Pahlawan kecil VS raja undead

Penerjemah: Zerard | Proofreader: Yon


“Hiiiiyah!”

Seorang gadis menyayat udara dengan teriakan yang terdengar lebih ceria dari yang seharusnya di dalam keremangan bawah tanah. Perlengkapannya berkilau, dan di tangannya adalah sebuah pedang yang tampak terisi dengan cahaya matahari.

Dia berada di dalam ruang bawah tanah, di suatu tempat yang dapat berada di mana saja di dalam Dunia Bersudut Empat. Miasma yang berputar, kabut yang jatuh, sama sekali tidak bisa di bandingkan dengan yang berada di permukaan, namun dinding dan lantai di sini di penuhi dengan banyak daging membusuk. Dari cara benda-benda di sekitar berdenyut, menandakan bahwa mungkin tempat ini semacam di dalam sebuah makhluk hidup.

Tentunya tidak ada seorangpun yang akan menebak bahwa ini adalah tepat di bawah puncak pegunungan yang di sebut sebagai Wyvern Roost.

Namun gadis berambut hitam—sang pahlawan—melirik sekitarnya dan mengumandangkan, “Kelihatannya aman!”

“Aku nggak peduli seaman apa ini, aku nggak menyetujui caramu menerobos masuk ke dalam,” keluh seorang female fighter yang mengikutinya, walaupun gadis itu terdengar berani seraya mengucapkan itu.

Akhirnya, tibalah seorang wanita muda memegang sebuah tongkat—seorang sage, berjalan dengan tidak begitu percaya diri. “Kita memang menggunakan bola kristalku untuk memeriksa kalau tempat ini aman…” di tangannya dia memegang sebuah permata berharga, yang di mana sekarang dia lempar masuk ke dalam tasnya bagaikan sebuah mainan yang sudah bosan dia mainkan. “…Bagaimanapun juga, kita lumayan beruntung bisa mendapatkan mantra Gate itu.”

“Dan sudah tertulis koordinat di mantra itu lagi!” Pahlawan menendang daging yang ada di sekitarnya seperti seorang gadis kecil menendang ular yang mereka temukan di rumput. “Kira-kira siapa yang membangun tempat seperti ini.”

“Itu ada di dalam lagu lawas, pastinya semacam wizard kuno atau sesuatu, tapi ada banyak orang di dunia ini yang merahasiakan diri dan kemampuan mereka.” Sword Saint memperhatikan sekitar, mengernyitkan alisnya. Adalah sebuah tempat yang tidak menyenangkan. Dia sudah terbiasa dengan dungeon sekarang, namun itu bukan berarti dia merasa nyaman di dalamnya.

“Apapun itu, itu berarti di dunia ini terdapat seorang wizard dengan berkah foresight yang sesungguhnya,” Sage berkata.

“Wizard yang lebih hebat dari seseorang yang aku kenal?” Pahlawan berkata, mengangguk. Gadis itu memiliki empat atau lima mantra Gate, namun jika kamu tidak mengetahui koordinatnya, maka mantra itu tidak akan terlalu berguna. Tetapi jika terdapat seseorang yang sudah lama mengetahui bahaya yang akan menimpa dunia ini…

“Dunia Bersudut Empat ini tempat yang besar ya?”

“…Kurasa, tapi yang terpenting itu tempat kita sekarang dan apa yang akan kita lakukan,” Sage membalas, ekspresinya sama sekali tidak berkedut pada candaan Pahlawan. Alih-alih, dia mulai mengeluarkan barang dari tasnya, begitu banyak barang yang seharusnya tidak muat pada tas dengan ukuran itu. Bahkan, tas itu sendiri tampak muncul dari udara kosong.

Barang-barang itu bukanlah benda yang dia siapkan khusus untuk petualangan ini—namun benda memang selalu terakumulasi di saat seseorang melakukan perjalanan. Sebuah hal yang indah, untuk memiliki benda mengagumkan.

“Aku akan mulai persiapannya,” Sage berkata.

“Baiklah!” Pahlawan bercuit.

Terdapat potion, tentu saja bersama dengan beragam macam racikan rahasia untuk meningkatkan status. Terdapat potion kekuatan supranatural, yang di mana secara singkat memberikan kekuatan hampir setara dengan raksasa yang menerpa badai di dalam Jaman para Dewa. Dan sebuah rebusan kekebalan yang memberikan kekebalan pada hampir segala macam mantra, walaupun hanya untuk sesaat saja. Terdapat potion pusaran angin yang memberikan seseorang kelincahan untuk berdansa di langit bagaikan angin berwarna, sebuah minuman pembaca pikiran, yang di mana memberikan kemampuan untuk menerka pikiran mereka yang ada di sekitarmu. Dan kemudian, air suci dari Valkyrie, dewi peperangan, yang memberikan berkah para dewa hanya dengan meminumnya.

