Bangsawan dari Duchy Lain

(Translator : Hikari)


Ayah sampai di biara dengan aku di lengannya, dan entah bagaimana Fran sudah menunggu di gerbang. Kenapa dia ada di situ padahal kami bahkan tidak punya waktu untuk memberitahu dia kalau kami kembali?

“Fran? Apa yang membuatmu ke gerbang? Apa terjadi sesuatu?”

“Saya melihat cahaya dari Ordo Kesatria yang melesat ke langit, dan saya menduga ada kemungkinan bahwa Anda akan segera kembali. Tidak disangka saya benar…” Fran berkata, memandangi kami. Dia bisa menduga bahwa sesuatu yang serius telah terjadi berdasarkan fakta bahwa Lutz dan Tuuli tidak ada bersamaku, dan Ayah ada di sini menggantikan Damuel.

“Fran, kami perlu bicara dengan Pastor Kepala.”

“Beliau tidak ada di sini.”

“Apa...?”

“Kita bisa membicarakannya di kamar Anda. Gil, maafkan aku, tapi tolong tunggulah Sir Damuel di sini. Aku memintamu untuk menginstruksikan dia agar tidak pergi ke ruang Pastor Kepala, tapi ke kamar Suster Myne.”

Begitu tiba di kamarku, Fran menuangkan segelas air untuk Ayah, yang telah berlari secepat mungkin melintasi kota menggendongku. Kami kemudian berpindah ke aula untuk bicara. Fran yang pertama kali bicara, melakukannya dengan suara pelan.

“Saya akan memulainya dari ketika Anda yang lain pergi, Suster Myne.”

Tidak lama setelah aku diantar pulang, Ayah pun tiba di kamarku. Dia berkata bahwa bangsawan yang pernah datang sebelumnya telah memasuki kota, meminta Fran untuk melaporkan hal itu pada Pastor Kepala sebelum berlari kembali ke kota untuk memeriksa apakah aku baik-baik saja.

“Saya bergegas ke ruang Pastor Kepala untuk memberitahu beliau apa yang telah terjadi, tapi sayangnya, Arno menginformasikan pada saya bahwa dia sedang tidak ada di tempat. Tanpa pilihan lain yang tersedia, saya memutuskan untuk kembali ke kamar Anda, tapi saya dihentikan oleh Delia di tengah jalan.”

“Delia? Apa dia ada urusan denganmu?”

“Dia mengatakan bahwa ayah adopsi Dirk telah tiba dan ingin mendiskusikan kesehatan Dirk dengan Anda, karena Andalah yang membesarkan dia, tapi saya memintanya pergi karena Anda sudah pulang. Saya tadinya merasa lega Anda tidak ada di sini sementara Pastor Kepala tidak ada, tapi…” Fran mengerutkan wajah seakan mengekspresikan rasa frustasinya karena aku kembali, tapi mau bagaimana lagi.

“Banyak hal terjadi padaku juga.”

Aku menceritakan pada Fran apa tepatnya yang telah terjadi di perjalanan pulangku. Dia menyilangkan lengan dan berpikir keras.

“Jika kita mempertimbangkan kedua sisi kisah ini, mungkin saja Pastor Kepala dipanggil oleh Ordo Kesatria. Beliau kemungkinan besar kembali bersama Sir Damuel. Archduke selalu didampingi oleh sekelompok kesatria ketika berkunjung ke Sovereignty, jadi tidak salah lagi Ordo Kesatria sedang kekurangan tenaga saat ini,” gumamnya. “Suster Myne, tolong gantilah pakaian Anda dengan jubah biru sebelum Sir Damuel tiba.”

Aku mengenakan jubaku dengan bantuan Rosina yang nampak khawatir, dan tidak lama kemudian setelah itu Gil kembali dengan Damuel; Ordo Kesatria telah mengatasi gangguan di kota bawah dan menginstruksikan dia untuk kembali ke tugas pengawalannya. Fran memberi minum mereka berdua, kemudian menjelaskan situasi di biara.

