Perang Dingin Dimulai
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Tanggal 12 September merupakan pagi yang cerah dengan perasaan Sakuta yang muram. Langit pagi kala itu berwarna biru cerah, dan matahari bisa terlihat sedang mengintip dari balik cakrawala tanpa ada awan yang menghalangi sinarnya.

Pemandangan di luar jendela dari kereta pertama pagi itu menyuguhkan pemandangan indah sinar matahari pagi yang berkilauan di atas air laut seperti kilauan permata.

“Hwaah.”

Sambil menyipitkan mata karena sinar matahari yang begitu terang, Sakuta menguap.

Sekarang ini masih terlalu pagi.

Ia bangun sekitar pukul 5 pagi dan meninggalkan rumahnya dengan memakai seragam sekolah setelah 25 menit kemudian, pukul 5:25 pagi. Setelah sepuluh menit berjalan kaki, ia menumpangi kereta yang berangkat pukul 5:36 pagi. Yang mana merupakan kereta pertama yang berangkat dari Enoden, di Stasiun Fujisawa.

Sekarang ini mungkin sudah pukul 5:50 pagi. Dan kereta yang ditumpanginya baru saja berhenti di pemberhentian keenam, Stasiun Koshigoe.

Memang bukan hal yang aneh kalau tidak ada siswa-siswi Minegahara lain yang berangkat sepagi ini. Selain Sakuta, hanya ada beberapa orang lain yang menumpangi kereta ini. Satu-satunya penumpang selain dirinya hanyalah beberapa pria muda berjas yang tampak sebagai karyawan baru di perusahaan masing-masing.

“Hwaaaah.”

Sakuta menguap lagi, dan kereta yang ditumpanginya berhenti di Stasiun SMA Kamakura. Perlahan, ia bangkit dari tempat duduknya.

SMA Minegahara berada di pemberhentian selanjutnya, di Stasiun Shichirigahama, tapi ia tidak bangun sepagi ini untuk pergi ke sana.

Sambil menyeka air mata di sudut mata, ia melangkah ke luar ke peron stasiun.

Ternyata sudah ramai oleh banyak orang saat ia keluar dari kereta. Stasiun ini terbilang stasiun kecil, dan di luar jam sekolah biasanya akan sepi---bahkan jarang sekali dapat melihat petugas stasiun yang berjaga. Tetapi hari ini, tempat itu begitu sibuk oleh banyak orang.

Ia dapat melihat seorang pria sedang membawa kamera raksasa, ada juga orang yang membawa papan putih---atau reflektor namanya untuk mengarahkan cahaya ke arah subjek tertentu.

Terlihat juga seorang wanita berambut pendek membawa tiang panjang dengan mikrofon di ujungnya. Dia berjalan cepat melewati Sakuta sambil sekilas meminta maaf.

Semua orang ini sedang bersiap-siap untuk syuting iklan.

Ia menonton semua itu berlalu untuk sesaat sebelum seorang wanita muda dari kru film menghampirinya. “Maaf, tolong gunakan gerbang yang di sana,” ucapnya. “Sebentar lagi kami akan mulai syuting.”

Dia menuntun Sakuta keluar dari stasiun, sikapnya sangat sopan dan profesional bahkan dengan siswa SMA seperti dirinya.

Namun tidak ada tanda-tanda keberadaan “Mai Sakurajima.”

Tapi ia bisa menebak di mana dia berada. Tepat di luar stasiun, terparkir bus kecil berwarna putih. Jendela dari bus tampak buran dan ia tidak bisa melihat ke dalamnya, tapi “Mai Sakurajima” pasti sedang bersiap-siap untuk syuting ini. Dia bisa saja sedang berganti pakaian, memakai riasan wajah, atau sedang membahas sesuatu dengan manajernya sebelum syuting dimulai.

Sakuta berjalan menuju perlintasan kereta api dan menuruni jalan yang ada sampai di trotoar dari Jalan Raya Rute 134. Jalan ini terbentang di sepanjang garis pantai, dan jalur kereta api juga bersebelahan dengan jalan raya, jadi hanya dari trotoar saja, ia bisa melihat ke arah peron stasiun seperti sedang menonton ke atas panggung.

Namun waktunya masih sangat pagi jadi tidak ada kerumunan orang yang berkumpul untuk melihat syuting ini. Hanya ada Sakuta sebagai penonton satu-satunya.

Kemarin malam Mai memberitahunya kalau mereka biasanya melakukan syuting di luar jam kerja seperti ini. Bahkan kumpulan foto yang ada di majalah yang dibeli Koga---terutama yang sedang berada di kafe mewah---diambil pada jam 6 pagi. Mereka mengaturnya agar terlihat seperti siang hari dengan pencahayaan.