Terdapat sebuah gulungan sihir yang akan menunjukkan jalan menuju tujuanmu di manapun dirimu berada, dan gulungan lainnya yang memberi tahumu jebakan apapun atau bahaya apapun di dalam jalanmu. Dan kemudian terdapat makanan panggang—yang konon dulunya adalah makanan para dewa—yang hanya keluarga bangsawan dari para high elf yang di ijinkan untuk membuatnya. Dan lagi, persediaan pangan lainnya, di berikan setelah berdoa kepada para dewa, yang memberikan kebugaran kepada seorang pahlawan.

Banyak benda lainnya juga, begitu banyak hingga kita akan kehabisan kertas jika kita mencoba untuk menuliskan semuanya. Masing-masing benda memiliki legendanya sendiri, masing-masing adalah sesuatu yang petualang biasa tidak akan pernah bisa untuk melihatnya seumur hidup mereka. untuk membeli salah satu dari benda ini di pasar—jika salah satunya muncul—akan membutuhkan uang yang cukup untuk membeli kapal perang.

Dan para wanita muda ini menggunakan benda-benda seperti itu bagaikan air, menjadikan mereka seperti makan harian.

“Enak banget,” Sword Saint berkata, membuang sebuah botol kosong. “Cuma pelit banget, efeknya terlalu singkat.”

“Kita masih punya banyak. Nantinya, kamu bakal bosan dengan sesuatu seperti ini, walaupun ini lezat sekalipun.” Pahlawan berkata. kemudian dia berteriak, “Oh yeah!” dan dia mencari bumbu kegemarannya keluar dari dalam tasnya. Adalah sebuah bubuk, seperti garam, namun di kala bumbu itu keluar dari dalam botol kecil itu, bumbu itu berkelip dengan begitu cantiknya.  Ini, percaya atau tidak, adalah bumbu sihir, dan akan memberikan rasa lezat yang di dambakan pemiliknya.  Tidaklah seberapa, ini hanyalah sesuatu, namun—

“Ini benar-benar bikin rasanya beda!”

“Hei, aku boleh minta satu?”

“……..Aku juga.”

--makanan ini mendapatkan ulasan yang sangat baik dari ketiga wanita.

Sage memakan makanannya sedikit lebih telat dari yang lain, tertunda di karenakan banyaknya gulungan yang harus dia baca. Walaupun dengan penampilannya yang kecil, Sage memiliki nafsu makan yang besar, dan Pahlawan berpikir jika mungkin itulah mengapa Sage jauh lebih berbentuk dari dirinya.

Atau mungkin dia menggunakan semacam mantra rahasia, Pahlawan berpikir, menjilat remah-remah roti dari jemarinya seraya yang lain saling memutar bumbunya ke lain.

“Kamu bisa menggunakannya sampai sepuluh makanan per hari, jadi masing-masing dari kita bisa memakainya untuk mempersedap sarapan, makan siang, dan makan malam kita!” Pahlawan berkata.

“Itu kemungkinan nggak bakal cukup untuk pemakaian seorang rhea.” Sage berkata.

“Tapi kamu bukan rhea….kan?” Sword Saint berkata.

Sage hanya membalas dengan, “….Hee-hee-hee.”

“Dia ini benar-benar misterius” Pahlawan berkata.

Adalah percakapan ringan yang menyenangkan, namun terlalu singkat untuk menjadi lebih dari itu. Mereka melakukan pemeriksaan cepat pada perlengkapan mereka, dan kemudian Pahlawan berteriak, “Baiklah!” dan melompat berdiri. “Sekarang yang harus kita lakukan adalah menyelamatkan dunia!”

Dia terdengar seperti seseorang yang pergi pada petualangan pertamanya.

*****

“DAEEEEMOOOONNNN?!?!?!”

“Kreeeeaaaahhhh!!!!!”

Setiap kali angin berwarna berhembus melintasi ruangan, dinding gaib dari dungeon ini tercat dengan darah menjijikkan dari demon. Apakah ini yang bergerak dengan begitu cepatnya, lebih cepat dari suara? Apakah ini angina—sebuah pusaran angin—sebuah angin panas? Siapapun yang ingin menunggu dan mencari tahu akan segera terbelah menjadi dua.

Tidak peduli seberapa jauh, angin itu akan menyerang dengan hembusan kecilnya, dan di dalam serangan besarnya, angin itu akan memporak-porandakan segalanya. Sebuah senjata mutlak yang memotong tembus lapisan udara. Siapapun yang selamat dari serangannya akan tersayat oleh katana yang datang setelah angin itu.

Mereka bergerak bagaikan badai halilintar melewati lahan terbengkalai. Gerombolan demon ini tidak dapat sedikitpun memperlambat mereka, namun itu tidak menghentikan mereka dari mencoba, tentunya. Dari setiap bayangan mereka muncul, dari setiap sudut mereka mengerat, membanjiri, taring terpapar, mencoba untuk merenggut nyawa para gadis.

