Perang Dingin Dimulai
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


Harapannya langsung pupus seketika esok paginya. Situasinya masih tetap tidak berubah. Sayang sekali, pikirnya.

Sebenarnya, situasinya kian memburuk. Rasanya menjengkelkan kalau harus diungkapkan dengan kata-kata. Setiap harinya terasa lebih buruk dari hari sebelumnya. Mai dan Nodoka sama-sama mengakui kalau mereka sedang bermusuhan dan menjalani hidup mereka masing-masing.

Tanpa disadarinya, sepuluh hari telah berlalu.

Semenjak mereka saling bertukar tubuh, keduanya terpaksa untuk saling bertukar informasi tentang hal tertentu, tapi baik Mai ataupun Nodoka tetap tidak mengungkit hal lain yang perlu dibicarakan selain tentang pekerjaan.

Komunikasi mereka langsung ke inti pembicaraannya. Dan mereka bahkan menolak untuk melakukan pertemuan ini jika hanya ada mereka berdua dalam satu ruangan yang sama. Sakuta harus tetap hadir ketika mereka bertemu dan hanya melakukan pertemuan ini di tempatnya.

“Ada hal lain yang mau dibicarakan?”

“Tak ada.”

“Kalau Mai-san?

“Sama.”

“Buku harian Kaede saja masih lebih banyak isinya daripada punya kalian berdua.”

“……”

“……”

Usaha Sakuta untuk mencairkan suasana tidak berbuah manis.

Artinya, Mai sampai saat ini masih menginap di tempat Sakuta dan menjalankan kesehariannya sebagai Nodoka Toyohama.

Semenjak mereka saling bilang benci satu sama lain, baik Mai ataupun Nodoka tetap berpegang teguh dengan perasaan mereka itu.

Rasanya seperti ada dinding es yang muncul di antara mereka berdua tanpa terlihat tanda-tanda mencair. Sebaliknya, dinding es-nya terasa semakin lebih besar dan lebih tebal dari hari ke hari. Bahkan besarnya itu seakan bisa menangkal efek pemanasan global.

Sakuta yakin kalau apa yang mereka berdua ucapkan ke satu sama lain bukanlah luapan emosi sesaat. Baik dari Mai ataupun Nodoka sendiri. Kata-kata mereka tidak secara spontan dan disengaja ketika mengatakannya.

Mereka berdua mengatakan kata-kata itu dengan disengaja, sadar betul kalau ucapan mereka itu akan menyakiti lawan bicaranya.

Keduanya tidak sedang siap untuk menerima permintaan maaf. Mereka mengatakan itu karena tahu kalau hubungan mereka berdua bisa rusak karenanya.

Tapi meski begitu, Sakuta mulai merasakan kalau sikap mereka berdua menjadi menyebalkan. Tingkah mereka berdua memiliki kesamaan kecil.

Mai selalu berganti ke seragam sekolah khusus perempuan itu tiap paginya, dan setelah sekolah usai, dia langsung menuju ke studio latihan untuk mengikuti kegiatan harian idol grup Sweet Bullet. Kalau sedang tidak ada jadwal latihan, dia mengisinya dengan melatih koreografi sambil menonton dari video atau berlatih menyanyi sendirian di karaoke.

Keseharian Nodoka juga kurang lebih sama. Dia berangkat ke sekolah dengan Sakuta dan tidak berbicara ke siapa pun selama di sekolah, meniru sikap Mai dengan sempurna. Dia melakukan perannya sebagai Mai Sakurajima sang aktris terkenal. Lalu berlatih untuk menirukan wajah Mai di kereta sepulang sekolah. Karena besoknya dia harus ikut syuting untuk iklan minuman olahraga.

Dia sedang berlatih untuk senyum alami saat ini.

Adegan yang harus diperankannya besok bercerita tentang pertemuan yang canggung di peron stasiun dengan seorang teman yang sebelumnya bertengkar. Karena mereka berdua tidak bisa menahan amarah mereka, akhirnya mereka mulai tertawa. Adegan ini membutuhkan penampilan yang natural.

Ekspresi wajah yang Nodoka latih sangat terlihat seperti ekspresi wajah Mai. Tapi karena masih terlihat “seperti Mai” mengartikan kalau dia masih belum sepenuhnya bisa dan masih agak kaku. Sekilas terlihat palsu dan ia tidak pernah merasa seperti ini ketika melihat penampilan Mai yang asli.

