Adik yang Panik
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Keesokan paginya, Sakuta dibangunkan oleh kehadiran, Nasuno, kucing peliharaan mereka yang tertidur di wajahnya. Rupanya, dia kelaparan.

Biasanya Kaede sendiri yang membangunkan Sakuta, jadi melihat Nasuno yang terlebih dulu sudah melakukannya membuatnya bermuram durja. “Kaede juga mau jadi kucing!” ratapnya juga.

Tapi ketika ia membuat telur orak-arik seperti yang sudah diajarkan Mai, Kaede langsung bersemangat lagi.

“Sungguh pagi yang indah!”

Kaede menyalaminya pergi saat Sakuta berangkat lebih awal dari biasanya. Ia sudah berjanji untuk ketemuan dengan Mai kemarin.

Begitu ia meninggalkan lift gedung apartemennya dan melangkah keluar ke jalan, ia disambut dengan teriakan kecil yang setengah terkejut dan grogi.

“Selamat pagi,” sapa si orang yang berteriak sambil menunduk ke arahnya. Terlihat seorang gadis yang terlihat sopan dengan tinggi tubuh sekitar 150 cm. Dia juga mengenakan seragam sekolah SMP yang masih terlihat baru. Namanya adalah Shoko Makinohara.

“Pagi,” balas Sakuta.

Dia tersenyum bahagia saat dirinya berlari ke arah Sakuta seperti anak anjing yang kegirangan.

“Lari-lari begitu tak apa?” tanya Sakuta yang cemas untuk sesaat.

Ia tahu kalau kondisi jantung Shoko lemah.

“Aku akan baik-baik saja,” balasnya dengan bangga. “Kondisiku sudah jauh lebih baik semenjak pulang dari rumah sakit.”

“Baguslah.”

“Tapi terima kasih karena sudah mencemaskanku.”

“Sama-sama.”

Shoko tersenyum lagi. Dia memang terlihat baik-baik saja, rasanya dia dalam keadaan sehat kembali.

“Kau punya kabar baik atau apa?”

“Kenapa bertanya begitu?” tanyanya balik karena terkejut.

“Karena senyummu lebar begitu.”

“S-sungguh?”

Karena Sakuta menyebutkan hal itu sepertinya dia jadi malu. Shoko meletakkan kedua tangan di pipinya dan saling menggosoknya.

“Bagaimana kabar Hayate?”

“Sangat baik. Makannya banyak akhir-akhir ini.”

Hayate adalah anak kucing yang mereka temukan terlantar. Bahkan dengan rumah barunya saat ini, jika Shoko yang merawatnya, ia pasti akan terawat dengan baik. Ia pasti akan tumbuh menjadi kucing yang besar dan kuat.

“Kau selalu lewat sini?”

“……?” Shoko hanya bisa mengedipkan matanya sebagai balasan, tidak yakin akan pertanyaan dari Sakuta.

“Saat berangkat ke sekolah?”

“Oh, iya. Tapi tidak juga.”

Ada benar dan tidaknya. Sakuta kebingungan.

“Huh? Kau tak sedang berangkat ke sekolah?”

Karena dia memakai seragamnya, Sakuta menganggapnya begitu

“Aku memang akan ke sekolah, tapi Aku tidak selalu lewat jalan ini.”

Dia pernah memberitahu Sakuta tempat tinggalnya, dan jalan yang dilaluinya ini sedikit lebih jauh jika dia akan menuju ke stasiun.

“Jadi kenapa hari ini lewat sini?”

“Aku berharap untuk bisa bertemu dengan Sakuta-san.”

“Ah.”

“Dan memang ketemu!”

Shoko tersenyum lagi.

“……”

“……”

Senyumannya itu berlalu selama tiga detik tanpa ada suara. Setelahnya, wajah Shoko perlahan menjadi merah padam. Bahkan sampai ke telinga dan lehernya.

“Er, um, sebaiknya Aku jalan dulu!” ucapnya yang tiba-tiba gugup. “Kalau tidak Aku bisa telat!”

Dia akhirnya berlari pergi sambil mengipasi wajahnya dengan tangannya sendiri.

“Tak perlu terburu-buru!” panggil Sakuta setelahnya.

Shoko berbalik dan melambai ke arah Sakuta. Ia juga melambai balik.

Lalu ia melihat sosok Shoko sampai sudah tidak terlihat lagi.

