuku saat aku dalam bahaya.” Aku menyelipkan kalung sihir itu kembali ke balik bajuku, masih tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh benda itu. Dan saat itulah kami melewati Firma Gilberta.

“Tuuli dan Lutz, kalian masuklah ke dalam dengan Otto dan diam di rumahnya,” Ayah menginstruksikan sambil menurunkan Tuuli di depan pintu. Lutz mendongak melihatnya, terengah-engah.

“Gunther-san, aku bisa—”

“Kau hanya akan menghambat.” Ayah langsung menampik Lutz sebelum dia sempat meminta untuk ikut pergi dengan kami.

“Tapi Gil ikut!”

“Gil tinggal di biara. Kau berbeda. Kami tidak perlu orang yang tidak bisa bertarung,” Ayah berkata, menghancurkan harapan Lutz sebelum beralih ke Otto dan memberinya tatapan tegas saat aku diturunkan. “Otto, aku percayakan Tuuli padamu. Aku akan membawa Myne ke biara.”

“Kapten, Myne—berhati-hatilah di sana, mengerti?” Otto mengepalkan tinju dan menekuk sikunya. Ayah melakukan yang sama, mengetukkan tinjunya ke tinju Otto.

“Ini akan baik-baik saja; Ordo Kesatria sudah keluar.” Ekspresinya masih mengeras, Ayah menujukan tinjunya ke atas. Kami bisa melihat beberapa tunggangan sihir berpacu di langit, mungkin menuju ke tempat Damuel berada. Kalau begitu, mereka akan sampai di tempatnya tidak lama lagi.

“Ayo, Myne.” Ayah menggendongku dan mulai berlari cepat ke biara.