“...Itu aneh,” Damuel bergumam bingung. “Aku tidak melihat Lord Ferdinand di antara para kesatria lainnya—mereka bahkan menyuruhku untuk melaporkan hal ini padanya. Apa kau yakin dia tidak ada di sini?”

Kami semua kebingungan dengan pengungkapan ini, dan dengan demikian memutuskan untuk mencoba mengunjungi ruang Pastor Kepala sekali lagi. Paling tidak, kami akan dapat menginterogasi Arno ke mana dia telah pergi; Damuel menjelaskan bahwa situasinya cukup buruk hingga menuntut tindakan yang drastis.

“Novis, tolong peganglah ini.” Damuel, seakan teringat sesuatu yang dia miliki, mengeluarkan sebuah cincin dari kantung kecil di pinggangnya dan menaruhnya di tanganku. Cincin ini memiliki sebuah permata kecil yang sedikit keruh terpasang di sana. “Ini adalah bukti yang saya dapatkan dari pria barusan. Anda melihat lambang keluarga bangsawan di situ?”

“Aku seharusnya tidak memegang barang sepenting ini!”

“Cincin ini kecil dan kualitasnya tidak begitu tinggi, tapi cincin ini memiliki feystone. Simpanlah ini untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Tidak seperti Lord Ferdinand, saya tidak memiliki feystone memadai yang bisa saya pinjamkan pada Anda.”

Kelihatannya, sebagai seorang bangsawan dari golongan miskin, Damuel tidak memiliki cukup feystone yang dapat dipinjamkan pada orang lain. Aku memakai cincin itu, merasa ini akan lebih baik daripada tidak ada sama sekali, sekalipun ini tadinya milik seorang kriminal. Benda ini tidak berubah ukurannya untuk menyesuaikan diri dengan jariku, mungkin karena ini bukanlah alat sihir seperti cincin yang Pastor Kepala selalu berikan padaku.

“...Ini mungkin rusak. Hanya lambang ini yang kita butuhkan sebagai bukti, dan tidak ada gunanya memakai itu jika Anda tidak bisa memanfaatkannya. Dapatkah Anda memasukkan mana ke dalam cincin itu?”

Aku mencoba memasukkan mana ke dalam cincin. “Umm, sepertinya aku bisa. Hanya sedikit.” Begitulah, tidak seperti cincin yang Pastor Kepala selalu pinjamkan padaku, aku nyaris tidak bisa memasukkan mana sedikit pun ke dalam cincin ini. 

“Itu adalah batu berkualitas rendah. Batu tersebut mungkin akan pecah jika Anda memasukkan terlalu banyak mana ke dalamnya sekaligus. Berhati-hatilah.”

Aku mengeratkan kepalan tanganku agar cincin setengah rusak ini tidak terlepas dari jariku sementara Fran bersiap untuk membawa kami ke ruang Pastor Kepala. Aku diposisikan tepat di belakangnya, dengan Ayah dan Damuel di samping kiri kananku.

“Gil, jagalah kamarku untukku.” Sebagai seorang anak kecil tanpa pengalaman bertarung, dia akan tetap berada di sini. Dia telah diajari sepanjang hidupnya bahwa kekerasan adalah hal yang salah, dan keterkejutan melihat seseorang terbunuh dengan darah yang menyembur hari ini benar-benar berdampak padanya. Dia terlihat sakit dan jelas sekali bahwa dia tidak sedang dalam kondisi mental yang bagus, tapi meskipun aku benar-benar ingin bersama dengannya, hal itu sama sekali bukan pilihan untuk saat ini. Jadi kami meninggalkan ruangan, dengan Gil yang berwajah pucat mengantar kepergian kami.

“Suster Myne, tolong berhati-hatilah. Saya mohon.”

