Hujan di Malam Hari yang Menghapus Segalanya
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Tubuhnya bergoyang. Sakuta bisa merasakan getaran yang datang dari arah bawah, dan terkadang tubuhnya tergoyang ke arah kiri-kanan.

Ia juga bisa mendengar suara seseorang sedang berbicara.

Dan kemudian, ia mencoba membuka matanya.

Bukan langit-langit yang biasanya. Tetapi Sakuta merasa pernah melihatnya sebelum ini. Dan ia mengenali suara sirine yang berbunyi. Ia juga bisa mendengar suara hujan bertabrakan dengan jendela dan derit dari wiper kaca mobil.

“Kau sudah bangun?” tanya seorang pria sambil membungkuk. Usia dari pria tersebut sekitar pertengahan 30-an dan ia juga mengenakan seragam paramedis.

“Azusagawa.”

Ia mendengar suara Futaba dari dekat. Dari nadanya terdengar khawatir.

“Uh…apa Aku pingsan?”

Sakuta ingat merasa pusing sebelum ini. Dan kemudian rasanya dunia sekitar jadi gelap…dan sekarang ini ia ada di sini.

“Kau mengalami dehidrasi. Kau mungkin pingsan karena terkena serangan panas (heat stroke) ringan.”

Kata-kata itu sering sekali muncul di layar TV saat sedang musim panas sekarang ini. Sakuta sendiri tidak pernah mengira kalau hal yang sama terjadi padanya.

“Apa kau merasa ada yang sakit? Kau mungkin terluka saat jatuh pingsan.”

Petugas paramedis itu membuat pertanyaannya untuk gampang dimengerti.

“……”

Sakuta memeriksa dirinya sendiri, tetapi tidak merasakan sakit apa-apa.

“Tak ada yang sakit,” ucapnya.

“Temanmu bilang kalau kepalamu terbentur cukup keras, jadi kita akan memeriksanya saat sampai di rumah sakit untuk berjaga-jaga.”

“Oke.”

Ada baiknya mengikuti apa yang dianjurkan.

Hanya orang bodoh yang pingsan dan kemudian kukuh kalau diri mereka baik-baik saja.


Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai ke rumah sakit, dan kemudian Sakuta dibawa ke ruang pemeriksaan yang umum. Ia setengah berharap kalau dirinya akan dibawa ke ruang gawat darurat seperti yang ada di TV, tetapi sepertinya tidak akan terjadi.

Dokter yang memeriksa dirinya terbilang masih muda, mungkin berusia sekitar 20-an akhir.

“Kami akan memeriksa kepalamu dengan CT scan untuk berjaga-jaga,” ucapnya.

Kemudian, Sakuta dibawa ke lantai berbeda. Seperti yang dibilang oleh dokternya, sebuah mesin besar memindai bagian kepalanya, dan ia kembali dibawa ke ruang pemeriksaan sebelumnya.

“Kami juga akan pasang infus untuk berjaga-jaga.”

Dari ucapannya itu terdengar agak mengkhawatirkan, tetapi Sakuta hanya harus memercayai dokter yang memeriksanya. Ia kemudian berbaring dan membiarkan jarum menusuk lengannya. Sebuah cairan infus didekatkan ke ranjangnya, dan selang infus terhubung ke dirinya.

“Saya akan kembali memeriksanya setelah selesai,” ucap sang dokter dan bergegas pergi.

Mungkin ada pasien lain yang kondisinya lebih buruk, pikir Sakuta.

Sakuta tetap berbaring sambil menyaksikan cairan infus yang menetes. Tidak lama kemudian, ia tertidur.


Kali berikutnya ia terbangun, disebabkan oleh sensasi aneh yang dirasakan pipinya. Ada sedikit rasa sakit seperti ada orang yang sedang mencubitnya.

Mencoba melawan rasa kantuknya, Sakuta membuka matanya.

“Pagi,” ucap seorang gadis cantik yang menunduk dengan wajah kesal ke arahnya. Dia sedang mencubit kencang pipi Sakuta. Karena itu ia merasa sakit.

“……”

Sakuta hanya menatapnya.

“Kenapa dengan tatapanmu itu?”

“Aku melihat senpai yang sangat cantik.”

“Kau sudah baik-baik saja.”