Namun apakah veteran Sword Saint akan membiarkan mereka? Ah, itu merupakan cerita yang berbeda.

“Bayangan di kakimu!”

“…Mm.”

Sage secara reflek mencambukkan pedang sihirnya, memberikan satu serangan mematikan. Jeritan kematian dari shadow demon yang berusaha menyelinap di antara mereka dan menyerang mereka tanpa mereka sadari sudah berada di belakang mereka seraya mereka terus bergerak ke depan. Gulungan yang mereka buka menunjukkan jalannya pada mereka, dan mereka mengetahui lokasi setiap jebakan. Berkah dari para dewi tidak dapat mencapai kedalaman jantung dari benteng kegelapan ini, namun para petualang ini tidaklah begitu lemah walau tanpa berkah itu membantu mereka.

Itulah mengapa para dewi, penguasa keadilan, telah memilih pahlawan ini untuk mendapatkan kembali mahkota. Kesempatan untuk menjadi juara pilihannya adalah sebuah kehormatan bagi semua petualang. Legenda yang akan mereka ukir akan menjadi kisah bagi petualang lain, tidak diragukan lagi.

Seraya mereka melewati kesekian persimpangan, Pahlawan melihat seorang musuh yang mendekati dari depan. “Ooh, ini datang juga grup seriusnya!” dia memanggil.

Datanglah mereka, makhluk yang keluar dari sebuah lubang bagaikan mimpi buruk.

“Apa rencananya?” Sword Saint bertanya, berlari mendekati Pahlawan dengan pedang di tangannya. “Hmm,” Pahlawan berkata pelan. Ini bukanlah berarti dia tidak yakin. Benar, para monster itu memang menyeramkan, namun itu tidaklah terlalu mengusik dirinya. Dia bisa saja menyerang ke depan dan membuka jalan. Dia mengetahui bahwa itu adalah perannya. Namun terdapat mereka bertiga bertarung bersama—dan masih banyak lagi di belakang mereka. tiga kepala lebih baik dari satu.

“…Aku ingin menghemat persediaanku,” Sage berkata, menggenggam tongkatnya. “Tapi waktu kita pendek.”

“Baiklah, ambil!”

Mereka tidak memperlambat langkah mereka seraya Sage mengucapkan dua kata itu, kemudian ketiga. “Ventus…semel…concilio. Angin, untuk momen ini, berkumpulah!”

Dalam sekejap, momentum dari pasukan demon yang mendekat telah berkurang. Makhluk di dalam puluhan dan ratusan—namun bukan ribuan, mereka tidak sebanyak itu—mencakar udara dan kaki mereka bergerak liar seolah mereka tengah tenggelam. Memiliki sayap pun tidak akan berguna bagi mereka. ini adalah Float. Mantra ini tidak berfungsi seperti sistem terbang biasa.

Di kala para demon tertangkap di udara, Sage secara keji mengumandangkan kata berikutnya.

“Restringuitur: Padamkan.”

Kemudian angin menunjukkan taringnya.

Para demon, telah terangkat ke tempat yang begitu tinggi, tiba-tiba mendapati dirinya kembali terjerat oleh gravitasi dan terhantam ke lantai dengan begitu keras. Sebagai sage besar yang pernah mengangkat keseluruhan naga terbang jatuh dari langit, berkata, “Dorong dewa dari tempat yang cukup tinggi, dan jika dia dapat mati, dia akan mati.”

Jika dewa dapat mati, maka begitu pula para demon. “Para makhluk kuno itu benar-benar tahu apa yang mereka bicarakan!” Pahlawan tertawa. Mereka menuruni sebuah jalan, penuh dengan tubuh yang meledak bagaikan buah matang, tanpa ada sesuatu yang menghentikan mereka.

“Tapi aku mengira mereka lebih banyak dari ini sih,” Pahlawan berkata seraya mereka bergegas dari ruangan ke ruangan, dari satu pertarungan ke berikutnya. Dia membayangkan persembunyian kultus jahat akan penuh dengan monster. Dia merasa lega bahwa ini tidaklah benar.

“Musuh kita pasti sudah memisahkan kekuatan tempur mereka juga.” Sword Saint berkata, berlari di sampingnya. walaupun baru saja melakukan banyak pertarungan, dia sama sekali tidak berkeringat. Pahlawan hampir iri mengenai hal itu, teman hebatnya—dia hampir merasa dirinya sendiri dapat jatuh cinta pada temannya itu.

“Strategi manusia cuma bisa bekerja jika kamu membawa kekuatan yang di butuhkan untuk di gunakan pada waktu dan tempat yang di perlukan,” Sword Saint melanjutkan.

“Uh… Maksudnya apa?”