“Aku benar-benar tak cocok dengan pekerjaan di dunia hiburan seperti ini.”

Bahkan, jika Mai tidak memaksanya untuk bangun dan meninggalkan rumahnya, ia tidak akan ada di sini saat ini juga.

Lalu, seorang anggota kru mengumumkan, “Mai Sakurajima telah tiba!”

Pintu dari bus kecil itu terbuka, dan “Mai Sakurajima” melangkah keluar. Saat ini dia mengenakan seragam sekolah yang tampak biasa-biasa saja dengan blazer berwarna biru dongker. Sepertinya dia harus memerankan seorang siswi SMA. Karena model seragam yang dipakainya merupakan seragam musim dingin, iklan ini kemungkinan tidak akan tayang sampai musim gugur tiba.

Bahkan di cuaca pagi yang cerah dan hangat ini, baju lengan panjangnya itu pasti dirasa sangat tidak nyaman. Tapi dia harus berpura-pura kalau sekarang ini sedang puncak musim gugur dan tidak mengeluh tentang seberapa panas cuacanya saat ini. Sakuta tidak mungkin pernah bisa melakukan hal yang sama seperti ini.

Semua kru yang ada menghentikan pekerjaan mereka masing-masing untuk bertepuk tangan atas kedatangan “Mai Sakurajima.” Tepukkan tangan mereka terdengar pelan yang mana ditujukan agar tidak mengganggu penduduk sekitar.

“Mai Sakurajima” kemudian melangkah maju, membungkuk, dan berkata, “Mohon bantuannya semua.”

Hanya Sakuta seorang yang tahu kalau dia adalah Nodoka Toyohama.

“Baiklah, kita tes kameranya dulu sebelum kereta tiba.”

Pria yang memimpin syuting ini usianya mungkin sekitar 30-an akhir atau awal 40-an. Ia mengenakan celana pendek dan jaket lengan pendek; gaya berpakaiannya sangat modis sekali, tapi rambutnya sudah terlihat beruban. Berdasarkan dari reaksi para kru, pria ini sudah pasti yang menjadi sutradaranya.

“Baiklah, siap-siap semuanya.”

Nodoka membungkukkan dirinya lagi dan bersiap di posisinya yang sedang duduk di bangku stasiun. Semua lensa kamera yang ada menghadap ke arahnya.

“Kita punya waktu berapa lama sebelum kereta berikutnya tiba?” tanya sang sutradara.

“Empat menit lagi.”

“Baiklah, ACTION!” [1]

Setelah aba-aba dari sang sutradara, syutingnya dimulai.

Suasananya seketika langsung berubah. Para kru yang tadinya sibuk melakukan ini-itu langsung terdiam semuanya, mereka semua hanya fokus ke satu hal---Akting dari “Mai Sakurajima.”

Tekanan yang ada membuat Sakuta khawatir. Rasanya ia seperti ditusuk oleh banyak jarum di sekujur tubuhnya. Sakuta sampai merasa merinding di kedua tangannya, padahal posisinya hanya sebagai penonton.

Sebagai “Mai Sakurajima,” Nodoka bertugas untuk melihat temannya yang datang menghampiri dirinya dari arah kamera, awalnya dia harus ragu-ragu, dan pada akhirnya tersenyum. Dia harus melakukan semua itu dalam waktu singkat.

“Oke, CUT.” [2]

Tidak sampai sepuluh detik dan sudah selesai. Tapi rasanya jauh lebih lama dari itu.

Sang sutradara kemudian memeriksa rekaman yang baru saja di ambil di monitor.

Seorang wanita yang mengenakan tas pinggul berlari ke arah Nodoka dan merapikan rambutnya. Sepertinya, dia ini yang bertanggung jawab sebagai penata rias rambut dan riasan Nodoka. Tangannya ini menyentuh seluruh tubuh “Mai.” Dan Sakuta merasa iri melihat hal ini.

Sang sutradara bergerak dari tempatnya untuk menghampiri “Mai Sakurajima,” dan mulai memberitahu Nodoka suatu hal sambil memberi isyarat sedikit. Nodoka hanya bisa mengangguk berulang kali. Bahkan dari jarak sejauh ini, Sakuta bisa tahu kalau dia merasa gugup. Riasan wajahnya memang membuat rasa gugup itu tidak terlalu kelihatan, tapi wajahnya pasti sudah pucat.

