Adik yang Panik
(Bagian 3)

(Penerjemah : Nana)


“Kalau kita mengesampingkan tentang yang sudah terjadi, maka kali ini solusinya sudah jelas.”

Ungkap Futaba saat Sakuta memasuki lab sains saat istirahat makan siang. Sebelumnya ia memberitahu Futaba tentang hal-hal yang terjadi sebelum bimbingan kelas pagi.

Sakuta duduk berseberangan dengannya dari meja lab sambil mengunyah roti yakisoba [1] yang ia beli dari truk roti yang menjual bekal makan siang. Di antara mereka berdua terdepat gelas beker yang berada di atas pembakar gas yang sedang mendidihkan air yang ada di dalamnya.

Ketika air tersebut sudah mendidih, Futaba menuangkannya ke dalam wadah mi instan harusame.

“Kau sedang diet?” tanya Sakuta.

Entah kenapa, Futaba menatap sinis ke arahnya.

“Seseorang yang menjadi perwujudan dari orang gegabah memberitahuku kalau tubuhku berat.”

“Siapa itu?”

“Tentu saja Sakuta yang memboncengiku di belakang sepeda Kunimi.”

“…Ooooh benar juga.”

Sakuta hanya bisa tertunduk dan mengingat hal itu. Saat liburan musim panas, mereka memanggil Kunimi saat tengah malam buta dan berjalan menuju pantai untuk menyalakan kembang api. Sakuta harus menempatkan Futaba di kursi belakang sepeda untuk sampai ke pantai.

“Keadaan di mana kau menganggap tubuhku itu gemuk sangat memalukan untuk dijalani.”

Tampaknya ia membuat kesal Futaba, jadi Sakuta mengira akan lebih baik buatnya untuk membahas masalah awal mereka.

“Jadi solusinya apa?”

“Kau memang benar-benar jahat, Azusagawa.”

“Kuucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.”

“Solusi ini melibatkan asumsiku tentang pemicu Sindrom Pubertas yang berdasarkan contoh sebelumnya.”

“Mm-hmmm.”

“Dan asumsiku itu menyatakan kalau kondisi emosi yang tak stabil merupakan penyebab utama dari fenomena yang tak dapat dijelaskan ini.”

“Aku juga setuju.”

Di kasus sebelumnya---terutama di kasus Futaba dan Koga---teori itu sejalan dengan yang terjadi.

“Jadi kau hanya harus menyelesaikan situasi yang menyebabkan ketidakstabilan itu pada sumber masalahnya.”

“Memang masuk akal.”

“Dan jika Aku saja bisa menebak sumber dari masalah ini hanya dengan ringkasan kejadiannya, kurasa kau juga sudah sadar tentang hal itu.”

Futaba mengangkat ponselnya sambil menunjukkan layar ponselnya ke Sakuta.

Layar tersebut menunjukkan situs penggemar yang didedikasikan untuk aktivitas idol Sweet Bullet.

Mereka sudah ada semenjak satu tahun terakhir. Setelah diselenggarakan audisi untuk mencari bakat baru, ketujuh anggota yang saat ini masih aktif dipilih.

Sejak saat itu, mereka telah mengeluarkan lima single lagu dan penjualan dari setiap singlenya pun tidak cukup baik. Hanya salah satu dari kelima singlenya yang sampai ke 20 tanggal lagu teratas di minggu pertama penjualannya.

Konser yang mereka selenggarakan juga umumnya dibarengi dengan idol lain dari agensi yang sama. Kebanyakan juga diselenggarakan di tempat-tempat kecil. Yang dihadiri tidak lebih dari tiga ratus orang.

Nodoka sendiri tampaknya berada di peringkat ketiga atau keempat dari grup idolnya, jika dilihat dari tingkat kepopulerannya. Karena mereka hanya beranggotakan tujuh orang anggota, dia berada tepat di tengah-tengah. Rupanya dia juga mempunyai nama panggilan Doka.

Futaba saja bisa mendapatkan informasi sebanyak itu dalam waktu singkat hanya dari ponselnya. Sungguh luar biasa yang namanya zaman modern itu.

“Sementara itu, Sakurajima-senpai sendiri…”

Futaba kembali mengutak-atik ponselnya dan menunjukkan layarnya lagi ke Sakuta.

