Sahabat yang Mengayuh 40 km/jam
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


“Jadi sampai berapa lama kau berencana untuk tetap begini, Azusagawa?” tanya Futaba tiba-tiba.

Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah, dengan duduk di bangku yang ada di Stasiun Shichirigahama sambil menunggu kereta yang menuju ke arah Stasiun Fujisawa.

Sekarang ini sudah tanggal 12 Agustus.

Selama seminggu ini, Sakuta menghabiskan waktunya dengan mengunjungi lab sains setiap harinya.

“Sampai kau berhenti melakukan hal yang kau lakukan saat ini.”

Hingga saat ini, Futaba masih mengunggah foto-foto selfienya ke sosial media.

Kemarin ia memeriksanya di net café dalam perjalanan pulangnya setelah bekerja paruh waktu, dan kali ini dia mengunggah foto tabung reaksi yang ditempatkan di belahan dadanya. Rupanya dia menyanggupi salah satu permintaan untuk menempatkan sesuatu ke belahan dadanya. Jujur saja, Sakuta pikir hal yang seperti ini sudah terlalu berlebihan sampai-sampai bodoh kelihatannya; ia tidak berpikir kalau sesuatu seperti itu seksi sama sekali.

“Atau setidaknya sampai kau setuju untuk menunjukkan selfie seksimu ke diriku seorang.”

“Kau semakin menyimpang dari tujuan awalmu setiap harinya.”

“Sayang sekali.”

Sakuta menoleh ke arah Kamakura untuk melihat kereta yang muncul tetapi tetap tidak ada yang muncul. Sekarang ini sudah pukul enam sore lewat, tetapi langit di atas terlihat masih cerah---mungkin matahari masih belum tenggelam sepenuhnya dari arah barat.

“Jadi percobaan apa yang kau rencanakan esok?

Selama seminggu ini, Futaba banyak melakukan percobaan yang terbilang agak membosankan. Seperti mengukur percepatan gravitasi dan menggerakkan keranjang dinamis kecil. Dia mengerjakan semua percobaan itu dengan rajinnya, tetapi percobaan-percobaan seperti itu tidak menarik untuk dilihat buat Sakuta.

“Mungkin Aku harus membuat roket untuk menghiburmu?”

“Sungguh?”

“Dari botol plastik.”

“Oh.”

“Kau bisa jadi orang suruhanku nanti.”

“Tugasku itu jadi anjingmu? Kau tak mau lomba agar roket mana yang lebih tinggi terbangnya?”

“Kau tak akan bisa mengalahkanku.”

Setelah itu, Futaba mengeluarkan ponselnya karena sepertinya dia mendapat pesan masuk.

Tetapi begitu dia membaca pesan tersebut, dia agak terkejut. Dia cepat-cepat memalingkan wajah dari layar ponselnya tetapi sesaat kemudian dia memeriksanya lagi. Begitu Futaba melihat layar ponselnya lagi, wajahnya tampak sangat pucat.

Kemudian, dia menyembunyikan layar ponselnya dengan menempatkannya di pahanya dan meletakkan kedua tangannya di atas ponsel sehingga tampilan layarnya tidak terlihat sama sekali.

“Ada apa?”

“Tak ada apa-apa.”

Futaba bahkan tidak melihat ke arahnya. Perhatiannya tertuju ke orang lain yang ada di peron yang sama dengan mereka. Di sekitar mereka terdapat beberapa siswa-siswi Minegahara dan sekolah lain. Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar lagi.

“Futaba?”

“…Aku baik-baik saja.”

Dia tidak terlihat baik-baik saja. Karena ada jeda yang cukup lama sebelum dia membalas pertanyaan Sakuta dan suaranya juga terdengar serak. Tangannya yang diletakkan ke ponselnya terlihat gemetaran, dan itu terjadi bukan dikarenakan getaran dari ponselnya sendiri.

“Ada balasan dari fotomu?”

“……”

Futaba mengangguk sedikit.

“Aku boleh lihat?”

Sakuta melirik ke arah ponselnya.

“Tidak.”

Tetapi Sakuta tetap meraih ponsel Futaba. Ia menyelipkan jarinya di bawah jari-jari Futaba dan berhasil menyentuh cover ponselnya.

“……”

Futaba menundukkan kepalanya sedikit tetapi tidak menghentikan Sakuta untuk menarik ponselnya.

Apa yang seperti ini bisa dianggap kalau dia mengizinkannya?

Kemudian, Sakuta menatap layar ponsel Futaba.

Layarnya itu menunjukkan pesan masuk dari salah satu situs sosial media.

Itu seragam Minegahara, kan?

Pesan pertamanya terdengar sangat meresahkan.

Aku pernah sekolah di situ, karena itu Aku bisa tau.

Pesan ini muncul beberapa saat kemudian.

Aku sedang ada di dekat sekolah, ingin ketemuan?

Pesan selanjutnya muncul. Ketika Sakuta hanya melihatnya, ada semakin banyak pesan yang masuk.

Aku bisa jadi sponsor mu. 15000-yen sudah cukup?

Aku laporkan ke sekolah jika kau tak bertemu denganku.

Dan kau tak mau sekolah tahu ini, kan?

Ayolah, mari kita ketemuan. Kau bisa, kan?

Pesan-pesannya terus saja bermunculan.

Futaba juga sedang melihat layar ponselnya dari sebelah Sakuta, dan tangannya semakin erat menggenggam lengan baju Sakuta. Ia bisa merasakan kalau tangan Futaba semakin gemetaran lebih dari yang sebelumnya.

“Orang-orang yang seperti ini memang ada ya,” gumam Sakuta sambil menuliskan balasan atas pesan masuknya. Bahkan saat ia sedang mengetik balasannya, pesan-pesan masuknya terus saja bermunculan seperti;

Kita harus ketemuan!

Kutunggu jawabanmu!

Apa kau membaca pesanku?

Jangan salahkan Aku jika nanti terjadi apa-apa.

Pria ini bahkan tidak memberinya waktu untuk membalas. Dasar bajingan, pikirnya. Dan akhirnya Sakuta menyelesaikan jawabannya.

“Azusagawa?”

Dan memencet tombol kirim.

“Apa yang baru saja kau…?”

“Ini.”

Ia menunjukkan layar ponsel itu ke Futaba bersamaan dengan pesan yang baru saja dikirimnya.

Kulaporkan ini ke polisi.

Akhirnya ponsel itu berhenti bergetar dan tidak ada pesan yang masuk lagi.

“Harusnya sudah selesai.”

“…Hapus.”

“Mm?”

“Hapus akunnya.”

“Baiklah.”

Ia menyuruh Futaba untuk menuntunnya agar memastikan ia melakukannya dengan benar dan menghapus akun itu untuknya.

“Begini sudah cukup?”

“Mm.”

Kereta tujuan arah Stasiun Fujisawa akhirnya tiba, jadi mereka menaiki salah satu gerbongnya.

Di dalam gerbong ada cukup banyak penumpang. Mulai dari kumpulan wanita paruh baya yang sedang dalam perjalanan pulang dari Kamakura dengan membawa tas berisi oleh-oleh, pasangan anak muda, dan kumpulan siswa-siswi sekolahan yang bertujuan pulang setelah seharian bermain di pantai.

Sakuta menuntun Futaba ke kursi kosong di tengah gerbong dan duduk di sana. Karena Futaba tidak pernah sekalipun melepaskan lengan baju Sakuta. Penumpang lain yang melihat mereka menatap dengan ramah. Pasti sekitar mereka berpikir kalau mereka berdua pasangan baru.

“Maaf,” ucap Futaba dengan pelan. “Jadi tahu rasa, ya?”

Mulai dari tubuh, suara, dan hatinya masih merasakan ketakutan. Benar-benar ketakutan.