Dia memang jelas terlihat sedang berusaha sekeras mungkin untuk menjaga penampilannya sebagai “Mai Sakurajima” dan berhasil untuk tersenyum. Tapi tetap saja, Sakuta merasa kalau senyuman Nodoka itu terasa menyakitkan untuk dilihat dari sudut pandang orang luar.

Lonceng peringatan mulai berbunyi menandakan ada kereta yang datang dari arah Kamakura.

“Keretanya datang. Begitu sudah pergi, kita bisa lanjutkan.”

Gerbong kereta dengan perpaduan warna hijau dan krem berhenti di stasiun itu tanpa mempedulikan kru film yang ada. Tidak ada seorang pun yang naik atau turun dari kereta. Setelahnya, kereta tersebut mulai melaju lagi, dan bagian belakang gerbongnya perlahan menjauh. Tidak lama kemudian, kereta itu sudah tidak terlihat lagi.

Angin yang bertiup mengacak-acak poni “Mai,” jadi sang penata rias dengan cepat memperbaikinya. Nodoka hanya menatap ke tanah sambil mengambil napas dalam-dalam.

“Sudah oke,” ucap sang penata rias sambil memberikan sentuhan akhir di rambut “Mai.” Setelahnya dia keluar dari depan kamera.

Juru kamera memusatkan fokus kamera ke “Mai Sakurajima.” Sang juru lampu (gaffer) mengangkat lampu untuk mengatur pencahayaan dan seorang pria besar (key grip) yang berada jauh di belakang mengangkat papan reflektor. Dan juru suara (boom operator) juga menyiapkan mikrofon.

Sekali lagi, semua pasang mata yang ada tertuju ke “Mai Sakurajima.” Para orang dewasa ini berencana untuk membuat suatu hal dengan semua yang hadir di sini.

Kali ini, akhirnya Sakuta menyadari emosi seperti apa yang menyelimuti momen ini.

Awalnya ia mengira kalau situasinya menegangkan. Tetapi kumpulan rasa gugup dari banyak orang yang nyatanya membuat dirinya sekhawatir ini.

Ia merasa kalau kumpulan emosi menusuk-nusuk kluitnya.

Tetapi inti sejati dari ketegangan ini? Berasal dari semua orang yang hadir seperti semua staf, sutradara, juru kamera, penata rias, juru lampu---dan semua orang yang menaruh kepercayaan mereka kepada “Mai Sakurajima.”

Dia ini merupakan orang yang paling muda usianya di tempat ini, tapi dia juga salah satu rekan kerja yang mereka percayai.

Sikap mereka membuktikan kalau mereka menerima “Mai” sebagai seorang yang profesional. Dan saat ini mereka bekerja keras untuk menghasilkan suatu karya yang sesuai dengan keahliannya dalam berakting.

“……”

Seharusnya suasana seperti ini membuatnya nyaman.

Menjadi seseorang yang dapat dipercayai, dibutuhkan, dan dapat dengan mudah dalam bekerja sama---seharusnya hal itu akan membuat siapa pun bahagia.

Tapi tingkat kepercayaan seperti ini jelas-jelas membuat Nodoka gelisah, dan hanya dengan melihat dirinya yang seperti ini membuat Sakuta merasa menderita. Ia sampai merasa takut sendiri.

“Take pertama…ACTION!” teriak sang sutradara.

Sekali lagi, suasananya menjadi tegang. Nodoka akhirnya melihat ke arah kamera. Tapi dia menyipitkan matanya. Pantulan cahaya matahari dari air laut pasti menyilaukan matanya dan membuatnya kebingungan.

Tapi tidak hanya itu saja.

Tubuh Nodoka gemetaran. Postur tubuhnya tidak bisa dia tegakkan dan terjatuh ke samping. Dia mencoba untuk menahan jatuhnya dengan tangan tapi gagal. Seluruh berat tubuhnya terjatuh dan bertabrakan dengan permukaan bangku yang keras.

“CUT!” teriak sang sutradara yang tampaknya prihatin dengan kondisi bintangnya.

Penata rias segera menghampirinya dan seorang wanita dengan setelan jas juga mengikuti. “Mai? Mai? Panggilnya. Mungkin dia itu manajernya.

Sakuta segera menyeberangi perlintasan kereta api sambil memanfaatkan situasi kru yang kebingungan untuk mendekat ke stasiun. Ia hanya bisa berdiri di depan gerbang tiket sambil menyaksikan hal itu seperti orang-orangan sawah.

Nodoka terlihat terengah-engah ketika dia mencoba untuk mengambil napas. Dia terlihat seperti ingin muntah tapi tidak bisa. Seorang kru perempuan yang tampak khawatir mengelus-elus punggungnya.

