Masa Remaja itu Rumit
(Bagian 3)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta meninggalkan GOR, berjalan langsung menuju pintu masuk pengunjung (sekitar 27-meter dari pintu masuk utama). Tempat ini dekat dengan ruang guru begitu memasukinya, dan para siswa-siswi jarang sekali datang ke tempat ini tanpa punya alasan yang khusus. Dan alasan khusus itu biasanya untuk pergi ke ruang UKS yang berjarak dua ruangan dari pintu masuk.

Bagian sekolah ini sangat sepi. Ia melepas sepatunya dan berganti ke sepasang sendal dalam ruangan. Menjauhi pintu ruang guru---dan karena lampu di dalamnya juga mati---ia berjalan ke lorong yang ada telepon umum berwarna hijau. Lalu, ia mengambil segenggam koin 10-yen dari dompetnya, menumpuknya di atas telepon, dan memasukkan satu koin ke dalam slot telepon tersebut.

Ia memanggil nomor telepon rumahnya.

Panggilannya langsung diterima oleh seseorang.

“Ya? Ini kediaman Azusagawa.”

Sakuta bisa langsung tahu kalau yang menjawab panggilannya adalah Mai.

“Mai-san, bisa ulangi sekali lagi?”

“Ini kediaman Azusagawa.”

Suaranya yang pertama terdengar lembut, tetapi sekarang ini terdengar datar. Ia bisa membayangkan wajah Mai yang sebal.

“Kita seperti pengantin baru.”

“Aku tidak percaya kau bisa sesenang ini karena salam di telepon.”

“Karena kau yang mengangkatnya.”

“Yang seperti itu masih belum bisa meyakinkanku untuk berperan sebagai pengantin baru.”

“Ayolah, tak perlu malu-malu seperti itu.”

Mai mengabaikan perkataan Sakuta barusan dan bertanya, “Bagaimana di sana?”

Sakuta berniat untuk terus menggodanya, tetapi koin 10-yen-nya terbatas, jadi ia langsung saja ke intinya. Karena inilah alasan ia menelepon rumahnya.

Ia juga sudah harus memasukkan koin 10-yen lagi untuk menambah panggilannya.

“Futaba datang ke sekolah.”

“Mm. Yang di sini juga tidak kemana-mana.”

“Dia melakukan suatu hal setelah Aku pergi?”

“Sejauh ini sedang membantu Kaede dengan PR-nya. Futaba mengajarinya tentang sains sekarang ini.”

“Senang mendengarnya.”

“Kaede masih tetap menjaga jarak dengannya, tapi…”

Tidak lama kemudian Mai tertawa. Sakuta bisa membayangkan kalau Kaede mengintip dari celah pintu kamarnya dan Futaba yang duduk di bangku di ruang tamu membantunya dari jarak jauh. Kaede juga lebih tinggi dari Futaba jadi kelihatan sangat lucu. Kaede tingginya sekitar 162 cm sementara Futaba tingginya sekitar 160 cm. Ia bisa membayangkan kenapa hal itu dapat membuat Mai tertawa.

“Dan kau sedang apa?”

“Merapikan kamarmu,” Mai dengan sengaja membuat nada bicaranya terdengar menggoda.

“Aha! Jadi kau sudah membuka lemariku dan melihat semua dalamanku ya.”

“Aku sudah membuang barang-barang yang tidak kau perlukan.”

“…Sungguh?”

“Kau sudah tidak butuh kostum bunny girl itu lagi!”

“Ah, padahal itu hal paling penting kedua buatku di dunia ini!”

Sakuta berpegangan ke telepon umum dengan wajah putus asa.

“Yang kedua?”

“Tentu saja yang pertama itu dirimu.”

“Okeeeee.”

“Aku sungguh-sungguh.”

“Kalau begitu kau tidak perlu yang lainnya.”

“Huh?”

“Cuma Aku yang kau butuhkan, kan?”

“……”

“Apa Aku salah?” gerutu Mai.

“Tidak…kau benar,” ucap Sakuta yang murung.