Lalu dia menunjukkan runtutan pencapaian yang telah dilakukan oleh Mai, mulai dari debut serial TV-nya hingga saat ini. Baris demi baris dari film dan acara TV terkenal serta penghargaan yang tidak terhitung jumlahnya terdokumentasi secara menyeluruh.

Bahkan membaca sekilas dari seluruh daftar itu membutuhkan waktu lama.

Sama seperti yang dibilang Futaba, sumber masalahnya sudah terlihat jelas.

Mempunyai saudari yang terkenal akan membuat siapa pun merasa minder. Karena masalahnya Mai terlalu terkenal.

“Tapi bagaimana caranya menyelesaikan ini?

“Dengan jadi idol yang dikenal di seluruh penjuru negeri ini?”

Futaba tidak terdengar seperti sedang bercanda.

“Aku tanya serius,” ucap Sakuta.

“Jawabanku juga serius,” balas Futaba.

Setelahnya, Futaba membuka penutup dari harusame-nya dan memasukkan garpu ke dalamnya. Sakuta sendiri menunggunya akan jawaban lainnya, tapi selain tersenyum sampai menghabiskan mie instannya dia tidak berbicara satu patah kata pun lagi. Rupanya, begini cara para gadis membalas dendam pada pria yang memanggil mereka gemuk. Ia harus mengingat itu untuk kedepannya.


Selama jam kelas selanjutnya, Sakuta memikirkan saran Futaba yang bijaksana itu dan berniat untuk menjadikan Nodoka sebagai idol papan atas.

Tapi ia bukan produser yang punya sentuhan tangan Midas [2], jadi ia tidak bisa apa-apa. Ia sudah tahu kalau peluangnya kecil dari awal, dan karenanya ia mulai benar-benar memperhatikan pelajaran yang berlangsung. Setelahnya, kelas sore berlalu.

Ia bisa saja memperimbangkan hal ini lagi begitu ia membahas masalahnya dengan Nodoka. Karena dia belum sekalipun memberitahu Mai atau Sakuta tentang alasannya kabur dari rumah.


Sepulang sekolah, Sakuta segera menuju ke lantai tiga tempat para siswa-siswi kelas tiga untuk menjemput Nodoka tetapi sudah bertemu dengannya di tangga.

“Oh, pujaan hatiku!”

“Apanya?” ejeknya.

Setelah seharian berpura-pura sebagai Mai, dia jadi lebih mirip dengan Mai yang asli.

Mengingat kalau tidak ada seorang pun di sekolah yang cukup dekat dengannya, dia bisa saja menjadi Mai tanpa ada siswa-siswi lain yang menyadari kalau dia ini bukan Mai.

“Kita pulang bareng, ‘kan?” tanya Sakuta.

Mereka menuruni tangga bersama. Dari tengah anak tangga sampai ke lantai dua, lalu turun lagi sampai di lantai satu.

Di saat sedang menuruni tangga, Nodoka memberitahunya, “Aku masih tak percaya.”

“Mm?”

Onee-chan benar-benar tak punya teman satu pun di sekolah.”

“Aku sendiri tak melihatnya langsung, tapi Mai-san sangat sibuk bekerja selama semester pertamanya di kelas satu sampai dia tak bisa datang ke sekolah.”

Dia benar-benar kehilangan kesempatannya untuk berbaur dengan siswa-siswi lain di kelas, untuk menjadi bagian dari siswa-siswi biasa. Mai sendiri pernah bilang kalau dia selalu sibuk bekerja selama ini sampai-sampai dia tidak pernah bisa menyesuaikan diri baik di SD maupun SMP. Mencoba untuk memperbaiki waktu yang hilang itu diluar dari kemampuannya. Dia menjalani seumur hidupnya tanpa tahu seperti apa rasanya punya teman “biasa.”

“Alasan yang sepele…”

“Biasanya begitu kan.”

Dia terdiam cukup lama, lalu berkata, “Yeah, memang biasanya begitu.”

Dia pasti mengingat bagaimana pertemanan di SMA-nya yang begitu mudahnya memudar. Sakuta bisa mengetahui perasaan itu dari nada bicara yang diucapkannya.


Di luar gerbang sekolah, bel peringatan berbunyi di perlintasan kereta api yang ada di depan.

“Sudah lama tak lihat yang seperti ini,” ucap Nodoka.

“Sedang pamer karena sekolah di kota?”