Sakuta duduk di ranjang dan ia sudah tidak merasa pusing lagi. Cairan infusnya juga sudah kosong dan selangnya sudah dicopot. Ada juga kain tipis yang ditempelkan ke tangannya di tempat jarum infus menusuknya.

“Jadi, Mai-san…apa ini hukuman untukku atau apa?”

Dia masih belum melepaskan cubitannya dari pipi Sakuta.

“Karena sudah membuat Kaede khawatir dan berani sekali tertidur dengan pulasnya.”

“Aku mengerti. Memang masuk akal.”

Ia memang pantas dihukum.

“Maafkan Aku.”

“Minta maaf ke adikmu dulu. Telepon dia sekarang.”

“Oke,” ucapnya sambil bangkit dari duduknya.

Sakuta baru saja akan meminjam ponsel Mai tetapi ia tidak yakin apa diperbolehkan menelepon dari ponsel di rumah sakit, jadi ia memutuskan untuk tidak meminjamnya.

Pasti ada telepon umum di rumah sakit ini.

“Jadi kenapa kau kemari, Mai-san?

“Futaba memberitahuku.”

Sakuta pernah menelepon Futaba dari ponsel Mai sebelumnya, jadi sudah pasti kalau dia punya nomor Mai dari riwayat panggilannya.

“Apa tak apa-apa kau ada di sini?”

Manajernya memberi tahu mereka untuk tidak ketemuan sementara ini. Sakuta belum mendengar apa-apa tentang perubahan larangan itu.

Sekarang ini mereka juga berada di ruang pemeriksaan, jadi setidaknya agak terpencil dari ruangan lain, tetapi ada banyak ruang pemeriksaan lain di lorong rumah sakit ini, dan ada banyak dokter dan perawat yang lalu-lalang. Dan semua orang itu pasti melihat Mai. Salah seorang dokter juga terlihat terkejut, dan salah seorang perawat sampai memeriksa catatan medis dua kali. Beberapa anggota staf yang lebih muda juga dengan sengaja berlalu-lalang hanya untuk melihat dirinya. 

“Bukan itu yang harusnya kau katakan ke seorang pacar yang bergegas menjengukmu,” ucap Mai sambil bangkit dari duduknya.

“Maaf. Aku tak bermaksud membuatmu khawatir.”

“Coba lagi.”

“Eeeh?”

“Lagi.”

Mai menjadi semakin jengkel setiap detiknya. Dia akan terus seperti ini sampai Sakuta mengatakan apa yang ingin dia dengar. Jika ia tidak juga mengalah, dia akan menginjak kakinya.

“Aku benci kalau pada akhirnya kau akan kehilangan pekerjaanmu,” ucapnya yang dengan sengaja menghindar dari jawaban yang ingin didengar Mai.

“Dengar ya, Aku memang suka dengan pekerjaanku. Memang menyenangkan, dan Aku ingin tetap melakukannya,” ucapnya dengan cemberut. Dia berhenti di situ dan menatap Sakuta seperti mengharapkan sesuatu. Sakuta sendiri tahu maksud dari tatapannya itu. Ia tahu, tetapi ia ingin mendengar hal itu langsung dari Mai.

“Tapi?” tanyanya dengan polos.

“Kau sudah tahu kan.”

“Tak sama sekali!”

Mai mengerucutkan bibirnya. Kemudian, dia mengalah dan mengatakan sisanya.

“Kerja ya kerja, dan itu memang penting, tapi jika kau sakit, Aku ingin ada di sisimu, dan ketika Aku punya hari libur, Aku ingin pergi berkencan.”

Dia terlihat marah, karena Sakuta memaksanya untuk mengatakan itu.

“Kau membantuku untuk kembali berakting, tapi jika artinya Aku tidak bisa bertemu denganmu, maka tidak ada artinya.”

Kekuatan kata-kata yang didengar oleh Sakuta itu sangat jauh dari perasaan imut atau bahagia.

“Mai-san.

“Ap-apa?”

“Boleh Aku memelukmu?”

“Kenapa?”

Dia mundur selangkah dengan bersikap waspada.

“Aku ingin mengekspresikan rasa berbunga-bunga yang kurasakan ini.”

Mai memikirkannya sesaat. Lalu ia menjawab, “Hanya tiga detik,” dengan senyuman yang agak kaku.

“Aw, kurasa setidaknya Aku butuh semenit penuh.”

