Masa Remaja itu Rumit
(Bagian 4)

(Penerjemah : Nana)


“Selamat datang!”

Sakuta kembali ke Stasiun Fujisawa dan memasuki restoran tempat ia bekerja paruh waktu. Suara imut seorang gadis menyapanya.

“Huh? Senpai?

Koga yang datang menyambutnya terlihat kebingungan. Dia pasti tahu kalau Sakuta tidak seharusnya masuk di shift kerja hari ini.

“Ke sini sebagai pelanggan.”

“Meja untuk satu orang?”

“Ada janji temu. Mungkin perlu menunggu sebentar.”

“Sakurajima-senpai?” tanya Koga. Dia yang sedikit menurunkan kepalanya terlihat sangat imut.

“Tidak.”

“Kunimi-senpai?

“Bukan juga.”

“……”

Rupanya, dia tidak tahu lagi siapa orang yang akan Sakuta temui.

“Teman khayalan senpai?” tanyanya. Kasar sekali, pikir Sakuta.

Kan kuraba kau nanti,” ucap Sakuta.

Koga berusaha menutupi bokongnya dengan kedua tangannya.

“Kebanyakan orang akan menganggap kalau yang kuraba itu dadamu.”

“Punyaku tak cukup besar sampai bisa diraba, dan senpai sudah tahu sendiri.”

“Whoa, kapan kita jadi sedekat itu?”

“Bu-bukan itu maksudku!” Koga menggembungkan pipinya.

“Kau sangat imut.”

“Seterah senpai. Ikuti Aku.”

Koga menerima pujian Sakuta dengan marah-marah entah kenapa. Dia juga bergumam dengan dirinya sendiri dan menuntun Sakuta ke meja nomor lima di sudut restoran. Meja yang sama ketika ditempati oleh Mai kemarin.

Ketika Sakuta duduk, Koga bertanya padaya, “Kenapa senpai memakai seragam sekolah?”

“Tadi mampir ke sekolah.”

“Karena kelas tambahan?”

“Aku tak seperti dirimu.”

“Aku juga tak punya kelas tambahan!”

“Cuma ada urusan sebentar.”

“Hmph.”

Sakuta terlihat jelas kalau ia menghindari pertanyaan Koga, jadi dia hanya terus menatapnya tanpa bertanya lebih jauh.

“Aku pesan bar minuman. Itu saja.”

(Quick note: Drink bar atau bar minuman adalah layanan AYCD atau All-you-can-drink di restoran-restoran keluarga yang ada di Jepang.)

“Tunggu sebentar,” ucap Koga sambil memasukkan pesan Sakuta ke dalam tablet digitalnya. Lalu, dia membungkuk sambil tersenyum.

Bel pintu kembali berbunyi menandakan pelanggan baru yang masuk ke restoran.

“Selamat datang!” sapa Koga yang cepat-cepat menyambut pelanggan yang masuk.

Tetapi, dia kembali berjalan ke meja Sakuta semenit kemudian.

“Er, uh…tamu anda,” ucap Koga dengan gugup. Tatapannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan---tetapi yah memang wajar mengingat tamu Sakuta yang dia tuntun.

Tamu tersebut merupakan seorang wanita muda berusia 20-an yang mengenakan blus putih yang terlihat elegan dan celana panjang model wide-leg yang panjangnya hanya sampai ke betisnya---gayanya itu jelas merupakan gaya berpakaian wanita dewasa. Dia juga memakai riasan natural yang dirancang untuk membuatnya terlihat cerdas dan energik. Sangat mirip seperti seorang penyiar berita…yang mana memang merupakan pekerjaannya. Seorang reporter divisi berita untuk salah satu stasiun TV.

“Kukira kita berdua sudah putus! Tidak kusangka kau akan menelepon dan minta bertemu lagi.”

Fumika Nanjou duduk di seberangnya dengan senyuman yang lebar.