Kami memasuki area bangsawan di biara tepat saat Uskup Kepala dan sekumpulan orang berbelok ke lorong yang sama. Di samping Uskup Kepala yang berperut buncit, ada seorang pria buruk rupa mirip kodok yang sama-sama kelebihan berat badan. Dia memakai pakaian yang berbeda, tapi dia memiliki rupa yang sama dengan seorang menteri atau politikus jahat lainnya. Mereka diikuti oleh para biarawati jubah abu-abu dan beberapa pelayan berpakaian sederhana, yang semuanya membentuk grup sepuluh orang.

Fran dengan mulus beralih ke pojok terdekat untuk menghindari grup Uskup Kepala, membawa kami ke sebuah lorong yang menuju ke Gerbang Bangsawan. Ini akan menjadi sebuah jalan memutar jauh ke ruang Pastor kepala, itu lebih baik daripada bertemu dengan Uskup Kepala di perjalanan. Ayah menggendongku, Damuel memeriksa area sekitar, dan Fran memandu jalan saat kami bergegas ke ruang Pastor Kepala.

“Sir Damuel, siapa yang tadi bersama Uskup Kepala?”

“Count Bindewald. Dia adalah seorang bangsawan tingkat atas dari duchy yang sering memalsukan izin untuk memasuki kota. Kita bisa memperkirakan bahwa dia ada di sini untuk Anda,” bisik Damuel dengan suara pelan, membuat Ayah mempererat pelukannya. “Kita mungkin dapat menangkapnya seandainya Ordo Kesatria atau bahkan Lord Ferdinand ada di sini, tapi saya sendirian tidak dapat melakukannya. Dia memiliki status yang jauh lebih tinggi daripada saya dan memiliki jauh lebih banyak mana. Dia mungkin tidak tahu bagaimana caranya bertarung seperti yang kami para kesatria lakukan, tapi hal tersebut tidaklah masalah ketika dia dapat melampaui saya dengan mana.”

Pintu terdekat ke Gerbang Bangsawan pun etrlihat. Kami berbelok di sudut menuju ke ruang Pastor Kepala, hanya untuk melihat grup Uskup Kepala menghalangi lorong; kami tadinya berniat untuk menghindari mereka, tapi mereka telah melihat kami dan berputar untuk sampai ke sini lebih dulu.

“Count Bindewald, itulah novis jubah biru, Myne,” kata Uskup Kepala dengan seringaian licik dan sebuah jari yang teracung padaku. Bibir Bindewald melengkung membentuk senyuman mirip kodok saat mengamatiku dari kepala hingga ke kaki.

“Ohoho, aku mengerti...”

Pandangan menjijikkannya itu membuat sekujur tubuhku merinding, dan aku tanpa sadar memegang Ayah lebih erat. Aku seharusnya layak mendapat pujian karena menahan dorongan hati untuk berteriak “Jangan menatapku!”

“Hmmm. Kami diberitahu bahwa dia sudah pergi, tapi di sinilah dia kembali pada walinya. Kurasa mereka gagal kalau begitu. Orang-orang tolol tidak berguna,” Bindewald bergumam dengan nada frustasi sebelum mengulurkan sebelah tangannya padaku. “Myne, aku akan memberikanmu kehormatan dengan sebuah kontrak.”

“...Dengan penuh hormat saya menolaknya. Saya telah berjanji dengan orang lain.”

“Hmph. Kau mungkin dalam perlindungannya, tapi kurasa kau belum membuat kontrak apapun. Yang kubutuhkan hanyalah mendapatkan darahmu lebih dulu.” Si kodok mengeluarkan suara terkekeh yang mengganggu, dan perutnya bergoyang-goyang saat dia mengambil satu langkah maju.

“Apakah Anda akan mengadopsi Suster Myne juga, Count Bindewald?” Delia, melangkah keluar dari balik Uskup Kepala dengan Dirk dalam dekapannya, berbicara dengan nada riang yang sama sekali tidak sesuai situasi. “Luar biasa, dia dan Dirk akan menjadi sebuah keluarga besar yang bahagia. Mereka akan sama-sama dianugerahi berkah kebangsawanan.”

