Kedua Sisi Cerita

(Translator : Hikari)


Saat aku kembali ke kamarku, aku sudah bisa mendengar Delia yang ada di dalamnya memekik "ASTAGA!". Wilma dan aku pun saling bertatapan. Delia biasanya dalam suasana hati yang bagus sejak Dirk muncul sehingga kami tidak pernah lagi pekikan histerisnya ini.

"Saya rasa Anda juga bisa mendengar Delia."

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Mari cepat kembali, Novis,” ajak Damuel dengan ekspresi waspada. Aku mempercepat langkahku secepat yang kubisa ke kamar, di mana aku menemukan Fran dan Delia sedang berdebat.

“Pastor Kepala tidak bisa dipercaya!”

“Beliau patut dipercaya!”

Ini tidak begitu terlihat seperti sebuah perdebatan terlebih dengan Delia yang menggertakkan gigi pada Fran, tapi tetap saja, ini adalah kombinasi langka untuk disaksikan. Aku pun jadi mengerjapkan mata dengan kaget.

“Fran, Delia, apa yang terjadi?” kataku. Kelihatannya tidak ada satu dari mereka berdua yang menyadari kedatanganku karena mata Fran terbelalak lebar. Dia buru-buru meminta maaf, menyambutku masuk ruangan.

“Selamat datang kembali, Suster Myne. Saya minta maaf atas sikap saya yang kurang pantas dilihat ini.”

Kebalikan dari Fran, yang cepat-cepat menenangkan diri, Delia langsung berlari mendekat dan memelototiku tajam, berteriak “Suster Myne! Apa maksudnya ini?!” Aku sama sekali tidak tahu apa yang dia maksudkan.

“Erm, apa yang sedang kau bicarakan?”

“Delia! Kau tidak boleh berbicara seperti itu pada nonamu,” Fran menegur, tapi Delia malah mencengkeram erat-erat bahuku.

“Aku bertanya apa maksudnya dengan adopsi Dirk!”

“Sudah kukatakan berulang kali, Delia, Arno bilang bahwa ide tersebut sudah ditolak. Lepaskan Suster Myne.” Fran melepaskan tangan Delia dariku tanpa membiarkan tampilan tenang di luarnya pudar, tapi aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi, aku benar-benar tidak tahu-menahu.

…Bisakah seseorang….tolong…jelaskan?

Kelihatannya bukan hanya aku yang kebingungan di sini. Wilma juga mengerjapkan matanya dengan kaget pada sikap Fran dan Delia.

Umm, apa yang seharusnya kulakukan dalam situasi ini? Benar, benar. Aku harus mendengarkan cerita dari keduanya. Mengingat apa yang Pastor Kepala pernah katakan padaku sebelumnya, aku dapat mengatasi situasi ini dengan sedikit lebih baik. Aku melihat ke sekeliling, kemudian pertama-tama bicara pada Wilma.

“Wilma, terima kasih telah mengantarku. Kau bisa kembali sekarang. Kalau kau tetap di sini sampai aku selesai mendengarkan mereka berdua, masalah mungkin akan muncul di panti asuhan.”

“Seperti yang Anda inginkan,” balas Wilma, tapi dia menoleh kembali pada Fran dan Delia beberapa kali dalam perjalanannya keluar dari kamarku.

“Suster Myne!”

“Aku akan mendengarkan kalian berdua di lantai dua, Delia, jadi untuk saat ini tolong persiapkan teh dulu.”

Aku menaiki tangga dengan Fran, berharap agar Delia bisa tenang sedikit selama proses mendidihkan air dan berhat-hati menyeduh teh.

Di lantai dua kami menemukan Rosina, yang sedang duduk di depan sebuah harspiel dengan tampang mengantuk di wajahnya. Kami berkontak mata, dan dengan agak goyah dia berdiri untuk menyambutku. “Selamat datang kembali, Suster Myne.”