Ada banyak jalur kereta yang dibuat layang akhir-akhir ini, jadi banyak jalur baru yang tidak melintasi jalan biasa seperti ini.

“Kenapa pula harus pamer tentang itu.”

Terlihat kereta yang melaju keluar dari Stasiun Shichirigahama dan bergerak maju melewati perlintasan tersebut. Lajunya begitu lambat sehingga mereka bisa melihat jelas dari wajah orang-orang yang ada di dalamnya. Termasuk juga para siswa-siswi Minegahara. Mereka pasti bagian yang langsung pulang setelah kelas selesai.

Saat mereka selesai menyaksikan kereta yang melaju melewati perlintasan, bunyi bel peringatan tersebut berhenti. Tiba-tiba suasananya menjadi hening kembali. Dan gerbang perlintasan perlahan terangkat.

Kerumunan dari siswa-siswi yang menunggu mulai bergerak lagi. Sakuta dan Nodoka juga ikut menyeberang dengan mereka.

Di depan mereka terdapat turunan yang tidak begitu curam. Turunannya sampai ke Jalan Raya Rute 134. Dan setelahnya tidak ada apa-apa lagi selain lautan yang membentang luas serta disinari oleh cahaya matahari sore yang berkilauan.

Tiupan angin datang menghantam bukit yang mereka turuni dan membawa aroma dari akhir musim panas.

“Lautan…,” ucap Nodoka yang berhenti tepat di mana para siswa-siswi lain berbelok ke kanan menuju ke stasiun.

Sakuta sendiri sudah mulai berbelok, tapi ia kemudian berhenti dan melihat ke arah air laut.

“Mau singgah sebentar?” tanya Sakuta lalu mulai berjalan ke arah pantai.

Nodoka juga mengikutinya tidak lama kemudian.


Lampu lalu lintas yang ada di Jalan Raya Rute 134 butuh waktu lama sekali rasanya untuk berubah menjadi hijau, tapi sekali mereka sudah menyeberangi jalan raya itu, Nodoka segera berlari menuruni tangga yang menuju ke pantai.

“Akhirnya lautan yang asli!”

Neng, di Yokohama juga ada lautan, ‘kan?” [3]

“Lebih bagus kalau yang ada pantainya,” ucap Nodoka. Pasir pantai itu membenamkan kakinya, tapi tampaknya dia menikmati sensasi itu.

Sekarang ini hari kerja, jadi tidak ada banyak orang yang sedang mengunjungi pantai. Hanya ada beberapa pasang keluarga dengan anak-anak mereka dan sekumpulan mahasiswa yang liburan musim panasnya sampai bulan September. Dan juga kerumunan para peselancar angin yang biasanya.

Benar-benar jauh lebih sepi dibanding saat puncak musim panas dengan kerumunan banyak orang.

“Apa boleh masuk ke air?” tanya Nodoka dengan mata yang menatap ke arah kumpulan orang yang bermain dengan ombak.

“Uh, bukan berarti harus perlu izin…”

“Kalau begitu Aku mau main,” ucapnya sebelum Sakuta selesai berbicara. “Dari tadi Aku kegerahan!”

“Bagaimana dengan itu?” tanya Sakuta sambil menunjuk ke stocking yang dipakai Mai.

“Huh? Tentu saja kulepas.”

Kemudian, dia memasukkan kedua tangannya ke dalam sisi rok. Merogoh-rogoh sedikit dan stockingnya sudah terlepas sampai di sekitar lututnya. Da melepas satu per satu dengan bersandar pada dinding dan tubuh bagian atasnya berbalik untuk meraih kaki yang terangkat.

Cara yang cukup mengesankan. Hampir saja bisa mengintip bagian dalam roknya, tapi tetap tidak bisa.

Meski gerakannya sendiri saja sudah sangat memikat.

“Aku tak tahu kalau cewek yang lagi lepas stocking sangat seksi.”

“J-jangan lihat, dasar bodoh!”

“Aku itu pacarmu. Jadi tak apa.”

“Pacar atau bukan, ada juga yang tak boleh.”

Dia juga melepas bagian stocking yang satu lagi dengan cara yang sama. Lalu, dia menggulung stockingnya itu, memasukkannya ke tas, dan berlari ke tepi pantai. Meninggalkan Sakuta yang hanya menonton dari belakang.

“Oh, enaknya! Pantai ini menakjubkan!” seru Nodoka sambil menendang-nendang air laut di bibir pantai.

