Kemajuan Delia

(Translator : Hikari)


Aku telah memesan peralatan yang kami butuhkan untuk membuat stensil lilin dari Johann, tapi akan perlu waktu sampai itu selesai. Pada akhirnya, Wilma menyelesaikan gambarnya sebelum peralatan siap. Ini adalah kisah tentang Flutrane sang Dewi Air dan kedua belas Dewi bawahannya, bertema musim semi.

"Hei, Lutz. Karena masih ada waktu sebelum peralatannya siap, bagaimana kalau kita mulai saja mengerjakan buku bergambar berikutnya?"

Wilma telah mengerjakan ilustrasi untuk ini sejak sebelum kami menyelesaikan tinta berwarna, jadi stensilnya sudah dibuat dengan asumsi ilustrasi akan dicetak hitam putih. Karena itulah, kami berencana untuk mencetak buku-buku kali ini dalam hitam putih.

Jika kami mencetak dalam hitam putih dengan stensil polos, kami bisa mencetak tanpa perlu menunggu peralatannya selesai. Kami masih tidak mempunyai cukup kertas karena kami baru melanjutkan produksinya di musim semi, tapi kami akan selalu bisa membelinya dari lokakarya kertas tumbuhan yang sudah Benno buat.

"Aku mau memakai mesin cetak-tekan karena kita akhirnya memilikinya, tapi–"

"Tapi Pastor Kepala tidak memperbolehkan. Menyerahlah dan gunakan saja stensil." Lutz langsung menolak ideku, jadi aku hanya bisa menghela napas kalah dan mengalah. Ini benar-benar disayangkan; kami telah bekerja begitu keras membuat mata-mata huruf logam dan sebuah mesin percetakan, tapi itu semua sia-sia.

“Ada banyak hal yang bisa kau lakukan sebelum akhirnya menggunakan mesin cetak yang dimana secara khusus kau tidak diperbolehkan menggunakannya, ‘kan? Kau harus bicara pada Fran dan Pastor Kepala tentang tinta warna yang sudah selesai dibuat, dan kau sebaiknya memberi tahu Wilma tentang itu sesegera mungkin supaya dia bisa menggambar ilustrasi dengan warna untuk buku bergambarmu berikutnya. Dia akan harus memikirkan itu dan metode cetak ketika merencanakan ilustrasi berikutnya.”

“Kau benar. Aku tidak punya cukup banyak waktu untuk duduk diam dan bicara dengan Wilma karena dia sangat sibuk mengurus Dirk. Aku akan mencoba pergi ke panti asuhan siang ini untuk menemuinya.”

Lutz dan aku menyusuri jalan sambil mengobrol. Seorang ibu dengan seorang anak di punggungnya melewati kami, yang membuatku menyadari sesuatu. Aku memasukkan tanganku ke dalam keranjang anyamku dan mengeluarkan sebuah tas berisi dua tabung kayu dan beberapa batu kecil. Ayah telah mengukir dan melubangi tabung itu, dan aku membersihkan dengan cermat batu-batunya.

“Lutz, bisa masukkan batu-batu ini ke dalam tabung, kemudian mengelem tutupnya?”

“...Tentu, tapi kenapa?” Lutz mengerjapkan mata bingung melihat benda yang kuberikan padanya. Kedua tabung itu identik, dan begitu batu-batu berada di dalam, itu akan berfungsi sebagai kerincingan.

“Ini adalah mainan bayi—satu untuk Kamil dan yang satunya lagi untuk Dirk. Mainan ini akan mengeluarkan bunyi begitu memasukkan batu ke dalam dan mengguncangnya.”

“Oh ya, aku tahu sesuatu semacam itu. Tapi bentuknya agak berbeda.”

“Aku mau mewarnai ini dan membuatnya terlihat lebih manis, tapi aku tidak mau memakai tinta untuk sesuatu yang mungkin bayi akan masukkan ke dalam mulutnya…”

Seorang bayi berumur beberapa bulan seperti Kami dan Dirk tidak akan bisa melihat warna tidak cukup cerah, jadi aku mai mengecat mereka dengan tinta merah terang. Tapi aku merasa enggan menggunakan tinta pada sesuatu yang akan masuk ke dalam mulut bayi. TInta dibuat dari bahan yang bisa dimakan selalu menjadi pilihan, tapi kemudian aku harus khawatir dengan bakteri yang berkembang di dalam tinta.

