Masa Remaja itu Rumit
(Bagian 6)

(Penerjemah : Nana)


Ketika Sakuta kembali setelah mengantar Mai pulang, Kaede sedang berada di kamar mandi. Futaba sedang duduk di bangku meja makan sambil membaca buku dengan cover yang tebal. Mungkin sebuah novel?

Sakuta berencana untuk beres-beres dapur, tetapi hal itu sudah selesai dikerjakan. Panci dan piring sudah tertata rapi di rak pengering. Kari sisanya juga sudah disimpan di dalam Tupperware yang ada di kulkas.

“Makasih, Futaba.”

“Mm,” balasnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya. “Kau cukup lama juga mengantar Sakurajima-senpai,” tambahnya.

Kata-katanya itu seperti punya maksud lain, tetapi mungkin memang tidak disengaja. Rasanya lebih seperti kalau dia memang melihat mereka berdua tadinya.

“Kau sedang baca apa?”

“Kata adikmu ini bagus, jadi…”

Dia mengangkat cover bukunya sehingga Sakuta bisa melihat. Judul dari buku itu bertuliskan Pangeran Telanjang dan Penyihir Tempramental, oleh Kanna Yuigahama. Novelis favorit Kaede.

Sakuta pernah membaca beberapa buku dari novelis itu karena desakan Kaede tetapi tidak terlalu benar-benar mengerti alurnya. Buku-bukunya cenderung memiliki akhir yang ambigu sehingga membuat Sakuta merasa jengkel. Kaede pernah bilang kalau bukan seperti itu intinya, tetapi…

“Cerita yang menyedihkan juga?”

“Mm? Tak juga…. Sejauh ini cuma tentang cewek biasa yang senang karena akhirnya dia punya pacar.”

Terdengar menggembirakan.

“Pacarnya itu sangat populer, jadi ceweknya selalu meragukan apa gadis seperti dirinya cocok sebagai pasangannya, dan setiap kali ada cewek yang lebih cantik mendekati pacarnya, dia mulai berpikir kalau cewek itu jauh lebih cocok dan hal itu membuatnya sangat cemas. Tapi dia tak bisa jujur dengan perasaannya itu, jadi dia melampiaskan emosi itu ke pacarnya.”

Penjelasannya sangat spesifik dan gadis ini terdengar sangat menyebalkan.

“Apa yang seperti itu bisa dibilang…seru?” tanya Sakuta yang jujur tidak yakin.

“Kurasa begitu. Aku bisa berempati dengan watak cewek ini yang kacau.”

“Kurasa orang lain punya caranya masing-masing dalam menikmati sesuatu…”

“Cewek-cewek itu lebih kompak dan berempati,” ucap Futaba seperti sedang menganalisa sesuatu. Dia sendiri seorang gadis, tetapi kata-katanya terdengar seperti sedang mencoba untuk tidak terdengar bias tentang itu. Yang mana hal itu membuat Sakuta penasaran apa dia memang benar-benar suka dengan novel yang dibacanya.

“Kaede sudah selesai mandi dan diriku sekarang sepanas api!” ucap Kaede. Sakuta mengambil sebotol minuman olahraga dari kulkas dan menyerahkan ke Kaede. “Sekarang Kaede sedingin es!” lanjutnya.

“Futaba, kau bisa mandi duluan.”

“……”

Futaba akhirnya mengalihkan pandangannya dari buku yang dibacanya tetapi hanya untuk memberi Sakuta tatapan menghina.

“Perlu kau tahu, Aku tak punya niat apa-apa dengan kaldu yang kau tinggalkan setelah mandi,” desak Sakuta.

“Azusagawa.”

“Kau mengertiku, kan?”

“Fakta kalau kau menggunakan istilah seperti kaldu pantas mendapatkan hukuman mati.”

“…Kalau begitu kurasa Aku dulu yang mandi, ya?”

“Ya. Bagian yang kubaca sedang bagus-bagusnya.”

Futaba menatap ke atas-bawah begitu membaca baris-baris kalimat yang ada di novel.

“Mereka akan berciuman?”

“Ceweknya sedang mendisiplinkan pacarnya dengan ekpresi wajah seperti ketika melihat muntahan seseorang di jalan.”

Benar-benar di luar dugaannya sama sekali.