“Gimana?” tanya Nodoka dengan serius sambil memudarkan senyumannya.

“Kurasa sebaiknya kau bertanya ke Mai-san kalau tentang ini.”

“Bukan itu yang mau Aku dengar.”

“Kenapa juga kau bertanya ke pemula seperti diriku ini?”

“Baiklah, sesukamu saja.”

Dia mengalihkan pandangan dari Sakuta dengan rasa kesal. Tapi tidak lama setelahnya, dia melatih ekspresi wajahnya lagi. Dia sudah seperti ini selama dua atau tiga hari belakangan. Upayanya yang masih belum membuahkan hasil membuat setiap saatnya itu penting, dia terus-menerus berlatih sebisanya. Nodoka sendiri pasti sudah sadar kalau ekspresi wajahnya masih belum menyamai Mai yang asli. Dan hal itu sangat mengganggu dan mendorongnya untuk berlatih lebih keras lagi.

Saat Sakuta menyaksikan latihannya yang putus asa itu, kereta yang mereka tumpangi sudah sampai di Stasiun Fujisawa sebagai tempat pemberhentian terakhir.

“Aku harus kerja hari ini,” ucap Sakuta begitu mereka keluar dari gerbong kereta.

“Kau sudah bilang itu pagi ini.”

“Langsung pulang ke rumah, jangan main ke tempat lain dulu.”

“Aku ada syuting besok! Tak ada waktu buat begituan.”

Mereka berpisah tepat di depan gerbang tiket. Untuk sesaat, ia tetap melihat ke arah Nodoka yang berjalan pulang ke rumah. Begitu dia sudah sampai di rumah, Sakuta yakin kalau dia akan melanjutkan latihan untuk syuting besok. Berusaha untuk menjadi orang yang dia benci.

Begitu sosoknya sudah tidak terlihat lagi, Sakuta bergumam, “Aku tak mengerti pikiran cewek…”


Sakuta sampai di restoran keluarga yang menjadi tempat kerja paruh waktunya 10 menit lebih awal sebelum shift kerjanya dimulai.

“Selamat pagi!” ucapnya saat menyapa bosnya. Ia langsung menuju ke ruang istirahat untuk berganti pakaian. Dan di dalamnya sudah ada orang lain yang sudah lebih dulu datang. Seorang gadis bertubuh kecil dengan potongan rambut pendek yang terlihat modis sedang duduk di salah satu bangku yang ada. Dia adalah adik kelasnya dari SMA Minegahara yang bernama Tomoe Koga.

Begitu Sakuta tiba, dia sudah mengenakan seragam pelayannya. Dengan majalah fashion yang dipegangnya di meja ruang istirahat, dia terlihat sedang serius mempelajari fashion trend terkini.

Judul yang ada di atas halaman tertulis, “Fashion item yang Wajib kamu Punya buat tambah imut di Musim Gugur ini!”

“Pagi,” sapa Sakuta dari balik bahunya.

“Oh, senpai. Pagi’.”

“Apa kau masih butuh tambah imut lagi?”

“Siapa yang bilang senpai boleh lihat?”

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, mencoba untuk menyembunyikan tulisan yang dibaca dengan tubuhnya. Ia tidak mengira kalau Koga akan merasa malu membaca majalah seperti itu, tapi…

“Level keimutanmu sudah sampai mana memangnya?” tanya Sakuta.

Ia harus menunduk di belakang loker yang ada di belakang ruang istirahat. Karena disinilah tempat para pegawai pria berganti pakaian mereka.

“…Mungkin, lima level?”

Kedengarannya rendah sekali.

“Nah, kau setidaknya level 530.000.”

“Tak mungkin! Aku bukan Sakurajima-senpai. Dia sangat imut di sampul majalah ini!”

“Mm? Dia ada di situ?”

Sakuta baru setengah jalan dalam berganti ke seragamnya, tapi ia langsung menunjukkan dirinya tanpa terkecuali. Karena nama Mai seperti kata-kata ajaib buatnya untuk muncul.

“Eep! Senpai, pakaianmu!”

Wajah Koga memerah dan dia juga mengangkat majalah itu untuk menyembunyikan wajahnya. Sampul dari majalah itu menampilkan diri Mai. Di sampul itu, dia sedang mengenakan mantel musim dingin. Pakaiannya itu memberinya kesan seperti orang dewasa, tapi dia juga melayangkan senyum nakal. Ekspresinya menakjubkan seperti biasa.