“Baiklah, ini juga tidak akan bertahan lama, ‘kan? Kita bisa memakai tinta yang dibuat dari bahan yang boleh dimakan saat kita di bengkel. Untuk apa lagi kita menggunakan tinta berwarna itu yang sudah kita habiskan banyak waktu untuk mengerjakannya? Masih lama sebelum kita bisa mencetak buku dengan tinta itu lagipula.”

“Baiklah kalau begitu. Bisakah aku memintamu melakukan itu, Lutz?”

“Tentu. Aku akan membawakannya padamu siang ini.”

Aku berpamitan dengan Lutz di depan bengkel sebelum menuju ke kamarku, di mana Rosina menunggu dengan harspiel di tangan.

“Selamat pagi, Suster Myne.”

Aku tersenyum geli melihat antusiasme membara Rosina, kemudian melihat Delia yang sedang bermain dengan Dirk. “Delia, aku ingin mengganti baju. Apa kau ada waktu?”

“Seperti yang kau inginkan. Dirk, aku akan segera kembali begitu aku selesai. Tunggu sebentar, ya.” Delia dengan sedih berpisah dari Dirk, kemudian cepat-cepat mengganti bajuku. Dia membantu mengenakan jubah biru biawatiku secepat mungkin, mengikatkan selempang, kemudian segera kembali pada Dirk.

“Dirk, aku kembali.” Delia bicara Dirk dengan ekspresi yang sangat berbinar-binar. Dia benar-benar jatuh sayang pada Dirk.

….Senyum manis apa itu? Aku tidak pernah melihat senyumnya itu sebelumnya.

Delia sejak awal memiliki wajah yang cantik, jadi melihat dia ternyata tersenyum membuatku terkesima. Senyumnya dipenuhi rasa sayang yang membuatku merasa sedikit cemburu dengan Dirk.

“Suster Myne, Dirk sepertinya sudah hampir siap untuk berguling. Aku tidak berharap lebih dari adikku. Dia benar-benar bocah kecil yang hebat.” Delia duduk di sebelah Dirk dan mengelus kepalanya saat anak itu berjuang keras untuk berguling. Bagi Delia, hal lainnya di dunia sepertinya sudah menghilang. Belum sepuluh hari berlalu sejak Dirk datang ke biara, tapi gadis itu sudah merawatnya seakan-akan dia adalah saudara yang sebenarnya.

“Suster Myne, akan lebih baik jika mempercayakan Dirk pada Delia supaya kita dapat memulai latihan harspiel kita.”

Atas desakan Rosina, aku mengambil harspiel yang lebih kecil dan mulai berlatih. Aku memainkan lagu yang saat ini kupelajari beberapa kali, dan pada saat itu pun terbuka. Sarapan telah selesai di panti asuhan dan Wilma, setelah mengantar kepergian anak-anak ke bengkel kerja, datang ke sini untuk menjemput Dirk.

“Selamat pagi, Suster Myne. Saya datang untuk menjemput Dirk.”

“Selamat pagi, Wilma. Seperti biasanya, terima kasih. Dan sementara kau di sini, aku berencana untuk mengunjungi panti asuhan siang ini untuk mendiskusikan buku-buku bergambar denganmu.”

Wilma mengangguk singkat “Mengerti” menanggapi rencanaku, dan setelah itu dia bicara dengan Delia sambil mengambil Dirk. Dia harus bertanya apa yang bayi itu telah lakukan semalam dan berapa banyak susu kambing yang dia minum supaya Wilma dapat memperkirakan dan mempersiapkan untuk saat berikutnya ketika bayi itu lapar.

“Kita tidak memiliki biarawati yang berpengalaman merawat anak-anak. Jika kita tidak memikirkan harus melakukan apa dengan para bayi yang dipersembahkan pada dewa, panti asuhan ini kemungkinan besar akan tidak dapat berfungsi di masa yang akan datang.”

Tidak ada lagi biarawati abu-abu yang membesarkan anak mereka sendiri yang bisa mengurus para bayi, dan mempertimbangkan dari mana anak-anak ini berasal, adalah hal terbaik bagi kami agar para biarawati abu-abu untuk tidak lagi memiliki anak. Aku perlu bicara dengan Pastor Kepala untuk berdiskusi tentang apa yang harus dilakukan dengan bayi-bayi yang nantinya akan diberikan ke panti asuhan. Tidak akan masuk akal—ataupun memungkinkan—membuat para pelayanku menanggung beban dari setiap bayi yang datang ke panti asuhan untuk ke depannya. 