“E…Entah kenapa. Aku jadi begitu takut.”

Dia tidak bisa berhenti gemetaran. Karena bahu mereka saling bersentuhan, Sakuta jadi tahu hal itu.

“Pesan singkat atau yang namanya SMS seperti pisau yang dapat menusuk,” ucap Sakuta dengan tetap menatap lurus ke depan sambil menjaga nada bicaranya agar tidak terdengar formal.

“……?”

“Ketika Kaede mendapatkan perundungan, konselornya memberitahuku kalau 80% informasi yang kita terima berasal dari tatapan mata orang lain.”

“…Memang benar.”

“Jadi jika ada pesan masuk atau SMS yang bertuliskan ‘Mati kau!’ itu jauh lebih buruk dibandingkan jika seseorang mengatakan hal itu langsung ke kita.”

Dan pesan singkat bisa tiba-tiba muncul tanpa ada peringatan terlebih dulu. Ketika kita misalnya berbicara dengan seseorang, alur dari percakapan kita dengan orang tersebut dapat memberi kita waktu untuk melindungi diri sendiri. Tetapi sangat berbanding terbalik dengan yang namanya pesan singkat karena kita bisa tidak siap menghadapi atau membacanya. Sebelum kita bisa menyiapkan diri untuk pesan yang muncul, pikiran tentang pesan seperti apa yang akan muncul sudah membuat rasa gelisah di hati kita.

Dan itulah yang terjadi ke Futaba sekarang ini.


Ketika mereka sudah sampai di Stasiun Fujisawa, Sakuta melewati gerbang tiket dari jalur Odakyu Enoshima dengan Futaba. Ia biasanya akan berbalik arah untuk pulang di sini, tetapi di situasi saat ini membuatnya tidak bisa melakukan hal itu untuk hari ini.

Peron di stasiun ini sangat panjang---sampai-sampai terlihat seperti peron di stasiun terakhir. Rel kereta yang keluar dari stasiun ini mungkin hanya terlihat seperti satu arah, tetapi kereta yang berhenti di peron ini sebenarnya akan menuju ke dua arah yang berbeda---hal ini biasanya disebut sebagai jalur tunggal yang mana beberapa pasang kereta akan berakhir di Stasiun Shinjuku sementara yang setengahnya lagi akan melaju menuju Stasiun Katase-Enoshima sebagai pemberhentian terakhir.

Mereka berjalan bersama mengikuti penumpang lainnya.

“Um, maaf,” ucap Futaba seolah-olah dirinya ini menjadi beban atau menjadi masalah buat Sakuta.

Tetapi tampaknya dia masih tidak bisa melepaskan genggamannya dari lengan baju Sakuta.

“Aku akan beri tahu Kunimi betapa imutnya dirimu nanti.”

“……”

Futaba yang terdiam menatapnya dengan sinis, tetapi masih terlihat ada rasa ketakutan yang membuatnya bisa menangis kapan saja.

Mereka akhirnya menaiki kereta jurusan Katase-Enoshima yang sedang berhenti di depan peron.

Ia memang tidak bisa meninggalkan Futaba sendirian sekarang ini, jadi Sakuta memutuskan untuk mengantarnya pulang.


Bel peringatan keberangkatan berbunyi, dan kereta yang berwarna putih mulai melaju keluar dari Stasiun Fujisawa. Futaba tinggal di sekitaran Stasiun Hon-Kugenuma yang mana hanya berjarak satu stasiun dari Stasiun Fujisawa. Jadi waktu mereka menaiki kereta api tidak berlangsung lama.

Setelahnya hanya butuh waktu untuk berjalan sekitar lima menit dari stasiun.

“Di sini,” bisik Futaba yang berhenti di depan sebuah rumah di lingkungan yang sepi. Sebagian besar di lingkungan sekitar diisi oleh perumahan; hanya ada sedikit bangunan apartemen yang mana terbilang kecil karena hanya setinggi lima lantai. Jadi tidak ada yang begitu menjulang ke langit.

Futaba meletakkan tangannya ke gerbang ganda yang terlihat mengesankan karena di atas gerbangnya terdapat lengkungan dekoratif. Yang mana tampak seperti rumah dari para orang kaya.

Di dalam gerbang terdapat jalan setapak dari batu yang mengarah ke rumah besar yang berbentuk kubus. Garasi yang berada di samping rumah seakan pintunya dapat terbuka secara otomatis dan bisa menampung tiga buah kendaraan.

“Wow,” seru Sakuta yang terkesan.

“Kaku sekali, kan?” ucap Futaba dengan nada datar.

“Tak seperti kalau ada orang yang tinggal di sini.”

Rumah ini lebih seperti salah satu model rumah dari daerah Shonan yang pernah ia lihat di TV.

“Orang normal biasanya akan lebih sopan dan bilang, ‘Oh, tidak, rumahnya bagus!’”

“Jangan harapkan yang seperti itu dariku.”

“Cukup adil.”

Mereka tiba di depan pintu rumah. Futaba mengeluarkan kunci dan membuka pintu depan rumahnya. Lampu di dalam rumahnya menyala, tetapi tidak ada tanda-tanda kalau ada orang di dalamnya. Lampu dari pintu masuknya mungkin menyala secara otomatis.

Sekarang ini sudah jam tujuh lewat jadi langit di atas sudah mulai gelap.

“Kunci pintunya ya.”

“Azusagawa.”

Futaba yang berbalik sambil masih memegang pintu terlihat gelisah.

“Mm?”

Ia sudah tahu apa yang akan Futaba tanyakan sebelum dia bisa mengatakannya. Pesan dari orang mesum itu sangat mengganggunya dan dia masih ketakutan.

“Apa kau bisa…menginap?” tanya Futaba dengan suara kecil yang hampir tidak terdengar. Tetapi dia tetap menanyakannya.

“Orang tuamu ke…?”

“Ayahku sedang ada di Jerman untuk pertemuan. Ibuku juga sedang ada di Eropa untuk masalah bisnis.”

“Yang seperti benar-benar ada di kehidupan nyata?”

“Yang seperti itu sudah biasa di rumahku.”

“Perlu kau tahu kalau Aku ini masih cowok.”

“Yah, jika ada yang terjadi, Aku akan beri tahu semua rinciannya ke Sakurajima-senpai. Lengkap dengan dramatisasinya.”

“Tolong jangan.”

“Aku memercayaimu.”

“Aku lebih suka dianggap sebagai ancaman potensial.”

“Berhenti bercandanya dan masuk.”

“Maaf mengganggu.”

Setelah masuk ke rumahnya, keheningannya jauh lebih terasa. Bahkan, suara dari goyangan seragam mereka terdengar keras. Mungkin juga karena langit-langit rumah ini yang tinggi sehingga memperjelas suara tersebut.

Ia mengikuti Futaba ke ruang tamu yang besar. Luasnya mungkin sekitar 30 meter-an. Desain interior di ruangan itu monokrom, dengan warna hitam-putih. Ada juga sofa besar yang terlihat nyaman dan 60’ TV. Saat melihat ke jendela, ia bisa melihat ada taman yang terawat dengan baik.

Meja dapurnya menghadap ke arah ruang tamu, dan lemari dengan pintu kaca di belakangnya terisi dengan berbagai rempah-rempah untuk bumbu dan peralatan makan---benar-benar seperti model rumah impian. Lorong rumahnya juga diterangi oleh pencahayaan tidak langsung yang terkesan mewah.

Sederhana tetapi juga elegan. Rumah ini benar-benar memamerkan sebuah kemewahan. Model dari rumah yang ingin ditinggali oleh banyak orang nantinya suatu saat.

Tetapi Sakuta merasa ada suatu hal penting yang hilang dari rumah ini. Ia bisa menyadarinya bahkan sebelum ia melangkah masuk.