“Artinya kalau kamu bisa melakukannya, itu bukan hanya berkat prajuritmu, tapi juga berkat semua orang yang membuat senjata dan mempersiapkan persediaan, dan semua orang yang mengantarkannya, dan semuanya yang merencanakan operasi.”

“Sang raja melakukan bagiannya. Dan para petualang, juga. Begitu juga yang lain,” Sage menambahkan. Dia akan menambahkan lagi, jika itu dapat membuat pikiran Pahlawan menjadi lebih ringan.

“…Wow, kalau begitu kita nggak bisa kalah!” Pahlawan berkicau, dan kemudian dia memaksa dirinya untuk tersenyum. Sword Saint dan Sage mengangguk. Mereka berdua mengetahui. Mereka mengetahui bahwa gadis kecil ini banyak berbicara pada dirinya sendiri. Ini adalah waktunya untuk pahlawan melakukan bagiannya.

Bagiannya: satu kata sederhana, namun beban yang begitu besar. Walaupun massa yang berbincang tidak akan pernah memikirkannya.

Untuk menyelamatkan dunia bukanlah kewajiban yang harus di tanggung sendirian.

“Ya—semua orang melakukan bagian mereka untuk kita,” Sword Saint berkata.

“…Dan kita juga harus melakukan bagian kita,” Sage menyetujui.

Mereka akan melakukan segalanya yang dapat mereka lakukan. Dengan ucapan temannya menyentuh hati Pahlawan, dengan segera dia berkata, “Pastinya!” dan menyeringai.

*****

Ketika mereka mendobrak pintu (bang!) dan masuk ke dalam ruangan besar, tempat ini tampak penuh dengan semua kegelapan di dunia. Benda yang dulunya merupakan orang, tersebar di segala arah, secara perlahan terserap oleh dinding daging yang berdenyut. Dinding sedikit naik dan turun di setiap denyutan, dan Sage akhirnya mendapati kesimpulan yang tak terhindarkan. ”:…Keseluruhan dungeon ini pasti semacam tubuh baru.”

“Benar,” datang sebuah suara dingin yang bergema di dalam kegelapan.

Makhluk ini bukan berasal dari dunia ini, Pahlawan berpikir. Adalah jelas dari udara yang mengisi ruangan. Semuanya terasa terlalu dingin di sini bagi manusia untuk bisa bertahan hidup.

“Aku terkesan kalian bisa mencapai sejauh ini, para pahlawan.”

Di ujung ruangan adalah sebuah altar—atau mungkin singgasana, atau mungkin semacam tiang gantungan, sulit untuk mengetahuinya. Kegelapan menggeliat di sana dengan wujud manusia. Dan terdapat seorang wizard, tongkat pria itu yang berdiri tegak berkelip seperti permata, gelap pakaiannya bagaikan dia memakai gelapnya malam sebagai bajunya.

Akan tetapi, wajahnya bukanlah manusia. Pria itu lebih terlihat seperti tengkorak putih pucat. Seekor lich atau mungkin wight, mungkin, seseorang yang melalui latihan sihir terus bergentayang di dunia ini bahkan setelah mati.

“Kedatanganmu sudah aku tunggu, tapi kamu terlalu cepat datang kemari. Ya, dua puluh kali lebih cepat dari yang aku kira.” Suaranya terdengar bagaikan angin kering, menghembus melalui ranting-ranting dari pohon mati. Tidak ada mahluk hidup yang dapat membuat suara seperti itu.

Bahkan setelah berhadapan dengan suara mengerikan ini, Pahlawan hanya mendengus dan menyeringai. Dua puluh tahun, dua puluh bulan, dua puluh minggu, dua puluh hari, dua puluh jam, dua puluh detik? Tidak penting—siapa yang peduli dengan prediksi bodohnya?

Sang raja undead memutar mata kusamnya, yang bagaikan api putih kebiruan, pada pedang legenda yang bersinar dengan cahaya hangat dari mentari pagi, dan melambaikan tangannya. “Agar lebih jelasnya, aku sama sekali tidak memiliki niatan untuk menghancurkan dunia atau semacamnya.”

“Ucapan dari monster yang berusaha membalikkan papan,” Sage membalas. Suara wanita itu selalu datar, hampir acuh, hingga membuat temannya sang Pahlawan selalu tidak yakin apa yang di rasakan wanita itu. Namun walaupun begitu, Pahlawan dapat merasakan nada dingin dalam suara Sage.

Itu artinya dia benar-benar marah, pikir Pahlawan.

“Ya, dan ketika aku melakukannya, lahan ini dengan sendirinya akan menjadi salah satu sudutnya.” Raja undead membuat dirinya sendiri nyaman di tahtanya, tampak tidak sadar akan suasana hati Sage. Dari sebuah sudut Dunia Bersudut Empat, satu sudut akan dapat melihat tiga sudut lainnya—di luar papan. Seseorang harus dapat bisa berjalan di dunia gaib, dengan kata lain.