“Pelukan selama itu sudah pasti membuatku bisa hamil…Eep!”

Sakuta langsung memeluknya sebelum Mai selesai menjawab. Dengan menggenggam punggungnya erat-erat. Sakuta memanjakan dirinya dengan kehangatan, kelembutan, dan aroma tubuh Mai.

Mai meletakkan tangannya di dada Sakuta sambil menundukkan kepalanya.

“Sudah tiga detik.”

“Aku boleh dapat tambahan waktu?”

“Kau punya urusan lain yang lebih penting!”

Sakuta memang harus menelepon Kaede dan berterima kasih ke Futaba. Karena dia sudah memanggil ambulans dan ikut ke rumah sakit dengannya.

“Begitu Aku menyelesaikan urusanku, bisa kita lanjutkan?”

“Sudah sepuluh detik, jadi tidak.”

“Aww.”

“Itu yang kau dapat karena tidak menepati janjimu.”

Sakuta langsung segera melepaskan pelukannya.

“Sudah telat,” ucapnya dan menusuk dahi Sakuta dengan jarinya.

Sakuta membalas dengan tatapan memohon.

“Tatapan ikan matimu itu tidak akan membantumu.”

“Ini tatapan anak anjing yang memohon!”

“Sudah sana. Jika dokternya datang, Aku yang akan menjelaskannya.”

“Makasih,” Ia meninggalkan Mai di ruang pemeriksaan dan berjalan keluar ruangan. “Harus telepon Kaede dulu…”


Telepon umumnya berada di sebelah etalase toko yang lampunya mati dan empat mesin penjual otomatis. Teleponnya itu tipe telepon dengan warna hijau tua.

Sakuta memasukkan koin 10-yen dan memanggil nomor telepon apartemennya. Yang pertama kali mengangkat adalah mesin penjawab.

“Kaede, ini Aku. Kau masih bangun?”

“Apa onii-chan baik-baik saja?!” teriak Kaede beberapa detik kemudian.

“Aku baik-baik saja.”

“Kaede sangat lega… Onii-chan tak meninggal…”

“Jangan menganggapku meninggal secepat itu. Aku masih harus mengisi berkas-berkas yang ada, jadi masih agak lama untuk bisa pulang ke rumah.”

Sakuta memeriksa jam yang ada di dinding, dan sekarang sudah pukul sepuluh lewat. Ia seharusnya bisa pulang sebelum hari ini berakhir setidaknya.

“Kau bisa tidur duluan.”

“Kaede akan menunggu!”

“Oke. Jangan memaksa dirimu tapi.”

Sakuta yakin kalau Kaede tidak akan mendengarkannya jadi ia memberitahunya itu saja.

“Kaede.”

“Ada apa onii-chan?

“Maaf sudah membuatmu khawatir.”

“Aku ini adikmu. Sudah tugasku untuk mengkhawatirkan onii-chan.”

“Kalau begitu, makasih karena sudah menjadi adikku.”

“O-oke! Kaede akan terus melakukan yang terbaik!”

“Sampai nanti.”

Ia meletakkan gagang telepon itu ke tempatnya dan menyadari kalau suasana di sekitarnya sangat hening. Keheningan itu terpecah dengan bunyi dari lift. Posisi lift itu berada dekat setelah melewati mesin penjual otomatis.

Pintu lift terbuka, dan dari dalamnya muncul seorang gadis.

“Ah,” seru Sakuta. Karena ia kenal dengan gadis itu.

“Huh?” Gadis itu juga sama terkejutnya ketika melihat Sakuta.

Gadis itu lebih muda dari Sakuta, namanya adalah Shoko Makinohara. Dia juga mengenakan piama dan sendal dalam ruangan yang terlihat sangat cocok sebagai orang rumahan.

“Er, um…kenapa Sakuta ada di sini?” tanyanya sambil melihat ke berbagai arah kecuali ke arah Sakuta.

Sepertinya Sakuta sudah melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihatnya.

“Aku pingsan karena sengantan panas dan dibawa kemari dengan ambulans.”

“A-apa kau baik-baik saja?”

“Gejalaku ringan, jadi mereka hanya butuh memberiku infus. Sekarang ini Aku sudah jauh baik-baik saja.”

“Kau juga harus banyak minum air putih!” ucapnya yang pada akhirnya menatap langsung ke arahnya. “Dan elektrolit yang cukup.”