“Tarik napas pelan-pelan,” ucapnya beberapa kali. Nodoka sendiri hanya bisa mengangguk sebagai balasannya.

Setelah lima menit berlalu, pernapasannya sudah mulai normal kembali. Namun, setelah melihat keadaan “Mai Sakurajima” yang seperti itu, tidak ada yang menyarankan untuk melanjutkan syuting.

Nodoka kembali dikawal ke dalam bus kecil dengan dua orang kru perempuan.

Sementara para staf yang lain hanya berdiam diri dengan wajah terkejut. Sepertinya semua orang yang ada di sana tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Mai Sakurajima” akhirnya tidak muncul lagi dari dalam bus. Sakuta menunggunya sampai setengah jam sesudahnya, tapi pada akhirnya bus itu membawa Mai pergi.

Ia mendengar dari salah seorang kru kalau Mai dibawa ke rumah sakit. Mungkin memang sudah seharusnya begitu, pikirnya.

Pada akhirnya, syuting dibatalkan tanpa bisa merekam satu adegan pun.


Begitu bus kecil yang membawa Nodoka pergi dari tempat itu, Sakuta berencana untuk pulang ke rumah.

Menurut jam yang ada di stasiun, sekarang ini masih pukul 7 pagi. Masih terlalu awal untuk berangkat sekolah. Tapi ia juga tidak punya pilihan ke mana harus menghabiskan waktunya.

Ia menyelinap melwati para kru yang sedang mengemas peralatan mereka, dan menaiki kereta yang membawanya ke Stasiun Fujisawa.


Tanpa ia sadari, 15 menit telah berlalu dan dirinya sudah tiba di akhir pemberhentian. Lalu, ia berjalan pulang.

“Seandainya saja firasatku ini tak selalu benar seperti ini,” gumamnya.

Ia tidak menyangka kalau akan separah ini.

“Sakuta,” seseorang memanggilnya saat ia melewati taman.

Sebelum Sakuta membalikkan tubuhnya, ia sudah mendengar langkah kaki yang terdengar tergesa-gesa mendekati dirinya dan berhenti di sampingnya. Seorang gadis berambut pirang dengan kaus oblong, celana olahraga, dan sepatu lari yang memanggilnya.

Dia biasanya mengikat rambutnya ke samping tapi sekarang diikat ke belakang dengan gaya kuncir kuda.

Dirinya jelas terlihat kalau sedang berolahraga lagi tidak lama ini. Karena ia bisa melihat keringan mengucur dari tubuh Mai dengan kaus yang menempel ke tubuhnya. Kaus kutang yang dikenakannya dibalik kaus oblongnya dapat jelas terlihat oleh Sakuta.

Mai selalu berolahraga seperti ini tiap harinya. Aktivitas ini memang bukan sesuatu yang dilakukan untuk dirinya sendiri tapi hal wajib yang harus dilakukannya sebagai “Nodoka Toyohama,” agar dapat menjaga daya tahan tubuhnya ketika melakukan konser regulernya sebagai seorang idol.

Sakuta menyarankan kalau dia juga harus menonton syuting Nodoka dengannya, tapi akhirnya dia menolak dengan alasan, “Aku harus pergi lari pagi,” dan rupanya memang itu yang dia lakukan.

“Kau sudah pulang,” ucapnya dengan santai.

“Yep.”

“Apa yang terjadi?”

Tentu saja yang dia maksud itu Nodoka.

“Kau tak bisa mengetahuinya dari ekspresi wajahku ini?”

“Aku bisa tahu kalau memang tidak lancar awalnya, tapi…setelah diulang beberapa kali pasti sudah bisa, ‘kan?”

Mai terlihat jelas kalau dia tidak khawatir sama sekali. Sikapnya malam tadi, dia pasti menganggap kalau Nodoka bisa melakukannya entah bagaimana.

“Tidak, bahkan tak sampai sejauh itu.”

“Apa maksudmu?”

Dia langsung menatap Sakuta dengan ekspresi khawatir. Wajah Sakuta yang murung pasti menjadikannya begitu.

“Dia pingsan sebelum mereka bisa mengambil adegan pertama.”

“Huh?”

Dia benar-benar terkejut mendengar kata-kata Sakuta. Sangat jarang rasanya melihat Mai dengan wajah terkejut seperti ini.

“Kenapa? Apa dia sakit?”

“Kalau dari fisiknya kurasa tidak.”

“Kalau begitu apa?”

“Kau yakin tak sadar akan hal ini?”

“Aku tak ada di sana, ‘kan? Bagaimana bisa tahu?”