Raja undead tengah berbicara mengenai puncak pencapaian sihir, namun nada Sage tetap tidak berubah. “Kamu akan banyak membunuh orang-orang dengan melakukan ini. Banyak yang sudah mati. Orang-orang yang tidak akan bisa kita temui kembali.”

“Semua makhluk yang hidup akan mati.” Raja undead berkata seolah dia memahami segalanya di dunia. Seolah ingin mengatakan, setelah memahami hal ini, semua orang itu dapat korbankan.

“Sayangnya kita tidak akan membiarkan itu,” Sage membalas datar. “Dunia terlalu luas untuk bagimu untuk menentukan siapa yang hidup dan mati.”

Dunia yang kamu klaim sudah tidak di butuhkan akan menjadi sangatlah kecil.

Mereka berdua, yang pastinya adalah salah dua dari pembaca mantra terhebat di Dunia Bersudut Empat, saling bertatap mata. Sebuah pertarungan di antara para penyihir di lakukan dengan kalimat, yang berarti ini bisa di bilang ini sudah merupakan pertukaran mantra.

Wizard kuno mungkin akan menyebarkan kartu-kartu yang berisikan mantra mengerikan di depan mereka, namun Sage ataupun necromancer ini masih belum mencapai tingkatan itu. Seseorang berkata bahwa pencapaian tersebut tidak di perlukan—sementara yang lain berkata bahwa dunialah yang tidak siap dengan pencapaian itu, jika penumbalan yang di butuhkan untuk dapat mendorong mereka hingga mencapai ketinggian tersebut.

Bahkan tanpa kalimat berikutnya, alur pertarungan ini sudah jelas bagaikan api yang membara.

“Ini bodoh…” ucap Pahlawan, yang mendengarkan dengan diam, namun sekarang, akhirnya tidak dapat menahannya lagi, berbicara untuk mendukung Sage. “Aku tahu kalau kita nggak perlu repot-repot mendengarkanmu. Kami seharusnya langsung membunuhmu saja.”

“Hei, mendengarkan ucapan terakhir seseorang itu sopan santun,” ucap Sword Saint, seolah sedang menegur gadis muda itu (Yah, tidak terlalu seolah juga. Dia memang menegurnya.) “Nggak banyak lagi yang bisa dia harapkan, mengingat kita datang untuk membunuhnya.”

“Ini adalah bagian di mana penjahat seharusnya berkata setidaknya aku dapat mengampuni nyawamu atau aku akan memberikanmu separuh dunia ini, atau semacam itu, kan? Kecuali…Kurasa itu akan menjadi kalimat kita sekarang.” Pahlawan tertawa, dan Sword Saint hanya dapat mengangkat pundaknya menyetujui. Adalah benar: Merekalah yang menyerang tempat ini, dan musuh mereka yang tengah berdiri untuk mati.

Mereka datang kemari untuk membunuhnya. Tidak kurang dari itu. Adalah jelas siapa yang memiliki keuntungan di sini.

Jemari necromancer berderak pelan seraya dia menggenggam tongkatnya. Dia telah mengusir para wyvern dari sarangnya; dia telah mempersiapkan ritualnya; dia telah menciptakan pasukan undeadnya; dia telah merencanakan dan melaksanakan keseluruhan rencananya. Mendengar ritual yang di mana telah dia curahkan segenap harga dirinya di katai “bodoh” –yah, tentu saja dia marah.

Itulah mengapa seseorang yang sudah terbang mengarungi luar papan telah melihat segalanya. Sebuah berkah dari mage itu, tergabung dengan takdir yang berputar dari beragam macam orang, yang telah membimbing hingga mencapai titik ini.

Semuanya adalah reaksi efek berantai.

“Aku yakin kamu berpikir bahwa dirimu pintar, tapi aku yakin apa yang akan di katakan dewa jahat terkutuk itu.” Sebuah senyum tipis bermain di bibir Sage. “Rencanamu itu tidaklah sempurna atau pasti.”

Ucapan ini tampaknya memberikan serangan kritikal.

“Aku berpikir kalau mungkin aku akan membuatmu abadi, agar aku selamanya dapat mempermalukanmu untuk menghabiskan waktu keabadian…”

Thrum. Sebuah bayangan bangkit di depan mereka. Bayangan kematian. Dungeon master mengerikan yang menyerang Dunia Bersudut Empat. “Tapi sepertinya akan lebih baik untuk menggantung kepalamu yang terpenggal di sebuah tiang!”

“Coba saja kalau bisa!” Pahlawan berteriak. “Aku siap melawanmu!”

Pertarungan di mulai.

