Hantu Dunia Lampau
(Bagian 8)

(Penerjemah : Zerard)


Hahya murka seraya dia berjalan melintasi bangunan, mencari Akira dan sama sekali tidak sedikitpun melirik kepada Alpha. Namun, tanpa apapun untuk bisa melampiaskan kemarahannya, perasaan itu semakin lama memudar, dan tidak lama kemudian kewaspadaan dia sirna kembali. Mengikuti Alpha membuatnya tidak bisa memalingkan pandangannya dari wanita itu secara utuh, dan fia mendapati kedua matanya kembali menatap pinggang gadis itu yang menggoda. Dia memaksa dirinya untuk berpaling, namun itu hanya membuatnya semakin sadar akan keberadaan wanita ini, yang mengalihkan perhatiannya dari sekeliling dan terutama pada bahaya yang ada di depan.

Walaupun Hahya paham akan masalah ini. Dia bertekad untuk tetap siaga, berusaha melupakan Alpha dan memindai sekitarnya. Ketika dia melihat ke depan lagi, dia melihat Alpha yang berhenti pada simpang T tidak jauh di depannya dan tengah menunjuk pada salah satu koridor.

Jadi di sana bocah itu rupanya!

Mengkalkulasi keberadaan Akira dari gerakan Alpha, Hahya berhenti tepat sebelum persimpangan. Merasa dirinya akan lebih aman dan tak terlihat di sini, dia mendorongkan lengannya di sekitar sudut dan menembak secara membabi buta. Jika dia menembakkan cukup peluru, dia yakin dia akan mengenai Akira walaupun dia tidak mengetahui secara pasti letak keberadaan bocah itu.

Suara tembakan bergema di bangunan. Hujan peluru beruntun menyerang lantai, dinding, dan plafon koridor. Tembakan tak terhitung memantul ke segala penjuru arah, melenyapkan segala titik buta yang ada. Seraya Hahya berdiri di sana mengisi ulang pelurunya, dia melihat Alpha berhenti menunjuk koridor. Hahya menjadi santai, menyimpulkan bahwa bocah itu pasti sudah mati.

“Bagus. Sepertinya aku sudah membunuhnya.” Berbelok ke simpangan untuk memastikan pembunuhannya, dia hanya melihat hanya lorong saja yang dipenuhi dengan lubang peluru. Wajahnya dengan cepat membeku.

“Hei!” Hahya berteriak, berputar dan berlari menuju Alpha. “Di mana bocahnya!?”

Alpha hanya tersenyum dan menggerakan bibirnya. Mengingat bahwa dia tidak dapat mendengar wanita itu, dia berteriak, “Bocahnya! Tunjuk arah bocahnya!” Alpha menunjuk ke belakang Hahya, yang menoleh sekali lagi namun tidak melihat siapapun.

Sebuah tembakan! Dia merasakan sakit pada perutnya, yang berarti dia telah tertembak. Seraya dia terdiam kaget, beberapa tembakan kembali menyerangnya. Tembakan itu tidak fatal—tembakan itu gagal menembus armor badannya, walau armor tersebut murahan sekalipun—namun tembakan itu tetap saja membuatnya terjatuh. Dia meringkuk di lantai dengan jeritan kesakitan dan terbaring di sana menahan sakit, penasaran apa yang sudah terjadi.

Aku tertembak!? Dari mana!? Nggak ada musuh di sekitar sini, cuma ada wanita itu! Tunggu, apa dia yang menembakku!? Nggak, itu gila! Dia Cuma gambar! Nggak mungkin!

Hahya semakin panik, hingga akhirnya jawaban itu muncul di depannya. Akira melangkah keluar dari dalam tubuh Alpha.

Dia sembunyi di dalam tubuhnya  agar aku nggak bisa melihatnya!?

Akira mendekati Hahya, meremas pistolnya dengan ke dua tangan dan membidik pada dahi veteran hunter ini. Walau dengan rasa sakit menyengat yang dirasakan Hahya, dia berhasil mengacungkan senjatanya sendiri kepada Akira dan menarik pelatuknya. Namun tidak ada peluru yang keluar—senjatanya kosong.

Hahya sangat jarang berpikir keras tentang apapun, namun sekarang, dengan kematian yang berdiri di hadapannya dan nyawanya yang terancam, pertanyaan pun muncul di benaknya. Dunia tampak melambat di sekitarnya seraya dia berada di ujung kematian, dan kebenaran mulai terungkap di dalam dirinya:

Apa ini semua perangkap?

Di dalam pikirannya, dia melihat semuanya sekali lagi, namun dengan pikirannya yang lebih jelas: Alpha berpaling tepat sebelum sergapan Akira untuk mengalihkan perhatian Hahya dari sang bocah. Alpha berhenti di tempat yang aneh dan menunjuk ke koridor untuk membuat pria itu menghabiskan pelurunya. Alpha berhenti menunjuk untuk membuat pria itu berhenti mengisi ulang pelurunya. Dia tersenyum kepadanya, mengalihkan perhatian pria itu dengan wajahnya yang cantik. Apakah semuanya—pakaiannya, rute yang mereka jalani, kecepatan jalan wanita itu, dan beragam detil kecil sepele lainnya—di desain untuk memancing dirinya ke dalam kehancuran? Pertanyaan-pertanyaan itu sama sekali tidak membantu keselamatannya, dan dengan itu Hahya telah membuang percuma detik terakhirnya, detik berharganya pada kecurigaan yang tak penting—keberuntungan terakhirnya telah habis.

“Roh pemikat...” dia bergumam dengan seringai bercampur takut.

Dalam sekejap, Hahya mati, tembakan di antara kedua matanya oleh Akira. Hal terakhir yang pria lihat itu adalah senyum keji Alpha seraya wanita itu berdekatan dengan Akira.

Suara Kwahom terdengar dari komunikator Hahya. “Hahya. Apa yang terjadi? Apa kamu membunuh bocahnya?”

《Jangan di jawab.》 Alpha memperingati Akira.《Dia akan terlalu tahu banyak nanti.》

Akira mengangguk diam.

《Sekarang, cepat dan ambil perlengkapannya,》 Alpha melanjutkan. 《Kita akan menambahkan perlengkapannya ke arsenal kita.》

Perlengkapan Hahya tampak janggal pada Akira, namun ini lebih baik dari sekedar pistol belaka.

《Berikutnya lempar mayatnya ke jendela itu.》

Akira memulai, dan Alpha tetap tersenyum tanpa bergeming.