“Pagi,” ucap suara yang ia kenal dari belakangnya.

Sakuta berbalik dan melihat Mai dan Nodoka berdiri di belakangnya.

“Pagi, Mai-san.”

Gadis pirang itu membalas salaman Sakuta dengan tatapan matanya. Harapan samarnya akan Mai yang sudah kembali ke tubuhnya semula begitu pagi tiba langsung pupus.

“Sudah berapa lama kau melihatku?”

“Sejak kau membuat wajah Shoko memerah dengan menatap ke arahnya.”

Suara Mai acuh. Apa dia tidak peduli, atau diam-diam dia marah? Sulit untuk tahu.

Membicarakan hal ini lebih jauh hanya akan seperti menggali kuburannya sendiri atau dengan kata lain ia sendiri yang akan mendapat masalah, jadi Sakuta berniat mengubah topik pembicaraan mereka.

Untungnya, penampilan Mai saat ini memberinya banyak ide untuk dibicarakan. Sebagai Nodoka Toyohama, sekarang ini dia mengenakan seragam sekolah---dari sekolahnya Nodoka. Seifuku [1] yang dikenakannya terlihat sederhana dan bersih. Dengan panjang rok yang sampai di bawah lutut---yang mana sudah menjadi aturan ketat bagi setiap sekolah khusus perempuan. Tapi kesan tersebut tidak cocok dengan rambut pirang yang diikat ke satu sisi ataupun riasan mencolok yang ada di sekitar mata. Kesannya jadi bentrok dengan aturan yang ketat.

“Kenapa dengan senyummu itu?” tanya Mai yang menyipitkan mata.

“Aku sedang menikmati tampilanmu yang sekarang ini.”

“……”

Padahal Sakuta memujinya, tapi Mai tetap menginjak kakinya.

“Dan juga, kau sampai membawa seragam sekolah?”

Nodoka ini sudah niat sekali untuk kabur dari rumahnya. Mungkin ini bukan yang pertama kalinya. Karena penasaran, Sakuta melirik ke arahnya.

Nodoka yang saat ini ada di tubuh Mai sedang mengenakan seragam musim panas Minegahara yang sama seperti yang Sakuta kenakan. Meski cuaca panas yang menyengat, dia memakai stocking hitam meski hanya yang tipis. Mai pernah menjelaskan kalau hal itu dia lakukan untuk mencegah kakinya menjadi kecokelatan. Menjadi selebriti ternyata merepotkan ya.

Nodoka sendiri tampaknya tidak terlalu terbiasa dengan memakai stocking di musim panas karena sering sekali membenarkan stocking yang ada di bawah roknya itu. Nyatanya hal itu terlihat seksi. Karena tatapan Sakuta langsung terpaku akan pemandangan itu.

“Sakuta,” bisik Mai sambil mencubit pipinya.

“Ya, Mai-san?

“Kau sedang membayangkan sesuatu yang mesum, ‘kan?”

“Karena itu tubuhmu, jadi tak apa-apa!”

“Tidak boleh selama Nodoka ada di dalamnya.”

“Kalau begitu apa Aku boleh memikirkan hal mesum tentangmu sementara kau yang ada di tubuh Nodoka?” tanyanya sambil melirik ke arah seragam yang dipakai gadis pirang tersebut.

“Tentu saja tidak.”

“Terus Aku harus apa?!”

“Jangan terlihat putus asa begitu. Kau hanya tidak perlu membayangkannya.”

“Aww.”

“Jika kau tidak suka, maka cari cara agar mengembalikan kami berdua seperti semula.”

“Selama kau yang ada di dalamnya, Aku tak ada masalah dengan penampilanmu.”

“Tapi penting bagi kami!”

Mereka berdua terus mengobrol dalam perjalanannya menuju Stasiun Fujisawa.


Stasiun tersebut terletak di jantung kota yang berpenduduk sekitar 420.000 orang, dan mereka sedang ada di jam sibuk pagi hari.

Mai sendiri berpisah di sini untuk menuju ke sekolah yang berada di Yokohama. Dari stasiun ini, dia harus menaiki kereta yang ada di jalur Tokaido, sementara Sakuta dan Nodoka akan menaiki Enoden untuk sampai ke Stasiun Shichirigahama.

“Oh, Sakuta!” panggil Mai tepat sebelum dia melewati gerbang tiket JR.

“Apa?”