*****

Mantra terbang, cahaya berkelip, kehidupan dan kematian terbelit. Mengatakan bahwa pertarungan ini sama sekali di luar nalar imajinasi—yah, itu akan menjadi alasan yang mudah, namun saya memohon ampunan kalian seraya saya mencoba untuk menjabarkan pertarungan ini.

Ini adalah sebuah pertarungan yang memerlukan imajinasi.

Adalah Sage yang membuat gerakan pertama: “Caelum…carbunculus…concilio! Batu api, menghujani dari surga!”  sebuah hujan meteor muncul dari dekat plapon dari ruangan besar ini, menghujani ke bawah. Seraya satu persatu komet menghantam lantai, memuncratkan api, Sword Saint dan Pahlawan menyerang ke depan. Pedang Sword Saint tidak dapat cukup mencapai monster itu. Namun apakah dia peduli? Pedang Pahlawan, kilauan pedang matahari yang terangkat tinggi di atas kepala, adalah yang terpenting di sini.

“------?!”

Akan tetapi pergerakan Pahlawan sedikit lebih lambat dari yang seharusnya. Hanyalah hitungan detik. Mantra terkecil dari mantra Hold.

“Dari darah menjadi pasir, daging menjadi batu, jiwa menjadi debu.”

Pahlawan merasa merinding di sekujur tubuhnya. Adalah kutukan petrifikasi. Dia menggertakkan giginya dan mencoba untuk menyelamatkan dirinya dari rasa dingin yang menusuk punggungnya. Sword Saint melompat ke depan untuk melindungi Pahlawan apabila Pahlawan sudah tidak dapat bergerak lagi…

“Kamu menyebalkan sekali!” dia berteriak, dan dari lantai muncul segunung pedang, sebuah hutan pedang. Adalah dinding pedang. Apapun yang menghantam dinding ini akan tercabik berkeping-keping.

Aku akan melakukan apapun yang ku bisa…untuk menembusnya! Itu memanglah harga diri dari seorang warrior manusia. Tanpa sedikitpun kebimbangan, Sword Saint terjun ke tengah medan perang, menarik pedangnya, membiarkan darahnya terbang bagaikan bendera.

“Luar biasa…!” Penampilan itu membuat Sword Saint menerima pujian dari raja undead, walaupun apa yang di maksud monster itu adapah luar biasa bagi seorang barbarian liar.

Sword Saint mendecakkan lidah, sama sekali tidak mempedulikan sopan santu kewanitaannya. Dia tidaklah senang melihat musuhnya masih dengan santainya menyengir kepadanya. Monster itu seharusnya berteriak ketakutan, terkekang oleh rasa takut mengetahui kepalanya akan segera terpenggal.

“Aku sudah siap lagi sekaraang!” Pahlawan berteriak, mendapatkan keseimbangannya kembali. “Mundur sedikit untukku, oke?!”

“Aku masih belum selesai denganmu…!” Sword Saint meraung, namun Pahlawan melirik kepadanya dan mengangguk, kemudian mengambil langkah pasti ke depan. Tidak ada jarak untuk di dekati. Satu langkah saja sudahlah cukup. Namun seraya dia mengambil satu langkah itu, sebuah mantra melayukan menyerangnya.

“Mengkerutlah di tempatmu berdiri. Menghabiskan waktu di alam liar, haus mencari hujan, terbakar oleh matahari.”

“Mors…adversus…anima! Kematian, kembalilah menjadi kehidupan!” Serangan raja terpental oleh mantra lain yang berasal dari belakang Pahlawan; dia sama sekali tidak perlu merasa takut pada apapun.

“Pengganggu kecil…!” Raja undead membuat gerakan besar dengan tangan kiri, tangannya yang tidak memegang tongkatnya, kemudian menunjuk kepada gadis yang mendekat. “Sebuah pedang pamungkas, dan tongkat hitam, ketika delapan terbagi menjadi dua, yang tersisa hanyalah tangan pencabut Grim Reaper!”

Adalah sebuah rapalan kematian sekejap, sebuah tangan mengerikan  menjulur untuk meremas jantung Pahlawan—namun Sword Saint, dengan kilaunya, menghempaskan tangan itu.

Namun ini, memberikan sebuah celah yang di tunggu oleh raja undead. Dengarkanlah kata akan kekuatan sejatinya!

“Magna…manus…facio! Bentuk, tangan sihir!”

“Hrrnnghh?!” Sebuah kekuatan dinding tak kasat mata yang berbentuk kepal tangan yang mengamuk, menghantam Pahlawan, dan gadis kecil itu tidak dapat menahan teriakannya.

Dia menggeliat. Dia menendang dengan satu kakinya yang bebas, menggertakkan giginya, mencoba untuk melawan dengan segenap kekuatannya. Tulangnya berdecit. Pergelangannya menjerit. Sangatlah sulit untuk bernapas, dan dia merasakan sesuatu yang pahit merayap naik menuju mulutnya. “Argh… Agghh…!”