“Jangan kecewa begitu. Aku cuma merapikan saja. Tidak ada yang kubuang.”

“Kau terkadang bisa membuatku jantungan.”

“Omong-omong, apa kau tipe orang yang suka dengan hal-hal berbau idol?” Mai tiba-tiba menanyakan ini.

Pertanyaannya sangat tiba-tiba dan membuat terkejut Sakuta.

“Huh? Kenapa?”

“Aku menemukan majalah manga dengan grup idol sebagai sampulnya. Dari tiga bulan yang lalu.”

“Oh, Aku lupa untuk membuang itu. Kau bisa membuangnya.”

“Oke.”

Dia percaya dengan kata-kata Sakuta. Tetapi jawabannya juga terasa seperti dia sedang memikirkan hal lain.

“Mai-san?

“Manajerku akan datang 10 menit lagi---boleh Aku keluar sebentar? Atau Aku masih harus mengawasi Futaba?”

Dia mengecilkan suaranya sedikit agar Futaba tidak mendengarnya.

“Jika kau mau mengatakan kata-kata ajaibnya lagi.”

“Ini kediaman Azusagawa.”

Suaranya terdengar sangat lembut dan penuh sukacita. Tepat seperti suara pengantin baru yang ingin Sakuta dengar.

“Sakuta, kau mau menikahiku?”

“Untuk saat ini, Aku ingin tetap pacaran.”

“Jika kau mengatakan ‘ya’, Aku pasti akan merinding. Tapi penolakan halusmu itu juga anehnya terdengar menyebalkan.”

“Jujur saja, pernikahan masih belum terasa nyata buatku.”

“Hmm.” Mai terdengar tidak percaya. “Kurasa Aku juga setuju. Aku belum punya pengalaman langsung dengan keluarga yang bahagia.”

Kata-kata terakhirnya terdengar seperti sedang membicarakan dirinya sendiri. Orang tuanya sudah bercerai ketika dia kecil dan rupanya selama ini dia lebih memilih tinggal di tempat ibunya. Dan akhir-akhir ini, mereka bertengkar hebat sehingga tidak tinggal bersama lagi.

“Tapi setelah kupikir-pikir, Aku memang ingin menikah denganmu nantinya.”

“Dari mana kau mendapat kesimpulan seperti itu?”

“Mari kita buat keluarga bahagia bersama.”

“Yeah, yeah. Jadi? Kau habis ini langsung pulang atau tidak?”

“Rencananya begitu. Tapi Aku harus menanyakan beberapa hal dulu pada Futaba yang di sini.”

“Oke. Kalau begitu sampai jumpa nanti.”

“Sampai jumpa juga.”

Sakuta menunggu sampai Mai menutup panggilannya, lalu ia meletakkan gagang teleponnya kembali ke tempatnya. Ia juga menaruh kembali koin 10-yen yang masih tersisa ke dompetnya dan bersiap untuk pergi.

“Gah!” seru Sakuta.

Ada seorang gadis yang sedang berdiri tepat di belakangnya. Mungkin jaraknya hanya tiga atau empat meter dari Sakuta.

Dia adalah pacar Kunimi---Saki Kamisato.

“Ada apa dengan reaksimu itu?” tanyanya dengan kedua tangan di pinggulnya.

“……”

“……”

Mata mereka saling bertemu namun tidak ada yang mulai berbicara. Karena Sakuta tidak ada niat untuk mengobrol dengannya, ia menganggap kalau dirinya sudah bisa pergi untuk berganti ke sepatunya.

“Hei,” ucapnya dengan nada kesal. Suaranya seperti sebuah tusukan jarum.

Sakuta mengabaikannya dan selesai mengganti alas kakinya.

“Pura-pura kalau kau tak mendengarku benar-benar menyebalkan,” ucapnya.

Sakuta mencoba menahan keluhannya dan berbalik menghadapnya.

“Maaf soal itu. Karena Aku sama sekali tak pernah membayangkan kalau Saki Kamisato yang merupakan cewek terimut di kelas mau berbicara denganku sebagai orang yang dikucilkan. Wow, Aku sangat terkejut.”