“Rosina, apa kau tahu apa yang terjadi?”

“Tidak. Delia membangunkan saya, tapi saya tidak mendengarkan detailnya.”

Kelihatannya jeritan Delia telah membangunkan dia dari tidur siangnya. Rosina yang berbicara tidak seanggun biasanya, membuat rasa tidak senangnya terlihat sekalipun dia tidak menunjukkan di wajahnya.

“Kau boleh kembali ke kamarmu untuk beristirahat sedikit lagi, Rosina.”

“Saya rasa begitu,” Rosina berjalan agak goyah saat kembali ke kamarnya.

Aku duduk di kursi yang telah Fran tarik untukku, dan memutuskan untuk mendengarkan kisah dari sisinya lebih dulu. “Maaf, tapi aku tidak mengerti sedikit pun apa yang kalian berdua katakan tadi. Bisakah kau menjelaskan masalahnya, Fran?”

“Di perjalanan kembali dari panti asuhan, Delia berpapasan dengan Arno, yang membawa pesan dari Pastor Kepala, dan mereka berdua datang ke sini. Saya sedang di tengah-tengah waktu istirahat saya, tetapi Delia memanggil saya dan saya langsung merapikan pakaian saya untuk bertemu dengannya.”

Kelihatannya tidak hanya Fran dipaksa bangun saat tidur siangnya sepert Rosina, tapi dia juga dipaksa untuk bertemu dengan Arno dan mendengarkan omelan marah Delia di saat yang bersamaan. Seandainya aku ada di sini tadi, akulah yang berurusan langsung dengan Arno. 

“Aku minta maaf karena tidak berada di tempat.”

“Itu bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan,” kata Fran sambil menggeleng kepala. “Bahkan sekalipun Anda berada di sini, saya lebih senang jika Anda memanggil saya ketika Arno berkunjung.”

Kelihatannya dia merasa perlu mendengar pesan apapun dari Pastor Kepala tidak peduli apakah aku ada di tempat atau tidak.

“Terlebih lagi, jika Arnor benar-benar hanya berada di sini untuk menyampaikan pesan, hal ini sama sekali tidak akan menjadi masalah. Saya tidak mengira Delia meledak marah seperti itu.” Fran melirik ke dapur dan menghela napas. Rasa frustasi terlihat jelas di wajahnya, yang mana adalah hal langka. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku tahu betapa kerasnya Delia barusan.

“Apa pesan yang disampaikan Arno kalau begitu?”

“Bahwa Pastor Kepala mencari seseorang untuk mengadopsi Dirk, tapi pencarian itu sulit dilakukan seperti yang diperkirakan.”

Menurut Fran, Pastor Kepala telah mencari seseorang untuk mengadopsi Dirk, seperti yang pernah kupintakan sebelumnya. Arno datang untuk memberitahu kami bahwa meskipun mereka belum menemukan seorangpun, akan lebih baik bagiku untuk tetap bersemangat dan terus membesarkan bayi itu di panti asuhan.

Aku bisa dibilang sudah menyerah soal adopsi ketika Pastor Kepala mengatakan bahwa bayi laki-laki sangat jarang sekali diadopsi, dan sebagai gantinya aku fokus untuk membuat kontrak dengan Dirk saat diriku sendiri diadopsi oleh seorang bangsawan. Sejujurnya, aku hampir sama sekali lupa tentang meminta tolong Pastor Kepala agar mencari seseorang untuk mengadopsi Dirk.

Wow, itulah yang kusebut integritas.

Aku merasa terkesan setelah mendengar penjelasan Fran, tapi Delia saat itu juga muncul dengan teh dan mendengar hal itu membuat amarah kembali terpicu. Dia menaruh cangkir di hadapanku agak kasar dan kemudian memelototi Fran. "Kenapa dari semua orang, Pastor Kepala yang berbicara tentang seseorang mengadopsi Dirk?!"