Mereka hampir saja memasuki jalan penghubung ke Enoden di Stasiun Fujisawa, tapi ia meninggalkan Nodoka di sana dan berlari ke arah Mai.

“Aku perlu bantuanmu,” ucapnya sambil melirik ke arahnya. Karena tinggi Nodoka lebih pendek dari Mai, bahkan bahasa tubuh yang digunakannya terasa sedikit berbeda. Tinggi Mai sekitar 165 cm, jadi ketika dia menatap ke arah Sakuta, hanya matanya saja yang bergerak---tapi dengan tubuh Nodoka yang setinggi 158 cm, dia harus menggerakan seluruh kepalanya.

“Aku sangat ingin mendengar kalimat itu saat kau sudah kembali ke tubuhmu.”

“Jangan bercanda.”

“Daya tarikmu itu membuatku jadi bodoh.”

“Tentang Nodoka,” ekspresi wajah seriusnya langsung mematikan kesan bercandanya. “Kurasa Aku bisa menduganya, tapi…jika kau bisa, tanya padanya apa yang terjadi.”

“Jika dia kabur dari rumah, kemungkinan ada masalah dengan orang tuanya.”

“Dugaanku juga begitu. Tapi tetap saja…”

Mai berhenti untuk sesaat. Tatapannya mengarah ke belakang Sakuta.

“Tapi kemungkinannya tentang diriku juga,” ucapnya dengan pelan.

“Karena rasanya sulit punya kakak yang seterkenal dirimu?”

Dan bukan sembarang saudari biasa, tapi tiri karena berasal dari ibu yang berbeda. 

“Apa memang sejelas itu?” tanyanya.

“Kurasa jadi adikmu itu bisa cukup sulit. Karena akan sangat sulit jika dibandingkan denganmu.”

Dan dalam kasus Nodoka, dia juga ikut-ikutan mencoba menjadi selebriti yang mana semakin parah akibatnya.

“Kasar sekali,” ucap Mai yang cemberut.

Sakuta berpura-pura mengabaikan perkataan Mai. Akan mudah untuk menarik perkataannya kembali tapi Mai sendiri tahu kalau hal itu juga benar, jadi tidak perlu basa-basi untuk setuju dengan ucapannya. Akan lebih baik jika mereka berdua setuju dengan hal tersebut.

“Harga diri ibuku sebagai orang tua dan perempuan juga…berpengaruh terhadap Nodoka.”

“Harga diri?”

“Bukannya Aku pernah memberitahumu? Ibuku menempatkan diriku di bisnis hiburan ini untuk balas dendam ke ayahku karena pergi dengan wanita lain.”

Debut Mai Sakurajima di kancah pertelevisian sangat sukses dan tetap kokoh di jajaran selebriti papan atas sejak saat itu. Dia membangun ketenarannya sampai dikenal oleh masyarakat luas. Dan memamerkan ketenaran itu ke mantan suaminya menjaga harga diri ibu Mai tetap utuh.

Memamerkan betapa suksesnya dirimu setelah bercerai terkadang meringankan rasa sakitnya. Sakuta bisa mengerti perasaan itu. Yang seperti ini juga salah satu bentuk dari balas dendam. Dan sangat bisa memotivasi seseorang.

Tap sangat menyebalkan untuk darah daging mereka karena ikut terlibat dalam permusuhan orang tua mereka. Terutama ketika mereka masih terlalu muda untuk benar-benar mengerti bagaimana perasaan orang tua mereka.

Sakuta melirik balik ke arah Nodoka.

“Kau ingat kalau kemarin Nodoka juga bilang kalau dia ikut sanggar seni juga, ‘kan?” tanya Mai.

“Ya.”

“Kami memang bukan di sanggar yang sama, tapi…ketika kami masih kecil, kami terkadang saling ketemuan saat audisi.”

“Ohhh…”

Yang seperti itu memang akan semakin memperburuk keadaan. Kedua ibunya pasti sangat kesal satu sama lain. Pertengkaran pasti terjadi di tempat audisi tersebut.

Intinya, Mai dan Nodoka adalah bidak dalam perang mereka.

Dan hasil dari perang itu sangat terlihat dengan jelas. Mai menjadi terkenal secara nasional, dan Nodoka harus meninggalkan sanggar seni dan sekarang menjadi idol baru, berpindah-pindah dari satu tempat kecil ke tempat lain, mencoba untuk membangun ketenarannya.