“Kau memang benar. Sangat menakjubkan.”

Ia hampir tidak pernah melihat kaki telanjang Mai. Pemandangannya itu sangat memesona. Mungkin ini yang pertama kalinya bagi Sakuta melihat sepasang kaki telanjang itu sambil mengenakan seragam sekolahnya.

“Ke-kenapa kau menatap ke kakiku?”

“Karena sangat indah.”

“Berhenti lihat tubuh onee-chan dengan mata mesummu itu!”

“Aku ingin diapit di antara kaki itu.”

“……”

Ucapan terakhir Sakuta sangat mengganggunya sampai-sampai tidak bisa membalas perkataannya. Jelas sekali terlihat kalau dia salah sangka.

“Cuma memperjelas saja, yang kumaksud wajahku.”

“Kenapa kau mengira kalau itu tak apa? Mati sana.”

“Kalau Mai-san pasti akan bilang, ‘Mengapit wajah pria yang lebih muda di antara kakiku bukan masalah besar.’”

“…Onee-chan, sebenarnya apa sih yang kau lihat dari cowok ini?”

“……”

“Kenapa dengan tatapan ikan matimu itu? Ngajak berantem?”

“Tidak, tapi Aku punya pertanyaan buatmu.”

“Huh?”

Pertanyaan yang sudah membuatnya penasaran sejak kemarin.

“Kenapa kau tak memanggil onee-chan kalau sedang bicara dengan Mai-san?

Dia bahkan bersikap seperti orang asing karena memanggil Mai dengan namanya langsung.

“……”

“Kau juga mengubah nada bicaramu sehingga jadi lebih sopan. Sangat berbeda ketika denganku.”

“Tentu saja Aku harus bicara sopan! Wajarnya, dia itu ‘senpaiku.’”

Dia sudah pasti sedang beralasan. Karena dia juga tidak menatap langsung ke Sakuta. Tatapannya sedang tertuju ke ombak yang menghantam kakinya.

“Cuma itu?”

“Iya.”

“Kalau begitu kenapa pergi ke tempatnya ketika kabur dari rumah?”

“Huh?”

“Biasanya, jika kau sedang punya masalah sampai harus kabur dari rumah, kau tak pergi ke tempat dari orang yang bahkan tak kau akui sebagai kakakmu sendiri.”

“……”

“Kalau Aku sih pasti akan kabur ke orang yang lebih dekat dari itu.”

Nodoka sendiri juga bilang kalau dia dekat dengan teman-teman semasa SMP-nya. Dia juga bilang kalau dia masih main dengan mereka.

“Aku tak sepertimu.”

“Jadi ada hal yang ingin kau sampaikan ke Mai-san?

“!”

Bahunya tersentak. Penampilannya sekarang ini mungkin seperti Mai, tapi wajah datarnya tidak sehebat yang asli. Karena dia terbujuk oleh semua perkataan Sakuta.

“Apa kau mau bilang seperti, ‘Onee-chan, Aku benci denganmu!’”

“Tidak!” dia berteriak padanya. “Bukan itu..,” bisiknya.

Tetapi dari caranya mengatakan itu, Sakuta bisa menganggap kalau tebakannya itu benar. Dirinya yang terlihat sangat menyangkal hal itu membenarkan tebakannya. Jika benar begitu, maka tebakan Sakuta memang benar.

“Lakukan sesukamu saja, neng,” ucapnya dengan riang. Ia tidak punya niat lagi untuk berurusan dengan emosi Nodoka yang kacau-balau.

“……”

Nodoka hanya berbalik menatapnya, seakan mencoba untuk mengetahui niat Sakuta.

“Tebakanku kalau kau kabur dari rumah pasti karena bertengkar dengan orang tuamu.”

“……”

Sikap diamnya hanya membenarkan perkataan Sakuta.

“Dan jika Mai-san yang menjadi penyebab pertengkaranmu itu, maka masuk akal kalau kau membencinya.”

“?!”

Matanya terbuka lebar. Tebakannya pasti tepat sasaran.

“Ke-kenapa memangnya?!”

“Cewek-cewek memang akan menyalahkan cewek lain ketika pacarnya selingkuh dengan mereka ya.”

Ia yakin kalau Mai pasti sebaliknya.

“Aku bahkan belum bilang apa-apa!”