Rumah ini tidak memiliki rasa. Rasa dari kekeluargaan.

Rumah ini seperti wadah yang indah, tetapi wadah tersebut tidak terasa seperti Futaba meskipun dia tinggal di rumah ini. Sakuta sendiri bahkan tidak bisa merasakan panas tubuh Futaba.

Hal ini membuat Sakuta merasa aneh seakan dirinya melangkah ke dimensi tidak dikenal. Hanya berdiri diam saja sudah membuatnya gugup.

“Orang tuamu sering pergi?”

“Tak juga.”

“Oh.”

“Sekitar enam bulan sekali selama setiap tahunnya.”

“Yang seperti itu sudah bisa dibilang sering.”

Sangat sering malahan. Ketika Futaba mengatakan tak juga, yang ada di bayangan Sakuta lebih seperti dua atau tiga kali dalam setahun. Tetapi anehnya terasa masuk akal. Karena hal itu menjelaskan kenapa rumahnya seperti ini. Jika orang tuanya pulang setiap malam, maka akan berbeda.

“Ayahku menyewa kamar di dekat rumah sakit dan biasanya tidur di sana, dan ibuku sering bepergian ke luar negeri untuk urusan bisnis. Jadi normal-normal saja.”

“Bagaimana bisa yang seperti itu bisa dibilang normal?”

Tetapi ini juga menjelaskan kenapa diri Futaba yang lain tampak terbiasa dengan memasak dan mencuci pakaian. Jika dia melakukan pekerjaan rumahnya sendirian selama enam bulan setiap tahunnya, dia memang harus terbiasa.

“Yang seperti ini normal bagi kami. Kedua orang tuaku tak pernah bermaksud untuk jadi orang tua,” ucap Futaba seakan sedang mengutarakan fakta yang banyak orang tahu. Setidaknya, dia tampaknya sudah tidak begitu peduli dengan masalah ini. Dia sudah menyerah sejak dulu, dan memang sudah seharusnya seperti ini menurutnya…begitulah yang tangkap.

“Ayahku menikah hanya untuk meningkatkan peluangnya untuk naik jabatan.”

“Huh?”

“Ada posisi di mana seseorang tak akan bisa naik jabatan kalau masih lajang.”

“Dan ibumu sudah puas dengan itu?”

“Ibuku menikah ayahku agar dia bisa memanggil dirinya istri dari Dr. Futaba. Tujuan mereka sama. Dan mereka masing-masing melakukan hal yang mereka sukai, jadi apa yang perlu dikeluhkan? Sepertinya ide tentang keluarga yang kau punya itu ide jadul, Azusagawa.”

“Aku ini manusia gua yang bahkan tak memiliki ponsel.”

“Huh?”

Kohai ku yang imut ini memanggilku begitu.”

“Oh, si Iblis Laplace? Dia sangat pintar dengan kata-katanya.”

Futaba tersenyum sedikit setelah ini. Candaan seperti ini biasanya tidak akan membuatnya tertawa. Sakuta sendiri tidak yakin apakah diri Futaba menyadari ini atau tidak, tetapi rasanya dia seperti sedang memaksakan dirinya tersenyum agar dirinya terasa lebih baik.

Dia berkeliling sambil menyalakan lampu dan menekan sebuah tombol untuk mengisi air di bak mandi.

“Begitu airnya penuh, kau bisa mandi dulu,” ucapnya.

“Baiklah.”

Dengan kondisi Futaba saat ini, rasanya konyol kalau ia memilih untuk mandi setelah Futaba. Bukan berarti juga ia akan lama mandinya.

Setidaknya, itulah rencananya. Tetapi begitu ia telanjang dan masuk ke dalam kamar mandi, Futaba memberitahunya, “Aku akan mencuci bajumu, jadi tetaplah di sana sampai bajumu kering.”

“Butuh berapa lama?”

“30 menit.”

“Kau ingin Aku mati?!”

Sebagai balasannya, Futaba menolak untuk menjawab Sakuta.


Ketika Sakuta berjalan sempoyongan keluar dari kamar mandi dengan wajah yang seperti orang setengah mati, Futaba menggantikan Sakuta di kamar mandi. Dia berdiam diri di sana selama satu jam penuh.

Sakuta sendiri diperintahkan dengan ketat untuk berjaga di luar kamar mandi. Futaba benar-benar tidak ingin sendirian sekarang ini.

Sakuta duduk di luar sambil bersandar di dinding kamar mandi. Sangat mirip seperti kedua percakapan yang ia lakukan dengan diri Futaba yang lain.

“Azusagawa.”

“Aku di sini.”

“Mm…”

“……”

“Azusagawa?”

“Masih di sini.”

“Mm…”

“A……”

“Aku masih ada di sini!”

Yang seperti ini terus berulang sampai beberapa kali.

“Um, Azusagawa…”

“Serius deh, apa Aku harus ikut masuk ke dalam?”

Dia terdiam untuk beberapa saat, lalu berkata, “…Jika kau tetap menutup matamu.”

Normalnya Futaba tidak akan pernah mengatakan hal semacam itu. Hal ini hanya semakin memperjelas rasa takutnya.

“Tak mungkin! Aku masih belum siap untuk fetish semacam itu.”

“Kalau begitu nyanyikan sebuah lagu.”

“Yang itu bahkan jauh lebih buruk!”


Ketika Futaba selesai dari sesi mandinya, mereka makan malam dengan makanan yang ringan di perut. Menggunakan dapur yang tampak luar biasa untuk menyiapkan ramen instan. Sakuta menganggap hal ini lucu baginya, tetapi Futaba tidak mengerti apa yang lucu dari ini. Karena dia tinggal di sini, jadi wajar-wajar saja baginya.

Di saat mereka harus menunggu tiga menit, Sakuta menelepon singkat ke rumahnya agar Kaede tahu kalau ia tidak akan pulang hari ini.

Kemudian mereka duduk di sofa yang ada di depan TV, dan menyeruput ramen instan sebagai makan malam mereka. Sebagai pengganti musik, dia memasukkan DVD Blu-ray dari beberapa acara TV luar negeri dan dengan begitu mereka duduk seperti itu dan menonton acara yang tampil di TV.

Tetapi bahkan hanya menonton TV saja menjadi melelahkan setelah lima jam berturut-turut tanpa melakukan hal lain.

Sekarang sudah jam setengah satu malam, dan Sakuta mulai mengantuk.

“Sudah mau tidur?” tanya Futaba.

Sedari keluar dari kamar mandi, Futaba sudah mengenakan piama dan sekarang ini dia berjalan menuju tangga. Ia memang sudah pernah melihat piama berbulu halus yang dia pakai dari salah satu foto yang diunggahnya. Dan Futaba juga mengenakan celana pendek sebagai bawahan, jadi kaki telanjangnya sangat memukau baginya.

Sadar kalau ia tidak mungkin bisa mengikutinya ke kamar, Sakuta berhenti di depan anak tangga pertama. Futaba menyadari ini dan berbalik saat sudah setengah jalan menaiki tangga.

“Kita mungkin harus tidur bareng di sofa,” ucap Futaba.

“Sayang sekali. Padahal Aku ingin memuja kamarmu.”

“Sekarang Aku jadi semakin tak ingin kau melihatnya. Kau mungkin saja akan memberi tahu hal ini ke Kunimi juga.”

“Yah, tentu saja.”

“Haaa…”

Futaba kembali ke ruang tamu dan mulai berbaring di sofa. Sakuta memindahkan meja kopi yang ada di depan sofa sedikit dan berbaring di lantai di depan sofa.

Karpet lantainya sangat tebal, dan terasa nyaman. Jauh lebih nyaman jika dibandingkan dengan tidur di ruang tamunya sendiri.