“Kedengarannya menarik. Aku harus membacanya kalau kau sudah selesai.”

Dan setelah mengucapkan itu, Sakuta berjalan menuju kamar mandi.

Sakuta mencopot pakaiannya dan segera menyiramkan air panas ke kepalanya. Lalu, ia mengambil spons yang sudah diolesi dengan sabun mandi. Ia mulai dengan menggosok lengan kanannya seperti biasa, lalu memegang spons dengan tangan kanannya dan mulai membersihkan bagian tubuh lainnya. Ketika sudah selesai, ia membilas sabun yang ada di tubuhnya dan mulai keramas. Akhirnya, ia membasuh wajahnya dan menggunakan kepala shower untuk memastikan agar tubuhnya sudah bersih dari sisa-sisa sabun dan sampo sebelum berendam di bak mandi. Setelah sekitar sepuluh detik berendam, ia keluar dan selesai dengan mandinya.

“Futaba, kamar mandinya sudah kosong.”

“Aku pernah melihat gagak mandi lebih lama darimu.”

“Sekarang musim panas. Tubuhku sudah cukup panas jika harus lama berendam di air panas.”

Kalau di musim dingin, Sakuta pasti akan berendam lebih lama dari ini.

Futaba menaruh penanda buku di antara halamannya, berterima kasih ke Sakuta, dan berjalan menuju ruang ganti. Dia menutup pintunya rapat-rapat. Tetapi satu-satunya pintu yang bisa dikunci di apartemen ini hanyalah pintu toilet dan pintu masuk.

Sakuta bisa mendengar suara kain yang terlepas dari balik pintu. Tetapi duduk sendiri dirinya yang terangsang mendengar itu terbilang menyeramkan, jadi ia pindah ke depan kipas angin dan menyalakannya. Angin sepoi-sepoi yang bisa dirasakannya terasa menyegarkan pada dirinya yang baru saja selesai mandi.

“Ka. Mi. A. Da. Lah. A. Li. En.,” ucapnya ke arah kipas angin sambil menirukan alien. Ia langsung malu dengan dirinya sendiri ketika sadar.

Setelah mendinginkan dirinya selama lima menit, ia berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.

Sakuta membuka pintu ruang ganti. Suara benda tumpul dapat terdengar dari balik kamar mandi. Suara dari baskom yang terseret di lantai.

Ia bisa melihat siluet dari seorang gadis dari pintu kaca yang dipenuhi dengan uap. Dirinya memunggungi Sakuta karena sedang sibuk menggosok tubuhnya sendiri.

“Futaba, Aku boleh tanya sesuatu?”

“Boleh Aku dulu yang tanya?”

“Mm?”

“Kenapa kau terus bicara denganku saat Aku sedang mandi?”

“’Karena rasanya mendebarkan ketika tahu ada cewek telanjang di balik pintu ini.’”

“……”

“Dan ada hal yang lebih mudah dibahas jika kita tak saling berhadapan langsung.”

“Seperti apa?”

Dia terdengar waspada tetapi mulai menggosok dirinya lagi.

Sakuta mulai duduk di lantai ruang ganti, sambil tidak terlalu dekat dengan pintu kamar mandi. Karena pembahasan mereka yang selanjutnya ini akan cukup memakan waktu lama.

“Seperti apa tempat tinggalmu?”

“Kenapa kau ingin tahu hal seperti itu?”

“Tinggal di apartemen?” tanya Sakuta mengabaikan pertanyaan Futaba. “atau tinggal di rumah?”

“Rumah.”

“Yang besar?”

“Jauh lebih besar dibandingkan biasanya.”

“Apa kau diam-diam kaya?”

“Mungkin sedikit,” dia mengakuinya.

Tetapi dari caranya berbicara, rasanya seperti tidak membicarakan tentang dirinya. Lebih seperti orang tuanya yang kaya dan bukan dirinya sendiri.

“Orang tuamu kerja apa?”

“Ayahku seorang dokter.”

“Wow.”

“Biasa saja.”

“Keluargamu pemilik suatu rumah sakit?”

“Bukan praktik swasta juga. Ayahku bekerja di rumah sakit kampus.”

“Jadi ayahmu selalu terlibat dalam perebutan kekuasaan di tempat kerjanya?”