“Saran yang berguna.”

“……”

“……”

Percakapan mereka terhenti.

“Uh, jadi bagaimana denganmu?” tanya Sakuta. Mengingat kalau sekarang ini mereka berdua bertemu di rumah sakit, pertanyaannya itu tidak terhindarkan. Jika ia tidak bertanya maka akan terlihat aneh, dan…Sakuta sendiri juga penasaran.

“Aku kena flu,” ucap Shoko dengan tegas.

“Oh?” Sakuta tanpa sadar mendekat dan meletakkan tangannya di dahi Shoko. “Setidaknya tak kena demam.”

“Y-ya.”

“Dan bicaramu juga normal. Tak ada batuk?”

“……”

“Dan hidungmu tak terlihat tersumbat.”

Dia tidak punya pilihan lagi.

“Maaf, Aku bohong,” Shoko mengakuinya.

Sakuta sudah tahu dari awal. Mulai dari piama dan sendal yang dikenakannya. Dan lagi sekarang ini pukul sepuluh malam, jadi pasien rawat jalan tidak akan berkeliaran seperti ini. Jika dia tidak dilarikan ke rumah sakit ini seperti Sakuta, itu artinya dia dirawat inap.

“…Kau menderita penyakit lain?”

Sakuta ragu untuk bertanya. Tetapi Shoko terlihat kebingungan harus menjawab apa jadi ia pikir langsung saja.

“Oh…,” mulanya lalu terdiam.

“Jika kau tak mau membicarakannya tak apa, Aku tak akan membahasnya lagi.”

“Tidak, kurasa Sakuta-san harus tahu,” ucap Shoko sambil melihat ke atas. Dia sudah memutuskannya.


Mereka berdua duduk di bangku yang ada di dekat mesin penjual otomatis. Shoko berbicara perlahan dan dengan tenang saat dia memberi tahu Sakuta tentang penyakit yang dideritanya.

Begitu mendengarnya, Sakuta lupa dengan nama dari penyakitnya dan tidak tahu sama sekali cara penulisan kanjinya, tetapi ia mengerti kalau kondisi jantung Shoko lemah.

Situasinya sangat rumit karena kondisinya akan semakin parah seiring bertambahnya usia Shoko. Ada beberapa alat yang bisa memperpanjang jangka hidupnya, tetapi satu-satunya cara untuk sembuh adalah dengan transplantasi organ. Kecil kemungkinannya organ tersebut cocok dengan anak-anak, jadi kemungkinan kalau dia akan mendapatkan donor sangatlah kecil. Dan jika memang ada pendonor yang cocok, maka pendonor tersebut sudah berakhir tragis jadi bukan berita yang patut dibahagiakan.

Dia ditempatkan di daftar tunggu untuk mendapatkan donor tetapi merasa bersalah karena rasanya seperti mengharapkan agar hal buruk terjadi ke orang lain.

“Apa yang terjadi jika kau tak bisa mendapat donor?”

“Ketika keluargaku pertama kali mengetahuinya, dokter berkata kalau Aku bisa dikatakan beruntung jika bisa hidup sampai lulus SMP.”

Shoko terdengar sangat tenang akan hal itu. Dia seakan terlihat lega. Sakuta tidak yakin harus bagaimana menyikapinya.

Tetapi ia mengerti satu hal.

“Akhirnya jadi jelas.”

“Sakuta?”

“Aku akhirnya mengerti.”

“Mengerti apa?”

“Ketika kita membicarakan tentang Hayate, kau bilang jika kau memberi tahu orang tuamu kalau kau ingin memelihara kucing, kau yakin mereka pasti akan mengizinkanmu.”

Tanpa bisa melakukan transplantasi organ, dia mungkin hanya bisa hidup sampai di usia 14 atau 15 tahun. Tidak ada orang tua yang akan mengabaikan permintaan anaknya dengan keadaan semacam itu. Mereka ingin melakukan hal apa pun yang mereka bisa untuknya. Mereka akan membelikan apa pun yang diminta Shoko dan membiarkannya melakukan apa pun yang diinginkannya.

“Orang tuaku sangat baik padaku.”

“……”

“Sangat baik sampai mereka akan selalu bilang ya dengan apa pun yang kuminta. Dan Aku memang senang karenanya, tapi…terkadang hal itu juga membuatku jadi sulit untuk meminta sesuatu.”