Si kodok mendengus mengejek perkataan Delia. “Aku? Mengadopsi rakyat jelata menjijikkan? Tidak akan pernah.”

“Tapi Tuan, Anda telah mengadopsi Dirk.”

“Aku tidak mengadopsi dia. Apa yang telah kulakukan dengan bayi itu adalah kontrak pengabdian.” Count itu terkekeh dan mengeluarkan apa yang terlihat sebagai kontrak adopsi asli, tapi melihat judulnya, orang dapat melihat bahwa ada dua lapis perkamen. Seulas senyum lebar tersungging di wajahnya, dia mengupas lapisan depan untuk memperlihatkan teks di baliknya: Kontrak Pengabdian bagi seorang Anak Pelahap.

“Apa? Itu berarti… Dirk akan…”

“Dia akan dijadikan budak untuk seumur hidupnya dan dimanfaatkan sebagai sumber mana hidup untuk mengisi peralatan sihir Bindewald,” kataku.

Delia memeluk Dirk lebih erat dan menggelengkan kepala dengan takut sebelum mati-matian menatap Uskup Kepala. “Itu tidak benar! Di-Dia berbohong, bukan begitu, Uskup Kepala? Anda bilang Dirk dan saya akan hidup bersama, bukan begitu?”

“Jangan takut, Delia. Mana bayi itu akan digunakan demi kita, tapi dia akan dibesarkan di biara ini. Dia tidak akan diambil darimu,” Uskup Kepala berkata dengan nada lembut, wajahnya seperti seorang kakek yang baik hati. “Ini hanya sekadar pertukaran. Aku akan menjaga bayi ini, dan sebagai gantinya Myne akan meninggalkan biara.”

Delia memucat, melihat bergantian antara Dirk dan aku. “Suster Myne akan meninggalkan biara sebagai ganti Dirk…” gumamnya tidak percaya.

Kemudian, sebuah perut buncit menghalangi dia dari pandangan. “Ini adalah kontrak pengabdianmu. Tanda tangani ini. Kau sudah membuatku kehilangan banyak bidakku, hari ini maupun di musim semi. Kau sendiri yang akan menggantikan lubang yang ditinggalkan oleh mereka.”

Si count maju selangkah, dan kami semua pun mundur selangkah. Pintu menuju ruang Pastor Kepala—dan mungkin satu-satunya harapan kami untuk diselamatkan—ada di belakang mereka.

“Pastor Kepala…” bisikku.

Uskup Kepala menyeringai. “Sayangnya, pelindungmu, si Pastor Kepala, sedang tidak ada. Tidak ada kavaleri yang akan datang membantumu. Menyerah sajalah, sehingga aku tidak perlu lagi melihatmu.” Dia mengalihkan tatapannya pada si kodok yang berdiri beberapa langkah di depannya. “Count Bindewald, dengan ketiadaan archduke dan Pastor Kepala, ini adalah kesempatan terbaik kita—kau dapat membawa Myne dan aku akan berpura-pura tidak melihat apapun. Tangkap dia dan tinggalkan kota secepat mungkin.”

Dengan perkataan itu, ketegangan di udara menjadi semakin pekat. Ayah dengan hati-hati menurunkanku, mengambil satu langkah maju, dan menyiagakan tombaknya. Damuel juga menghunus pedangnya, mengetatkan gigi bersiap untuk menghadapi seorang bangsawan yang jauh lebih kuat dan berstatus lebih tinggi darinya. Bahkan Fran mengeluarkan sebilah belati dari tas kecil di pinggangnya.

“...Kalian bisa membunuh semua orang kecuali gadis itu. Tangkap dia.” Mengikuti perintah si kodok, ketiga pria dari grup mereka pun melangkah maju. Mereka semua bertindak seperti pria yang tadi Ayah bunuh, dan mereka adalah contoh nyata apa yang terjadi pada orang-orang kondisi Pelahap yang membuat kontrak dengan bangsawan.