“Selamat malam.

“Mm. Malam.”


Sakuta sudah menahan kantuknya sepanjang episode terakhir dari acara TV yang mereka tonton, tetapi begitu ia berbaring, rasa kantuknya hilang.

Ia berencana untuk tetap terjaga sampai Futaba tertidur, jadi ya tidak apa-apa juga, tetapi…

Futaba sudah berbaring di sofa selama lebih dari satu jam. Namun, dari suara pernapasannya yang tidak teratur dan posisinya yang sering berubah-ubah, dia sepertinya juga tidak bisa tidur.

Futaba menghela napas panjang. Seperti sedang mencoba untuk memikirkan sesuatu. Helaan napasnya itu sangat jelas terdengar.

Karenanya Sakuta menatap langit-langit yang hanya diterangi oleh cahaya yang ada dari celah tirai.

Setelah lama terdiam…

“Azusagawa, kau masih bangun?” tanyanya.

“Sudah tidur.”

“Tak terdengar seperti orang tidur.”

“Hampir tidur.”

Ia dengan sengaja menguap. Akan jauh lebih baik jika Futaba juga beristirahat. Karena pikiran dari rasa cemas itu hanya akan menyebabkan lebih banyak pikiran negatif. Ketika seseorang sedang merasa sedih, tidur adalah obat terbaik. Pikirkan masalah yang ada nanti.

“Kurasa Aku takut.”

“……”

“Saat ini, Aku punya kau dan Kunimi. Tapi Aku takut kalau pada akhirnya Aku akan sendirian lagi.”

“Kenapa?”

“Aku tak pernah merasa seperti ini sebelum masuk SMA. Menjadi penyendiri itu hal yang normal bagiku, baik di rumah maupun di sekolah. Tapi hal itu menjadi semakin menakutkan setelah Aku mengenalmu dan Kunimi.”

“Kunimi memang harus bertanggung jawab akan hal ini.”

“Setengahnya adalah tanggung jawabmu juga. Aku tak pernah menantikan untuk pergi ke sekolah sebelumnya. Tapi begitu Aku bertemu kalian berdua…Aku jadi menantikannya meski hanya sedikit.”

“Cuma sedikit?”

“Apa kau menantikan yang namanya sekolah?”

“Tak juga. Paling-paling…cuma sedikit.”

“Tepat sekali.”

Bahkan, “sedikit” dari rasa penantian itu sudah mulai membuatnya cemas. Ketika seseorang menemukan suatu hal yang menjadi sumber kebahagiaan mereka, orang itu ingin agar sumber tersebut bertahan selama-lamanya. Dan pikiran kalau seseorang akan kehilangan hal itu tentu saja membuat mereka ketakutan.

“Ketika Kunimi punya pacar, Aku jadi sangat takut……”

“Kau harusnya berpikir, ‘Kenapa dia?’”

“Aku memang pernah memikirkannya, tapi…”

“Sungguh? Bagus, Futaba.”

“Tapi cewek populer seperti itu memang cocok dengan Kunimi. Sementara Aku ini tidak.”

“Kunimi memang jahat! Ia sampai membuatmu sedih.”

“Kau tak berhak menjelek-jelekkannya.”

“Huh?”

Pikir Sakuta aman untuk menghina Kunimi, tetapi ternyata tidak juga.

“Kupikir Aku tak akan pernah melihatmu lagi setelah kau punya pacar yang cantik.”

“Jangan konyol begitu,” keluhnya. “Maksudku, Mai-san memang membuatku terangsang dan berdebar-debar, tapi…”

“Aku tak pernah mendengar orang lain benar-benar mengatakan hal itu. Kau memangnya dari zaman apa?” tawa Futaba.

“Tapi Aku berencana untuk tetap berteman denganmu seumur hidup ini, Futaba.”

“Kau sendiri juga tak punya teman.”

“Tepat sekali. Karena itu jangan pernah meninggalkanku. Kalau tidak Aku bisa nangis.”

Futaba tidak membalasnya. Rasanya dia tidak yakin dengan hubungan mereka saat ini.

“Dan juga, kau sama sekali tak mengerti tentang Kunimi, Futaba.”

“Tak mengerti kenapa?”

“Meskipun kau sangat menyukai Kunimi, kau tak mengerti dirinya.”

“Bukan…”

“Kau tak mengerti,” ucap Sakuta yang memotong ucapannya. “Aku pinjam ponselmu sebentar ya.”

Sampai saat ini Sakuta memegang ponsel Futaba yang dalam keadaan mati daya. Ia menyalakannya kembali, dan layar ponsel tersebut menerangi wajahnya.

“Untuk apa?”

“Untuk menunjukkan betapa menakjubkannya Kunimi. Kau akan semakin jatuh cinta kepadanya.”

Nomor ponsel Kunimi terpampang di layar ponsel Futaba dan Sakuta menekan tombol panggil.

“Azusagawa, jangan!” Futaba tiba-tiba dalam posisi duduk. “Kunimi akan mengira kalau Aku gila kalau menelepon di jam segini!”

Panik dan kebingungan---sama seperti gadis mana pun yang sedang jatuh cinta. Setiap langkah yang dirinya ambil dilakukan dengan niat untuk menghindari tindakan apa pun yang akan membuat Kunimi membencinya.

“Sudah terlambat.”

Sakuta mendekatkan ponsel itu ke telinganya dan mendengarkan bunyi deringnya. Sekarang ini sudah pukul setengah tiga pagi, jadi mungkin agak lama agar Kunimi menjawabnya.

Tetapi Sakuta tidak pernah meragukan kalau Kunimi pasti akan mengangkat teleponnya.

Ia mengangkatnya saat dering keenam.

“Mm? Futaba?” tanya Kunimi yang mengantuk. Ia pasti sudah tidur sebelumnya.

“Ini Aku.”

“Sakuta?”

Kunimi terdengar sangat kecewa. Memang responnya agak lambat, tetapi ia bisa mengenali suara Sakuta.

“Futaba sedang dalam masalah. Cepat datang ke Stasiun Hon-Kugenuma.”

“Baiklah, tunggu sebentar.” Nada bicara Kunimi langsung berubah. Terdengar seperti kalau ia langsung bangun dari kasurnya. “Sedang OTW,” ucapnya dan mengakhiri panggilan tersebut.

Volume ponselnya sudah dikeraskan sehingga Futaba bisa mendengar bagian terakhir dari percakapan mereka.

Sakuta mematikan daya ponsel tersebut lagi dan berdiri. Futaba yang sedang duduk di atas sofa tampak terkejut.

“Kunimi sedang OTW.”

“Kau gila, Azusagawa.”

“Sama gilanya seperti cowok yang bahkan langsung setuju untuk datang di tengah malam seperti ini.”

Kunimi tinggal di arah utara dari Stasiun Fujisawa. Jaraknya mungkin sekitar empat kilometer dari sini. Dan tidak ada kereta yang beroperasi selarut ini, jadi ia harus mencari cara lain untuk bisa ke sini.

Yang pasti tidak akan cepat sampai.

“Lebih baik cepat cuci mukamu, Futaba.”

Dia memang tidak menangis atau apa, tetapi matanya agak sembap. 

“Dan ganti bajumu.”

Piama berbulu halus itu memang cukup imut tetapi tidak terlalu cocok untuk ke luar rumah.

“Mungkin juga dandan sedikit?”

“Aku tak akan ganti yang aneh-aneh.”

“Mm. Aku tunggu di depan.”

Sakuta meninggalkan Futaba di ruang tamu dan berjalan menuju pintu masuk rumah.


Ia menunggu di depan pintu selama 15 menit, dan begitu bokongnya sudah mulai terbiasa duduk di alas berbatu yang ada di depan pintu, muncul Futaba.

“Maaf menunggu lama,” ucapnya.