“Mm.”

Sakuta membuat suara yang menunjukkan kalau ia mendengarkan karena pikirnya lebih baik untuk tidak memotong perkataan Shoko. Ia akan salah besar jika berpura-pura kalau ia bisa mengerti yang dirasakan oleh Shoko dan orangtuanya. 

“Setiap kali ibuku mengatakan ‘Ya’ tentang sesuatu, Aku tahu kalau dia juga bilang ‘Maaf’ di tempat yang tidak bisa kudengar. Seolah-olah penyakitku itu salahnya sendiri karena Aku terlahir dengan kondisi ini.”

“Mm…”

“Karena itu…Aku masih belum menanyakan mereka tentang Hayate.”

Sakuta melirik ke arahnya. Ia bisa melihat emosi negatif yang muncul di wajah Shoko. Dan ia tahu betul kenapa.

Jadi Sakuta diam-diam mencubit pipi Shoko.

“Ke-kenapa kau melakukan itu?!” teriaknya karena terkejut.

“Itu karena kau menyalahkan ibumu.”

“Huh?”

“Jika kau terlihat murung setiap kali kau meminta sesuatu padanya, tentu saja ibumu ingin meminta maaf.”

“…Tapi---,” balasnya.

Tetapi sebelum dia bisa menjelaskannya, Sakuta mencubit pipinya lagi.

“Sh-Shakuta-san?!

Maksudnya mungkin ingin memanggil “Sakuta.”

“Makinohara, selama kau merasa bersalah akan penyakitmu ini, tak ada yang akan berubah. Aku yakin orang tuamu tahu kalau kau merasa bersalah dengan penyakitmu. Hal tersulit bagi mereka itu ketika mengetahui kalau mereka membuatmu merasa kalau kau menyesal akan penyakitmu. Kau sudah cukup tersiksa ketika ibumu merasa kalau ini semua salahnya karena kau terlahir seperti ini, kan?”

“Yah…kurasa kau benar,” ucap Shoko. “Tapi apalagi yang bisa ku…?”

“Perasaanmu sebenarnya bagaimana ke kedua orang tuamu? Selain merasa menyesal karena sudah membuat mereka sedih selama ini.”

“Aku menyayangi mereka berdua. Sangat menyayangi mereka.”

Shoko tidak perlu berpikir lama tentang hal itu. Jadi sudah pasti kalau itu perasaannya yang tulus.

“Apa kau sudah memberi tahu itu ke mereka?”

“…Tidak.”

“Aku akan jauh lebih senang ketika mendengar kata-kata seperti ‘Mencintaimu’ daripada ‘Maaf,” itu sendiri. Yang seperti itu bisa membuat hariku jadi lebih berwarna.”

“Oh…”

Shoko akhirnya mengerti dari apa yang dimaksudkan oleh Sakuta.

“Ada yang pernah memberitahuku kalau, ‘Terima kasih,’ ‘Kerja bagus,’ dan ‘Aku menyayangimu’ itu tiga ucapan yang paling membuatnya senang.”

Sakuta akhirnya melepaskan cubitan pipinya, dan Shoko langsung berdiri.

“Aku…”

Ucapannya terhenti, dan terdengar bunyi lift tiba. Sepasang suami istri yang berusia sekitar 30-an melangkah keluar. Reaksi mereka ketika melihat Shoko menjelaskan siapa mereka.

Orang tuanya mencari dirinya karena Shoko masih belum kembali ke kamarnya.

“Mama, Papa,” ucapnya sambil berlari.

“Oh Shoko sayang! Jika kau lari seperti itu…,” ucap ibunya yang khawatir.

Tetapi Shoko langsung melompat ke pelukan ibunya.

“Oh sayang. Ada apa?”

Meski ibunya terlihat terkejut, dia tetap memeluk Shoko.

“Mama, Papa, terima kasih untuk segalanya.”

“Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu?”

Kedua orang tuanya saling melihat satu sama lain.

“Aku menyayangi kalian berdua. Sangat menyayangi kalian.”

“Ya, kami berdua juga menyayangimu.”

Ayahnya meraih Shoko dan mengelus kepalanya.

“Benar sekali.”

“Aku senang keduanya mama dan papa ku.”

Saat di pelukan ibunya itu, Shoko menatap mereka berdua dengan senyuman seperti bunga bermekaran.