Sakit. Seperti tersambar petir, dan terbakar api, dan petrifikasi dari sebelumnya—dan sekarang dia merasa takut.

Tapi..takut dan menyakitkan…cuma itu saja. Di menendang udara, memaksa kekuatan mengalir kepada lengannya dan dengan upaya keras dia tetap menggenggam pedang sucinya, dia tetap bertarung. Itulah mengapa dia masih berada di sana, mengapa mantra Sage datang tepat pada waktunya, sebelum Pahlawan merasa organ dalamnya akan di hancurkan.

“Arma…fugio…amittimus! Senjata, lari dan menghilanglah!”

Jika sebuah tangan dapat menggenggam, maka tangan dapat juga terpeleset, jadi Fumble akan selalu berefek. Pahlawan terputar-putar di udara bagaikan boneka rusak, namun dia berhasil mendarat dengan kakinya. Dia memaksa kekuatan mengalir ke kakinya yang gemetaran, berdiri dan mencoba untuk mendapatkan kembali ketenangan pada wajahnya yang luka dan beringus. “Ku kira aku bakal mati…!” Dia berkata.

“Yah, kamu masih hidup,” jawab Sage, mengelap darah yang mengalir dari mulutnya, sebuah konsekuensi dari Overcasting. “Aku berhasil tepat waktu.”

Entah bagaimana Pahlawan berhasil tersenyum. Dia tahu bahwa dialah yang seharusnya menangani pasukan musuh dari sebelumnya. “Heh! Aku nggak akan keberatan kalau kamu sedikit lebih cepat tadi…!”

Dia mengelap air mata di matanya (sebuah respon biologis), kemudian menggenggam pedang sucinya dengan lebih baik sebelum melancarkan dirinya sekali lagi menuju bayangan.

Sementara Sword Saint menahan garis depan sendirian. Dengan kekuatan dari Storm Giant, dia cukup kuat untuk melawan wizard manapun, tidak peduli seberapa mengerikannya mereka. Sekujur tubuhnya berdarah, sebuah pemandangan yang menyedihkan, namun memangnya kenapa—darah hanyalah bukti bahwa dirimu masih hidup. Dia kehilangan sedikit dari rambut panjangnya, rambut kebanggannya, namun dia aman.

Pepatah elf mengatakan mencuri sehelai rambut perawan, atau membuat satu goresan pada kulit mulusnya, harus di bayar dengan nyawa, dia berkata di dalam hati.

“Begitu. Kamu sudah bertahan dengan baik—dengan kekuatan besar yang telah di berikan kepadamu.” Raja undead tertawa pada dirinya sendiri. Dia memutar tongkatnya mengarah Sword Saint yang mendekat—tidak. Pahlawan tengah berdiri juga, dan menyerang ke depan, dan Sage telah mendapatkan kontrol napasnya kembali dan mengangkat tongkatnya. Necromancer berhadapan dengan mereka bertiga semua.

“Magna…remora…restringuitur! Akhir dari sihir!”

Sebuah gelombang beku menyerang para wanita muda. Adalah hampir mustahil mereka dapat melihat gelombang itu mencapai tubuh mereka, memusnahkan segala macam kekuatan yang telah di berikan kepada mereka. Kekuatan raksasa, segala macam ketahanan sihir, kecepatan bagaikan angin, ketajaman pedang—segalanya.

Counterspell: sebuah mantra yang menghapus segala macam sihir lain, sebuah permainan penentu di dalam pertarungan di antara wizard.

“Sihirmu tidaklah ada apa-apanya, O sage,” necromancer berkata. Namun Sage tidak berkata apapun; dia tidak menerima umpan itu. Atau mungkin dia tidak dapat mengatakan apapun. Mungkin yang hanya dia dapat lakukan sekarang hanyalah bertumpu pada tongkatnya….

Sebaliknya, adalah Sword Saint yang menjawab. “Terus? Memangnya kenapa?”

“Hrk?!”

Pedangnya mengoyak dada necromancer seolang ingin mengatakan bahwa ini semuanya sangatlah bodoh. Raja undead dengan segera membuat sebuah pedang sihir dari tongkatnya, menyayat Sword Saint lagi dan lagi. Dia bukanlah seorang master swordman, namun dia menggunakan kekuatan fisiknya sebagai undead berlevel tinggi sebagai pengganti kemampuannya.

Sword Saint berlumur dengan luka, nyawanya seharusnya sudah berada di dalam bahaya—namun dia menggerakkan kakinya, bergerak menghindari serangan musuh, menyelip satu persatu serangan dengan jarak yang tipis. Hanya ini yang dia lakukan, akan tetapi ini sangatlah kritikal.