Dinilai dari penjelasan Fran, baik dia maupun Arno tidak tahu bahwa Dirk memiliki Pelahap. Sementara itu, kemarahan Delia sepenuhnya terfokus pada titik di mana orang-orang membicarakan tentang Dirk yang diadopsi tanpa sepengetahuannya.

Aku menurunkan pandangan. Pastor Kepala sudah menyuruhku untuk merahasiakan tentang Dirk yang memiliki Pelahap. Bagaimana bisa aku menjelaskan pada Deilia bahwa kami telah mencari seseorang untuk mengadopsi dan menyelamatkan bayi itu dari kekuatan mana-nya sendiri?

“Pastor Kepala pasti memiliki kegemaran memisahkan keluarga! Pertama-tama dia melakukannya pada Suster Myne, dan sekarang dia mencoba melakukan hal yang sama padaku dan Dirk!”

“Berapa kali aku harus mengatakan bahwa Pastor Kepala tidak pernah merasa senang dengan hal ini?! Beliau pasti punya alasannya sendiri.”

Sepertinya dalam kepala Delia, Pastor Kepala adalah orang jahat yang memisah-misahkan keluarga kapan pun dia ada kesempatan. Sulit untuk menyalahkan Fran yang sedikit marah ketika seseorang yang dia hormati dijelek-jelekkan seperti itu.

“Delia.” Aku menghela napas pelan, seakan-akan aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menatapnya. “Tidak ada biarawati abu-abu di sini yang diperlengkapi dengan kemampuan untuk membesarkan seorang anak. Dengan demikian, aku meminta Pastor Kepala untuk mencari seseorang yang mungkin ingin mengadopsinya, karena kupikir dia mungkin akan lebih senang seperti itu.”

Kemarahan Delia langsung beralih padaku. “Apa?! Kau ingin memisahkan kami, Suster Myne?!”

Aku menggeleng dan mengoreksinya. “Bukan begitu. Kau bahkan tidak mau menjaga Dirk pada awalnya, ingat? Kupikir tidak seorang pun yang akan mau.”

Delia sepertinya paling tidak ingat apa yang dia katakan saat itu. Matanya membelalak, dan dia sedikit goyah. “Y-Yah…itu karena dia baru saja datang.”

“Ya, dan di saat dia baru tiba itulah aku berkonsultasi dengan Pastor Kepala.”

Delia terdiam, kemarahannya mereda.

“Tidak ada biarawati abu-abu yang pernah membesarkan bayi, dan tidak ada seorang pun dari kita yang tahu bagaimana sebaiknya kita merawat dia. Tidak ada pengasuh yang bersedia untuk datang ke biara, Fran dan Rosina hampir tidak tidur karena harus menjaganya semalaman, dan pada akhirnya, kupikir jika ada seseorang yang mengadopsi dia mungkin akan menjadi solusi terbaik bagi semua orang.”

Untuk saat ini, Fran dan Rosina paling tidak bisa tidur sebentar saat siang, dan Delia menjaga bayi itu lebih daripada yang dia niatkan sebelumnya, tapi dalam beberapa hari pertama yang membuat putus asa itu, Dirk benar-benar menjadi beban yang luar biasa bagi semua orang. Delia teringat itu, jadi sementara dia menampakkan wajah cemberut tidak puas padaku, dia hanya menggerutu tanpa mengatakan apapun.

“Aku meminta Pastor Kepala untuk mencari seseorang agar mengadopsi Dirk, dan dia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Aku tidak berharap banyak karena dia sudah mengatakan padaku sejak awal bahwa dia kelihatannya tidak akan menemukan seorang pun, tapi dia tetap saja mencari dengan usaha terbaiknya.”

“...Oh, aku mengerti. Aku memahaminya sekarang,” kata Delia sambil mengangguk, bahunya yang tegang pun melemas.