“Cepat pakai seragam senpai! Kalau tidak kupanggil polisi!”

Koga mengeluarkan ponselnya saat dia membuat ancaman itu.

“Tapi Aku sudah pakai kemejaku.”

“Tapi celananya belum!”

“Tapi kan ada boxer.”

“Jika tak memakai itu, Aku sudah langsung panggil polisi ke sini!”

Sadar kalau ada baiknya ia tidak menggoda Koga lebih lanjut, ia kembali ke belakang loker. Kemudian, ia memakai celana panjang dan celemek dari seragamnya sebelum akhirnya muncul lagi di depan Koga.

Dia sendiri menggembungkan pipinya dan menolak untuk bertatapan langsung dengan Sakuta karena marah.

Ia kemudian duduk berseberangan dari Koga dan menatap ke arah majalah lagi.


Yep, ekspresi wajah Mai memang sangat menawan pikiran sekali lagi. Ada hal yang membuatnya jauh terlihat lebih natural dibandingkan dengan Nodoka yang mencoba untuk menjadi Mai.

Ia kemudian membalik-balik halaman majalah itu. Diri Mai juga tampil di beberapa foto yang ada di halaman depan. Ada yang sedang mengenakan topi rajut putih, rok elegan sebagai bawahan, dan kasual hoodie sebagai atasannya.

Foto lainnya menampilkan Mai dengan model lain, termasuk dengan Millia Kamiita---seorang model yang Mai sebut sebagai temannya. Mereka berpose seperti sedang menikmati minum teh di teras terbuka.

“Tak boleh,” ucap Koga sambil mengambil majalah itu dengan paksa dari tangan Sakuta. “Aku masih belum selesai baca. Ini penelitian yang penting buatku!”

“Yah tak apa. Aku bisa lihat yang asli.”

Tapi kapan ia akan melihat diri Mai yang asli lagi? Kemungkinannya terlihat kecil. Sangat kecil.

Sambil mengkhawatirkan hal itu, ia mengisi absen dengan kartu hadirnya. Dan Koga juga melakukan hal yang sama.

Senpai.”

“Mm?”

Sakuta melirik dari balik bahunya dan melihat Koga yang membuat wajah jijik.

“Kata-kata senpai terdengar sangat menjijikkan,” ucap Koga.

Sakuta mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambut Koga, tapi dia sudah menduga hal itu dan menghindar ke belakang sambil tersenyum puas.

Ia akan membalas hal ini nanti.


Saat sudah pukul empat sore, suasana restoran sudah sedang tidak sibuk. Rasanya sudah telat untuk makan siang, tapi masih terlalu awal juga untuk makan malam. Sebagian besar pelanggan datang untuk menikmati the sore.

Meskipun restoran ini sedang setengah terisi oleh pelanggan yang datang, kebanyakan dari mereka hanya memesan minuman dan makanan penutup. Dan paling berat mungkin hanya menu ringan seperti camilan. Para pelayan dan koki yang bekerja di dapur dapat dengan mudah menangani pekerjaan seperti ini.

Suasananya akan jauh lebih sibuk saat pukul enam sore ketika mendekati jam sibuk untuk makan malam.

Karena Koga yang bekerja keras, Sakuta hanya tinggal mengantarkan makanan ke meja pelanggan dan mengurus kasir.

Ia baru saja selesai melayani salah satu pasangan lain yang datang dan bel yang ada di pintu masuk kembali berbunyi.

Senpai, bisa tolong layani yang itu?” pinta Koga yang sedang membawa piring kotor.

“Jika kohai ku yang imut memintanya, Aku tak punya pilihan lain, ‘kan?”

“Melayani pelanggan juga tugas senpai!” keluhnya. Rupanya dia sadar kalau Sakuta bermalas-malasan di belakang.

“Jadi kau mengakui kalau dirimu itu imut?”

“Aku sudah capek meralat perkataan senpai.”

Kemudian dia memutar matanya dan pergi ke belakang.

Tanpa ada yang bisa ia goda, Sakuta berjalan ke kasir untuk menyambut pelanggan baru yang datang.

“Selamat datang,” sapanya.