“Kau seperti sudah mengenal ayahku.”

“Wow.”

Sakuta bisa mendengar kalau Futaba sedang membilas tubuhnya. Lalu, siluet diri Futaba berpindah ke bak mandi. 

“Kalau ibumu?”

“Dia membuka sebuah butik pakaian untuk barang-barang impor yang bermerek.”

“Pemilik bisnis kecil-kecilan?”

“Ya. Apa yang mau kau maksudkan, Azusagawa?” ucapnya terdengar tenang. Ia mengira kalau Futaba pasti sudah tahu kalau Sakuta menemukan satu rahasianya. “Apa yang dikatakan ‘Si palsu’ itu kepadamu?”

“Orang yang memberitahuku agak susah dipercaya.”

Tidak mungkin kalau Futaba bisa menebak kalau Kamisato juga akan terlibat.

“Tapi Aku sudah tahu apa yang dilakukan oleh dirimu yang lain.”

“Oh.”

Reaksinya cuma begitu saja. Nada bicaranya datar seperti sedang berbicara ke dirinya sendiri.

“……”

“……”

“Aku membuat akun itu sebelum musim panas dimulai,” ucap Futaba yang enggan mengungkapkannya. “Tapi Aku tak tahu harus posting apa di akun itu.”

Kata-katanya terdengar seperti awalan pembuka dari sebuah esai anak SD.

“Kau bisa posting apa saja,” ucap Sakuta. “Posting saja tentang bagaimana kau jatuh cinta dengan cowok tampan, tapi cowok itu sudah punya pacar.”

“Apa yang seperti itu menyenangkan untuk dibaca oleh orang asing?”

“Bukannya cewek-cewek lebih berempati?”

“Orang lain pasti akan berpikir kalau Aku ini aneh. Mereka akan bilang seperti, ‘Diam, dasar udik.’”

“Kasar sekali!”

Sakuta sendiri tentu tidak pernah menganggap kalau Futaba itu tidak menarik. Dia memang agak sedikit kaku, tentu saja, tetapi yang seperti itu juga menjadi daya tarik dirinya tersendiri.

“Aku juga tak berani seperti orang yang menyatakan cintanya ke aktris terkenal di depan seluruh penghuni sekolah.”

“Apa yang kau lakukan jauh lebih berani dari apa yang pernah kulakukan selama ini.”

“……”

“Aku sudah mengenalmu selama setahun lebih, tapi kau tak pernah menunjukkan belahan dadamu seperti itu padaku.”

“Kenapa juga Aku harus menunjukkanmu itu?”

“Kalau kau tak peduli ke siapa kau menunjukkannya, kenapa tak menunjukkannya kepadaku?”

“Kau benar-benar bodoh ya, Azusagawa.”

“Itulah yang dikatakan Mai-san tentangku.”

Dan alasan kenapa Mai mengatakannya juga sama persis.

“Kurasa memang hal itu yang tak kumengerti. Kau biasanya was-was dengan hal-hal seperti ini, kan?”

“…Terkadang kau bisa cepat mengerti dan rasanya menyebalkan, Azusagawa.”

“Karena dirimu tak serumit itu.”

Futaba memakai rok yang jauh lebih panjang dibandingkan kebanyakan siswi, dan semua kancing yang ada kemeja selalu terpasang. Di sekolah yang dekat dengan tepi pantai ini, banyak siswi yang pergi bersekolah tanpa mengenakan rompi dari seragamnya, tetapi Futaba sendiri selalu memakai jas lab putihnya. Dengan bagian lengan yang panjang, dan ujung jas panjang yang semakin menutupi bagian kakinya.

“Kau sudah tahu diriku seperti itu, tapi kau tetap saja membuat lelucon mesum tentangku.”

“Aku sudah cukup hati-hati agar tak kelewat batas sehingga benar-benar mengganggumu, kan?”

“Dasar brengsek.”

“Terus? Kau muak denganku yang begitu, jadi kau memutuskan untuk mencari teman baru di internet?”

“Entahlah… kurasa tak hanya itu saja.”

“Ada yang lain?”

“Kurasa masalahnya jauh lebih sederhana dari itu. Aku hanya ingin perhatian dari seseorang,” ucapnya seolah sedang mengejek dirinya sendiri. Suasananya tidak terasa tegang. Dia tidak sedang mencurahkan tentang hal yang dipendamnya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar datar seperti biasanya.