“Novis, mundur!” Damuel menahan dua pria yang melompat ke arah kami sementara Ayah dan Fran menangani yang satu lagi. Prajurit pribadi count tidak sehebat Damuel, seorang kesatria yang dilatih secara formal; perlu waktu lebih lama bagi mereka membentuk mana untuk serangan sederhana dan mereka juga tidak dapat bertarung sebaik dia. Tapi melawan dua orang sekaligus tetaplah sulit, dan sementara Damuel bersusah payah mengatasi mereka, satu langkah salah bisa mempertaruhkan nyawanya.

Ayah dan Fran seharusnya sudah bisa mengatasi pria yang satunya, tapi karena mereka tidak punya pertahanan terhadap mana, ini tidaklah semudah itu. Ayah seharusnya tidak perlu waktu untuk menang seandainya ini hanya pertarungan pedang, tapi tidak ada yang seorang rakyat biasa bisa lakukan ketika diserang oleh mana. Cincin pria itu menyala, dan tepat saat sebuah cahaya ditembakkan pada Ayah dan Fran, Damuel mengeluarkan tongkat dan mengayunkannya. Sebuah suara nyaring seperti benturan logam melengking saat mana menangkis mana.

“Dia adalah seorang bangsawan…?!”

Begitu Damuel membuat tongkatnya muncul, si kodok dan Uskup Kepala mengeraskan ekspresi. Uskup Kepala melabrak Delia, ludahnya memuncrat dari mulut saat berteriak.

“Delia! Siapa itu?!”

“Dia adalah kesatria yang ditempatkan untuk mengawal Suster Myne,” Delia mencicit dengan suara pelan, terlalu takut untuk berpikir lurus.

Mata Uskup Kepala melebar dan dia menunjuk pada Damuel. “Pria berpenampilan lusuh itu adalah seorang kesatria?!”

Pastor Kepala pasti telah menyembunyikan informasi darinya; walaupun Uskup Kepala tahu aku telah diberikan pengawal, dia tidak tahu bahwa Damuel adalah seorang bangsawan, juga bahwa dirinya adalah seorang kesatria, dan fakta dia masih memakai baju sederhana untuk mengunjungi kota bawah membuatnya semakin sulit untuk diduga.

“Kita tidak akan punya cukup waktu jika Ordo Kesatria diperingatkan. Aku akan harus mengenyahkan dia juga.” Count yang tadinya menyaksikan dengan seulas seringai, sekarang menuangkan mana ke dalam cincinnya dengan ekspresi muram sebelum mengayunkan tangannya ke udara. Sebuah bola mana melesat dari cincinnya, langsung mengarah ke Damuel.

“Awas!” Aku mengayunkan tanganku juga, meniru gerakan tangannya. Sebuah bola mana berwarna keputihan melesat, menabrak bola bercahaya biru count dan memukulnya menjauh. Mana pria itu menabrak dinding dengan suara keras, tapi tembok itu sendiri tidak tergores, seakan-akan menyerap mana tersebut.

“Berani-beraninya Pelahap jelata melawanku?” si count berkata frustasi, memasukkan lebih banyak mana ke dalam cincinnya. Aku memperhatikan tangannya dengan cermat dan melakukan yang sama, berhati-hati agar tidak memasukkan terlalu banyak mana ke dalam cincinku agar tidak pecah. Hal terbaik yang bisa kulakukan dengan cincin selemah ini adalah mengirimkan buncahan kecil mana yang bisa memukul mundur mana-nya. Dan meski begitu aku harus melakukan sesuatu—Damuel sudah sibuk dengan dua orang dan tidak punya keleluasaan untuk melakukan apapun pada count.

…Ini jauh lebih baik daripada pertarungan fisik, paling tidak. Kalau Bindewald melompat ke arahku atau datang menyerbu, aku bisa kalah dalam sekejap, tapi dalam pertarungan mana, aku paling tidak bisa mengulur waktu.