Sakuta tetap menjaga nada bicaranya dengan nada datar, memastikan kalau dia tahu bagaimana perasaannya.

“Ugh, kau benar-benar berengsek.”

Sikapnya seperti sedang menatap ke tempat sampah dan buat Sakuta hal seperti itu cukup menghina. Jika ada orang yang menatapnya dengan seperti itu, hanya Mai yang boleh. Yang seperti itu merupakan hadiah buatnya tetapi kalau untuk Kamisato, terdengar menyebalkan.

“Aku sadar dengan itu.”

Karena itulah ia mengakuinya. Ia memang jadi berengsek dengan sengaja. Tetapi Kamisato tidak menyangkal tentang bagian di mana Sakuta mengatakan kalau dia gadis terimut di kelas yang ia rasa butuh keberanian besar untuk mengatakannya.

“Jadi, ada apa? Masih ingin membuatku putus dengan Kunimi?”

“Aku yang pacaran dengannya!”

“Tapi hanya Aku yang tidur dengannya.”

“……”

Wajah Kamisato terlihat sedikit memerah.

“Oya, apa kau membayangkannya?”

“Tidak!

“Tak perlu khawatir, Aku juga tidak. Tak akan mau jadi gay. Diriku selurus anak panah yang ditembakkan ke cewek cantik.”

“Dasar aneh.”

“Jika kau tak ingin Aku jadi lebih menyebalkan, langsung ke intinya.”

Mai sedang menunggu di rumah. Jadi, Sakuta ingin segera meninggalkan tempat ini sesegera mungkin.

“……”

Kamisato dulu yang pertama kali datang ke Sakuta, tetapi karena suatu alasan, dia tampak ragu untuk memulai hal yang ingin dibicarakannya. Tatapan matanya ke berbagai arah seperti sedang mencari kata yang tepat untuk memulai.

“Azusagawa, kau berteman dengan cewek itu, kan?”

“……”

“Kan?”

Cewek yang kau maksud itu Futaba?”

“Cewek jas lab.”

“Futaba.”

“……”

Kamisato segera terdiam lagi. Tetapi kali ini tatapannya segera menatap langsung dengan Sakuta. Dia selalu tampak percaya diri, jadi hal seperti merupakan sisi baru darinya bagi Sakuta.

“Apa cewek itu sedang dalam masalah?”

“…Masalah seperti apa?”

Untuk sesaat, Sakuta mengira kalau yang Kamisato maksud itu Sindrom Pubertas, tetapi jika memang benar, dia pasti mengatakannya dengan kata-kata berbeda. Kata-kata sedang dalam menyiratkan sesuatu yang lebih besar daripada harus berkata, terlibat dalam. Tetapi yang seperti itu juga masih tidak masuk akal bagi Sakuta.

“Maksudmu, Futaba sedang membuat bom di lab sains?” tanya Sakuta yang mencoba memahami perkataannya.

“Kau bodoh atau apa?” Kamisato mencacinya.

“Kalau begitu apa? Katakan terus terang,” balasnya yang sama-sama kesal.

“Yah…” Tetapi dia terdiam lagi. Sakuta tidak pernah melihat Kamisato yang kehabisan kata-kata seperti ini. Tetapi, begitu ia mulai benar-benar kesal dengannya, Kamisato mengatakan suatu hal yang sangat mengejutkan buatnya.

“Seminggu yang lalu, Aku melihatnya mengambil foto dari bagian dalam roknya.”

“……”

Butuh waktu lama agar Sakuta mengerti maksud dari perkataan Kamisato itu.

“……”

“……”

Keheningan menyelimuti mereka berdua. Teriakan orang-orang yang berasal dari GOR terasa sangat lirih.

“Huh?” ucap Sakuta setelah terdiam selama lima detik.

“Kan sudah kubilang! Foto dalaman roknya, seperti…”

Kamisato menaruh ponselnya sendiri sampai ke bawah roknya sambil menyilangkan kakinya dan berpose. Dari posenya yang seperti itu tampak membuat celana dalamnya yang nyaris terlihat.