Tetapi justru hal itu yang membuat Sakuta khawatir. Akan jauh lebih mudah untuk memecahkan masalah ini jika ada pemicu jelas yang membuat Futaba memutuskan untuk mulai mengunggah foto-foto selfienya. Tetapi nyatanya tidak ada. Satu-satunya penyebab sederhana yang bisa diduga Sakuta adalah kumpulan dari pikiran kacau dan suram. Aktivitasnya sehari-hari membuat dia akhirnya jadi seperti ini, bukan seperti hal yang tiba-tiba terjadi dan dramatis.

Depresi yang sedikit demi sedikit menumpuk sehingga tidak bisa tertampung lagi. Seperti itulah kelihatannya dari sudut pandang Sakuta.

Emosi seperti itu perlahan-lahan berkembang di dalam dirinya. Tanpa bisa Sakuta sadari kalau ada hal yang mengganggu Futaba.

“Langsung memposting foto yang bisa membuat orang lain terangsang sangat curang.”

“Cuma itu yang ada dipikiranku.”

“Selain itu, Aku terkejut kau sangat pede dengan daya tarik dirimu.”

“Pede? Ha. Cuma ‘beban’ besar ini saja yang kupunya.”

(Quick note: O. P. P. A. I.)

Masuk akal juga. Futaba tidak akan memakai pakaian tertutup jika punyanya tidak besar.

“Saat di SMP…Aku jauh lebih berkembang dibanding cewek lain. Dan para cowok di kelasku sangat mesum seperti kumpulan monyet, dan Aku tahu bagaimana mereka melihat diriku.”

“Seperti, ’Dada Futaba sangat guueeedee!’, begitu?”

“Ada yang benar-benar bilang seperti itu.”

Sakuta sendiri juga mesum seperti monyet saat SMP, jadi ia tahu betul kelakuan sesamanya seperti apa. Ia bahkan tidak yakin apa dirinya memang banyak berubah sejak kala itu. Tetapi di usia itu, semuanya sangat sadar akan tubuh para gadis. Tali bra yang terlihat dibalik kemeja seragam sekolah saja sudah jadi masalah besar. Anak-anak yang lebih cepat dewasa berdasarkan fisiknya di kelas akan mendapatkan perhatian teman-teman sekelas. Dan dalam kasus Futaba, dia seorang yang dikucilkan karena hal itu.

“Suatu hari saat pulang sekolah, Aku sedang ada tugas piket. Waktu itu, Aku baru saja selesai membuang sampah dan mendengar para cowok membicarakan tentangku. Dan Aku membenci tubuhku sejak saat itu. Rasanya tubuhku ini hal yang vulgar…”

Para remaja di usia itu memang sedang sensitif-sensitifnya, jadi sebuah tekanan jiwa yang membuat seseorang sangat terguncang di saat-saat seperti itu dapat membekas selama bertahun-tahun. Bahkan jika hal itu hanya terjadi sekali, jika sudah tertanam di pikiran, sudah pasti akan merubah tingkah laku seseorang selamanya. Tetapi tidak ada seorang pun yang bisa menyadari hal itu di saat-saat seperti itu…

“Maaf.”

“Kenapa kau meminta maaf?”

“Sebagai perwakilan dari cowok-cowok mesum.”

Kemudian, Futaba tertawa. Sakuta pikir dia sudah merasa sedikit lega.

“Tapi Aku tak tahan ketika cowok-cowok menatapku setelah itu,” jelasnya.

Sakuta bisa sangat memahami itu. Tetapi tidak dengan bagaimana Futaba melakukan hal yang sekarang ini.

“Jadi kenapa kau memposting selfie itu?”

Tampak sangat munafik, pikirnya. Futaba membenci pria-pria yang melirik dirinya. Tetapi dia juga mengunggah foto-foto mesum---meskipun dia juga menyembunyikan wajahnya saat mengunggah hal tersebut.

“Jika Aku mengunggahnya, orang-orang akan menanggapinya.”

“Kau suka jika om-om mesum melihat dirimu?”