“Shoko…”

Suara ibunya tersendat dan terlihat mengeluarkan air mata. Sementara ayahnya membuang muka sambil mengusap matanya. Ada momen bahagia yang muncul di saat itu. Ketiganya saling menyayangi satu sama lain.

“Aku...punya permintaan.”

“Kamu mau minta apa, Shoko sayang?”

“Aku ingin memelihara kucing.”

Tanya Shoko dengan senyum cerah bak sinar matahari. Dan orang tuanya menyetujui permintaanya itu.

“Oke! Mari kita pelihara kucing.”


Setelah Shoko kembali ke kamarnya dengan saling berpegangan tangan dengan kedua orang tuanya, ada suara yang memanggil Sakuta dari belakang.

“Azusagawa.”

Ia berbalik dan berhadapan dengan Futaba yang sudah berdiri di belakangnya sedari tadi.

“Kau sudah bangun dan mulai jalan-jalan lagi?”

“Yah, meski nantinya Aku jatuh pingsan lagi, Aku sudah ada di rumah sakit, jadi yah…”

“Kau pasien yang menyebalkan,” keluh Futaba tetapi tetap tersenyum kecil.

“Jangan lupa kalau Aku ini teman yang menyebalkan!”

“Jelas. Caramu sangat curang,” cacinya. “Aku tak bisa membiarkanmu terbaring pingsan di sana, kan?”

“Yah, kedengarannya pingsanku ini tak sia-sia.”

Kemudian, Sakuta duduk di bangku yang ada di dekat mesin penjual otomatis. Futaba juga ikut duduk tetapi jaraknya agak sedikit berjauhan sampai satu orang lagi bisa ikut duduk di antara mereka berdua.

“Makasih sudah menelepon Mai-san.”

“Kau harusnya bersyukur”

“Karena itu Aku mengucapkan terima kasih.”

“Bukan ke Aku. Tapi ke Sakurajima-senpai.”

“…Apa dia sekhawatir itu?”

Sakuta tidak mendapatkan kesan khawatir ketika berbicara dengan Mai, tetapi dia memang buru-buru ke sini. Mungkin dia merasa lebih takut dari yang ia kira.

“Ketika dia datang, Sakurajima-senpai tak henti-hentinya memegangi tanganmu saat kau sedang tidur.”

“Apa kau punya fotonya?”

“Tentu saja tidak.”

“Aww, Aku sangat ingin melihat itu.”

“Kau memang benar-benar bodoh.”

Suara tawanya bergema di lorong yang hening ini.

“……”

“……”

Ketika percakapan mereka terhenti, suasana hening rumah sakit di larut malam ini semakin terasa. Tetapi suara dari mesin penjual otomatis sedikit membantu meredakan suasananya.

Futaba menjulurkan kakinya sambil menatap ke arah jari kakinya. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memulai.

“Azusagawa, Aku…”

“Aku tak ingin mendengar omong kosongmu lagi tentang bagaimana kita tak butuh dirimu lagi atau semua akan tuntas selama kau menghilang, atau sebenarnya kau hanya takut dan tak tahu harus berbuat apa.”

“……”

Keduanya terdiam cukup lama. Pasti tebakannya benar.

“Tak apa jika kau membenci dirimu sendiri,” ucapnya di lorong yag sepi.

“……”

“Aku biasanya orang yang bersikap ‘masa bodoh’ dengan itu.”

“Sifatmu memang begitu ya,” ucap Futaba sambil mengeluh sedikit. “Kalau orang lain biasanya akan bilang, ‘kau harus berusaha menyukai dirimu sendiri,’ atau mulai memberitahuku tentang hal-hal yang mereka sukai dariku.”

“Yah, mencoba hidup dengan bersikap positif ke semua hal sangat melelahkan sekali, kan? Orang-orang yang bilang untuk mencintai diri sendiri seperti itu bisa mati saja sana.”

Tidak mungkin bisa memaksa seseorang untuk menyukai apa yang orang itu benci. Mencoba untuk memaksakannya hanya akan menghasilkan perselisihan atau menjadi beban. Intinya hanya akan berdampak buruk. Jika seseorang memang ingin menyiksa dirinya sendiri, menyerah akan sikap positif itu merupakan cara yang logis. Dua tahun lalu, Sakuta menyadari betapa membantunya hal tersebut. Permasalahan adiknya sendiri yang mengajarkan dirinya akan hal itu. Melawan hal tersebut tidak selalu menjadi jawabannya dan terkadang menyerah itu tidak apa-apa.