“Aku selalu merasa kesepian ketika Dirk pergi,” kata Delia, mengelus kepalanya dengan rasa sesal sebelum akhirnya memberikan bayi itu pada Wilma. Energi selalu terkuras dari Delia begitu Dirk pergi ke panti asuhan, membuatnya lunglai dan melankolis, tapi Rosina selalu terlihat merasa lega. Reaksi mereka benar-benar bertolak belakang.

Aku berlatih harspiel sampai bel ketiga, waktu untukku pergi dengan Fran ke ruangan Pastor Kepala di mana aku akan membantunya sampai makan siang. Setelah makan siang, Fran dan Rosina sekarang pergi ke kamar mereka masing-masing untuk beristirahat. Mereka sama-sama mulai terlihat sedikit lebih baik sekarang setelah mereka mendapat tidur siang rutin, walaupun keletihan masih terlihat jelas di wajah mereka.

“Selamat beristirahat, kalian berdua.”

“Kami mohon diri.”

Sekarang begitu Fran dan Rosina telah pergi untuk istirahat siang mereka, Delia menjadi satu-satunya pelayan yang ada di kamarku. Dia sudah selesai bersih-bersih dan kini sedang mengerjakan matematikanya, semenatara aku sibuk membuat stensil di meja kerjaku, menunggu Lutz datang. Tidak perlu waktu lama untuk dia menyelesaikan makan siangnya di Firma Gilberta dan datang dengan mainan bayi yang sudah selesai.

“Ini, Myne. Semuanya sudah selesai.”

“Yay! Terima kasih.”

Lutz mengguncangkan mainan kerincingan berwarna merah gelap untuk menunjukkan bahwa mainan itu sudah rampung. Aku benar-benar berharap mainan-mainan itu akan membuat para bayi senang. Kamil belum cukup umur untuk benar-benar merasa senang untuk apapun, jadi rencanaku adalah lebih dulu melihat apa yang Dirk pikirkan.

“Aku sudah memesan kertas dari Master Benno juga. Dia akan siap menyuplai kapanpun kau mau mulai mencetak.”

“Kerjamu cepat, Lutz.”

“Ah, aku masih jauh dari yang seharusnya. Mark selalu mengatakan padaku berapa banyak waktu dan usaha yang kubuang-buang saat melakukan banyak hal.”

Sepertinya pendidikan dari Mark benar-benar membuahkan hasil; Lutz mengatakan bahwa dirinya masih belum bisa dibandingkan dengan Mark, Benno, atau Leon, tapi di umurnya saat ini, tidaklah masuk akal mengharapkan dia untuk seterampil itu.

“Myne, jangan lupa untuk membawa stensil dari Wilma. Aku akan mulai mempersiapkan bengkel untuk mencetak.”

Uh huh, serahkan padaku.”

Setelah melihat Lutz pergi, aku menaruh salah satu kerincingan ke dalam tas anyamku. Aku kemudian berjalan menuruni tangga dengan yang satu lagi untuk berbicara pada Damuel, yang berada di aula kecil lantai pertama.

“Tuan Damuel, saya ingin pergi ke panti asuhan.”

“Tentu, tidak masalah,” balasnya.

Aku langsung bergegas ke pintu di mana dia menungguku, tapi sebelum aku sampai di sana, dia melihat sekitar dan mengerutkan wajah. “Tunggu, Novis. Di mana pelayan Anda? Apa Anda benar-benar berencana untuk meninggalkan kamar tanpa satu orang pun?”

“...Bwuh?” Aku tadi berpikir kalau itu tidak masalah karena ada Damuel, tapi kelihatannya pengawal tidak terhitung sebagai pengiring yang tepat sebagaimana halnya pelayan. Akan sangat tidak pantas bagi seorang wanita sepertiku untuk pergi tanpa seorang pengiring, jadi aku pun terpaksa melakukannya.

“Delia, ada sesuatu yang harus kudiskusikan dengan Wilma di panti asuhan. Tolong temani aku.”