“Cewek SMA sekarang ini suka selfie mesum?”

“Tidak!”

“Kamisato, apa kau baru saja terangsang, atau…?”

“Tak sama sekali!”

“Harusnya kau sadar waktu dan tempatnya.”

“Ini bukan tentang diriku! Tapi si Futaba itu! Ya Tuhan, kau memang brengsek! Mati saja sana!”

Nada bicaranya dari kata-kata terakhirnya benar-benar sinis. Maksudnya sangat kesal dengan Sakuta kali ini. Ia memang sadar kalau dirinya sudah agak sedikit keterlaluan, tetapi ia tetap tidak mau menunjukkan wajah bersalah.

“…Kurasa dia bukan tipe orang yang melakukan hal seperti itu,” ucap Sakuta.

Cerita Kamisato yang didengarnya sangat sulit dipercaya.

“Tapi Aku benar melihatnya,” ucap Kamisato sambil mengangguk.

“Huh.”

“Yep.”

“Huhhh.”

“……”

“……”

“Cuma begitu saja?!”

Sakuta merasa kalau sikapnya sudah cukup terkejut. Karena berita ini lebih mengejutkan buatnya dibandingkan fakta kalau ada dua diri Futaba. Tetapi karena ia tidak menyaksikan ini secara langsung, awalnya ia tidak begitu mempercayainya. Wajar saja kalau ia tidak bersemangat akan hal itu seperti Kamisato.

Dan dengan Sindrom Pubertas yang sedang dihadapinya sekarang, Sakuta sudah bersiap untuk mendengar berita yang lebih tidak masuk akal lagi.

“Azusagawa, kau tak mengerti arti dari ini ya.”

“Dia mengambil foto bagian dalam roknya, kan? Apalagi memangnya?”

“Apa kau tak memikirkan ke siapa dia menunjukkan foto itu?”

“Uh…?”

“Terlihat jelas dari wajahmu kalau kau tak memikirkannya sama sekali,” wajah Kamisato tampak jijik.

“AKu tak tahu yang kau maksud. Tidak pisan.”

Kamisato mengabaikan kata-kata Sakuta dan mulai melakukan suatu hal dari ponselnya. Dia terlihat seperti sudah kehilangan minat sekarang ini.

Saat dia bermain-main dengan ponselnya, dia melangkah ke samping dengan wajah yang masih terlihat bosan. Angin yang bertiup membuat Sakuta menghirup aroma jeruk. Mungkin aroma dari deodorannya atau apalah.

“Seperti ini.”

Dia menyodorkan layar ponselnya ke Sakuta.

Layar ponselnya menunjukkan akun media sosial seseorang. Foto profilnya terpotong dari sebagian besar wajah orang itu. Hingga membuatnya sulit untuk tahu seperti apa pemilik akun media sosial itu, tetapi Sakuta sendiri bisa menebak siapa. Karena ada dua buah tahi lalat kecil yang berada tepat di bawah bibir bagian sebelah kanannya. Dan Futaba juga punya dua buah tahi lalat di tempat yang sama.

Postingan itu ditulis dengan caption, Sekilas saja, dengan tanggal unggahan kemarin dan foto yang terlampir. Menampilkan bagian depan kemeja dengan tiga kancing yang terlepas, terbuka dengan cara yang begitu menggoda lawan jenis. Gambar tersebut diambil dengan posisi kamera seolah-olah seseorang sedang mengintip dari atas ke belahan dada di bawahnya.

Potongan gambarnya sangat samar tetapi sepertinya dia sedang mengenakan seragam sekolah.

“Ini akun medsos rahasianya.”

“Akun apa?”

“Akun kedua yang kau sembunyikan dari teman-temanmu di dunia nyata,” ucap Kamisato dengan nada kesal.

“Huh.”

Sepertinya istilah yang benar-benar sulit untuknya.

“Tapi dari keadaannya, dia sepertinya tak punya akun utama. Jadi kata kedua mungkin bukan kata yang tepat.”

“Jadi, kenapa kau bisa tau akun rahasia Futaba?”