“Aku tidak mengira kau akan menjaga Dirk dengan begitu antusias seperti yang selama ini kau lakukan; sekarang aku senang bahwa tidak ada seorang pun yang kita temukan untuk mengadopsi dia. Arno tadi bilang bahwa kita akan terus membesarkan dia di panti asuhan, bukan begitu?”

“Benar. Pastor Kepala mengatakan agar kita tetap bersemangat dan melakukan yang terbaik dalam membesarkan anak itu,” Fran menambahkan, yang membuat Delia mengerjapkan mata kaget untuk sesaat. Dia kemudian melirik padaku, seakan-akan mencoba menghilangkan sisa-sisa keraguannya yang masih ada di pikirannya.

“...Jadi, kau tidak akan memisahkan aku dan Dirk, Suster Myne?”

“Tentu saja tidak. Aku tahu betapa kau memperdulikan Dirk, Delia, dan aku tahu dengan sangat baik rasa sakit terpisah dari sebuah keluarga.”

“...Syukurlah.” Delia menekankan sebelah tangannya ke dada dan menghela napas lega. “Aku tidak pernah ingin membiarkan Dirk pergi. Dia adalah satu-satunya… satu-satunya keluarga yang pernah kumiliki…”


Sepuluh hari kemudian, Johann telah selesai membuat setrika. Ini adalah hal pertama yang dia selesaikan dari semua hal yang pernah kupesan—mungkin karena itu adalah hal yang paling sederhana dibuat, atau mungkin karena itu yang paling menstimulasi ide kreatifnya. Berkat waktunya yang tepat, aku memutuskan untuk mencoba memperkuat stensil dengan lilin sebelum kami mulai mencetak buku bergambar kedua. Lilin yang sedikit kental tidak akan jadi masalah mengingat kami belum menggunakan map berkas.

“Kita akan bisa mencetak lebih banyak lagi menggunakan ini!” Aku membusungkan dada dengan bangga atas stensil yang diperkuat dengan lilin ini, sementara Lutz hanya bersilang dada dan menelengkan kepala.

“...Hei, Myne, bukannya Pastor Kepala bilang tidak boleh mencetak terlalu banyak? Memangnya mencetak lebih banyak adalah ide yang bagus?”

“Memberi lapisan lilin pada kertas akan membuat kita bisa memakai kembali stensilnya, yang berarti kita bisa mencetak untuk jangka waktu yang lebih panjang.”

“Jangan mengelak dari pertanyaan!” Lutz mengomel, tapi aku tidak ada niatan untuk menyerah atas stensil buku bergambarku. Aku pada akhirnya nanti akan menggunakan alat cetak untuk buku-buku teks berat yang bisa dipindah-pindah, tapi ilustrasinya harus dibuat ulang.

“Ini demi mengurangi beban pada Wilma. Bukankah bisa menggunakan kembali stensilnya akan jadi hal yang lebih baik dalam segala hal?”

Lutz, mengetahui betapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan Wilma untuk menggambar karya seninya dan kemudian memotong garis-garis kecil, meringis dan menggosok dahinya. "Hanya stensil gambar, ya?"

Aku membuat lapisan lilin secara eksklusif untuk stensil gambar, yang kemudian kuberikan pada Gil. Semua percetakan saat ini dilakukan olehnya dan para biarawan abu-abu di Lokakarya Myne.

Lutz memiliki lebih banyak waktu berkat Gil yang mengurus bisnis bengkel, dan sebagai hasilnya, Lutz, Damuel, dan aku dapat menghabiskan hari-hari kami secara bergantian antara pergi ke bengkel dan Firma Gilberta, dan pergi ke biara. Restoran Italia sudah hampir selesai, kusen-kusen pintu dan jendela sedang dalam proses pemasangan, jadi aku sebenarnya sangat sibuk pergi ke sana dengan Benno dan mengunjungi bengkel tinta untuk mencatat hasil penelitian dari Heidi, dari antara hal lainnya.