“Berapa lama lagi kau akan bertahan menggunakan mana yang jumlahnya menyedihkan begitu?” Si count mengeluarkan tawa terkekeh seperti kodok, melesatkan bola-bola mana padaku, seperti seekor singa yang sedang mengerjai seekor hewan kecil.

“Kyaa!” Aku memukul mundur semua bola itu menggunakan mana sesedikit mungkin, agar tidak menghancurkan cincin payah di jariku. Damuel, Ayah, dan Fran semuanya sibuk melawan orang-orang di depan mereka; keseimbangan kekuatan akan hancur dalam sekejap jika Bindewald mulai melancarkan mana pada mereka. Kalah bukanlah pilihan, dan menyadari hal itu membuat napasku semakin berat dan dingin, keringat cemas mulai mengalir di punggungku.

“Hmph…” Setelah memukul mundur begitu banyak bola mana sampai-sampai aku tidak bisa menghitungnya, Bindewald berhenti menembak dan memelototiku dengan jijik. Aku mungkin bertahan lebih lama daripada yang dia perkirakan.

…Aku bisa meneruskannya. Mengepalkan tinju supaya cincin longgar itu tidak akan jatuh, aku mengamati Bindewald secara langsung. Saat itulah matanya tertuju pada cincinku.

“Hm…? Apa itu yang kulihat? Tidak disangka kau sudah memakai cincin pengabdian. Aha, benar-benar menggelikan. Tidak perlu repot-repot dengan ini; aku sudah menang.”

Bindewald meledak tertawa. Aku sepertinya memakai cincin yang diberikan pada orang-orang dengan kondisi Pelahap yang telah menandatangani kontrak pengabdian yang mana, begitu dipakai, membuat mereka tidak bisa menyerang majikan mereka. Terlebih lagi, itu tidak bisa dilepas sampai tuan mereka—dalam kasus ini, Count Bindewald—membatalkan kontrak mereka. Cincin ini jahat; tuan mereka bisa memasukkan mana-nya sendiri ke dalam cincin itu untuk menimbulkan rasa sakit pada budak manapun yang membantahnya.

Bindewald terkekeh sombong dan memandangku rendah. “Patuhi aku kalau kau tidak mau menderita!”

Aku melepaskan cincin tepat di depan matanya. Itu mungkin tidak berfungsi seperti yang diharapkan karena kami belum menandatangani kontrak dan ini sudah setengah rusak. “Hanya ingin bilang, ini bisa langsung lepas.”

“Apa?!” Si kodok membelalakkan mata. Di belakangnya, kepala gundul Uskup Kepala memerah karena marah.

“Gadis kurang ajar!” teriaknya sebelum menyambar Dirk dari gendongan Delia.

“Ah!” Itu terjadi begitu tiba-tiba sehingga Delia tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat, matanya terbelalak saat Uskup Kepala secara paksa menguras mana dari Dirk menggunakan sebuah feystone. Wajah si bayi memucat, dan dia mulai kejang-kejang di cengkeraman kuat Uskup Kepala.

“Dirk!” Delia menjerit, meraih untuk mengambilnya kembali. Tapi Uskup Kepala hanya mendecakkan lidah dan menepis tangan Delia.

“...Bayi tidak pernah punya cukup mana,” dengusnya setelah selesai mencuri mana dari Dirk. Dia kemudian mengayunkan tangannya dan mengeluarkan sebuah bola mana. Aku buru-buru memakai kembali cincin itu dan menangkis tembakan itu, kemudian memelototi Uskup Kepala dengan mengetatkan gigi.

“Beraninya kau melakukan itu pada Dirk!” Kemarahan memenuhi seluruh tubuhku. Tapi sebelum aku bisa Menghancurkan dia, Uskup Kepala menodongkan Dirk yang kini lunglai kelelahan di depannya.

“Hmph! Apa kau bisa menyerang bayi ini? Apa kau tega menghancurkan hidup Delia?”