“Kau membuatnya terdengar kalau kita seperti sepasang suami-istri yang sudah berpisah dan sedang menunggu surat cerai.”

“Tepat sekali! Memang seperti itu mauku.”

Spesifik sekali.

“Mau pesan makanan?” tanya Sakuta sambil menyerahkannya menu.

Fumika mengabaikan Sakuta dan berkata, “Tolong, combo cheescake dengan bar minumannya,” sambil tersenyum ke arah Koga.

“B-baik, combo cheescake dan bar minuman ya,” ucap Koga sambil memasukkan pesanan itu ke dalam tablet digitalnya. Dia tampak gugup. Saat sedang memasukkan pesanannya, Koga melirik cepat ke arah Sakuta tetapi tidak berani menanyakan hubungan mereka berdua. “Tunggu sebentar,” ucapnya seperti sebelumnya. Lalu, dia meninggalkan mereka.

“Pelayan ceweknya imut.”

“Yep.”

“Kenapa kau sombong begitu?”

“Karena dia kohai favoritku.”

Sakuta berdiri dari mejanya, berjalan ke konter minuman, dan membuat dua kopi. Yang satu dingin dan yang satu lagi panas.

Ketika ia kembali ke mejanya, cheescake yang dipesan Fumika sudah tiba. Ujungnya juga sudah hilang yang mana pasti sudah dia makan.

“Ini,” ucap Sakuta sambil meletakkan secangkir kopi di depannya.

“Makasih,”

Lipstiknya yang mengilap menyentuh pinggiran cangkir itu. Setelahnya, dia menghela napas kecil.

“Jadi kau ingin membicarakan tentang masalah yang dihadapi cewek remaja sekarang ini?” tanyanya.

Pekerjaan utama Fumika akhir-akhir ini sebagai reporter sampingan di acara berita siang hari. Dia membahas berbagai macam topik mulai dari dunia hiburan, politik, dan ekonomi. Semua itu banyak melibatkan masalah sosial dan kasus yang menimpa remaja. Sakuta meneleponnya dengan anggapan kalau dia mungkin pernah berbicara dengan gadis-gadis yang juga melakukan hal yang sama dengan Futaba.

“Aku banyak mewawancarai cewek-cewek yang terlibat dengan situs kencan, praktik Enjo-kōsai [1], atau yang mirip-mirip seperti itu,” ucap Fumika sebelumnya saat sedang di telepon. Lalu, dia bilang juga sedang luang dan bisa bertemu dengan Sakuta langsung. “Tentu saja, niatku datang kemari karena Aku ingin merayumu agar bisa mewawancaraimu akhirnya,” dia mengakuinya sendiri dengan begitu riangnya.

“Kau seharusnya jangan blak-blakan memberi tahu niatmu.”

“Ara~, tanpa kuberitahu pun kau sudah tahu,” ucapnya tanpa memperdulikan sarkasme Sakuta.

Ia sendiri menyukai hal ini dari Fumika. Jika dia tidak begitu giat dalam menyelidiki diri Sakuta, ia sendiri akan dengan senang hati menemaninya seperti ini, tetapi kenyataannya, Sakuta harus selalu waspada. 

Niat asli Fumika untuk bertemu dengannya adalah untuk mencari tahu tentang Sindrom Pubertas yang dialami oleh Sakuta. Ia tidak bisa membayangkan kalau masyarakat akan percaya fenomena gila seperti ini nyata adanya. Ia juga mungkin akan dipanggil sebagai seorang pembohong, dan pada akhirnya Sakuta juga akan diikuti oleh gerombolan kamera ke mana pun ia pergi.

Dan risiko membuat Mai, Koga, dan Futaba terlibat jadi semakin tinggi.

“Jadi, kasus seperti apa yang menarik minatmu?” tanya Fumika sebelum memakan bagian kecil cheescake-nya lagi.

“Cewek-cewek yang mengunggah foto close-up dari belahan dada mereka ke media sosial.”