Sama sepertinya yang disarankannya, Futaba membasuh wajahnya dan terlihat jauh lebih segar. Dia juga mengikat kembali rambutnya dengan scrunchie (sejenis kuncir rambut).

Dia juga mengenakan kaus oblong yang longgar. Sangat longgar hingga hingga menyamarkan lekuk tubuhnya. Kausnya juga berlengan panjang dan ujung dari kausnya sampai ke bawah pahanya. Untuk bawahan, Futaba mengenakan celana denim capris yang hanya sedikit menunjukkan kulit telanjangnya.

“……”

Dia membuat Sakuta menunggu cukup lama, jadi ia menilai pakaian gantinya.

“Ap-apa?” tanya Futaba yang memberanikan diri.

“Masih belum cukup. Coba lagi,” ucapnya sambil menunjuk ke arah pintu.

“Kita tak bisa membuat Kunimi menunggu,” ucapnya dan berjalan menuju stasiun. Sendal yang dikenakannya mempunyai sedikit bagian tumit, sehingga membuat Futaba sedikit lebih tinggi. Sepertinya dia sudah cukup puas dengan pakaiannya saat ini.

“Mm, yah, memang cukup bagus untukmu.”

“Aku tak tahu kau bisa jadi ahli fashion seperti ini.”

“Kalau dariku, Aku lebih suka dengan celana pendek jika mengenakan kaus longgar seperti itu, tapi ya tak apa-apa.”

Futaba menatap dirinya sendiri.

“Aku malah seperti tak memakai apa-apa di bawah.”

“Karena itu intinya. Kau harus menjual angan-angan itu.”

“……Um, Azusagawa.”

Nada bicara Futaba terdengar serius.

“Mm?”

“Apa memang tak bagus?”

Dia tampak khawatir.

“Aku tak tahu kalau Kunimi.”

“Aku meminta pendapatmu. Dari sudut pandang cowok.”

Dia terdengar kesal, tetapi Sakuta menganggap itu sebagai ungkapan dari stres dan kecemasannya.

“Sangat Futaba sekali, jadi tak apa-apa.”

“Argh.”

“Kau yang memintaku!”

Tidak ada kata-kata yang bisa mengurangi kekhawatiran Futaba. Karena sumber dari rasa cemas itu sendiri adalah Kunimi untuk saat ini.


Sekarang sudah pukul tiga dini hari, jadi jalanan sepi. Mereka berdua tidak melihat ada orang lain sampai mereka hampir tiba di stasiun.

Ada seseorang yang sedang duduk di sepeda di dekat mesin tiket.

Orang itu sedang membasuh keringat deras yang keluar dari alisnya dengan kausnya sendiri.

Ketika ia melihat Sakuta dan Futaba datang, “Kalian telat!” teriaknya dan mengayuh sepedanya ke arah mereka.

Orang itu adalah Kunimi yang diterangi oleh lampu jalan. Bahkan, Sakuta sendiri tidak mengira kalau Kunimi sudah tiba di sini. Ia pasti langsung cepat-cepat ke luar rumah dan mengayuh sepedanya secepat yang ia bisa.

“Kau terlalu cepat.”

“Kau yang bilang kalau Aku harus terbang!”

“Apa dirimu ini terbuat dari otot?”

“Dasarnya itu.”

Kunimi akhirnya menoleh ke Futaba.

“Futaba, kau baik-baik saja?”

“Uh?”

“Sakuta melakukan hal aneh padamu?”

“Tak mungkin.”

“Kau yang paling mungkin jadi penyebabnya.”

“Kalau begitu, Aku tak akan melaporkannya.”

“Tentu saja, karena kesadaran dirimu mengambil alih. Tunggu dulu, apa kau memang sadar diri?”

Kunimi ya Kunimi, bahkan setelah bersepeda di pukul tiga pagi.

“Kenapa…?” bisik Futaba. “Kenapa…?” ucapnya lagi.

Dan semua itu terjadi dengan begitu cepat.

Air mata mulai menggenang dari matanya dan mengalir di pipinya, dan terus mengalir sampai menetes ke aspal yang ada di bawah.

“Kenapa…? Kenapa…?” lanjutnya terus.

“Jangan membuatnya menangis Kunimi.”

“Kali ini salahku?”

Kunimi kebingungan setelah dicemooh oleh Sakuta. Tidak begitu mengerti akan situasi yang sedang terjadi juga tidak membantunya sama sekali.

“Yang ini sudah jelas-jelas salahmu.”

“Sial.”

Kunimi menggaruk kepalanya karena kebingungan.

“Ini bukan salahmu,” ucap Futaba dengan suara yang serak. Dia menghapus air matanya dengan kedua tangan. Mirip seperti anak kecil yang sedang menangis.

“Ini bukan salahmu, Kunimi…,” ucapnya lagi. Mungkin dia tidak yakin kalau perkataannya tadi terdengar jelas. “Jangan mencoba merusaknya, Azusagawa.”

Futaba menatapnya sinis dengan tangannya yang basah.

Tetapi yang ada di pikiran Sakuta ketika melihat Futaba hanyalah diri Futaba yang terlihat persis seperti anak kecil yang sedang menangis.

“Tangisanmu bahkan imut, Futaba,” ucap Sakuta.

Dia merasa malu. “Aku tidak… Aku sudah lama tak menangis,” ucapnya.

Mungkin dia hanya tidak tahu cara lain untuk mengeluarkan emosi yang membendung di dirinya. Jadi bahkan di usianya saat ini, dia masih menangis seperti saat dirinya masih kecil.

“Tapi… Tapi…” Emosinya kembali mengambil alih dirinya. “Aku… Aku…” ucapnya serak.

Dia terisak, dan wajahnya sangat berantakan.

“Aku tak sendirian. Aku benar-benar tak sendirian.”

Futaba masih terus mengeluarkan air mata, tetapi tampaknya dia sudah lebih senang sekarang ini. Jadi Sakuta tidak berkata apa-apa lagi. Sementara Kunimi mungkin tidak begitu mengerti tentang apa ini, tetapi ia juga terdiam sambil melihat Futaba yang mengeluarkan emosinya.

Untuk sesaat, Futaba terus berkata kalau dia tidak sendirian, mencoba untuk berhenti menangis namun gagal dan mengeluarkan air matanya lagi.

“Sakuta,” Kunimi memanggilnya.

“Mm?”

“Bisa belikan minuman untukku dan Futaba?”

“Meminta minuman gratis dariku sekarang ini sangat tak masuk akal.”

“Karena kami berdua sudah kehilangan banyak cairan dan harus menyegarkan diri lagi,” ucapnya dengan sombong.

“Alasan yang aneh, tapi, yah, khusus untuk hari ini saja.”

“Aku minuman soda apa saja. Kalau Futaba?”

“Es Kopi,” ucapnya dengan pelan.

Dia sedang melihat ke arah minimarket di ujung jalan yang terang benderang. Mesin penjual otomatis memang tidak akan cukup untuk hal ini.

“Jangan salahkan Aku jika kau tak bisa tidur nantinya,” ucap Sakuta dan mulai berjalan menuju minimarket.


Begitu ia sudah masuk di minimarket, Sakuta mengambil minuman olahraga dengan label biru dari rak minuman. Ia mengambil yang isinya dua liter karena kesal. Ia membawa minuman itu ke kasir dan memesan es kopi juga. Sementara anak kuliahan yang menjadi petugas kasir membuat es kopi, Sakuta mengambil satu set kembang api sparkles dari samping rak kasir dan membayar semuanya.

“Terima kasih. Silahkan datang lagi,” ucap petugas itu begitu Sakuta selesai membayar.

Kunimi dan Futaba berdiri berdekatan dan wajah Futaba memerah.