“Kau tak perlu menjelaskannya segala. Mai-san pasti juga sudah tahu.”

“Tak mungkin…”

“Aku sendiri sudah tahu. Karena itu yang kami bicarakan ketika di memanggilku di stasiun pagi ini.”

“…Ini bukan urusanmu!”

“Kalau begitu berikan kembali tubuhnya.”

“……”

Nodoka menatap Sakuta langsung, tanpa mengalihkan pandangannya. Dia pasti sangat benci dengan sikap Sakuta. Tapi ia sendiri juga tidak suka dengannya, jadi mereka berdua sama saja.

“Kau yang jadi alasannya?” tanya Nodoka setelah terdiam sesaat.

“Alasan apa?”

“Kalau onee-chan kembali ke dunia akting.”

Saat yang sama, dia menunjukkan wajah murung.

“Tidak,” ucapnya, tapi jika Nodoka bertanya ke Mai, dia pasti akan bilang ‘ya,’ sementara Sakuta sendiri tidak. Ia sendiri mengira kalau hanya masalah waktu saja buat Mai. Dirinya yang menentang pendapat Mai sendiri hanya mempercepatnya sedikit.

Mai sudah sadar kalau dia cinta pekerjaannya, jadi dia pasti akan kembali melakukan yang sama pada akhirnya, bahkan tanpa bantuan Sakuta. Dia tidak bisa terus menghindar dari itu.

Nodoka sendiri tampaknya tidak mempercayai dirinya. Ia mengabaikan tatapannya, mengambil kerikil dari pantai, dan melemparnya ke laut.

“Jadi Mai-san yang kembali bekerja menjadi pemicu pertengkaran dengan ibumu?”

Mai baru saja aktif kembali di dunia hiburan dan sudah membintangi beberapa acara. Salah satunya menjadi bintang tamu di acara spesial, tetapi meski begitu perannya itu juga cukup besar. Dan dia melakukannya seprofesional mungkin.

Dan dia juga membintangi banyak iklan sampai-sampai tidak mungkin bagi seseorang kalau dalam satu jam menonton TV tidak melihat wajahnya.

“……”

Nodoka tidak mengatakan sepatah kata pun sejak pertanyaan terakhir Sakuta. Mungkin dia merasa kalau apa pun yang dia katakan hanya akan semakin mengekspos dirinya.

Dia kembali memakai sepatunya dengan kesal dan berjalan menjauh dari bibir pantai. Sakuta yang tidak peduli mengangkat bahunya dan berjalan mengikutinya.

“Jangan mengikutiku!”

“Arah pulang kita sama. Jangan marah begitu; rasanya akan jadi sangat canggung.”

“Kau yang pertama kali memulainya!

“Ack, jangan begitu.”

“……”

Sekarang dia sedang benar-benar mengabaikan Sakuta. Nodoka tampaknya sangat marah.


Mereka tidak berbicara sama sekali sampai mereka kembali ke rumah. Sakuta beberapa kali mencoba untuk memulai percakapan, tapi Nodoka tetap mengabaikannya dan bahkan tidak mau melihat ke arahnya.

Perjalanan pulang selama tiga puluh menit yang sangat menyiksa, tapi Nodoka berhasil mengabaikan Sakuta selama itu juga.

“Kalau Mai-san sudah pulang bicara baik-baik dengannya nanti,” ucap Sakuta di luar gedung apartemen mereka.

“……”

Nodoka tidak membalas ataupun melihat ke arahnya. Kalau begitu tidak ada yang bisa ia bantu lagi.

“Baiklah, Aku pulang dulu,” ucap Sakuta dan berbalik pergi.

“Tunggu,” balasnya hingga membuat Sakuta terkejut.

Pandangannya masih tertuju ke bawah.

“Aku tak mau pulang,” ucapnya.

“Huh?”

“Boleh Aku menginap di tempatmu saja?”

Dia akhirnya menatap langsung ke Sakuta.

“Kau sudah tahu sebagian besar masalahnya, jadi…bagaimana bisa Aku menginap di tempat onee-chan sekarang?”

Memang benar sih, rasanya jadi canggung kalau rahasia kita yang ingin disembunyikan sudah diketahui oleh orang yang bersangkutan.

“Tak perlu khawatir denganku yang sudah tahu. Maksudku, Aku yakin Mai-san sendiri juga sudah sadar.”