“Myne, kenapa kau terdiam? Memikirkan sesuatu?”

“Uh huh. Kamil.”

“Lagi?”

Meskipun sibuk, pikiranku selalu didominasi dengan gagasan-gagasan membuat mainan untuk Kamil. Menurut laporan dari panti asuhan, Dirk sangat suka kerincingan kayu yang kubuat, tapi kapan pun dia mencoba memegangnya sendiri, dia akan menjatuhkan benda itu di tangannya dan mulai menangis. Aku merasa tidak memikirkan mainan yang jatuh di wajah manis Kamil dan menyakitinya, jadi jika memungkinkan aku ingin membuat sesuatu yang lebih tidak menyakitkan.

“Lutz, kurasa aku ingin beberapa bel kecil.”

“Untuk apa?”

“Aku bisa memakainya untuk membuat kerincingan yang cukup kecil untuk digenggam.” Ada banyak bel dan benda logam lainnya yang menghasilkan bunyi di sini, tapi aku tidak pernah melihat apapun yang mirip dengan bel kucing, bel bulat kecil yang bisa kau temukan pada kalung leher hewan peliharaan. Mungkin sulit untuk menghasilkan suara yang indah, tapi desainnya sendiri cukup sederhana sehingga Johann mungkin bisa membuatnya jika diminta.

“Baiklah. Ayo pergi ke pandai besi.”

Tempat pandai besi tidaklah jauh dari bengkel tinta, dan aku dengan penuh semangat menuju ke sana.

“Pagi.”

“Selamat datang, selamat datang. Heeeei! Gutenberg! Nona Myne di sini!” Seorang pandai besi yang tidak pernah kulihat sebelumnya berbalik dan dengan santainya berteriak memanggil Gutenberg bahkan tanpa seulas senyum sedikit pun di wajahnya. Kelihatannya mereka sudah jadi terbiasa dengan nama itu sampai-sampai itu tidak lagi menjadi sebuah candaan.

Johann datang ke depan bengkel dan dengan lunglai bergumam agar si pandai besi tidak memanggilnya Gutenberg, tapi itu diabaikan begitu saja.

“Nona Myne, apa yang membuatmu datang ke sini hari ini? Aku masih belum menyelesaikan stylus-nya.”

Aku sebenarnya telah memesan berbagai macam stylus untuk menulis di kertas lilin, yang berarti pekerjaan itu akan membutuhkan waktu lebih lama baginya untuk diselesaikan. 

“Yah, kau sebenarnya bisa mengambil beberapa tenaga magang untuk mengerjakan hal ini sebagai gantinya, tapi aku ingin membuat beberapa bel seperti ini.” Aku mulai menggambar skema bel kucing, yang Johann intip dengan penuh minat. Sesuai dugaan, dia hanya pernah membuat bel yang lebih besar dan tradisional, tidak pernah yang kecil dan bulat.

“Nona Myne, apakah torehan-torehan ini hanya untuk hiasan?”

“Itu semua penting untuk menghasilkan suara yang tepat. Torehan-torehan ini tidak perlu untuk terlihat persis seperti ini, tapi tolong jangan sama sekali mengesampingkan mereka. Mereka harusnya cukup sempit sehingga bola-bola di dalamnya tidak akan keluar.”

Bel kelihatannya membuat suara yang berbeda tergantung dari ukuran torehan, ketebalan logam, ukuran bola, dan bahan yang digunakan, tapi aku tidak ingat detail untuk semua itu. Yang kutahu hanyalah kalau kau memasukkan bola logam ke dalam bola logam yang lebih besar, itu akan menghasilkan suara ketika diguncangkan. Begitu bola-bola itu siap, aku akan memintanya memasukkan bel-bel kucing yang lebih kecil itu ke dalam cangkang logam yang lebih besar; itu perlu dibuat dua lapis sehingga suaranya akan tetap bisa terdengar bahkan saat dimasukkan ke dalam boneka hewan.