“Ada apa? Apa Kunimi mulai merayumu?”

“Tidak. Ia baru menyadari pakaianku…,” ucap Futaba dengan pelan.

Pasti pujian darinya karena wajah Futaba merah padam. Kerja yang bagus, Kunimi… Ia memang sangat peka.

Sakuta menyerahkan es kopi ke Futaba berikut dengan sedotan yang sudah tersedia dengan minumannya. Dan ia juga menyerahkan botol berisi dua liter minuman itu ke Kunimi. Minuman olahraga yang sama dari yang diiklankan Mai.

“Aku mengerti kalau kau masih tergila-gila dengan Sakurajima-senpai,” ucap Futaba yang tersenyum meski masih terlinang air mata di wajahnya. Akhirnya, dia berhenti menangis.

“Kau memilih cara yang aneh dalam menyukai pacarmu,” ucap Kunimi.

Kunimi sendiri tidak mengeluh tentang minuman yang dimintanya itu bukan soda atau berisi dua liter. Ia langsung menenggak setengah isi dari minuman itu sekaligus. Keluhnya tentang dirinya yang haus ternyata benar. Dan botol yang tersisa setengah dari isinya masuk ke keranjang di sepedanya.

“Jadi sekarang mau apa?” tanya Kunimi. Ia sedang beristirahat di jok sepedanya saat ini. Sekarang ini sudah pukul tiga pagi lewat.

“Ini,” ucap Sakuta sambil melemparkan plastik minimarket ke keranjang sepeda Kunimi. Kembang api yang ia beli mencuat dari plastik.

“Apa di sekitar sini ada tempat di mana kita bisa menyalakannya?” tanya Kunimi.

Di sekitar mereka tidak ada tempat luas selain kawasan perumahan, jadi…pertanyaannya benar juga.

“Di pantai?”

“Cukup jauh dari sini,” ucap Futaba yang sudah hafal dengan daerah tempat tinggalnya.

“Aku bisa memboncengmu dengan sepeda di belakang, sementara Kunimi bisa berlari di samping kita. Kita bisa sampai ke pantai dalam 10 menit.”

“Aku yang punya sepeda!”

“Apa kau akan menyuruh Futaba untuk berlari?”

“Bukannya kau yang bisa berlari?” tawa Kunimi. Tetapi pada akhirnya ia menyerahkan sepedanya ke Sakuta. Ia mulai melakukan pemanasan dan meregangkan Tendon Achilles-nya [1], bersiap-siap untuk berlari. “Tapi jika kau yang berlari, sama saja dengan jalan biasa.”

“Jangan konyol. Dengan jeda yang kubutuhkan untuk beristirahat, jalan biasa akan jauh lebih cepat.”

“Bukan hal yang bisa dibanggakan sama sekali.”

Kunimi mulai tertawa keras tetapi kemudian teringat karena hari masih malam dan kebanyakan orang masih tertidur jadi ia menghentikan tawanya.

“Futaba,” ucap Sakuta sambil melambai ke bagian belakang sepeda.

“Aku jalan duluan,” ucap Kunimi dan mulai berlari. Sekarang Futaba tidak bisa menolaknya ataupun merasa keberatan.

“Kita seharusnya tak boleh berboncengan di sepeda,” ucapnya tetapi dia langsung duduk di jok belakang. Dia juga memegang erat-erat bagian belakang jok.

“Kau bisa memelukku jika kau mau.”

“Kau sangat menjijikkan, Sakuta.”

“Aku berca---Erp.”

Sakuta menjerit kecil karena Futaba mengejutkannya dengan benar-benar memeluk dirinya. Dia mengunci pelukannya dan bersandar di punggung Sakuta. Ia bisa merasakan hangat tubuh dan kelembutan yang menyelimutinya.

“Aku harus memberi tahu ke Sakurajima-senpai betapa merahnya wajahmu nanti,” ucap Futaba. Tetapi nada bicaranya terdengar seperti sedang menutup betapa canggungnya situasi ini.

“Kalau begitu, Aku akan menantikan omelannya.”

“Si berandal kita ini luar biasa.”

Sambil tersenyum mendengar kata-kata Futaba, Sakuta mulai mengayuh sepeda tersebut. Mereka berdua bergoyang hebat sampai Sakuta bisa mempercepat lajunya.

“J-jaga agar tetap lurus!” keluh Futaba.

“Kau cukup berat!”

“Mati saja kau.”

Begitu mereka bisa seimbang, mereka segera menyusul Kunimi.

“Kalian berdua menikmatinya?” tanya Kunimi yang tersenyum ke arahnya.

“Tak sama sekali!” ucap Futaba yang masih kesal karena komentar Sakuta tentang beratnya. Kekhawatiran yang sama seperti gadis lainnya.


Lima belas menit kemudian, mereka akhirnya tiba di pantai Kugenuma yang berjarak satu stasiun ke arah selatan dari Hon-Kugenuma. Salah satu dari pantai di Shonan yang menghadap langsung ke Teluk Sagami. Ada sebuah taman di sepanjang pantai, lengkap dengan jalan kecil yang menuju ke pasir pantai. Ada juga lapangan voli pantai dan arena skateboard di dekatnya. Yang pastinya tidak akan pernah digunakan oleh Sakuta.

Enoshima terbentang luas di arah timur. Jaraknya masih cukup jauh dari sini, jadi Jembatan Benten masih terlihat seperti seutas tali.

“Sakuta.”

“Apa?”

“Bukannya terlalu berangin untuk menyalakan kembang api?”

Sakuta, Futaba, dan Kunimi saling berdiri berurutan dengan punggung mereka yang menghadap ke laut, mencoba untuk membentuk dinding melawan angin yang berhembus namun menyalakan lilin saja tetap tidak berhasil.

“Ada badai yang akan datang besok malam.”

Ah, jadi jelas kenapa angin yang berhembus ini begitu lembap.

“Mendekat lagi, Kunimi. Gunakan tubuhmu yang tinggi itu untuk melindungi kami.”

“Kau juga Sakuta.”

Mereka saling berdekatan dengan Futaba.

“H-hei…,” keluhnya, tetapi mereka mengabaikan keluhannya. “Jadi agak sempit di sini,” ucapnya sambil membungkuk.

“Oh, akhirnya nyala!” ucap Kunimi. “Futaba, cepat mendekat,” desaknya.

Nyala api lilin sudah mulai muncul. Futaba menaruh ujung dari kembang apinya ke dalamnya dan kembang api tersebut langsung menyala. Percikan berwarna hijau mulai menyembur keluar. Berubah menjadi warna kuning dan kemudian berubah lagi menjadi merah muda.

Sakuta dan Kunimi juga menyalakan kembang api mereka. Area di sekitar mereka tiba-tiba menjadi jauh lebih cerah.

Aroma dari kembang api yang menyala benar-benar menunjukkan kesan musim panas. 

Mengingat perjuangan mereka untuk menyalakan lilin saja, segera setelah mereka berhasil menyalakan kembang api masing-masing, mereka jadi sangat bersemangat melakukannya. Mereka mulai menyalakan kembang api yang ada satu demi satu, seperti sedang berlomba untuk melihat siapa yang bisa menyalakannya lebih banyak.

Beberapa menit kemudian, hembusan anginnya mulai lebih tenang. Ketiganya saling bertukar pandang, lalu meraih batang kembang api terakhir. Mereka menyalakannya bersama-sama pada hitungan ketiga dan menatap percikannya.

“Kau tak akan menanyakannya, Kunimi?” tanya Futaba dengan tatapan yang masih tertuju ke percikan kembang api yang dipegangnya

“Mm?”

“Tentang Aku.

“Ketika Sakuta meneleponku, Aku memang penasaran,” ucapnya dengan enteng.

Futaba akhirnya menoleh ke arahnya.