Dia meletakkan kedua tangannya di pinggul setelah itu. Napasnya memang terengah-engah karena lari tapi dia sudah hampir pulih kembali.

“Kukira kau lebih sadar akan hal ini daripada orang lain.”

“Sadar akan apa?”

“Betapa besar kepercayaan yang dibebankan kepada seorang ‘Mai Sakurajima.’ Betapa tinggi ekspektasi yang harus dicapainya.

“……”

Mai tampaknya masih kebingungan.

Mungkin ini merupakan salah satu hal yang tidak akan dia dapat mengerti sebanyak apa pun Sakuta menjelaskannya. Karena kondisi seperti ini sudah seperti menjadi “makanan sehari-hari” baginya. Mungkin karena itu juga kenapa para kru begitu terkejut ketika “Mai Sakurajima” tiba-tiba pingsan. Tidak ada yang menyadari akan hal yang sedang terjadi. Sepertinya mereka semua tidak akan pernah mungkin mengetahui alasan sebenarnya.

Sakuta sendiri bisa menyadari hal ini karena ia sendiri orang luar. Apa yang ia rasakan memang sudah menjadi hal yang biasa baik bagi Mai ataupun para kru syuting. Kepercayaan mutlak yang diberikan oleh para kru kepada “Mai Sakurajima,” sebuah ekspektasi yang sangat luar biasa besar. Seharusnya memang seperti itu, tapi karena Nodoka hanya berpura-pura sebagai Mai, dia tidak bisa memenuhi semua itu.

“Semua rasa kepercayaan dan ekspektasi itu membuat Nodoka seperti terjebak dalam kotak kecil. Dugaanku begitu, tapi…”

“…Aku bisa tahu.”

Dia membalas seperti bisa mengerti, tapi tampaknya dia tidak begitu benar-benar mengerti hal itu. Rasanya semua ini tidak masuk akal bagi Mai.

Sepanjang perjalanan pulang, Mai tidak berkata apa-apa lagi. Sakuta juga sama dan tampaknya Mai sedang sibuk memikirkan hal tersebut.


Saat sudah tiba di rumah, Sakuta menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan Kaede. Mai bilang ke dirinya kalau dia sudah sarapan dan langsung menuju ke kamar mandi untuk membasuh keringatnya.

Jadi sekarang hanya ada Sakuta dan Kaede di meja makan. Menu sarapan untuk hari ini adalah roti panggang, daging ham, dan telur mata sapi. Dengan dua menu terakhir yang disajikan secara terpisah.

 Kemudian, Sakuta menggigit roti panggang yang berwarna cokelat keemasan itu. Dari gigitannya, terdengar rasa *kriuk* yang mengugah selera. Setelahnya, ia melipat telur mata sapi dengan selembar daging ham dan memakannya juga. Begitu ia sudah mengunyah habis makanan itu, sarapannya sudah selesai.

Sementara itu, Kaede sedang menunggu agar mentega yang ditaruh di atas roti panggangnya meleleh. Dia menolak untuk memakan rotinya sampai menteganya meleleh.

Dia pasti ingin memakan itu dengan cara yang disukainya, karena senyum lebar terpancar dari wajahnya begitu dia memakan roti dengan mentega yang meleleh itu.

“Campuran bagian yang renyah dan yang kena lelehan mentega sangat enak!”

“Bagus.”

Jika adiknya senang, maka ia pun juga ikut senang.

Saat Sakuta menikmati hal kecil itu, terdengar suara dari lorong rumahnya. Menandakan kalau Mai sudah selesai dengan mandinya. Sesaat kemudian, mereka mendengar suara pengering rambut menyala. Ketika suara itu sudah tidak terdengar lagi, suara langkah kaki dari sendal dalam ruangan mengumumkan kedatangannya.

“Terima kasih buat kamar mandinya,” ucapnya ketika muncul ke ruang tamu. Saat Sakuta melihat ke arahnya, dia sedang mengenakan celana pendek yang mana menampilkan pahanya yang telanjang tanpai tertutupi apa pun dan hoodie lengan pendek---jelas sekali kalau ini pakaiannya untuk di rumah-rumah.

“Berhenti menatap kakiku!” tambahnya ketika dia menyadari kalau Sakuta melihat ke arahnya. Dia sangat mirip dengan Nodoka di bagian ini. “Pagi, Kaede.”

“Selamat pagi, Nodoka!” ucap Kaede begitu dia menelan roti yang dikunyahnya.

Mereka berdua memutuskan untuk tidak memberitahu Kaede kalau Mai tinggal di sini sebagai Nodoka.