“Karena sengaja? Tidak karena ditipu oleh cowok yang mereka temui di situs kencan?”

“Kurasa sengaja.”

“Hmm.”

“Bagaimana menurutmu?”

“Pertumbuhan anak-anak zaman sekarang pesat ya,” ucap Fumika.

Tatapannya tertuju ke balik diri Sakuta. Ia menoleh ke belakang dan melihat kumpulan empat gadis SMA yang berseragam saling menunjukkan ponsel mereka masing-masing. Suara tertawa mereka dapat terdengar jelas ke seisi restoran. Mereka berempat benar-benar sedang berada di dunia mereka sendiri.

“Ketika Aku masih SMA, Aku bahkan tidak punya yang namanya belahan dada.”

“Aku tidak tertarik dengan perkembanganmu, Nanjou-san.”

Di balik dari blus putih yang dikenakannya itu terdapat bukti nyata kalau dadanya semakin berkembang sejak SMA.

“Tapi, kau tidak bisa melepaskan pandanganmu dari punyaku.”

“Kupikir rasanya tidak sopan jika tidak melihat punyamu setelah kau menyebutkannya.”

“Reaksi cowok yang seperti itu sangat berperan besar.”

“……”

“Karena ada yang namanya permintaan.”

Rupanya, dia langsung membahas inti masalahnya.

“Ketika Aku memergokimu menatap dadaku, Aku merasa superior.”

“Cekatan sekali.”

“Penting bagi para wanita agar kami diperhatikan. Tentu saja, kami tidak ingin sembarang orang yang melihatnya. Kami tidak ingin ada orang aneh yang menguntit atau dilecehkan di tempat kerja.”

“Tapi keinginan akan rasa superior itu menjadi pendorong untuk mengunggah foto-foto seperti itu?”

“Rasa superior hanya satu dari sekian banyak alasan kenapa mereka melakukan hal seperti itu. Mereka mungkin hanya mulai dari foto paha atau celana dalam mereka secara sekilas. Tidak terlalu senonoh memang. Tapi ketika mereka mendapatkan like dan komentar yang meminta untuk lebih terbuka lagi seperti, ‘Bagus’ atau ‘Aku ingin melihat kulitmu; atau ‘Pakai baju renang buat yang selanjutnya!’ dan komentar-komentar lainnya ini sangat sering mendorong mereka untuk mengunggah foto yang lebih senonoh lagi dari yang sebelumnya.”

“……”

“Kau sepertinya tidak percaya kata-kataku. Para cewek yang kuwawancarai memang mengatakannya dengan kata-kata yang berbeda, tapi pada dasarnya mereka semua suka jika diperhatikan.”

Kata-kata Fumika masih tidak masuk akal bagi Sakuta.

“Mungkin Aku terlalu cepat menjelaskannya. Cewek-cewek yang melakukan hal seperti ini cenderung cukup penyendiri.”

“Oh…”

“Mungkin saja mereka tidak punya teman di sekolah atau putus hubungan dengan teman yang mereka punya… Mungkin juga keluarga mereka tidak saling berbicara satu sama lain atau terlalu menuntut mereka harus seperti apa, atau mereka memendam perasaannya sendiri dan tidak punya tempat untuk mencurahkan perasaan itu…jadi mereka merasa kalau tidak ada satu pun yang mengerti mereka.”

“Jadi begitu,” ucapnya tetapi Sakuta tetap saja tidak begitu mengerti.

“Tapi karena perasaan itu juga, mereka terus-menerus mencari persetujuan/perhatian. Siapa pun yang memuji mereka dapat mengisi rasa hampa yang mereka rasakan di dalam diri mereka.”

“Dan karena mereka merasa hampa, mereka terus-menerus mengunggah foto-foto diri mereka agar orang lain terus memuji mereka? Pemicu selfie mereka seperti itu, kan?”

“Benar.”

