Adik yang Panik
(Bagian 4)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta duduk di bak mandi sambil tenggelam dalam pemikirannya sendiri yang rasanya bisa sangat lama. Lalu sebutir keringat mengalir dari poninya dan mendarat di permukaan air yang tenang.

Ia mengedipkan matanya dan terbangkit dari lamunannya.

Ia sudah berendam lama sekali sampai seluruh tubuhnya terlihat memerah. Jika ia terus berendam lebih lama lagi, ia pasti akan pingsan.

Sambil menunda yang dipikirkannya saat ini, Sakuta mengangkat tubuhnya keluar dari bak mandi.

Masalah yang sedari tadi ada di pikirannya sangat susah untuk diselesaikan, tidak peduli berapa lama ia memikirkannya.

Baik Mai dan Nodoka juga punya emosi yang dipendamnya masing-masing. Sakuta cukup yakin kalau emosi-emosi itu tidak sesederhana rasa “benci” semata---akar dari masalahnya jauh lebih dalam dari itu. Dan masalah ini juga masalah keluarga, jenis masalah yang jauh lebih sulit untuk dipecahkan mengingat betapa dekat hubungan mereka. 

Bukan masalah di mana orang ketiga seperti dirinya bisa ikut campur.

“Tapi jika Aku akan menikah dengan Mai-san nantinya, Nodoka juga akan menjadi bagian dari keluarga ya,” gumamnya sambil mengeringkan dirinya sendiri.

Sakuta memakai celana pendek dan meninggalkan ruang ganti dengan telanjang dada. Ia berjalan langsung ke ruang tamu.

Ada seseorang yang bergerak begitu Sakuta memasuki ruangan itu.

Ada seorang gadis berambut pirang yang sedang duduk di depan TV. Dia sedang memegang remote di tangan tapi hanya sedang berganti-ganti saluran TV. Penampilan gadis itu seperti Nodoka Toyohama, tapi di dalamnya masih Mai.

Setelah pertengkaran besar mereka, tidak mungkin mereka berdua bisa berada di satu tempat yang sama. Karena itu dia menginap di tempat Sakuta malam ini.

Tadinya, Kaede datang menghampirinya ke pintu masuk mengira kalau hanya ada Sakuta dan langsung panik. Dia langsung melarikan diri kembali ke kamar tidurnya karena takut akan sosok gadis pirang ini.

“A-apa onii-chan sudah jadi cowok nakal?!”

“Tak juga.”

Onii-chan jadi gigolo?!”

“Kenapa kau mengira seperti itu?”

“Karena bawa cewek lain lagi ke sini!”

“Ah, benar juga.”

Dalam beberapa bulan terakhir, ia membawa Mai, Shoko, Futaba, dan sekarang Nodoka ke tempat tinggalnya. Jumlah gadis yang sudah ia bawa kesini memang membenarkan perkataan Kaede.

“T-tapi tak usah khawatir!” ucap Kaede dengan tegas.

“Apanya?”

“Kaede janji tak akan bilang ke Mai-san!

“Mm, makasih, Kaede.”

Onii-chan pernah bilang kalau hidup cowok itu penuh petualangan!”

“Aku tak pernah bilang begitu…”

Tapi keluhannya tidak cukup meyakinkan. Mai mendekat ke belakangnya dan mencubit bokong Sakuta. Akhirnya, ia mengeluarkan teriakan aneh.

Situasi yang baru ini pasti membuat Kaede lelah. Karena sudah tidak ada tanda-tanda dirinya---dia pasti sudah pergi tidur. Sakuta melirik ke arah jam; dan melihat sudah lewat dari tengah malam. Anak kecil harusnya sudah tidur.

“Kau lama juga ya. Apa kau mandi sambil memikirkanku?” tanya Mai dengan senyum nakal. 

“Aku memang selalu memikirkan tentangmu, Mai-san.”

“Iya, iya.”

“Aku serius!”

“Kau sebenarnya sedang apa lama di kamar mandi?”

“Sebenarnya aku sedang asyik main jadi kapal selam.” [1]

Mai menatapnya dengan sinis setelah itu.

“Ho-ho, kau tahu apa kapal selam itu?” tanya Sakuta.

“Jika kau terus bercanda, Aku akan marah.”

Tatapannya sangat serius, jadi Sakuta menutup mulutnya. Sebelum ia mulai berbicara lagi, diambilnya minuman olahraga dari kulkas dan diminumnya. Produk minuman yang sama yang dibintangi oleh Mai di banyak iklan. Pandangan mereka saling bertemu, dan dia mengangguk setuju. Tapi senyumannya itu segera sirna.

“Lukamu itu tidak hilang-hilang ya,” ucapnya.

Terdapat tiga bekas cakaran di dada Sakuta. Sekarang sudah menjadi luka namun hanya warnanya saja yang berbeda---dan sudah seperti itu selama dua tahun belakangan ini.

“Mau sentuh?”

“Buat apa?”

“Aku cuma ingin kau menyentuhku.”

“Jangan ngawur. Cepat pakai bajumu.”

Dia memalingkan muka dari Sakuta.”

“Tatap tubuhku sesukamu,” ucapnya.

“Bisa gawat kalau Nodoka tidak bisa melupakan tubuh telanjangmu.”

“Dia sudah bukan anak kecil.”