Awalnya, Kaede jelas saja ketakutan dengan keberadaan gadis rambut pirang ini, tapi setelah memberi makan Nasuno bersama dan membicarakan tentang buku-buku yang telah mereka baca, dia jadi lebih dekat dengannya. Memberitahunya kalau Nodoka juga adik dari Mai kemungkinan besar menjadi penyebab kenapa mereka bisa akrab dengan cepat.

Kaede bahkan pernah mengatakan, “Jika kau adik dari Mai, sudah pasti orang baik!” Sakuta tidak yakin kalau logika tersebut masuk akal, tapi ia menganggap hal itu sebagai tanda kalau Kaede benar-benar mempercayai Mai, yang mana hal itu membuatnya senang. Memang tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan senang ketika anggota keluarga kita dekat dengan pacar kita.

“Aku mau ganti baju dulu,” ucap Mai dan berjalan kembali ke lorong untuk menuju ke kamar Sakuta.

“Sarapannya enak!” ucap Kaede yang menghabiskan semua makanan yang ada di piringnya.

“Senang mendengarnya.”

Sakuta kemudian membawa piring kotor itu ke westafel, lalu mencuci bersih mereka dan meletakkannya di rak pengering.

Setelah menyelesaikan hal tersebut, Sakuta berjalan ke arah kamarnya. Ia ingin berbicara dengan Mai sebelum dia berangkat sekolah.

Ia mengira kalau Mai sudah selesai berganti ke seragamnya sekarang ini jadi Sakuta tidak mengetuk pintu dulu sebelum memutar gagangnya. Lagi pula, ini juga kamar ia sendiri.

“Eep!” terdengar suara jeritan kecil saat ia membuka pintu itu.

Gadis pirang yang sedang berada di kamarnya berbalik menghadap Sakuta dengan sikap waspada. Saat ini dia sedang mengancingkan kait roknya. Dan sayangnya, hal ini berarti dia sudah selesai mengganti pakaiannya.

Namun Mai yang terdiam melihat Sakuta meraih bantal dan melemparkannya sekencang mungkin ke arahnya.

“Mmph!”

Lemparannya tepat sasaran mengenai mukanya dan kemudian dia cepat-cepat menutup pintu kamar itu.

“Ketuk dulu, bodoh!”

Reaksinya yang seperti itu sangat mirip dengan Nodoka.

Mau tidak mau Sakuta melakukan yang Mai suruh dan mengetuk pintu kamarnya.

“Maksudku sebelumnya!”

Kali ini ia tidak menjawab Mai. Sebaliknya, ia memeluk bantal itu dan bersandar di pintu.

“Jadi, Mai-san…

“Sebelum kau membahas hal lain, minta maaf dulu dan janji kau tidak akan melakukan hal ini lagi.”

Responnya kali ini lebih ke Mai yang asli.

“Maaf. Aku tak akan melakukannya lagi.”

Sebagai balasannya, ia mendengar Mai menghela napas.

“Mau bicara apa?”

“Cuma penasaran apa kau akan menjenguk Nodoka di rumah sakit,” ucapnya langsung ke intinya.

“Kalau dari kata-katamu sebelumnya, stres yang dideritanya menyebabkan dirinya hiperventilasi, jadi harusnya tidak apa-apa.”

Hiperventilasi (napas berlebihan), ya… Sakuta tahu maksud dari kata itu. Nodoka mengambil napas dengan sangat cepat sampai tidak terkendali dan tubuhnya tidak bisa menanggung beban berat itu. Hal itu berasal dari gejala stre berat; ia pernah mendengar hal ini di TV sebelumnya.

“Apa kau tahu dia dibawa ke rumah sakit mana?”

“Kau bisa bertanya langsung ke Nodoka.”

“Untuk apa?”

“Karena dia sedang lengah, kau bisa berbaikan dengannya.”

“Licik sekali.”

Kejam sekali kata-katanya, tapi dia mengatakannya dengan nada canda. Mai sangat tahu betul kalau ia tidak sungguh-sungguh dengan kata-katanya. Menurutnya, meskipun cara Sakuta itu sedikit licik tetapi ia rasa akan sepadan jika mereka berdua bisa berbaikan pada akhirnya.

“Kau sudah boleh masuk.”

Dia pasti sudah selesai berganti pakaian saat ini.

Sakuta membuka pintu kamarnya lagi dan masuk ke dalam.

“Aku merasa kalau ini sudah bukan kamarku lagi…”

Saat liburan musim panas, Futaba menggunakan kamar ini dan sekarang digantikan oleh Mai.

“Salahmu sendiri.”