“Hentikan! Suster Myne, tolong hentikan! Kumohon!” Delia menjerit ngeri, wajahnya mengerut luar biasa saat melihat Dirk digunakan sebagai tameng hidup. Aku tidak bisa Menghancurkan siapapun saat dia memohon mati-matian seperti itu.

Aku menarik napas cemas, tidak tahu harus berbuat apa. Dan kemudian itu pun terjadi—salah satu biarawati Uskup Kepala mencengkeramku dari samping, diam-diam berjalan mendekat saat yang lain lengah.

“Kyaa?!”

“Myne?!”

“Ya! Kerja bagus, Jenni! Tahan dia!” Uskup Kepala berseru sebelum melemparkan Dirk yang lunglai pada Delia. Aku bisa melihat Delia menangis dan memeluk Dirk di sudut mataku.

“Lepaskan aku!” jeritku pada si biarawati.

“Tidak. Sementara saya diambil oleh Uskup Kepala dan dipaksa untuk mempersembahkan bunga hari demi hari, Rosina dan Wilma diambil oleh Anda dan diperkenankan untuk mendapatkan kenyamanan yang dulu pernah kami miliki bersama Suster Christine. Itu sama sekali bukan hal yang bisa saya maafkan.”

Bisikan merdu Jenni terdengar manis, tapi rasa kebencian mendidih di baliknya menimbulkan hawa dingin membekukan ke punggungku. Jika aku dibawa dari biara, Rosina dan Wilma akan dikirim kembali ke panti asuhan. Tidak ada hal lain yang lebih diinginkan Jenni selain mereka hidup merana di sana, dan aku tahu tidak ada hal yang bisa kukatakan yang dapat membuatnya melepaskanku.

“Kita bisa anggap kontraknya selesai kalau begitu,” kata Bindewald dengan tawa terbahak-bahak. Dia mulai berjalan mendekat. Genggaman Jenni tidak melonggar tidak peduli seberapa keras aku berkutat. Perawakannya luwes dengan lengan ramping, tapi seorang anak kecil lemah sepertiku bahkan sama sekali tidak bisa mengalahkan cengkeraman wanita dewasa.

Bindewald mengeluarkan tongkat bercahayanya dan mengubahnya menjadi sebuah pisau. Tatapan di matanya saat menghunus benda itu sangat mirip dengan bagaimana Shikza dulu melihatku; itu adalah mata dari seorang bangsawan yang percaya bahwa, sebagai seorang rakyat jelata, aku lebih rendah daripada dia, dan bahwa aku menyerahkan diri padanya adalah hal yang sudah sepatutnya di dunia ini.

Yang bisa kulakukan hanyalah gemetar ketakutan, sama seperti yang kulakukan ketika Shikza menodongkan pisau padaku. Ujung bilah pisau yang mengilap itu semakin mendekat, lalu menyayat ujung jariku.

“Ow!” Tidak seperti sayatan dangkal yang Lutz lakukan untuk cap darah, Bindewald melakukannya dengan lebih dalam ke jariku, tidak peduli dengan rasa sakit  atau dampak lukanya. Darah hampir saat itu juga merembes keluar dari luka itu.

“Buka tanganmu.” Dia mengeluarkan sebuah kontrak dan menodongkannya padaku, menyengir licik sepanjang waktu. Wajahnya yang seperti kodok semakin lama semakin menjijikkan ketika dia mendekatiku. Aku memelototinya, mengepalkan tanganku sekeras mungkin untuk melawannya, tapi tidak ada yang menghalangi darahku menetes keluar.

“Kubilang buka tanganmu.” Aku berkutat habis-habisan, mencoba menghindarinya memegang tanganku dan memaksa membukanya. Aku cukup lemah sehingga itu akan langsung tamat begitu tangannya memegang tanganku.

“TIdak, tidak, tidak! Pergi sana! Ow!”