“Satu orang ya,” ucap gadis yang ada di pintu depan. Seifuku yang terlihat rapi dari sekolah khusus perempuan yang terkenal sangat berlawanan dengan rambut pirangnya yang mencolok.

“Lewat sini,” balas Sakuta. Lalu, dengan suara kecil: “Mai-san, kenapa ke sini?”

Ia menuntunnya ke tempat duduk, dan Mai---yang sedang berada di tubuh Nodoka---langsung duduk di bangku.

“Kupikir ada baiknya makan dulu sebelum latihan menyanyi. Aku sedang lapar soalnya.”

“Okeee.”

Dia sedang tidak ada jadwal latihan hari ini, dan di hari-hari seperti hari ini, Mai biasanya pergi ke karaoke untuk berlatih menyanyikan lagu-lagu Sweet Bullet. Biasanya hanya satu atau dua jam setiap harinya. Dia juga berhati-hati agar tidak memaksakan dirinya. Begitu sampai di rumah, dia terkadang akan berlatih koreografi tariannya di kamar Sakuta.

Mai bukannya tidak terpaksa melakukan semua rutinitas ini untuk mengalihkan pikirannya dari berbagai hal. Dia memang cermat untuk mengalokasikan waktu yang dibutuhkan.

Tapi bukan berarti kalau dia bermalas-malasan juga. Dia mengikuti semua latihan yang monoton dan terus berulang-ulang ini dengan patuh tanpa pernah mengeluh sedikit pun. Cara yang sangat teguh dalam bekerja.

Mai tampaknya sangat menyadari kalau cara paling efektif untuk menjadi lebih terampil adalah dengan maju selangkah demi selangkah. Dia sadar kalau ini cara tercepat untuk bisa sukses. Dia sendiri tidak panik atau bekerja terlalu berlebihan. Dia menjaga agar tubuhnya tidak terlalu terbebani dari aktivitas barunya.

Beda sekali kasusnya dengan Nodoka yang jelas-jelas memaksakan dirinya. Mai tetap bersikap profesional seperti biasanya.

Dia mulai membalik halaman menu tapi langsung menaruhnya kembali. Diraihnya tas yang dibawanya dan dia mengambil sebuah ponsel dari saku tas tersebut.

Ponselnya saat ini juga ponsel Nodoka. Untuk bisa menjalani kehidupan masing-masing, mereka mau tidak mau harus bertukar ponsel.

Mai hanya melirik pesan yang muncul di layar ponsel.

“Pesan dari ibunya lagi?” tanya Sakuta.

Lalu, dia melirik ke arah Sakuta dan berkata, “Ya, sudah ada 50 pesan hari ini.”

Semua pesan itu berasal dari ibu Nodoka.

Mengingat kalau putrinya melarikan diri dari rumah, memang masuk akal kalau dia mencoba menghubunginya. Ibunya sendiri pasti khawatir.

Tapi dari apa yang Mai beritahukan kepadanya tentang pesan-pesan ini, isinya sendiri agak aneh. Ia sebenarnya tidak melihat pesan-pesan itu langsung---karena Mai melindungi privasi Nodoka---tapi isi pesannya tidak seperti “Cepat pulang ke rumah!” dan lebih seperti “Apa kau hadir ke les vokal?” atau “Apa kau melatih koreografimu hari ini?” atau “Coba usahakan untuk bisa dapat posisi center buat selanjutnya.” [1] Hampir semua pesannya menyangkut tentang pekerjaannya sebagai seorang idol.

Berdasarkan wajah Mai yang bingung, hal ini menjadi salah satu penyebabnya.

“Aku pesan ini,” ucap Mai sambil meletakkan ponselnya di meja dan menunjuk ke menu paling atas dari menu pasta.

“Spaghetti saus tomat ya,” ucapnya sambil memasukkan pesanan tersebut ke dalam table digitalnya. Menurut manual kerja, ia harusnya membungkuk pesan dan segera pergi melayani pelanggan lain.

Namun, ia masih berpura-pura kalau dirinya masih mencatat pesanan Mai.

“Dia berlatih menirukan wajahmu lagi hari ini, bersiap-siap untuk syuting iklan besok.”

Mereka berdua tahu siapa yang dimaksud.

“Kenapa bahas itu sekarang?” ucap Mai dengan wajah cemberut.

“Aku mengira kalau itu tujuanmu kemari.”