“Huh? Kenapa begitu?”

“Dan siapa yang terus-terusan membawa gadis lain ke rumahnya?”

Dia menatap Sakuta dengan senyum gembira. Jenis senyuman yang selalu dia gunakan ketika dirinya tahu kalau Sakuta tidak bisa mengelak dari Mai. Wajahnya memang seperti Nodoka sekarang ini, tapi dari caranya tersenyum menunjukkan kalau dia memang Mai.

Tapi dia tidak mendesak Sakuta lebih jauh tentang itu. Melainkan meletakkan cermin di atas meja dan mulai merias wajahnya dengan riasan yang biasanya dipakai Nodoka, merias bagian matanya seperti mata kucing.

Sakuta akhirnya hanya terdiam melihat diri Mai. Dan setelahnya, Mai memulai pembicaraan mereka lagi.

“Aku memang merasa tidak enak,” mulainya.

“Mm?”

“Menginap di sini dan melibatkanmu juga.”

“Aku tak peduli dengan itu.”

“Tapi?”

“Tinggal seatap denganmu sangat menggairahkan, Aku tak yakin bisa menahan nafsu ini lebih lama lagi.”

“Jadi kau ingin Aku untuk cepat-cepat berbaikan dengan Nodoka.”

“Kurasa itu bisa jadi salah satu solusinya.”

“Salah satu? Kau memang bermaksud begitu.”

“Maksudku, situasi ini membuat kita tak bisa bermesraan.”

“Apa menginjakmu sudah cukup?”

Setelah memakai lipstik, dia selesai berias dan berdiri menghadap Sakuta.

“Silahkan,” balasnya.

Mai hanya menghela napas. Setelahnya dia mendekati Sakuta, mengulurkan tangannya, dan mengelus kedua pipi Sakuta dengan tangannya. Dia pasti tidak jadi untuk menginjak kakinya.

“Mai-san…”

“Masih belum cukup?”

“Kontak fisik seperti ini hanya semakin memperbesar nafsu.”

“Maksudmu?”

“Aku ingin ‘merasakan kehangatan’ tubuhmu.” [3]

“Tidak mau bahkan kalau sudah kembali ke tubuhku.”

“Kalau begitu, Aku ingin kau yang ‘memulainya.’”

“Berhenti melihat ke kasurmu.”

“Apa kau lebih suka melakukannya di lantai?”

“Aku mengizinkanmu untuk membayangkannya saja.”

Ia memutuskan untuk menerima tawaran ini dengan membayangkan Mai yang memakai kostum bunny girl. Rasanya menyenangkan.

“Oh, dan ini juga,” ucap Mai yang mengganggu angan-angannya dengan meletakkan sesuatu di tangannya. Benda yang diletakannya itu cukup kecil hingga bisa digenggamnya. Terasa sedikit dingin juga ketika disentuh dan sangat keras seperti terbuat dari logam.

Ia menatap benda itu dan melihat warna keperakan dari sebuah kunci.

“Dan ini…?”

“Kunci rumahku,” balas Mai dengan singkat.

“Kau memberiku kunci cadanganmu?”

“Tidak.”

“Kunci hatimu?”

Candaannya ini membuat kakinya diinjak.

“Ow! Ow!”

“Sementara ini Aku meminjamkanmu itu.”

“Aww.”

“Jangan coba-coba diduplikat.”

“……”

“Kenapa kau diam begitu?”

“Kau memberiku ide begitu.”

Dia kembali menghela napas lagi dengan kakinya yang masih menginjak Sakuta.

“Kau akan dapat kunci cadanganku kalau kurasa memang sudah pantas,” gumamnya.

Dia jelas saja tersipu malu ketika mengatakan ini tetapi tetap tidak memalingkan wajahnya dari Sakuta

“Jadi, minggu depan baru dapat?”

“Coba lagi lima tahun dari sekarang.”

“Aww.”

“Kunci cadangan tidak diberikan semudah itu, dasar mesum.”

Kali ini Mai memalingkan wajahnya dari Sakuta. Wajah malu-malu yang tidak biasanya ditunjukkan sangat imut, tapi jika ia mengatakan hal itu, dia akan membalas, “Maksudmu wajah Nodoka?” dan situasinya akan jadi canggung, jadi ia tidak mengatakannya.

“Kau bisa meminta kunci cadanganku kapan saja.”

“Tidak terima kasih.”

Langsung ditolak, sayang sekali.

“Setidaknya bisa dipotong jadi tiga tahun?”

“Kenapa kau menanyakan itu seakan-akan tawaranku itu serius?”

“Aku ingin mendapatkan kunci cadanganmu sesegera mungkin.”