Penghinaan ini tentu saja bisa memperburuk hubungan antara banyak ibu dan anaknya. Mungkin karena itulah Nodoka melarikan diri dari rumahnya.

“Yah, karena kau yang meminta, ‘kan kucoba apa yang bisa kugali darinya.”

“Makasih. Aku pergi dulu.”

Dia melambai pelan ke Sakuta dan menghilang di balik gerbang tiket.

Sakuta kembali ke Nodoka.

“Maaf,” ucapnya juga.

Ia menuntunnya menuruni jalan penghubung dari Stasiun JR. Di depan mereka terletak supermarket dengan gerbang tiket Enoden Fujisawa di sampingnya.

“Apa katanya?” tanya Nodoka begitu mereka melewati gerbang tiket.

“Mm?” balas Sakuta sambil menuntunnya ke peron.

“Onee-chan.”

“Kau penasaran?”

Ia tidak yakin apakah harus memberitahunya tetapi Sakuta putuskan kalau sekarang bukan waktunya.

“Ugh,” balas Nodoka dan membelakangi Sakuta.

“……”

Dia akhirnya tidak mengatakan apa-apa lagi. Mereka hanya saling berdiri berdampingan di ujung peron.

“Kau yakin tak akan jadi masalah kalau Mai-san pergi ke sekolah begitu saja?”

“Hmm?”

“Cuma penasaran karena pasti akan jadi heboh jika sang idol Nodoka Toyohama muncul di kereta yang sama seperti kebanyakan orang lain.”

“Kau mengejekku?”

“Aku beneran khawatir.”

“……”

Nodoka menatap Sakuta lama seolah-olah sedang mengira maksud dari pertanyaannya. Kalau Mai yang asli pasti tidak akan pernah bersikap mencurigakan sejelas ini. Dengan orang yang berbeda di dalam suatu tubuh seseorang memang membuat tubuh orang itu benar-benar terasa sangat asing ya.

“Dia akan baik-baik saja,” gumam Nodoka. “Tak akan ada yang tahu soal Aku.”

Ketika mengatakan hal itu, dia juga memalingkan wajahnya. Jelas terlihat kalau sedang membandingkan ketenarannya dengan Mai.

Seakan mencoba untuk menyembunyikan pikiran itu, dia juga menambahkan, “Rasanya Aku yang harus khawatir. Apa onee-chan selalu naik kereta ini untuk ke sekolah?”

“Mai-san agak terlalu terkenal, jadi tak ada seorang pun yang berani mendekati dirinya.”

Tapi dia memang jelas mendapat banyak perhatian dari orang sekitar. Terutama semenjak dia mulai bekerja lagi. Banyak yang akan bilang “Ah! Lihat!” atau “Wow, apa itu memang benar-benar dia?!” atau ada juga yang saling berdebat seperti “Sana bicara dengannya,” “Kau saja yang pergi!”

Reaksi-reaksi seperti itu sering dijumpai dan Mai tampaknya tidak begitu peduli dengan mereka. Di sisi lain, dia akan kesal jika orang-orang itu mengambil foto dirinya---bukan berarti dia pernah mengakuinya. Mai sendiri akan senang jika ada yang meminta untuk berfoto bareng dengannya, tetapi kebanyakan orang selalu memfoto dirinya diam-diam tanpa izin, dan hal tersebut benar-benar membuatnya kesal.

Bahkan sekarang ini, seorang pria yang memakai setelan jas sedang menggenggam ponsel di tangannya dan melirik ke arahnya. 

“Sebelah sini.”

“Huh? Apa?”

Sakuta meletakkan tangannya di bahu Nodoka dan bertukar tempat dengannya. Dengan dirinya yang menghalangi, pria itu tidak dapat memfotonya.

Lalu, ia mendengar suara kamera ponsel tidak lama kemudian. Begitu juga dengan Nodoka. Dia mengintip sekeliling Sakuta dan melihat kamera yang sama. Pria itu berpura-pura kalau ia hanya mengambil foto dari gerbong kereta yang tampak jadul.

“……”

Nodoka menatap ke arah Sakuta.

Ketika ia berpura-pura tidak menyadari hal itu, dia berucap, “Yang seperti itu masih belum cukup agar membuatku ada di pihakmu.”

“Aku juga tak perlu kau ada di pihakku.”

Sakuta melangkah masuk ke gerbong kereta paling depan.