“Dia masih anak-anak.”

“Dan siapa yang baru saja bertengkar dengan anak kecil itu?”

“Aku tidak…”

Mai mulai memperdebatkan hal itu tanpa sadar tapi tidak jadi. Dia terdiam dengan wajah canggung dan berpura-pura tertarik dengan acara di TV. Di layar sedang menyiarkan berita olahraga larut malam. Ringkasan dari liga bisbol profesional---pertandingannya hampir berakhir. Mai tidak mungkin bisa melanjutkan tontonannya---dirinya pasti sedang memikirkan hal lain.

“Apa kau mau bilang kau tak sungguh-sungguh?”

“Oh, Aku memang bermaksud begitu,” bentak Mai. “Semua yang kukatakan memang sungguhan. Dan Aku serius.”

Tidak terlihat kalau dirinya sedang berbohong baik dari nada bicara maupun ekspresi wajahnya.

“Tapi juga bukan cuma itu saja.”

“……”

Kali ini dia tidak menjawabnya. Sakuta menganggap tebakannya itu benar.”

“Ada banyak rasa benci,” ucapnya sambil memakai baju.

Kemudian, ia duduk di samping Mai dengan bahu mereka yang saling bersentuhan.

“Jangan dekat-dekat,” ucap Mai sambil mendorong diri Sakuta. Dia segera menjauh untuk jaga-jaga.

“Aku bahkan tak boleh duduk di sampingmu?”

“Kau terlihat seperti sudah siap untuk menerkamku.”

“Ketahuan ya?”

“Jika kau melakukan itu ke tubuh Nodoka, akan kupastikan kau tidak bisa memainkan kapal selammu lagi.”

Mai sangat bersikeras tentang hal ini. Sikapnya sama sekali tidak berubah. Dia tidak akan membiarkan Sakuta menyentuh tubuh Nodoka…dan terlepas dari ucapannya tentang membenci Nodoka, Mai masih memanggilnya Nodoka seolah hubungan mereka dekat.

“Hiburanku saat mandi nanti menghilang.”

Haaa… Kenapa kau sebodoh ini?”

“Semua cowok melakukannya!”

“Mungkin saja kalau masih kecil…dan Aku juga bilang kalau kita tidak akan membicarakan tentang ini! Jangan memaksaku untuk mengikuti candaan mesummu itu dengan mulut Nodoka lagi.”

“Kau sendiri yang mengungkitnya lagi.”

Dia menatap Sakuta dengan marah. Meski sudah bukan tentang kapal selam, pikir Sakuta.

Mai sudah menyakiti perasaan Nodoka dalam pertengkaran yang ingin dihindarinya. Dan sebagai akibatnya hal itu juga menyakiti dirinya juga. Jadi dia ingin minta hal lain dari Sakuta---mungkin dia ingin Sakuta bersikap baik padanya.

Tapi Sakuta memilih cara yang berbeda.

“Menurutku sih, sebaiknya jujur saja,” ucapnya.

Meskipun tampaknya Mai ingin Sakuta baik ke dirinya, jika dia mematuhi keinginannya itu dengan menghiburnya, dia hanya akan semakin marah. Sakuta sangat sadar kalau Mai selalu keras ke dirinya sendiri dengan cara begitu.

“Aku tidak ingin nasihatmu.”

“Kau sangat imut ketika ngambek seperti itu.”

“Maksudmu Nodoka yang imut?”

“Ugh, jangan menyebalkan begitu.”

Ia berharap kalau Mai akan memarahinya.

“……”

Dia kembali menatapnya dengan sinis tapi hanya untuk sesaat.

“Oke, Aku juga mengakui hal itu,” ucapnya sambil tersenyum. “Aku boleh pinjam kamar mandimu?”

Dia kemudian berdiri dan Sakuta melihatnya melangkah pergi. Tapi Mai berbalik saat di pintu masuk dari ruang ganti.

“Jika kau mengintip, nanti kutusuk.”

“Jangan menusukku sampai kau kembali ke tubuhmu yang asli.” [2]

Jika hal itu harus menjadi momen terakhirnya, maka Sakuta ingin momen itu sempurna.

“Dasar bodoh,” ucap Mai sambil tertawa.

Dia kemudian menutup pintu tanpa melihat ke belakang.

Tidak lama kemudian, ia bisa mendengar suara air dari shower yang mengalir.

“Mudah-mudahan saja dia akan kembali normal besok,” gumam Sakuta. Membiarkan dirinya sejenak untuk berharap.





[1] Kapal selam itu bahasa halus dari Sakuta yang bercanda sedang main sama Sakuta Jr. saat lagi berendam di bak mandi. Jadi pas lagi berendam, Sakuta Jr. yang tegak coba muncul dari permukaan air seperti di periskop kapal selam ( ͡° ͜Ê– ͡°)
[2] Tusuk ini kurasa bisa jadi candaan mesum lagi tapi entah kenapa kalo di raw-nya kaya jadi Sakuta yang masokis. Harusnya bisa aja ‘Jangan kutusuk (pake Sakuta Jr.) dulu sampai kau (Mai-san) kembali ke tubuh aslimu’ ( ͡° ͜Ê– ͡°) tapi karena dari raw berkata lain, Sakuta harus jadi Maso. Opportunity wasted (」°ãƒ­°)」