“...Yah. ini tidak akan terlalu sulit untuk dibuat. Apakah ini untuk percetakan juga?”

“Tidak, aku ingin menggunakan ini untuk mainan bayi. Bahkan aku pun memesan hal-hal yang tidak berhubungan dengan percetakan sesekali,” kataku dengan bibir cemberut.

Johann menyunggingkan seulas cengiran lebar. “Hei, ini pertama kalinya kau memesan sesuatu yang tidak berhubungan buku atau percetakan. Kupikir buku adalah satu-satunya hal yang kau pedulikan,” katanya, jelas terasa kelegaan dalam suaranya. Saat ini kepalaku penuh dengan Kamil, tapi pada dasarnya aku hanya peduli tentang buku. Meski begitu, aku tidak merasa perlu untuk mengoreksi kesalahpahamannya. Dia bisa merasa senang selagi itu berlangsung.

Atau begitulah yang kupikirkan, tapi Lutz bertindak lebih dulu dan langsung membuyarkannya. “Kau benar. Myne hanya peduli dengan buku. Kalau kau pikir kau bisa meloloskan diri dari takdirmu sebagai Gutenberg, kau akan mendapatkan hal lain yang datang.”

“Aku tahu itu. Tidak bisakah setidaknya kau membiarkan aku sedikit berharap?” Johann berkata dengan erangan berlebihan. Lutz menepuk punggungnya dan berkata bahwa dia harus terbiasa denganku secepat mungkin, dan itu pun mengakhiri harapannya.

“Yup. Dan Lutz, jangan lupa kau adalah Gutenberg-ku yang tertua dan paling terhormat,” kataku, yang entah kenapa membuatnya membungkuk lesu sama sedihnya dengan Johann.

Kenapa? Aku hanya mencoba memberinya pujian. Aneh sekali.


“Aku akan langsung pulang ke rumah saja hari ini,” kataku pada Damuel setelah meninggalkan tempat pandai besi. Tapi pada saat itu, dentang bel-bel terdengar ke penjuru kota—bel yang menandakan sebuah keadaan darurat. Beberapa detik kemudian, sebuah cahaya merah melesat ke langit dari gerbang timur. Itu adalah tanda seseorang meminta bantuan dengan menggunakan alat sihir.

Sebagai seorang kesatria, Damuel yang pertama kali beraksi. Dia menatap tajam cahaya merah di gerbang biru dengan ekspresi keras sambil mengangkatku saat itu juga.

"Ayo."

Hanya itu yang dia katakan sebelum langsung berlari ke rumahku. Dia menyusuri jalan-jalan dan melintasi gang-gang kecil dengan percaya diri, mungkin telah menghafal semuanya itu sambil mengikuti aku di sekeliling kota bawah. Lutz berlari dekat di belakangnya sepanjang waktu, meskipun mengerjapkan mata dengan kebingungan.

"Aku sudah tahu jalannya saat ini. Lutz, kau bisa pulang atau ke tokomu. Yang manapun tidak masalah," kata Samuel, masih berlari. Dia biasanya menurunkanku di sumur alun-alun, tapi kali ini dia berderap menaiki tangga denganku di lengannya sebelum mengetuk pintu depan rumah kami.

"Ya, siapa— Myne?!" Ibu melangkah ke samping mempersilakan Samuel masuk, yang dengan cepat menurunkanku. Ibu mengerjap kaget saat Damuel melihat antara aku dan Ibu, ekspresi lelaki itu mengeras.

"Sesuatu terjadi di gerbang timur yang membuat mereka meminta bantuan dari Ordo Kesatria."

“Gerbang timur?!”

“Itu adalah cahaya tipis, bukan yang tebal, jadi saya rasa itu bukanlah sesuatu yang berbahaya. Mereka kemungkinan besar hanya membutuhkan kami para kesatria untuk membuat keputusan tegas atas urusan bangsawan. Meski demikian, saya akan tetap berada di sini sampai keamanan novis dipastikan.”