Ia juga menuntun Nodoka sampai ke pintu masuk gerbong yang ada di sisi satu lagi. Kereta tersebut memang tidak ramai penumpang, tapi sekarang ini jam sibuk pagi, tetap saja tidak ada kursi kosong.

Ia berdiri di depannya dan meraih gantungan kereta di atas. 

Setelah menunggu sebentar, bel keberangkatan berbunyi, dan pintu gerbong menutup. Saat kereta mulai melaju maju, pemandangan yang ada di luar jendela berubah. Tidak lama setelahnya, gedung stasiun kereta yang besar sudah tidak terlihat lagi, dan mereka melaju melewati kawasan perumahan yang sepi.

Nodoka sendiri berdiri tegak sambil menyaksikan pemandangan yang lewat. Namun raut wajahnya menunjukkan ekspresi suram. Dia tampaknya tidak terlalu memperhatikan penumpang yang lain. Dengan mengabaikan tatapan yang tertuju ke arahnya.

Dalam hal ini, dirinya sangat persis seperti Mai Sakurajima yang asli. Pasti tidak ada yang akan mengira kalau yang ada di dalam tubuhnya itu orang lain.

Setidaknya, Nodoka tahu bagaimana memainkan peran itu.

Kereta itu berhenti melaju dan mulai kembali, berhenti di setiap stasiun yang ada sebelum sampai di tempat tujuan mereka.

Pemberhentian selanjutnya: Enoshima. Enoshima.

Suara yang sama selalu terdengar. Suara dari seorang wanita yang membuat pendengarnya tenang dan nyaman.

“Seperti di bus.”

“Mm?”

“Bagian ini.”

Dia ada benarnya.

Setelah Stasiun Enoshima, ruang yang ada di sekitar rel kereta menjadi semakin sempit. Kereta itu melaju di antara rumah-rumah sepanjang pemberhentian berikutnya di Stasiun Koshigoe.

“Apa memang perlu ada kereta di sini?”

Pintu depan rumah seseorang dapat terlihat di luar jendela gerbong. Apa orang-orang yang tinggal di daerah ini selalu melihat kereta setiap kali meninggalkan rumah mereka? Ini tahun kedua Sakuta menumpangi kereta yang ada di jalur ini, tapi misteri tersebut masih belum terpecahkan.

Setiap kali ada hal yang menarik perhatian Nodoka, dia juga menahan emosi itu setiap kalinya. Dan juga mulai meniru kembali wajah Mai.

“Kau sudah hampir mirip,” ucap Sakuta yang terkesan dengan usahanya. Bahkan dari cara dia menyisir rambutnya dengan tangan sangat mirip seperti Mai.

“Sejak kecil, Aku selalu meniru perannya,” ucap Nodoka. Cara bicaranya bahkan tampak seperti Mai sekarang ini. “Aku pernah bangga dengannya…dan mengaguminya.”

Apa kata lampau itu penting? Kenapa juga di terdengar bosan? Sakuta berniat untuk bertanya, tapi sebelum ia bisa melakukannya, Nodoka sedikit tersentak kagum.

Kereta yang mereka tumpangi sudah tidak berada di tengah-tengah perumahan lagi dan sekarang ini sedang melaju di pinggir pantai tanpa ada bangunan yang menghalangi pemandangan laut di luar jendela. Jendela yang ada di gerbong kereta hanya menunjukkan pemandangan langit dan lautan. Langit di atas berangsur-angsur berubah dari putih menjadi biru. Warna biru yang jauh lebih gelap membuat lautan tampak mempesona di bawah sinar matahari pagi. Garis cakrawala yang membentang sejauh mata memandang juga dapat terlihat.

Pada saat yang sama, Nodoka sudah tidak terlihat seperti Mai lagi. Senyuman yang muncul di wajahnya itu jauh lebih muda dari senyuman yang pernah dilihatnya dari Mai yang asli.

Nodoka masih tetap terpaku menatap pemandangan lautan ketika kereta yang mereka tumpangi berhenti di Stasiun Shichirigahama, tempat Mai dan Sakuta bersekolah.


Stasiun itu bisa terbilang kecil tanpa adanya gerbang tiket yang biasanya ada di stasiun besar. Tempat kecil yang aneh---rasanya bisa saja seseorang sedang berjalan-jalan tidak tentu arah dan tiba-tiba sudah masuk ke stasiun ini. Dari peron yang ada, hanya butuh menuruni beberapa tangga yang ada dan sudah ada di luar stasiun.