“Tapi ketika Aku melihatmu menangis seperti itu, kupikir hal itu sudah cukup buatku.”

“Lupakan yang itu.”

“Ah!”

“Aw.”

Kembang api Sakuta dan Kunimi berhenti di saat yang hampir bersamaan.  

“Argh, Aku kalah!” ucap Kunimi sambil berdiri dan meregangkan tubuhnya.


Mereka sebenarnya tidak sedang bertanding atau apa, tetapi Sakuta juga merasakan hal yang sama.

“Kita bisa dapat pemandangan bagus dari sini,” ucap Kunimi sambil menatap ke arah Enoshima.

“Huh? Pemandangan dari apa?”

“Pertunjukan Kembang Api Enoshima. Acaranya minggu depan, kan?”

Sakuta ikut berdiri di samping Kunimi. Dari tempat ini, mereka masih bisa melihat pertunjukan kembang apinya dengan jelas.

“Aku juga bilang hal yang sama tahun lalu,” ucap Futaba dengan kembang apinya yang masih menyala.

“Sungguh?”

“Dan kalian berdua memaksa untuk melihatnya dari dekat.”

Tetapi suasananya sangat ramai, leher mereka juga mulai pegal, dan suara dentuman kembang apinya sangat keras.

“Kalau begitu, ayo tonton dari sini kali ini!” ucap Kunimi yang menoleh ke arah mereka dengan senyum lebar.

Ketika Futaba tidak menjawab ajakannya, Sakuta lebih dulu menanyakan, “Kau tak ada rencana untuk menontonnya dengan pacarmu yang imut itu?”

“Ah, Aku sedang bertengkar dengannya,” ucap Kunimi dengan nada murung.

“Kan?” ucap Sakuta sambil menghadap Futaba.

“Bukannya kau sendiri punya rencana dengan Sakurajima-senpai?” tanyanya.

“Sementara ini agensinya melarang untuk kencan.”

“Begitulah kalau pacaran dengan artis,” ucap Kunimi dengan sikap schadenfreude-nya itu. [2]

“Aku ada shift kerja hari itu, tapi Aku bisa menyuruh Koga untuk menggantikanku hari itu, jadi harusnya tak apa.”

“Kau sama sekali tak peduli dengan rencana Koga sendiri, ya?” timpa Kunimi.

“Kau ikut, Futaba?”

“Jadwalku kosong.”

“Kalau begitu sudah beres!”

“Futaba, kau harus mengenakan yukata kali ini. Sebagai ganti hari ini.”

“Ap---?” teriaknya.

“Oh, bagus juga! Yukataaa!” ucap Kunimi.

Kata-kata itu langsung membuatnya tersipu malu.

Yukata sangat merepotkan untuk dipakai,” protesnya tetapi tidak berhasil.

“Jadi kau bisa tahu cara memakainya!”

“……”

Futaba baru menyadari kalau dia menggali kuburannya sendiri. Dia menatap Sakuta dengan marah, jadi ia mendekat ke arahnya dan membiarkan Futaba memukul bahunya.

“Hei,” panggil Kunimi yang masih menatap ke arah Enoshima. “Kurasa langitnya sudah mulai lebih terang.”

Sakuta membandingkan langit di dekat Gunung Fuji yang ada di arah barat dengan langit di dekat Enoshima yang ada di arah timur. Perkataan Kunimi benar adanya. Langit yang ada di arah timur sedikit lebih terang.

“Aku tak pernah begadang seperti ini,” ucap Futaba. “Sedang apa Aku ini?”

“Sedang melakukan hal yang bodoh,” ucap Sakuta.

“Sangat bodoh,” timpal Kunimi.

“Argh,” seru Futaba sambil menghela napas panjang. “Sayang sekali harus jadi begini,” ucapnya.

“Kau dengar itu, kan? Kunimi.”

“Maksudnya itu kau, Sakuta.”

“Maksudku kalian berdua.”

Mereka berdua saling menatap satu sama lain dalam bingung. Tetapi tetap tidak mengerti. Lalu mereka berdua menoleh ke arah Futaba dengan wajah yang terlihat bingung dan dia hanya tersenyum.

“Anda saja kalian berdua itu cewek.”

Sakuta dan Kunimi saling bertukar pandang lagi.

Jika keduanya juga seorang gadis, mungkin Futaba bisa lebih terbuka lagi dan mencurahkan segala hal yang dia rasakan. Kemungkinannya juga dia tidak akan jatuh cinta dengan Kunimi. Mereka akan tetap sebagai teman.

Apa itu yang Futaba maksud?

“Sakuta mulai besok kau pakai rok.”

“Aku selalu ingin mencobanya,” ucap Sakuta yang tidak mau kalah.

Futaba tertawa mendengarnya.

“Kau sangat bodoh.”

Sekarang ini dia sedang bersenang-senang. Dia menoleh ke arah Sakuta, lalu Kunimi, dan mulai tertawa lagi.

“Kalian berdua sangat bodoh dan yang terburuk. Tapi…”

Dan dia langsung menghentikan ucapannya.

“Tapi apa?”

“Tak jadi.”

“Ayolah. Katakan saja.”

“Tak mau.”

“Aww.” Baik Kunimi ataupun Sakuta terdengar kecewa.

Tetapi Futaba juga tidak mau melanjutkannya, jadi mereka berdua tidak akan mendesaknya. Karena mereka berdua bisa menebak apa yang akan Futaba katakan.

Kalian berdua sangat bodoh dan yang terburuk. Tapi…itu juga yang menjadikan kita teman.

Atau kata-kata yang mirip dengan itu setidaknya.

“Kunimi,” panggil Sakuta. Tanpa menunggu balasan darinya, ia melemparkan ponsel Futaba ke Kunimi.

“Mm? Whoa!”

Meski terkejut dengan Sakuta yang tiba-tiba melemparkan ponsel ke arahnya, ia masih bisa menangkapnya. Awalnya ia bingung untuk apa, tetapi ketika Sakuta berdiri di samping Futaba dengan punggung mereka yang menghadap ke laut, ia akhirnya mengerti. Dirinya sendiri berdiri mendekat di sisi lain Futaba, berdiri dengan bahu yang sejajar.

“Ap-apa?”

Hanya Futaba seorang yang masih belum mengerti.

“Sudah, sudah,” ucap Kunimi sambil mengarahkan lensa kamera ponsel ke arah mereka. Dengan dibukanya aplikasi kamera, ia mengulurkan tangannya sejauh mungkin agar mereka bertiga bisa ikut terfoto dalam satu layar yang sama.

“Kau sebut apa susu yang terlalu lama ditinggalkan dalam kulkas?”

Cheese,” ucap Futaba dengan canggung.

Sesaat kemudian, bunyi shutter kamera terdengar bergema di sepanjang pantai ini.


Mereka bertiga mengobrol tentang banyak hal sampai matahari pagi terbit. Obrolan mereka mencakup Kunimi yang bertanya ke Futaba apakah dia berencana untuk menjadi seorang dokter seperti ayahnya, Sakuta yang menimpali kalau dokter perempuan yang tidak pernah tersenyum agak merangsang, Futaba membalas kalau dia tidak ada rencana untuk mengikuti jejak ayahnya, Sakuta juga bilang kalau Kunimi punya selera yang buruk akan perempuan, dan Kunimi menjawab kalau Saki juga punya sisi baiknya meskipun mereka sekarang ini sedang bertengkar… Mereka saling curhat, mengobrol tentang banyak hal dan menceritakannya semau mereka.

Ketika matahari sudah terbit, mereka bertiga setuju kalau pemandangannya itu sangat menakjubkan sampai-sampai terharu. Namun kalau boleh jujur setelah terjaga semalam suntuk, sinar matahari pagi terlalu menyilaukan jadi mereka meninggalkan pantai.