Ibu tertegun dengan kunjungan mendadak dari seorang kesatria, tapi dia memahami situasinya dan mengangguk cepat. “Tolong jagalah Myne.”

Damuel berdiri di depan pintu supaya dia siapa untuk bereaksi saat itu juga jika sesuatu terjadi. Kamil mulai menangis sehingga Ibu pergi ke kamar tidur, sementara aku mengambilkan Damuel segelas air karena dia sedikit terengah-engah.

“Ah. Terima kasih, Novis.” Damuel meminum seluruh isi gelas dalam satu tegukan, kemudian menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan diri. Aku tahu aku akan hanya akan menghalanginya jika aku tetap berada di situ, jadi aku pergi ke ruang penyimpanan. Aku ingin tahu kain apa yang kami punya untuk kerincingan boneka hewan yang ingin kubuat.

“Ada banyak sekali yang putih, jadi mungkin aku akan membuat kelinci?”

Setelah menemukan beberapa kain yang rasanya bagus, aku mulai bekerja membuat stensil di meja dapur. Mendadak, seekor burung putih seperti burung sihir yang pernah kulihat sebelumnya menembus dinding dan terbang ke sini. Makhluk itu membuatku benar-benar terkejut, muncul begitu saja seperti itu, tapi Damuel dengan santainya mengulurkan tangan ke arah makhluk itu. Burung tersebut bertengger di atasnya dan membuka mulutnya.

“Damuel, setelah mengantar biarawati novis ke biara atau rumahnya, bergabung kembali dengan Ordo Kesatria.” Burung itu mengulang perintah tersebut tiga kali dengan suara pria yang berat dan rendah sebelum hancur dan berubah menjadi sebuah feystone kuning. Damuel membuat tongkat bercahayanya muncul entah dari mana seperti Pastor Kepala biasanya lakukan dan mengetuk batu itu sambil merapalkan sesuatu. Apapun yang dia lakukan itu membuatnya kembali menjadi seekor burung putih.

“Biarawati novis aman di rumahnya. Saya akan kembali sekarang juga,” dia berkata sebelum melambaikan tongkatnya. Burung itu terbang menembus dinding dan menghilang. “Novis, saya akan kembali ke Ordo Kesatria untuk mendapat informasi mengenai situasinya. Anda sama sekali tidak boleh meninggalkan rumah sebelum saya kembali. Mengerti?”

“Mengerti.”

Setelah menekankan bahwa aku bahkan tidak boleh pergi keluar ke alun-alun, Damuel pergi. Aku sama sekali tidak tahu ada keadaan genting apa, tapi jika dia sampai dipanggil untuk kembali ke grup Ordo Kesatria, itu mungkin ada hubungannya denganku.

“Myne, apa si kesatria barusan pergi?” Ibu, yang telah selesai menyusui Kamil, keluar dari kamar dengan ekspresi cemas. Kelihatannya dia merasa aman dengan Damuel, seorang kesatria, berada di sini dengan kami. Pada saat ini, hanya ada aku, Ibu, dan Kamil yang masih ada di dalam; tidak ada siapapun yang bisa bertindak jika terjadi sesuatu.

“Dia dipanggil kembali oleh seseorang di Ordo Kesatria. Jika mereka tidak berpikir Tuan Damuel perlu tetap di sini denganku maka mereka merasa aku akan akan aman, yang berarti bisa saja hal itu sudah selesai atau tidak ada yang terlalu serius,” jelasku.

Ibu mengulas senyum tipis, terlihat sedikit lega. “Oh, dia pergi karena sudah selesai. Syukurlah.”

Pada akhirnya, kami bahkan tidak perlu menunggu Damuel kembali untuk menjelaskan, karena Ayah pulang dan melakukannya duluan. Dia mulai bekerja di gerbang timur sejak musim semi, dan berada di pusat keributan hari ini.