“LEPASKAN DIA!” Aku mendengar sebuah raungan, dan sedetik kemudian Ayah menendang Jenni dari belakang sekeras yang dia bisa. Tenaganya itu membuat kami berdua menghantam Bindewald. Aku menubruk perut buncitnya, membuat kami semua terjatuh ke lantai, dan untuk sesaat aku tidak bisa bernapas, terjepit di antara Jenni dan dia.

Dalam beberapa detik, Ayah bergegas menarikku keluar dari antara mereka sebelum mengangkat dan memelukku di salah satu lengannya. “Maaf soal itu, Myne. Apa Ayah tepat waktu?” tanyanya, tidak melihat ke arahku. Dia menarik Jenni sedikit dengan tangannya yang kosong sementara wanita itu terengah-engah, kemudian menendang perutnya. Wanita itu terbang ke Bindewald dengan suara berdeguk, muntahan memuncrat dari mulutnya.

“I-itu benar-benar kejam…” gumam Uskup Kepala. Baik dia maupun pelayannya gemetar saat menyaksikan kekerasan yang biasanya tidak pernah terlihat di dalam biara.

Ayah melemparkan pandangan dingin pada mereka. “Jadi maksudmu bukanlah hal yang kejam menusuk seorang gadis kecil dengan pisau dan memaksanya melakukan kontrak perbudakan yang tidak dia setujui?”

“Di-Diam kau, rakyat jelata!” Bindewald, yang wajahnya memerah padam karena malu sementara terduduk di lantai, dengan marah mengayunkan tangannya yang mengenakan cincin. Dia menembakkan sebuah ledakan mana terbesar daripada sebelumnya, dan bola mana biru bercahaya langsung mendatangi kami. Itu terlalu dekat untukku melepaskan ledakan mana-ku sendiri untuk menangkisnya.

...Mati aku! Aku memejamkan mata erat-erat saat bola itu melesat ke arahku, tapi Ayah lebih berani. Dia memelukku sepenuhnya dan langsung melompat ke samping, berguling ketika dia membentur lantai.

“Ngh!”

“Ayah?!” Dia tidak sepenuhnya menghindari serangan mana itu. Bahu kiri hingga ke sikunya berwarna merah terang, seakan-akan dia telah terbakar. Sosoknya yang mengerang kesakitan memicu sesuatu dalam diriku.

Aku berguling keluar dari pelukan Ayah dan berdiri. Aku bertatap mata dengan Bindewald, yang sedang mengumpulkan mana untuk serangan kedua, dan langsung menyerangnya dengan semua mana-ku.

“Aku AKAN membuatmu membayarnya!” teriakku, dan kekuatan dari semua mana di tubuhku membuat feystone di cincin meledak seperti balon yang meletus. Di waktu yang sama, kekuatan penuh dari Penghancur-ku mengenai Bindewald; dia mengerjap kaget dan jatuh berlutut, matanya membelalak terkejut. Dia mencoba untuk menggerakkan tangannya yang gemetar, hanya untuk menemukan dia tidak bisa menggerakkannya sama sekali, seakan-akan sebuah beban berat melumat tubuhnya dari segala arah. Aku samat sekali tidak ada niatan untuk melepaskannya.

“Count Bindewald?!” Suara panik Uskup Kepala membuat kepalaku menoleh padanya sambil melotot. Aku tidak takut padanya begitu dia melepaskan tameng hidupnya.

Tapi begitu pikiran itu terlintas di benakku, dia mengeluarkan sebuah feystone hitam dari kantung jubahnya. “Jangan pikir trik yang sama akan berlaku padaku dua kali!”

Feystone hitam di tangannya langsung menyerap mana-ku dari udara. Dia menyunggingkan seringaian congkak. Aku terus melakukan Penghancuran padanya dengan mana, tapi itu semua diserap saat itu juga ke dalam batu tersebut.

“Ngh...aku lengah. Tidak disangka dia punya mana sebanyak itu dalam dirinya,” kata Bindewald. Aku melihatnya sempoyongan berdiri di sudut mataku sebelum membuat tongkatnya muncul, senyum sinisnya digantikan oleh ekspresi yang benar-benar datar.