“Suster Myne, aku…” Delia berbalik dengan ekspresi kaku, tapi menelan kata-katanya di pertengahan dan menggigit bibirnya dengan frustasi. Dia ingin menolakku, tapi tidak bisa melakukannya karena posisinya. Dalam situasi normal, aku tidak ingin memaksanya melakukan sesuatu yang tidak nyaman untuk dia lakukan, tapi dengan seorang kesatria seperti Damuel yang menungguiku, aku tidak bisa membuang-buang waktu.

“Kau hanya akan perlu mendampingiku sampai pintu panti asuhan. Apa itu masih memungkinkan untukmu? Aku sebagai gantinya bisa meminta Wilma untuk mendampingiku dalam perjalanan pulang, kalau kau mau.”

“...Seperti yang kau inginkan.”

Delia memimpin jalan, dengan enggan melangkah menyusuri lorong. Aku bahkan bisa tahu sementara mengikutinya dari belakang bahwa bahunya kaku dan langkah kakinya berat. Wajahnya tidak terlihat, tapi aku bisa membayangkan ekspresi putus asa yang mungkin dia perlihatkan.

Saat kami tiba di panti asuhan, Delia berhenti di tempat. “Baiklah kalau begitu, aku akan pergi sekarang.”

“Kurasa tidak, pelayan. Bukakan pintu sebelum kau pergi. Kau akan membuat majikanmu, Novis, membukanya sendiri?” Suara tajam Damuel terdengar tegas saat Delia berbalik untuk pergi. Aku tidak bisa membuka pintu itu sendiri, dan juga tidak dapat membuat seorang kesatria membukakan pintu untukku. Pelayan ada agar majikan mereka tidak melakukan hal semacam itu.

Delia, begitu disuruh untuk membuka pintu panti asuhan, memucat sampai-sampai wajahnya benar-benar putih. Tetap saja, dia menatap Damuel tanpa ada perubahan di ekspresi wajahnya yang kaku, kemudian mengulurkan tangan ke pintu. Dia memejamkan mata rapat-rapat dan mengetatkan gigi, mendorong pintu itu terbuka dengan tangan gemetar.

Pintu itu terbuka dengan suara berderit berat. Meja-meja besar berbaris di aula ruang makan, yang berada tepat di depan pintu masuk. Dia ujung terjauh ada sebuah bantalan besar tempat Dirk berbaring, dikelilingi para biarawati abu-abu, yang semuanya melihat ke sini begitu mendengar suara pintu. Mereka berbalik memunggungi bantal itu dan berlutut menyambut kehadiranku, dengan lengan bersilang di depan dada.

“Suster Myne, aku akan pergi sekarang,” Delia bergumam, kepalanya tertunduk agar tidak melihat bagian dalam panti asuhan.

“Tentu, dan maaf karena membuatmu tidak nyaman. Terima kasih, Delia.”

“Bukan apa-apa.” Delia melirik sekali lagi ke arah Dirk, kemudian mulai berbalik. Tapi matanya mendadak terbelalak lebar dan dia berputar, langsung berlari menuju ke bantalan yang berada di ujung terjauh ruang makan. “Dirk!”

Bayi itu hampir saja berhasil berguling, dengan setengah dari tubuhnya sekarang melewati pinggiran bantal. Kalau anak itu terus melanjutkan dan berhasil melakukannya, dia pasti akan langsung jatuh. Delia mengulurkan tangannya ke bawah tepat di mana Dirk akan jatuh saat bayi itu mengoceh dan berguling ke tepian.

“Ya ampun! Apa yang akan kalian lakukan jika Dirk berguling dan menyakiti dirinya sendiri?! Awasi dia dengan lebih baik!” Mata Delia berkobar marah saat dia menempatkan Dirk kembali di tengah-tengah bantal. Keluhannya memang benar, tapi para biarawati abu-abu mau tidak mau harus berlutut dan menundukkan kepala ketika seorang biarawati biru tiba. Yang bisa kulakukan hanyalah menggelengkan kepala pada Delia yang kehilangan kendali karena begitu imutnya Dirk.

“...Yah, karena sekarang kau sudah di dalam panti asuhan, kenapa kau tidak tinggal saja dan mengawasi Dirk secara langsung?”

“Ah?!” Mata Delia melebar saat menyadari di mana dia berdiri sekarang. Dia buru-buru menegakkan diri, dan aku memberikan padanya kerincingan yang kubawa.