“Ayah, apa yang sebenarnya terjadi di sana?”

“Yah, Ayah rasa harus memberitahukanmu soal itu, Myne.” Setelah makan malam, Ayah menjelaskan apa yang terjadi sambil meneguk sedikit demi sedikit birnya. “Seorang bangsawan dari duchy lain membuat keributan saat mencoba masuk ke kota.”

Peristiwa genting itu adalah bangsawan dari luar mencoba memaksa masuk. Seperti yang Pastor Kepala katakan pada kami sebelumnya, aturan mengenai para bangsawan yang masuk dan meninggalkan kota telah diubah saat musim semi, dan salah satu peraturan itu adalah bangsawan dari duchy lain tidak bisa memasuki kota tanpa izin dari archduke. Surat pengantar yang tadinya telah menjadi suatu kebiasaan hingga saat ini tidak lagi bisa diterima. Para bangsawan Ehrenfest tahu ini karena mereka telah mendengarnya secara langsung dari archduke saat pertemuan musim dingin, tapi bangsawan dari duchy lain tidak tahu bahwa peraturannya telah berubah. Hasilnya adalah seorang bangsawan yang ditahan di gerbang oleh penjaga dari kaum jelata, dan pada akhirnya dia meledak marah.

“Para petinggi pastinya telah memprediksi hal semacam itu akan terjadi. Mereka sudah bersiap agar Ordo Kesatria bergerak saat ada bangsawan yang mulai membuat masalah di gerbang.”

“Wow. Archduke benar-benar memikirkan semuanya, ya?”

Kelihatannya, Ayahlah yang menggunakan peralatan darurat sihir yang diberikan ke gerbang oleh Ordo Kesatria untuk meminta bantuan. Itu terbuat dari dua bagian: sebuah alat berbentuk mirip palu dengan batu merah di dalamnya, dan yang kedua, batu merah yang terpisah. Untuk membuat cahaya melesat ke udara, yang harus dilakukan adalah memukul batu kedua dengan alat berbentuk palu itu. Yang Fran pernah gunakan di kereta waktu Doa Musim Semi kemungkinan adalah jenis yang sama.

Bangsawan bisa bertindak semau mereka pada rakyat jelata, tapi ketika bangsawan dari kota tersebut terlibat, orang-orang dari duchy lain itulah yang kalah. Bangsawan luar kelihatannya pergi sambil menggerutu setelah Ordo Kesatria menjelaskan bahwa dia memerlukan izin dari archduke untuk masuk.

“Masalah yang disebabkan oleh bangsawan lebih baik diselesaikan oleh bangsawan. Sejujurnya, aku benar-benar senang mereka datang membantu.”

“Tapi tetap saja, dia punya surat pengantar dari bangsawan di sini, ya ‘kan? Kenapa seseorang mengirimkan dia surat pengantar kalau tahu dia tidak akan bisa masuk tanpa izin dari archduke?”

“Entahlah.”

Mungkin surat pengantar yang dia punya itu diberikan sebelum musim semi. Aku menelengkan kepalaku dengan bingung, meskipun jawabannya mustahil untuk kuketahui, saat Ayah menatapku dengan ekspresi serius.

“Myne, kau harus benar-benar hati-hati untuk tetap aman. Ingat yang Pastor Kepala katakan? Bangsawan dari duchy lain mungkin datang mengincarmu,” dia memperingatkan, dan aku mengangguk pelan. “Ayah akan menjaga gerbang dan memanggil Ordo Kesatria begitu ada bangsawan berbahaya yang mencoba masuk. Kau hanya perlu pastikan untuk tidak pergi ke manapun tanpa pengawalmu.”

Ayah yang  berjanji untuk melindungiku membuatku sangat senang meskipun situasinya seperti ini, aku pun jadi tersenyum.