“Tapi apa yang mereka pikirkan tentang tindakan mereka itu sendiri? Apa mereka meyakinkan diri mereka sendiri kalau tindakan itu hal yang bagus? Apa mereka benar-benar ingin melakukan itu?”

Inilah yang paling mengganggu pikiran Sakuta saat ini.

“Cewek kelas dua SMA yang kuwawancarai berkata kalau tindakannya itu selalu membuatnya merasa muak. Setiap kali dia mengambil foto dirinya dengan hanya mengenakan pakaian dalam, dia merasa malu dan bersalah. Dan merasa sangat takut jika tidak dapat tanggapan apa pun ketika dia mengunggah fotonya. Dan terkadang tanggapannya dipenuhi oleh ujaran kebencian yang memanggilnya jelek atau menyeramkan, jadi rasa gelisah itu tidak pernah hilang.”

“Kalau begitu kenapa mereka tidak berhenti melakukannya?”

Atau pendapatnya itu seperti cara orang malas yang tidak mau mengerti?

“Rasa gelisah dan takut itu sendiri yang jadi masalahnya,” ucap Fumika. “Semakin besar rasa gelisah dan takut seseorang, semakin senang juga orang itu jika mendapat tanggapan positif. Apa yang seperti itu masuk akal buatmu?”

“……”

Sakuta mengangguk. Ia tahu betapa hebat emosi naik-turun yang bisa dirasakan oleh seseorang.

“Jadi, satu ketukan like dapat menghapus rasa gelisah itu dan sangat berarti banyak bagi mereka.”

“Tapi mereka masih membenci apa yang mereka lakukan?”

“Ya. Mereka sesaat merasa gembira…dan kemudian merasa takut lagi. Dan masih mencari persetujuan/perhatian.”

“Dan untuk terhindar dari rasa hampa dan takut itu, mereka melakukannya lagi dan lagi.”

“Mereka jadi terpuruk ke dalam hal yang lebih buruk lagi. Dan sekalinya orang itu masuk, akan susah untuk bisa keluar. Orang itu tidak ingin orang-orang terdekatnya mengetahui tentang itu, jadi dirinya juga tidak bisa meminta bantuan. Awalnya hanya iseng-iseng saja. Tapi terkadang menuju ke arah yang sudah kuceritakan, dan kemudian suatu kebiasaan terbentuk… Setidaknya, itulah yang terjadi dengan cewek-cewek yang kuwawancarai.”

“……”

Sakuta bisa mengerti sedikit tetapi masih tetap tidak yakin apakah ia benar-benar mengerti sepenuhnya.

“Kalau begitu, cara pendekatannya seperti apa?”

“Hal terburuk yang bisa kau lakukan adalah dengan mengatakan, ‘Kau bodoh sekali,’ Mereka tahu betul kalau tindakan mereka itu memang bodoh. Dan mereka juga membenci diri mereka sendiri karena melakukan hal itu.”

Yang itu Sakuta mengerti.

Ia ingat ketika Kaede sedang dirundung oleh teman-teman sekelasnya. Ketika dia sudah berhenti pergi ke sekolah, orang-orang terus memberitahunya untuk, “Jangan menyerah,” atau menuduhnya sebagai pengecut.

Tetapi Kaede tidak berhenti pergi ke sekolah karena kemauannya sendiri. Dia tidak ingin tetap mengurung diri di rumahnya.

Dia juga benci karena tidak bisa pergi ke sekolah dan berusaha mati-matian untuk mengatasinya. Tetapi sekarang Sakuta tahu kalau yang seperti itu hanya membuatnya semakin menderita.

Apa yang dia butuhkan adalah pengertian dari orang-orang sekitarnya. Dia butuh orang lain untuk memuji usaha yang sudah dilakukannya.

Dia ingin pergi sekolah. Tetapi dirinya sendiri menolaknya dan dia membutuhkan orang-orang yang mengerti akan hal tersebut.