“Ini adalah mainan yang mengeluarkan suara. Aku tadinya akan memberikan ini sendiri pada Dirk, tapi kenapa tidak kau saja yang memberikannya? Kurasa dia akan lebih senang bermain denganmu daripada denganku.”

Delia menatap kerincingan merah di tangannya, sebuah ekspresi konflik muncul di wajahnya.

“Dia seharusnya sudah cukup besar untuk mengikuti warna merah ini dengan matanya sekarang. Atau kau lebih suka aku yang memberikan ini padanya? Kurasa dia akan lebih senang menerima hadiah pertamanya dari kakaknya, tapi…”

Aku mengulurkan tangan untuk mengambil kerincingan itu dari Delia, tapi dia menggenggamnya erat dan mengangkatnya tinggi-tinggi—terlalu tinggi untuk kujangkau.

“Kau bisa memberikan itu padanya kalau begitu. Wilma, apa kau ada waktu untuk bicara? Yang lainnya bisa kembali melanjutkan yang mereka kerjakan sebelumnya.” Aku menuju ke sebuah meja dalam jangkauan pandang bantal Dirk bersama Wilma sementara para biarawati abu-abu kembali bekerja.

“Dirk, ini mainan yang Suster Myne berikan pada kita. Apa kau bisa melihatnya?” Delia berkata lembut, menggoyangkan kerincingan tersebut di depan si bayi. Dirk mengikutinya dengan mata terbuka lebar; jelas bahwa dia tertarik dengan warna dan suara dari benda itu. Aku tadinya ingin melihat reaksi Dirk supaya aku bisa menentukan apakah Kamil akan siap untuk itu, dan bayi itu sepertinya benar-benar terpikat. Tidak diragukan lagi Kamil akan sangat senang melihatnya juga.

“Wow, dia memperhatikannya,” salah satu biarawati berkata.

“Aku penasaran apa dia juga akan suka musik?” tambah yang lain.

Para biarawati memperhatikan Dirk dan Delia dengan minat yang besar, karena mereka sendiri memiliki pengalaman yang sedikit dengan bayi. Hal itu membuat Delia sadar dirinya berada di depan umum dengan orang lain di sekitar yang bisa mendengarnya. Dia bangkit berdiri dan memelototiku, pipinya bersemu merah.

“Suster Myne, aku kembali ke kamarmu! Aku serahkan Dirk dalam pengawasan kalian.” Delia mendorong kerincingan itu ke biarawati terdekat sebelum melesat keluar dari panti asuhan. Sekarang setelah dia masuk sekali ke sini, aku membayangkan seandainya dia perlahan-lahan menghabiskan lebih banyak waktu di sini, dia akan menyesuaikan diri meninggalkan area nyamannya seperti yang dilakukan Wilma.

“Suster Myne, apa Delia akan baik-baik saja? Saya tahu dia memiliki trauma yang membekas dari masa di panti asuhan,” Wilma berkata cemas saat dia memperhatikan Delia yang cepat-cepat keluar dari pintu. 

“...Entahlah. Kurasa dia akan baik-baik saja, mengingat keimutan Dirk terus mempengaruhinya. Dia berpikir dia membenci panti asuhan karena kenangan yang dia miliki selama di sini, tapi ruang bawah tanah tempat Delia tinggal tidaklah lagi seperti dulu.”

Delia menghabiskan seluruh waktunya di sini dalam gudang bawah tanah yang menyedihkan, dan kemudian dikirim ke kamar Uskup Kepala di hari pembaptisannya. Bagi dia, panti asuhan secara keseluruhan adalah ruang bawah tanah yang ditelantarkan. Sebelum hari ini, dia hanya pernah melintas sekali atau dua kali paling banyak; Delia harus benar-benar merasakan sendiri bahwa panti asuhan telah berubah, dan kalau dia terbiasa datang ke sini maka tidak akan terlalu bermasalah baginya paling tidak untuk masuk ke ruang makan. Selain itu, jika dia tidak terbiasa mengunjungi panti asuhan dalam waktu dekat, dia tidak akan lagi bisa bertemu Dirk sama sekali. Bayi itu akan dipindahkan ke ruangan di mana anak-anak pra-baptis tinggal begitu dia cukup besar untuk tidur nyenyak sepanjang malam.