“Oke, oke, nanti kupertimbangkan lagi. Tergantung dari situasinya.”

“Cukup adil buatku!”

Sakuta bahkan mengepalkan tinjunya. Tapi ia merasa kalau dirinya sudah mendapatkan hak tersebut. Karena bisa mendapatkan kunci cadangan seorang pacar memang hal yang penting.

“Jadi lakukan tugasmu.”

Sakuta tidak perlu menanyakan tugasnya harus apa. Mai memberinya kunci rumah karena dia khawatir dengan Nodoka. Dia menyuruh Sakuta untuk menjenguk dan mengurusnya jika memang perlu.

“Jika kau khawatir seperti itu, kenapa tidak kau sendiri yang pergi.”

“……”

“Tentu saja, kalau kau memang bisa, kau tak perlu memberiku kunci ini.”

“Aku sendiri tidak tahu harus bilang apa ke dia,” ucap Mai. Sangat jarang sekali melihatnya gelisah seperti ini. “Bahkan Aku tidak tahu segalanya.”

Dia menatap Sakuta dengan cemberut setelah ini seolah-olah semua ini salahnya karena memaksanya mengakui hal ini. Dia jelas-jelas kesal karena hal tersebut.

“Kau bisa mulai dari situ.”

“Tak mau.”

“Kenapa tidak?”

“……”

Dia tidak menjawabnya. Tapi Sakuta sendiri bisa menebak kenapa. Melihat dari hubungan mereka berdua…

“Yah, kurasa kau pasti punya harga diri sendiri sebagai kakaknya.”

“Jika kau lanjutkan, Aku bisa marah.”

Dia jelas-jelas terlihat sudah marah dari caranya mengatakan hal ini langsung. Sakuta mengangkat tangannya dengan pose menyerah sebagai balasannya.”

“Kau mulai jadi sombong ya, Sakuta.”

Mai menusuk dahi Sakuta dengan jarinya sekencang mungkin kali ini. Rasanya memang sakit tapi tampaknya dia merasa puas dengan ini karena pada akhirnya dia tersenyum lagi. Mungkin dia memang perlu menghilangkan stresnya.

“Ah, sudah waktunya. Aku pergi dulu.”

Mai mengambil tasnya dan meninggalkan kamar Sakuta.

Ia menemaninya sampai ke pintu depan.

Saat Mai sedang memakai sepatunya, dia memberitahu, “Oh, Aku hampir lupa,” dan berbalik menghadap Sakuta lagi.

“Ada apa?”

“Jangan coba-coba buka lemari yang ada di ruangan tatami.” [4]

Tidak ada ruangan tatami di apartemen ini, jadi yang dia maksud pasti yang apartemennya.

“Jangan pernah?”

“Iya. Jangan pernah.”

“Baiklah.”

“Oke, Aku pergi dulu kalau begitu,” ucapnya yang kembali berpura-pura sebagai Nodoka.

“Jangan sampai tersesat, ya.”

“Mana mungkin!”

Dia memang seorang aktris yang luar biasa. Semua tingkah lakunya tidak terkesan kaku. Orang lain mungkin tidak akan bisa menyadari kalau dia sedang berakting. Sangat mengagumkan melihat tingkah lakunya sebagai Mai Sakurajima benar-benar menghilang ketika dia sedang berperan sebagai Nodoka Toyohama.

“Dan kau juga jangan sampai telat,” ucapnya.

Setelah itu dia benar-benar pergi.

Begitu pintu apartemen itu menutup, hanya tinggal tersisa Sakuta yang berdiri diam.

“Jangan coba-coba, ya?” gumamnya lagi. Tapi tidak ada yang menanggapi gumamnya itu.





[1] Nananotes: ACTION itu salah satu aba-aba sutradara dalam syuting sesuatu. Saat sutradara sudah bilang begini, semua yang ada harus diam dan aktor/aktris memulai lakonnya.
[2] Nananotes: CUT itu salah satu aba-aba sutradara lagi dalam syuting, kalau sutradara sudah bilang begini berarti kamera sudah berhenti merekam.
[3] Nananotes: Throw myself at you ini dari raw Eng-nya dan artinya ada banyak tergantung dari konteksnya tapi dari yang kulihat sepertinya ajakan untuk S*X ( ͡° ͜Ê– ͡°) tapi bisa juga artinya merayu tapi kubuat ambigu aja dan diperhalus tapi tetep mengarah ke S*X.
[4] Nananotes: Tatami itu tikar tradisional Jepang, terbuat dari jerami yang sudah ditenun sedemikian rupa.