“Malah semakin parah kalau begitu! Dan Aku tak bisa pergi ke tempat lain dengan tubuh ini…”

Rasanya masuk akal, tapi juga tidak.

“Alasanmu apa kalau Mai-san tanya?”

“Yah…”

“Tak punya alasan sama sekali?”

“…Bantu Aku cari alasannya.”

“Aku yang kena marah sama Mai-san nanti.”

“Jika kau tak membolehkanku menginap, Aku bisa kena masalah.”

“Tak mau, terdengar merepotkan.”

“Oh, ayolah!”

“Hei!” ucap seseorang dari belakang mereka. “Kalian mengganggu para tetangga. Jangan berteriak di depan rumahku.”

Seorang gadis yang berambut pirang sedang berjalan ke arah mereka dari arah stasiun.

“Ada apa?” tanyanya.

“……”

Nodoka tidak menjawabnya. Atau lebih tepatnya lagi dia tidak bisa menjawabnya. Dia hanya menundukkan kepalanya ke bawah dan tetap terdiam.

Mai melirik ke Sakuta.

Mengajukan pertanyaan yang sama dengan lirikan matanya.

Bagaimana cara ia menjawabnya?

Jujur saja, ia tidak menganggap kalau masalah ini harus ditangani oleh orang lain. Bahkan jika ia terpaksa harus ikut campur, Nodoka sendiri yang masih harus membicarakannya. Kedua orang yang bersangkutan harus tetap membahas masalah ini sendiri-sendiri.

“……”

Tetapi ada benarnya juga kalau masalah ini tidak akan selesai-selesai jika tidak ada yang memulainya. Meski rasanya agak memaksa, tapi Sakuta mengira kalau ia sendiri yang harus memulainya. Menundukkan kepala dan terdiam tidak akan menyelesaikan masalahnya itu.

Dan Sakuta juga mengharapkan kalau Mai bisa menangani semua masalah Nodoka entah bagaimana.

“Mengingat yang terjadi di antara kalian berdua, Toyohama menyarankan kalau dia lebih baik menginap di tempatku.”

“……”

Nodoka menatapnya sinis seolah Sakuta sudah mengkhianatinya. Tapi dia juga salah. Sakuta tidak pernah berada di pihak siapa pun kecuali Mai.

“Kenapa?” tanya Mai dengan nada datar.

“……”

Nodoka tidak menjawabnya. Dia masih menundukkan kepalanya dan terdiam. Mereka tidak akan selesai-selesai kalau begini terus.

“Uh, jadi…,” Sakuta mulai menjelaskan.

“Tunggu,” ucap Nodoka. Dia terdengar gugup, “…Biar Aku sendiri.”

Karena dia sadar kalau Sakuta juga akan mengungkapkannya, maka setidaknya harus dia sendiri yang mengatakannya. Dalam hal ini, ia sudah tidak perlu untuk bilang apa-apa lagi.

Dia kembali terdiam sesaat, dan lalu Nodoka akhirnya memberanikan dirinya untuk mengatakan, “A-a… Aku selalu dibanding-bandingkan denganmu selama ini.”

Suaranya terdengar kecil seperti sedang berbisik.

“Sejak kecil…kita selalu mengikuti audisi yang sama, tapi selalu kau yang terpilih. Setiap kali begitu, ibuku selalu marah padaku. ‘Kenapa kau tidak bisa seperti Mai sih?’ bilangnya.”

Mai tidak membalas perkataan Nodoka, tapi dia juga tidak memalingkan muka darinya. Dia memperhatikan ucapan Nodoka dengan seksama.

“Lalu kau memutuskan untuk hiatus…dan akhirnya Aku bisa melakukan debut sebagai bagian dari Sweet Bullet. Sikap ibuku juga jauh lebih baik, terkadang dia bahkan memujiku…lalu…lalu kenapa kau kembali ke dunia hiburan lagi?! Bisa langsung dapat peran penting di banyak acara TV! Dapat tampil di banyak Iklan! Aku bahkan tak bisa melihat majalah fashion tanpa melihat wajahmu yang ada di sampulnya! Kenapa sih harus selalu menghalangiku?!”

“……”

“Padahal akhirnya Aku mulai sukses dan kau bisa langsung memperolehnya dengan mudah! Kaulah yang selalu menjadi pusat perhatian. Bahkan ibuku sendiri juga cuma peduli padamu! Jangan buat semua usahaku berakhir sia-sia!”