Sekarang adalah pertama kalinya Nodoka di sini, tapi dia berhasil untuk tetap tenang sambil berjalan berdampingan dengan Sakuta. Tapi dia juga sedikit mengerutkan alisnya, kemungkinan hanya reaksinya dari aroma laut yang terbawa oleh semilir angin.

Untuk sampai ke SMA Minegahara dari Stasiun Shichirigahama hanya butuh jalan kaki kurang dari lima menit. Mereka hanya harus berjalan melewati perlintasan rel, dan gerbang sekolah sudah bisa terlihat di depan.

Setelah melewati gerbang, Nodok berbisik ke Sakuta, “Banyak yang menatap ke kita ya.”

“Yah, karena kau benar-benar terkenal, Mai-san.”

“Tak mungkin cuma karena itu saja. Apa sikapku aneh?”

Dia menatap dirinya sendiri dengan gugup.

“Tak usah khawatir. Sekilas, kau terlihat seperti Mai-san.”

“Kalau begitu apa?”

“Yah, masalahnya ya itu.”

Sakuta punya firasat. Ia juga merasakan tatapan yang sama selama upacara pembukaan kemarin.

Itu apa?” tanya Nodoka yang kebingungan. Hari ini kali pertamanya tahu dengan suasana sekolah ini, jadi jawaban Sakuta tidak begitu jelas buatnya.

“Semua yang ada di sini tahu kalau Aku pacaran dengan Mai-san.”

“Jadi?”

“Dan kita baru saja selesai libur musim panas.”

“Terus?”

“Mereka semua penasaran sudah sejauh apa hubungan kita.”

“……”

Awalnya dia tidak menunjukkan reaksi apa-apa karena sedang memproses jawaban Sakuta. Pada akhirnya, dia menyadarinya.

“Ka-kalau begitu…m-maksudmu sudah sejauh apa…yang itu?”

Dia mengatakan itu dengan nada tinggi.

“Yang itu apa?” tanya Sakuta yang terhibur oleh reaksi Nodoka.

“Kau tahu kan! Kalian sudah…”

Dia bahkan tidak bisa mengatakan kata itu dengan jelas. Suaranya terdengar semakin mengecil sampai tidak terdengar lagi. Dia tidak bisa mengatakan kata terakhirnya sama sekali. Kedua telinganya saja bahkan memerah.

“Sudah?”

“Tentu saja…s…”

Nodoka hampir saja mengatakannya, tapi wajahnya semakin memerah.

“S---apa?”

“S…s……s……mana mungkin Aku bisa mengatakannya!”

Terlihat kesal, dia meninju bahu Sakuta. Rasanya sakit sekali. Penampilan aslinya yang terkesan mencolok memberi kesan kalau dia sering main dengan banyak pria, tapi Nodoka yang asli bahkan tidak bisa mengucapkan kata-kata seperti seks.

“Awas, kau hampir ketahuan,” ucap Sakuta dengan pelan.

Dia menjadi agak sedikit berisik, dan orang-orang di sekitar mulai menatap ke arahnya.

“……”

Setelah diperingati, dia sudah tidak meninju Sakuta lagi. Tapi dia masih menatap sinis ke arahnya karena merasa malu. Apa dia punya firasat kalau Sakuta pernah menjalin hubungan di ranjang dengan Mai? Kelihatannya yakin sekali.

“Kau kemarin mendengarnya ‘kan kalau kita punya hubungan romantis nan murni?”

“Ka-kalau begitu kalian sudah sejauh apa?” tuntutnya karena rupanya dia ingin memperjelas hal ini.

“Kau tak tahu?”

Maksud Sakuta adalah, “Mai-san tak bilang padamu?” tapi ia tidak mau siswa-siswi lain yang ada di dekat mereka kebingungan ketika ia mengatakan itu.

Onee-chan bilang Aku harus tanya sendiri ke kau.”

“Hmm.”

“Jangan pura-pura lagi! Aku tak tahu harus seberapa dekat hubungan kita!”

“Yah, anggap saja seperti kita sudah pacaran selama dua bulan.”

“Dua bulan…dua bulan…jadi…kalian sudah bergandengan tangan?”

“Kami sudah bukan anak kecil.”

“Oh, diamlah!”