“Aku cuma mau melihat pacarku sedang kerja,” balasnya dengan penuh percaya diri.

“Wow, senangnya,” balas Sakuta dengan nada datar.

Sakuta memang akan sangat senang jika Mai memang bermaksud seperti itu. Tapi jika memang begitu, dia tidak akan mengatakan itu secara terang-terangan. Yang mengartikan kalau perkataannya tentang Sakuta baru saja tidaklah “benar.”

“Kau tidak senang dengan itu?” balasnya dengan wajah kesal.

Dia jelas saja tidak jujur dengan perasaannya sendiri. Sakuta sendiri sangat yakin kalau kehadirannya di sini karena Nodoka. Tapi karena pertengkaran besar antara mereka berdua, dia tidak bisa menunjukkan kekhawatirannya secara langsung. Karena alasan itulah Sakuta membahas tentang Nodoka…agar membuat Mai menunjukkan reaksi seperti ini.

Tentu saja jika Sakuta tidak mengatakan apa-apa, dia pasti akan menaruh tumitnya ke kaki Sakuta dan menekannya sebisa mungkin sampai ia kesakitan jika ia tahu alasan Mai mengunjunginya tapi hanya berpura-pura bodoh. Yang seperti itu sudah jelas terbayang oleh Sakuta.

Jadi pilihan apa yang ia punya? Semua pilihan yang ada mengarah ke akhir yang buruk itu sangat tidak adil. Dia memang sangat tidak adil. Tapi itu juga yang membuat dirinya semakin tergila-gila dengan Mai.

“Hapus senyum itu dari wajahmu.”

“Aku sedang memikirkanmu, Mai-san. Tak bisa kutahan.”

“Yah, baiklah.”

“Jika kau punya saran, Aku bisa mendengarkan.”

“Apa Nodoka bilang kalau dia ingin saran dariku?”

“Tidak.”

“Kalau begitu tidak perlu.”

“Tapi kau sedang khawatir.”

“Karena dia ada di tubuhku dan melakukan pekerjaanku. Tentu saja Aku khawatir.”

Kali ini dia sungguh-sungguh. Memang aneh rasanya jika ada orang yang tidak khawatir jika tubuhnya berada di kendali orang lain.

“Benar juga.”

“Jangan bermalas-malasan di sini dan kembali kerja sana.”

“Kau yakin tak mau membicarakan ini ke Nodoka?”

“Sakuta. Jangan lanjutkan.”

Tapi dia mengalihkan tatapannya dari Sakuta. Yang seperti ini tidak seperti dirinya.

“Dia akan baik-baik saja,” lanjutnya sambil menatap langsung ke Sakuta kali ini. “Jika dia ingat apa yang sudah dipelajari di sanggar seni, dia bisa melakukannya.”

“Kau membuatnya terdengar kalau dia sudah melupakannya.”

Kali ini Mai tidak membalasnya.

Senpai! Di kasir!” panggil Koga.

“Cepat sana, kohai mu yang imut memanggilmu.”

Dia mengatakan itu dengan sengaja. Dan dia menunjukkan ekspresi wajah yang biasanya digunakan ketika menggoda Sakuta. Ia sendiri juga menduga kalau Mai pasti akan mengabaikannya jika membicarakan tentang Nodoka lagi.

Dan dugaannya itu tepat, jadi pekerjaannya menjadi prioritas utama dirinya. Ia berjalan pergi dari meja yang digunakan Mai dan menangani bagian kasir.

Tiba-tiba banyak pelanggan berdatangan sehingga membuatnya sibuk untuk sementara waktu. Ketika situasinya sudah tidak sibuk, Mai sudah lebih dulu pulang ke rumah, jadi ia tidak bisa apa-apa lagi.

“Jika Mai-san bilang kalau dia akan baik-baik saja…mungkin memang benar.”

Tapi perasaan mengganjal yang dirasakannya tetap tidak hilang.






[1] Nananotes: Posisi center itu yang jadi ‘wajah’ atau bisa disebut dari ikon dari grup itu sendiri, dari namanya sendiri juga anggota ini selalu berada di tengah-tengah formasi. Anggota yang berhasil terpilih sebagai posisi ini biasanya udah jago dalam hal menyanyi, menari, dan jadi jubir. Intinya yang bagus dalam segala aspeknya sebagai seorang idol.