Meski Nodoka mencurahkan segala amarahnya, Mai tidak berkata apa-apa. Ekspresi wajahnya juga tidak pernah berubah. Situasi saat ini tampaknya jauh lebih membebani Nodoka.

Tapi sudah terlambat untuk menarik kata-katanya. Dia juga terus menatap Mai langsung.

“Aku membencimu…!” ucapnya gemetaran. Emosi yang terasa memanas sesaat lalu sudah hilang sekarang ini. Dia jadi lebih tenang lagi. “Aku benci onee-chan.”

Situasinya begitu tegang sehingga suasana di sekitar mereka menjadi hening.

Dunia ini rasanya menjadi putih kelabu.

Dalam dunia yang hening itu, Mai yang pertama kali mengeluarkan suaranya.

“Bagus kalau begitu,” ucapnya dan menghela napas lega.

“Huh?” Nodoka terdiam dengan mulut terbuka. Dia jelas sekali tidak mengira reaksi Mai itu. Tetapi apa yang dia katakan selanjutnya membuat Nodoka semakin terkejut.

“Aku juga selalu membencimu, Nodoka.”

Ucapannya itu singkat dengan nada datar dan cuek.

Nodoka terdiam sepenuhnya. Sikap baik Mai membuatnya lengah, dan kemudian dia mengatakan hal seperti ini kepadanya. Wajahnya langsung menjadi pucat pasi. Dia jelas saja sangat terkejut dan merasa tersakiti. Sakuta sendiri cukup terkejut dengan Mai yang seperti ini.

“Kau yang pertama kali bilang kalau kau membenciku. Kenapa kau terlihat terkejut begitu?”

Kata-kata Mai memang ada benarnya, tapi Nodoka terlihat jelas tidak mengira akan mendapatkan balasan, dan hal itu jauh lebih sakit buatnya. Wajahnya terlihat sangat pucat sekarang ini. Bibirnya gemetaran sekarang mencoba untuk mengatakan sesuatu tapi tetap tidak terucap.

Tetap menjaga kontak mata dengan Nodoka yang pucat, Mai melanjutkan bicaranya.

“Ayahku mengabaikan diriku dan meninggalkan ibuku. Kenapa Aku harus peduli dengan anak yang ia hasilkan dari wanita lain?”

Situasi Mai saat ini memang wajar. Karena biasanya, mereka berdua seharusnya tidak pernah bertemu.

“Semua ini kesalahannya. Tidak hanya meninggalkan ibuku. Tapi ia juga yang mempertemukan kita berdua di dunia yang sama.” 

(Q.N. dunia hiburan/akting.)

“……”

Nodoka hanya menatap celah yang ada di aspal, tidak mampu untuk menatap Mai langsung. Dia membiarkan kata-kata Mai menyakiti dirinya.

“Memang sepenuhnya bukan salahmu, Nodoka. Tapi Aku sendiri juga bisa marah tentang itu.”

Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menanggapi hal itu? Bahkan jika bisa mengerti, kita juga tidak bisa setuju dengan hal itu, tapi menolak hal itu juga akan memperparah keadaan.

“……”

Nodoka memilih jalan yang terbaik---dengan tidak berkata apa-apa dan tetap menundukkan kepalanya. Hidup ini memang seperti sampah dan tidak adil.





[1] Nananotes: Yakisoba pan itu roti isi dengan mie goreng ala Jepang. Jauh beda dengan Yakisoba sendiri yang isinya lebih banyak dari yang ada di Yakisoba pan itu sendiri. Sebenernya ngga niat buat jadiin catatan sih bagian ini tapi karena inget lelucon Yakisaba (makerel panggang) dari Nichijou makanya dimasukin aja lol
[2] Nananotes: Midas itu seorang raja dalam mitologi Yunani. Ia diceritakan punya kemampuan yang mampu membuat segala hal yang ia sentuh berubah menjadi emas. Di sini Sakuta bersikap realistis karena ngga mungkin ia sendiri bisa bantu Nodoka jadi terkenal dalam waktu cepat.
[3] Nananotes: Neng itu nama panggilan untuk anak cewek dari bahasa Sunda. Di raw-nya, terkadang Sakuta manggil Nodoka dengan sebutan Girl, dan kurasa neng ini bisa jadi ekuivalen terjemahannya.