“Kau memang parah ya, Azusagawa. Tapi…terkadang yang seperti itu melegakan.”

Futaba tampak sudah lebih lega, seolah-olah beban yang ada di pundaknya sudah menghilang.

“Memang benar,” ucap Futaba.

Ketika seseorang mengalami stres, tidak butuh waktu lama hingga orang itu kehilangan kendali diri. Maka dari itu penting untuk mengistirahatkan pikiran mereka. Karena pada akhirnya dapat membuat segalanya jadi lebih mudah. Ketika seseorang sudah tidak stres atau tidak mencemaskan sesuatu, mereka bisa jauh lebih mudah menyelesaikan masalahnya sendiri, sama seperti Futaba saat ini.

Futaba sendiri cenderung memendam perasaannya dalam dirinya sendiri, jadi terkadang dia harus melampiaskannya. Agar bisa move-on dari perasaan itu.

Beban berat itu sepertinya sudah hilang sekarang ini, pikir Sakuta.

“Um, Azusagawa…,” mulanya ragu, setelah lama terdiam.

“Mm?”

“…Tentang pertunjukan kembang api.”

“Ah.”

“Apa Aku boleh ikut?”

“Tak boleh.”

“……”

“Tidak jika caramu mengatakannya seperti itu.

Futaba kemudian menghela napas panjang seakan mempersiapkan diri.

Dia tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya, hanya beberapa detik saja rasanya.

“A—Aku ingin ikut menonton kembang api,” ucapnya dengan wajah yang terbilang kebingungan.

Dia tidak sering menunjukkan perasaannya seperti ini, jadi baginya canggung.

“Bukan Aku yang harusnya kau beritahu.”

Sakuta melemparkan koin 10-yen ke arah Futaba. Lemparannya itu melengkung di udara dan Futaba menangkapnya dengan kedua tangannya. Lalu, dia melihat ke arah telepon umum.

Kemudian, Futaba berdiri dan berjalan ke arah telepon umum tersebut.

Dia mengangkat gagang telepon, memasukkan koin, dan menekan sebuah nomor telepon. Sakuta bisa mendengar dering telepon tersebut dari balik pundaknya.

Futaba terdengar tegang dari frekuensi pernapasannya.

Ia bisa mendengar kalau panggilannya terhubung.

Dan Futaba menarik napas panjang.

“Aku…Aku bertemu dengan Azusagawa. Dan…Aku punya permintaan.”

Dia berhenti sejenak, menarik napas panjang lagi, dan mengucapkan perasaannya.

“Aku juga ingin ikut menonton kembang api.”

Setelahnya tidak ada kata-kata yang terdengar. Baik hembusan napas ataupun hawa kehadirannya menghilang. Dan terdengar bunyi tabrakan benda.

Sakuta diam-diam berbalik.

Yang ada di hadapannya hanyalah telepon umum yang dicat hijau. Dengan gagang telepon yang teruntai. Tidak ada seorang pun dari kedua arah---hanya lorong panjang yang sepi. Sejauh matanya bisa melihat, tidak ada orang lain selain dirinya di lorong ini.

Ia kemudian berdiri, mengambil gagang telepon tersebut, dan mengarahkannya ke telinganya.

“Haloooo?” ucapnya dengan nada bercanda.

“Cepat kembali ke kamarmu, Azusagawa. Kau membuat Sakurajima-senpai menunggu.”

“Sekarang Aku bisa saling bermesraan sepuas hatiku!”

“Aku akan pura-pura tak mendengarnya.”

“Aku senang bisa berbagi.”

“Tentang pertunjukkan kembang apinya,” ucap Futaba yang langsung mengganti topik pembicaraan. “Kau sebaiknya jangan telat.”

“Kau boleh telat sedikit kok, Futaba. Aku mengerti kalau memakai yukata itu memang memakan waktu.”

“Aku benar-benar harus memakai itu?”

“Tak ada artinya kita pergi nonton kembang api jika tak ditemani cewek yang memakai yukata.”

“Baiklah…Aku memang sudah janji.”

Dia terdengar seperti sangat menantikannya.