Dia merubah sudutnya untuk mendapatkan sasaran yang lebih baik. Menggerakkan kakinya. Merubah sudutnya. Menggerakkan kakinya. Gerakan kakinya sangatlah kecil, namun itu sudah cukup untuk menahan serangan necromancer.

“Heh-heh!” Sword Saint menyengir, dan kemudian dia bergerak bagaikan air mengalir, pertama kanan, kemudian kiri, menyayat, menusuk. Mata raja undead terbelalak terpukau pada pemandangan dansa pedang ini.

Wanita itu meremas katana di tangannya. Sebuah hal yang sangat biasa, setidaknya untuk pedang yang berasal dari timur. Retak samar dan cuilan dapat terlihat pada baja mata pedang itu, bukanlah sesuatu yang aneh; namun…

“Pedang baja…?!”

“Aku nggak peduli tentang perbedaan kebagusan setiap senjata.” Sword Saint berkata dengan senyum—dia hampir terdengar seperti akan menjulurkan lidahnya bagaikan anak kecil. Jika seseorang yang pernah menggunakan pedang seperti itu di Dungeon of the Dead mendengarnya, maka orang itu akan tertawa.

Sword Saint tidak mengetahui apakah pedangnya adalah senjata legendaris atau terkenal, dan dia tidak mempedulikan itu. Kepercayaannya—keyakinannya—dan di rangkum menjadi beberapa kalimat: “Pedang yang nggak akan patah, nggak akan bengkok, adalah pedang yang bagus. Dan itulah mengapa aku akan menang!”

“Terkutuk kamu…!” Namun seraya raja undead meludahkan kalimat itu, cahaya dari matahari mulai mengintip masuk ke dalam kegelapan dari ruangan ini.

Adalah Pahlawan: Armornya yang berkilau ternodai dengan kotoran, langkahnya lunglai, akan tetapi dia masih mengangkat tinggi pedangnya. Serangan Sword Saint cukup kuat untuk menghancurkan hantu yang menggerakkan mayat-mayat itu. Undead membusuk yang tersisa tidak akan bisa melarikan diri. Alih-alih, para undead itu melotot penuh kebencian pada pedang matahari. “Bidak dewa bajingan…!”

“Apa kamu mau beralasan kalau kamu kalah karena nggak siapapun yang mengendalikan dirimu? Kamu pikir kamu akan menang kalau ada yang mengendalikanmu?”

Necromancer itu mungkin ingin berharap seperti itu, tetapi dia hanyalah seorang pecundang. Dan itu membuat dirinya terlihat menyedihkan. Pahlawan menggenggam pedang dengan kedua tangan. Tampaknya dia tidak dapat mengumpulkan tenaganya. Dia menggertakkan giginya dan mencoba kembali.

Itulah ketika suara dewi peperangan berdenting. Mantra yang tengah di fokuskan oleh Sage selama ini, dengan senyap dia rajut penuh konsentrasi, akhirnya selesai.

“Ennoia… Iao… Aurora. Kebijaksanaan… Api… Subuh!”

Kekuatan kembali kepada tubuh babak belur Pahlawan. Dia dapat bertarung kembali. Dia dapat mengangkat pedangnya kembali. Rasa sakit dan takut masih tersisa, namun ini sudah cukup untuk meneruskannya.

“Bahkan kamu sekalipun akan menemui kehancuranmu suatu hari! Biarkan saja mereka memujimu, biarkan mereka menyembahmu—pada akhirnya, kamu akan kembali menjadi debu!”

“Memang.” Sekarang Pahlawan memiliki kekuatan untuk tersenyum. Mengapa tidak? Kurang lebih, mereka semua mengatakan hal yang sama. Seolah mereka sudah menyetujui ini sebelumnya. “Tapi nggak sekarang!”

Jika dia dikalahkan sekarang, dunia akan jatuh ke dalam kegelapan. Bagaimana dia bisa bertatap muka kepada semua yang sudah menolong dirinya? Terdapat banyak prajurit, dan petualang lain, keluarga mereka, dan banyak orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua--dan dirinya. Itulah mengapa raja undead dan semua komplotannya mengatakan hal yang sama—karena mereka tidak mengetahui satupun dari orang-orang itu. Itulah mengapa mereka dapat berbicara dengan sangat tenang mengenai penghancuran dunia, tentang pembunuhan orang—bahkan berpikir bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.

Mereka percaya tidak ada seorang pun yang akan menyelamatkan dunia jika orang tersebut tidak di kendalikan oleh para dewa? Jika sang necromancer benar-benar merasa seperti itu, maka tidak ada lagi yang dapat Pahlawan katakan untuk meyakinkannya. Dan kalau begitu, hanya ada satu hal untuk aku katakan—satu hal untuk aku lakukan—sebagai perwakilan semuanya.

Sebelum dia melancarkan serangan untuk memanggil subuh, dia berteriak: “Terima ini, monster!”

Adalah seolah matahari telah meledak.