“Jika kau bisa memilih siapa yang menaruh perhatian ke dirimu, itu berarti dirimu cukup cantik untuk memilih siapa yang kau inginkan perhatiannya. Kita semua tak bisa diperhatikan oleh orang dan cara yang kita suka.”

“Aku tak ingin mendengar omong kosong seperti itu.”

“Tak masalah siapa yang memperhatikanku. Dapat satu tanggapan saja sudah membuatku lebih baik.”

“Kata-katamu itu pada dasarnya mengakui kalau bukan itu yang sebenarnya kau inginkan.”

“Kurasa, penyebabnya begitu. Aku tak bisa menyingkirkan perasaan benci ketika dilirik oleh cowok. Aku mengalami stres berat dari konflik antara tujuanku dan cara yang kugunakan untuk mencapainya. Dan kupikir keduanya saling bertentangan sehingga membelah kedua kesadaran diriku. Jika kupikir seperti itu, ada banyak hal yang masuk diakal.”

Analisa yang dapat dimengerti.

“Jadi kau membelah diri menjadi ‘Futaba yang ingin diperhatikan’ dan ‘Futaba yang tak bisa menerima caramu mendapat perhatian’?”

Sakuta sendiri sadar kalau yang dikatakannya terdengar gila. Tetapi sepertinya itulah inti dari ucapan Futaba sebelumnya.

“Aku ragu kalau diriku yang membelah dua sesederhana itu. Tapi yang kau pikirkan sudah ke arah yang benar, setidaknya.”

“Hmmm…”

Sakuta menatap langit-langit ruang ganti. Lampu ruangan itu sudah mulai redup. Ia mungkin harus menggantinya dengan lampu LED, tetapi LED sendiri sangat mahal harganya… Sesaat ia memikirkan hal lain, namun pikiran tersebut segera memudar.

“Sepertinya dirimu yang lain masih mengunggah foto-fotonya.”

“Aku tahu. Aku memantaunya lewat net café sebelum ini. Pernah kupertimbangkan untuk menghapus akunnya langsung, tapi diriku yang lain sudah mengganti kata sandinya.”

“Jadi sekarang apa?”

“Entah,” ucapnya seperti sudah menyerah.

“Entah?”

“Dia itu diriku, jadi Aku tahu. Dia tak akan berhenti begitu saja. Jika memang semudah itu, kami tak akan pernah memulai ini.”

“Aku tak bilang tentang seberapa mudahnya menyuruh dirimu yang lain berhenti.”

“……”

“Aku tanya apa yang ingin kau lakukan, Futaba.”

“Aku ingin diriku yang lain berhenti mengunggah foto-fotonya.”

“Baiklah. Serahkan padaku.”

Ia sebenarnya tidak tahu bagaimana harus mewujudkan hal itu, dan Futaba pasti tidak akan mau mendengar ceramah darinya. Sama seperti yang Futaba bilang sendiri, jika memang semudah itu untuk menghentikan yang dia lakukan, dia tidak akan pernah memulai ini sama sekali.

Karena ini bukan situasi yang logis. Jika logika bisa menyelesaikan hal ini, Futaba sendiri yang akan memecahkan fenomena ini tanpa perlu bantuan dari Sakuta.

Tetapi dia tidak bisa, karena itu mereka di situasi seperti ini.

Sakuta berdiri.

“Apa yang kau rencanakan, Azusagawa?”

“Aku akan pergi ke sekolah besok.”

“Dan?”

“Aku akan mengobrol santai dengannya.”

“Setelahnya?”

“Pergi ke sekolah lagi di hari berikutnya.”

“Dan kurasa kau akan berbicara dengannya lagi?”

“Kemungkinan.”

“Merepotkan sekali.”

“Yah, jika Aku mengajak dirimu yang lain untuk pergi ke pantai denganku, kau pasti akan menolaknya, kan?”

“120% akan kutolak.” Pernyataan yang sangat meyakinkan. Futaba sendiri yang mengatakannya, jadi dirinya yang lain juga sama. “Ternyata memang benar. Ada beberapa hal yang lebih mudah dibahas jika kita tak saling berhadapan langsung.”

Sakuta berpura-pura tidak mendengar hal itu dan berjalan keluar dari ruang ganti. Saat berjalan keluar, ia sedang berpikir keras untuk mencari jalan keluar begitu masalahnya semakin berlipat ganda…