Sakuta tidak mengetahui hal itu sampai tubuh Kaede dipenuhi luka sayatan. Dan ia mungkin tidak akan pernah mengerti hal tersebut jika Shoko tidak memberitahunya. Kalau ia harus memberi tahu Kaede kata-kata yang ingin dia dengar.

“……”

“Yah, Aku yakin kau mengerti yang seperti itu, Sakuta.”

Meski begitu, Sakuta merasa lega bisa membicarakan ini dengan Fumika. Bahkan jika dirinya sendiri berpikir kalau ia mengerti hal itu, ada baiknya untuk mempersiapkan terlebih dahulu dan memastikan kalau ia juga mengambil tindakan yang benar.

“Tidak, terima kasih sarannya.”

“Sangat jarang bagimu memujiku seperti itu. Apa Aku selangkah lebih dekat untuk menaklukanmu?”

“Yang seperti Itu sudah beda topik.”

“Sayang sekali.”

Dia tidak terlihat kecewa sama sekali. Dan Fumika melahap habis cheesecake yang dia pesan.

“Temanmu sedang dalam masalah ini?”

No comment.”

“Setelah semua yang sudah kukatakan padamu.”

“Memang temanku,” Sakuta mengakuinya karena tidak ingin berurusan dengan godaan Fumika.

“Kalau begitu lebih hati-hati lagi.”

“Niatku begitu.”

Sakuta tidak yakin kalau ada hal yang bisa ia lakukan untuk membantu Futaba.

“Sangat sulit untuk menghapus postingan setelah mereka terunggah ke internet. Begitu sudah mulai, hal-hal seperti itu tidak akan terhapus begitu saja karena seseorang itu memutuskan untuk berhenti.”

Yang seperti ini juga jadi masalah. Memang bukan hal yang jadi bahan candaan ketika orang-orang mengatakan kalau apa yang diposting oleh seseorang ke dunia maya dapat memengaruhi orang itu selamanya.

“Bahkan jika temanmu menyembunyikan wajahnya, masih ada kemungkinan kalau orang lain dapat mengenalinya, menyebarkan informasi pribadinya…dan temanmu bahkan dapat mendapatkan suatu masalah atau bahkan terlibat suatu kejahatan. Ponsel dengan fungsi GPS juga akan diam-diam memasukkan informasi tentang lokasinya di dalam foto tersebut jika temanmu belum menonaktifkan fungsi itu di pengaturan.”

Teknologi yang berguna dapat menyebabkan konsekuensi yang sama sekali tidak diinginkan. Informasi menyebar dengan sangat cepat di zaman modern seperti sekarang ini.

“Saat sedang siaran langsung, rok ku pernah tersingkap oleh angin, dan ada banyak gambar yang menangkap hal itu di internet. Sangat menyebalkan.”

“Setidaknya kau punya peminat.”

“Aku sedang mengenakan dalaman warna hitam saat itu, dan kantorku mendapat banyak panggilan yang mengeluh kalau hal seperti itu tidak pantas untuk ditampilkan saat siaran siang hari. Aku mencoba melupakannya, tapi Aku terkadang melihat gambar diriku itu ketika sedang melakukan riset online, jadi benar-benar mustahil.”

Apa dalaman warna hitam akan lebih baik jika tersingkap di malam hari? Sakuta tidak bisa mengerti kenapa dirinya ingin mengeluh tentang hal kecil seperti itu.

“Yah, sudah cukup tentang diriku,” ucap Fumika dengan senyum licik.

“Apa?” tanya Sakuta. Dia sepertinya ingin agar Sakuta yang memulainya.

“Apa sebenarnya hubunganmu dengan Sakurajima?”

“Kami bersekolah di tempat yang sama,” balasnya dengan nada datar. Kemudian, ia meminum es kopinya.

Cuma itu saja?”

Dia jelas-jelas curiga akan hal yang sebaliknya, dan dia juga punya cukup petunjuk.