Mereka memastikan untuk membersihkan sampah dari sisa-sisa kembang api mereka tentunya. Sama saja seperti membuang sisa tusuk sate kebab, yang mana mereka membuang ujung terbakarnya ke dalam botol plastik yang sudah mereka isi dengan air laut.

“Oh, keretanya mulai beroperasi lagi.”

Mereka berjalan santai menuju Stasiun Katase-Enoshima. 

Stasiun dengan warna merah yang dibangun menyerupai Ryūgū-jō [3] legendaris memantulkan kilauan ajaib di bawah matahari pagi.

Kunimi berpisah dengan mereka berdua di depan gerbang stasiun.

“Aku sebaiknya pulang. Sampai nanti lagi.”

“Yeah.”

Kunimi melambai ke arah mereka dan mulai mengayuh sepedanya. Ia segera mengebut dan sosoknya menghilang di balik gedung-gedung.

Ia tidak pernah menanyakan apa pun ke Futaba.

“Aku bisa mengerti kenapa kau jatuh cinta padanya.”

“Kenapa kau tiba-tiba berkata begitu?”

“Kunimi terlalu baik bagi dunia ini.”

“Kau juga.”

Futaba melewati gerbang tiket terlebih dulu dan Sakuta mengikutinya kemudian.

“Jangan samakan akan dengan Orang Suci itu.

“Terkadang kau bahkan bisa merasa malu juga, ya?”

Kemudian, mereka melangkah masuk ke salah satu gerbong dari kereta yang sudah menunggu. Ada juga beberapa penumpang lain yang hampir semuanya adalah anak kuliahan sedang menunggu hal yang sama. Kemungkinannya mereka menaiki kereta pertama ini setelah begadang semalaman juga. Mereka pasti kelelahan karena terlalu banyak berpesta karena beberapa dari mereka sudah mulai tertidur.

Dengan bel peringatan yang berbunyi, pintu gerbong menutup.

Kereta tersebut mulai melaju dengan perlahan.

“Azusagawa.”

Di kereta pagi dengan suasana yang hening, suara Futaba anehnya terdengar sangat jelas. Tatapannya terkunci ke pemandangan yang bergerak di luar jendela.

“Jika kau masih takut, Aku bisa tetap menemanimu lagi hari ini.”

“Aku akan baik-baik saja. Sekarang ini, Aku hanya ingin cepat pulang dan segera tidur.”

Futaba menahan kantuknya.

“Aku juga sama.” Sementara Sakuta gagal menahan miliknya. “Jadi, ada aoa?”

“Tentang diriku yang lain.”

“Sudah kuduga.”

“Kondisinya mungkin jauh lebih buruk.”

“……”

Sakuta menatapnya dengan penasaran.

“Diriku yang lain membenciku.”

“Oh.”

“Dia membenci caraku agar mendapat pengakuan dari para cowok. Sangat benci sampai-sampai dia pikir kalau yang seperti itu bukan dirinya.”

Dan karena itulah kenapa bisa ada dua Futaba.

“Tapi tak peduli sebenci apa pun dirinya, sampai-sampai merasa muak akan hal itu…Aku yakin kalau diriku yang lain tahu kalau di lubuk hati terdalamnya, hal itu juga bagian dari dirinya.”

“Konsep diri yang keji, ya…”

“Yeah.”

Jika Futaba yang ada di rumah Sakuta membenci Futaba yang saat ini bersama dengannya, itu mengartikan kalau dia membenci dirinya sendiri. Apa yang lebih keji selain itu?

“Jadi tolong bantu dia.”

“Tentu saja, tapi…”

“Tapi apa?”

“Lain kali Aku mampir ke lab sains, kau berhutang secangkir kopi padaku.”

“Baiklah. Lagi pula bukan punyaku…tapi kau yakin bisa membantunya?”

Dia sendiri yang meminta Sakuta membantunya tetapi tampak sangat tidak yakin.

“Entahlah. Lihat saja nanti. Tapi ketika Aku melihatmu menangis, sepertinya Aku bisa mengerti.”

Mungkin ia sendiri salah mengira, tetapi kiranya ia bisa melihat sekilas dari apa yang sebenarnya diinginkan oleh Futaba.

“Serius deh, lupakan yang itu. Memalukan.”

Futaba meringkuk karena malu. Kereta yang melaju akhirnya berhenti di Stasiun Kugenuma-Kaigan dan mulai melaju lagi setelah beberapa saat. Hanya butuh waktu satu menit dari stasiun itu untuk sampai di Stasiun Hon-Kugenuma tempat Futaba turun.

“Kau ingin ponselmu lagi?”

Sakuta masih memegangnya.

“Bawa saja. Sekarang ini, Aku tak bisa.”

Dia hakan tidak mau menyentuhnya.

“Baiklah. Selamat malam.”

“Kau juga.”

Futaba melambai di bawah sinar matahari pagi sambil tersenyum. Sakuta sudah mengenalnya selama lebih dari setahun ini, tetapi senyuman yang ditunjukkannya itu begitu elok sampai-sampai bisa membuat jantungnya berdegup kencang.


Sambil menggosok matanya yang buram, Sakuta berhasil pulang ke apartemennya pukul setengah enam pagi. Ia mengira kalau semuanya sedang tertidur, tetapi begitu ia melepas sepatunya, ia mendengar langkah kaki seseorang menghampirinya.

“Selamat datang kembali,” ucap Futaba yang datang untuk menyambutnya.

“Yeah…”

“Futaba, ini,” ucapnya sambil menyerahkan ponsel yang dipegangnya ke Futaba. “Kurasa dia tak akan melakukannya lagi.”

“…Oh.”

Futaba mengambil ponselnya itu dengan kepala tertunduk dan menatap ke arah layar. Foto bersama dari Sakuta, Futaba, dan Kunimi digunakan sebagai layar kunci dari ponsel itu.

Futaba sedang berdiri di tengah dengan wajah yang terlihat terkejut. Kunimi sedang memamerkan senyumnya yang menawan di sisi kanan. Sementara Sakuta berada di sisi kiri dengan wajah yang terpotong setengah. Pemandangan dari lautan, pulau Enoshima, dan cahaya fajar menyingsing terpampang di belakang mereka. Fotonya memang tidak bagus dan tidak bisa dibilang sebagai seni. Tetapi momen yang ada di foto itu terabadikan dengan sempurna.

“Aku akan menjelaskan padamu nanti. Aku sudah terlalu capek dan butuh tidur.”

Ia berjalan sempoyongan menuju ruang tamu dan langsung ambruk ke karpet di bawahnya. Tubuhnya sudah tidak bergerak lagi, bahkan tidak bisa lagi. Matanya tertutup, dan pikirannya langsung menyeret dirinya ke dunia mimpi.

Jadi ia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Futaba selanjutnya, atau mendengar suara pintu menutup sesaat kemudian.


Ketika ia terbangun di sore hari, Futaba sudah lama pergi dari apartemen Sakuta.



[1] Nananotes: Tendon Achilles adalah jaringan otot serta urat terbesar yang ada di kaki, disebut juga tendon besar. Tendon ini menghubungkan otot betis ke tulang tumit. Bagian tubuh ini dinamakan dari salah satu tokoh pahlawan mitologi Yunani, Achilles, yang memiliki kelemahan di bagian yang sama.
[2] Nananotes: Schadenfreude adalah rasa puas, gembira, atau senang setelah melihat atau mendengar seseorang yang terkena musibah. Ungkapan yang paling sering didengar itu mungkin ‘Tertawa di atas penderitaan orang lain’.
[3] Nananotes: Ryūgū-jō merupakan ‘Kastil Istana Naga’ yang ada di bawah laut dari cerita rakyat Jepang Urashima Taro.