“Argh, dasar bodoh…”

Dia berteriak lagi, dan sekarang semuanya menatap mereka dengan curiga.

“Ahhhhh, maaf!” ucap Saktua yang berpura-pura. “Tolong jangan marah ke Aku, Mai-san.”

“J-jangan begitu lagi kalau begitu,” ucap Nodoka yang kembali berperan sebagai Mai.

Mereka melanjutkan berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun sampai siswa-siswi di sekitar sudah tidak memperhatikan lagi.

“J-jadi kalian sudah ci-ci-ci---”

“Apa kau sedang meniru monyet? Bagus juga aktingnya!”

“Ci-ciuman, dasar bodoh.”

“……”

“K-kalian sudah begitu?”

“Tidak, tidak,” ucap Sakuta yang berbohong karena ia berasumsi kalau mengakui hal itu akan menyebabkan kehebohan lagi. Terlepas dari penampilan biasanya yang begitu mencolok, gadis yang ada di tubuh Mai saat ini jelas saja sangat polos.

“Kalau begitu sudah sejauh apa?”

“Kami saling pegangan tangan.”

“S-siapa yang anak kecil sekarang?!”

Sementara mereka membicarakan tentang rincian hubungan mereka, keduanya sampai di pintu masuk gedung sekolah. Berpura-pura seperti pasangan yang tidak terpisahkan, Sakuta menuntun Nodoka ke loker sepatu Mai.

Begitu mereka berdua sudah berganti ke sepatu dalam ruangan, mereka menaiki tangga untuk menuju ruang kelas.

Ruang kelas Sakuta berada di lantai dua, tapi untuk siswa-siswi kelas tiga berada satu lantai di atasnya lagi. Mereka akhirnya berpisah di depan tangga yang menghubungkan lantai dua dan tiga.. 

“Kau ingat kan, di kelas 3-1.”

“Ya. Dan tempat dudukku ada di dekat jendela dan yang kedua dari belakang.”

Mai sendiri harus memastikan kalau Nodoka setidaknya harus tahu hal ini kemarin.

“Lalu Aku cuma tinggal duduk diam mengikuti pelajaran sampai selesai.”

“Kurasa kau juga harus pergi ke toilet jika butuh.”

“Apa kau kira Aku ini bodoh?”

“Kurasa kau tak bisa menyadari ketika orang lain sedang bercanda.”

“……”

Nodoka hanya menatap sinis ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalau perkataan Sakuta benar adanya. Pasti ada yang pernah memberitahu hal itu kepadanya.

“Jika kau butuh sesuatu, Aku ada di kelas 2-1.”

“Baiklah. Sampai nanti.”

Sadar akan tatapan siswa-siswi di sekitar mereka, Nodoka segera berpura-pura sebagai Mai lagi. Dia tersenyum kecil dan melambai singkat ke Sakuta. Yang seperti ini sangat mirip dengan Mai yang asli, pikir Sakuta.

Sakuta mengawasinya sampai dia berbelok di sudut tangga, lalu ia bisa mendengar seseorang sedang mengeluh ke dirinya, “Kau menghalangi jalan, Azusagawa.”

Ia berbalik dan melihat seorang gadis yang mengenakan jas lab putih. Dia adalah salah satu teman yang Sakuta miliki---namanya Rio Futaba.

Rambutnya yang panjang diikat ke belakang dan sedang melotot ke arahnya dengan kelopak mata yang berat dari balik kacamatanya.

“Kebetulan juga, Futaba. Aku perlu bantuan.”

Wajah Futaba semakin muram. Dia jelas-jelas tahu bantuan yang dimaksud Sakuta.

“Apa kau pernah berniat untuk melakukan ritual pembersihan?”

“Untuk apa?”

“Dengan semua masalah yang kau hadapi belakangan ini, kau sudah pasti dikutuk.”

“Orang yang menganggap kalau diri mereka terkutuk hanya orang sombong. Semuanya juga sama sialnya.”

“Yah, kalau kau bilang begitu…”

Futaba terdiam dan dari ekspresi wajahnya terlihat jelas kalau dia berharap agar Sakuta tidak meminta bantuannya.




[1] Nananotes: Seifuku itu seragam sekolah Jepang atau biasa disebut seragam pelaut tapi kayaknya bisa ambigu kalau pake kata-kata itu. Karena itu kuganti dengan seifuku yang lebih dikenal dari lidah kita-kita ini lah.