“Aku hanya berharap dia tidak akan berakhir terpisah dari adik laki-lakinya yang manis,” aku menambahkan.

“Setiap kali saya datang untuk menjemput Dirk, Delia berlambat-lambat menyerahkan dia sebisa mungkin, sambil memperlihatkan ekspresi paling kesepian yang pernah Anda lihat. Saya mau tak mau merasa kita melakukan sesuatu yang salah dengan membawa pergi bayi itu. Akan sangat menyedihkan bagi mereka berdua seandainya mereka terpisah, jadi saya sungguh-sungguh berharap Delia menyesuaikan diri dengan panti asuhan secepatnya.” Wilma menyunggingkan seulas senyum tipis, sosoknya sama sekali tidak menampakkan keletihan yang bisa dilihat dari wajah Rosina dan Fran.

“Kau tidak terlihat begitu letih, Wilma. Apakah itu karena semua orang di sini yang dapat membantumu?”

“Saya hanya menjaga Dirk saat siang hari, dan saya juga memiliki orang lain yang membantu saya. Rosina dan Fran mengurus semuanya sendiri saat menjaga dia ketika malam, bukan begitu? Kedengarannya sangat sulit saat menjalankannya.”

Sepertinya meskipun Wilma hanya menjaga Dirk saat siang hari, beberapa anak yang lebih kecil merasa bahwa bayi itu telah merampas dia dari mereka dan anak-anak itu pun bertingkah seperti bayi. Beberapa akan menempel padanya saat malam ketika dia mencoba menidurkan mereka.

“Kau seperti seorang ibu di panti asuhan ini, Wilma. Pasti sulit memiliki begitu banyak anak yang rewel untuk diurus.”

“Saya mengingat ibu saya yang penyayang mengurus saya di ruang bawah tanah sebelum pembaptisan saya, dan saya ingin memberikan anak-anak ini yang kehilangan ibu mereka rasa sayang yang sama dengan yang saya terima. Tidak ada yang membuat saya lebih senang daripada mereka yang menganggap saya sebagai ibu mereka.” Wilma tersenyum, penuh dengan rasa sayang bagi anak-anak kecil ini, dan pada saat itu aku merasa bersyukur dari lubuk hatiku karena telah menugaskan dia untuk mengelola panti asuhan.

Dengan selesainya topik pembicaraan itu, kami beralih mendiskusikan buku bergambar. Aku mulai dengan memberitahu Wilma kalau aku menginginkan stensil-stensil, karena kami akan mulai mencetak buku-buku bergambar secepatnya. Aku kemudian menjelaskan bahwa kami telah selesai membuat tinta berwarna dan aku ingin dia membuat perencanaan tentang ilustrasi yang akan datang berdasarkan hal itu. Karena kami akan menggunakan format pencetakan yang sama seperti sebelumnya, itu berarti kami akan membutuhkan  sebuah stensil untuk setiap warna. Akhirnya, aku mengatakan padanya bahwa begitu selesai membuat stensil lilin, dia akan bisa menggambar ilustrasi yang lebih mendetail.

“Anda benar-benar mencintai buku, Suster Myne. Tidak disangka Anda akan terus membuat banyak penemuan teknik baru untuk hal ini… Saya benar-benar akan mencurahkan segenap kemampuan saya dalam menggambar untuk Anda.”

“Terima kasih, Wilma.”

Pada saat kami menyelesaikan diskusi kami dan aku mendapatkan stensil dari Wilma, Dirk pun lapar. Dia mulai menangis, tapi bahkan tanpa Wilma mengatakan apapun, para biarawati abu-abu telah dengan gesitnya membawa susu kambing dari gudang bawah tanah dan bersiap untuk memberinya makan. Mereka sudah terbiasa dengan proses itu sekarang. Jika mereka bisa menjaga Dirk tanpa Wilma, maka akan lebih baik bagiku untuk kembali ke kamar secepatnya; mereka semua sangat sadar dengan keberadaanku sambil bekerja, yang mana sangat mengganggu perhatian mereka.

“Aku tahu ini adalah beban yang berat bagi kalian semua, tapi tolong teruslah mengurus Dirk. Wilma, bisakah aku minta tolong untuk mengantarku kembali ke kamarku?”

Setelah bicara pada biarawati abu-abu, aku pun beranjak pulang dari panti asuhan.