Sebelumnya, Sakuta pernah mengizinkan Fumika untuk mengambil gambar dari luka di dadanya dengan imbalan informasi tentang Mai. Lalu, Mai menawarkan berita tentang dirinya yang akan kembali dari hiatus agar foto-foto Sakuta tidak jadi diberitakan.

Dengan kata lain, Mai telah melindunginya. Dia sampai-sampai menunjukkan kalau hubungan mereka berdua bukan sekadar hubungan senpai dan kohai semata. Akan sangat aneh jika Fumika memang tidak curiga.

“Dia tidak pernah dekat dengan siapa pun sebelumnya, jadi jika dia kedapatan punya pacar, hal ini akan menjadi berita besar.”

“Jika hal itu terjadi, Aku tidak akan mau mengizinkanmu mewawancaraiku.”

“Kanal hiburan lain serta tabloid-tabloid lain pasti akan mencari tahu, jadi hati-hati. Aku benci jika kau menolakku karena mereka.”

“Cukup adil.”

Tetapi, Sakuta tidak begitu yakin tentang dampak yang ditimbulkan. Mai sepertinya tidak begitu peduli dengan hal-hal seperti ini sama sekali. Mereka sering berangkat sekolah bersama, dan dia dengan senang hati menginap di tempatnya semalam. Apa Mai tidak menyadari risikonya? Atau dia memang paham dan tidak peduli sama sekali? Ia harus menanyakan ini ke Mai nantinya setelah ia pulang.

“Jadi?” desak Fumika yang mendekat ke Sakuta.

“Apa?”

“Sudah sejauh apa hubungan kalian?” matanya berkilauan seperti gadis SMA yang suka gosip.

Sakuta menatap balik dengan wajah jengkelnya.

“Apa kalian sudah ciuman?” tanya Fumika yang mengabaikan tatapan Sakuta.

“Nanjou-san!.”

“Jadi? Ceritakan saja. Gimana?”

“Kau seperti nenek-nenek cerewet.”

“Tidak ada gunanya untuk menyembunyikan itu,” ucapnya sambil kembali ke tempat duduknya.

“Kau sendiri tidak punya pacar?” tanya Sakuta yang mencoba membalasnya.

“Oh, kau akan menyesal menanyakan itu padaku,” ucap Fumika dan satu jam berikutnya dihabiskan dengan mengeluh tentang pacarnya.

Dia saat ini sedang berpacaran dengan pria yang sama semenjak kuliah. Usia mereka juga sama. Pacarnya bekerja di bagian penjualan di salah satu perusahaan telepon, dan mereka tinggal bersama selama tiga tahun ini. Fumika sendiri sedang menunggu pacarnya untuk melamarnya, tetapi sepertinya pacarnya itu tidak ada niat untuk melamarnya dalam waktu dekat. Dan malam sebelumnya, pacarnya berkata kalau ia tidak sesukses Fumika dan ingin mencapai suatu hal terlebih dahulu.

“Mencapa apa?” tanya Fumika yang mengeluhkan hal itu ke Sakuta.

“Yah, jika kau tidak suka, bukannya kau bisa putus dengannya? Dan mencari pemain bisbol impianmu.”

Namun, rupanya dia masih mencintai pacarnya itu.

Sakuta sendiri benar-benar tidak peduli, tetapi yang seperti ini adalah harga yang harus ia bayar untuk informasinya itu.





[1] Nananotes: Enjo-kōsai atau kencan bayaran adalah suatu bentuk hubungan yang bersifat ‘transaksional’. Karena cowok yang lebih tua dari si cewek akan memberikan macam-macam seperti hadiah atau uang untuk sekedar menjadi sex friend atau lainnya. Cewek yang terlibat praktik ini dimulai dari cewek SMA (JK) sampai ibu rumah tangga. Mirip-mirip lah sama sugar daddy, tapi beda sama yang namanya rental girlfriend atau sewa pacar karena ada TOS dari perusahaan yang menawarkan jasa itu.