Jika orang yang kau kenal di dunia nyata mengetahui akun rahasiamu, berarti akun tersebut tidak sepenuhnya rahasia. Dan tidak mungkin kau bisa berbagi postingan akun medsosmu dengan seseorang yang bahkan bukan temanmu dan hampir tidak pernah berbicara denganmu sebelumnya.

“Aku tadi ke lab sains dan melihat ponselnya tergeletak di atas meja,” ucap Kamisato.

Apa dia baru saja mengakui kalau dia memeriksa isi ponsel Futaba?

“Kau melakukan itu sementara pacarmu sedang bertanding sungguh-sungguh?”

“Jangan bawa-bawa Yuuma ke dalam ini!” caci Kamisato ke Sakuta.

“Kenapa? Apa kalian berdua sedang bertengkar?”

“……”

Kamisato tampak bersiap ingin membunuhnya. Tebakan Sakuta pasti benar. Ia tahu kalau mereka berencana untuk kencan di pantai beberapa hari lalu…Apa mereka bertengkar saat itu?

“Yah, Futaba memang ceroboh, dan kau sudah gila.”

Tetapi perilaku gila Kamisato telah memberinya sepotong informasi yang mungkin tidak akan pernah ia ketahui jika berusaha mencari tahunya sendiri…

“Kamisato, apa kau juga memeriksa isi ponsel Kunimi?”

“……”

Dia tidak membalas apa-apa dan hanya menatapnya dengan jauh lebih sinis dibanding tatapan sebelumnya. Mungkin karena itu sebabnya mereka berdua bertengkar. Sebaiknya tidak membahas hal itu lagi dengannya. Sakuta tidak ingin Kamisato meluapkan amarahnya pada dirinya.

“Aku boleh lihat?” tanya Sakuta dan mengambil ponsel Kamisato dari tanganya. Ia menggulir turun sedikit untuk memeriksa postingan yang sebelum-sebelumnya.

Ia sampai di akhir postingan dengan cepat karena hanya ada sepuluh postingan totalnya. Postingan pertamanya adalah Futaba yang sedang mengenakan piamanya. Tipe piama berbulu halus dengan tudung. Tetapi dia juga mengenakan celana dalam di baliknya, jadi fokus gambar itu sudah pasti ke kakinya. Terutama di bagian pahanya yang terlihat lembut dan sudah pasti merangsang yang melihatnya. Caption yang menyertai gambar itu juga menawarkan apa yang harus dia lakukan atau kenakan selanjutnya kepada yang melihat.

Postingan lainnya juga sama persis. Namun, tidak ada satu pun dari postingan itu yang menunjukkan wajah Futaba langsung.

Postingan pertamanya dimulai dari tanggal 25 Juli yang berarti seminggu yang lalu.

Dan dia juga mendapat banyak komentar, seperti;

Paha yang indah!

Piamanya imut. Coba pakai yang seperti ini!

Belahan dada yang indah, dan kau juga masih SMA?

Ukuranmu pasti I! Belahan dadamu sangat alami! Coba dorong sedikit, dan kau bisa membuat bentuk huruf Y!

Ada ahli payudara di sini lol.

Dan komentar-komentar lainnya… Sambutan yang cukup hangat. Ada banyak orang yang menanyakan untuk gambar yang lebih terbuka dan kabar itu telah menyebar dengan cepat.

“Kalau memang benar ini Futaba…”

“Sudah pasti cewek itu,” desak Kamisato.

“Kenapa dia melakukan ini?”

“Untuk dapat lebih banyak pengikut.”

Saat ini, dia sudah punya dua ribu lebih pengikut.

“Dan dia mau apa dengan mereka?”

“Tak mau apa-apa.”

“Huh?”

“Foto seksi seperti ini cuma untuk memancing perhatian.”

“Ah,” seru Sakuta merasa kalau kata-kata itu masuk akal buatnya tetapi kenyataannya juga tidak. Ia tidak bisa membayangkan kenapa Futaba mengambil foto seksi atau mengunggahnya ke media sosial.

Awalnya terlihat bodoh, tidak kurang dan tidak lebih. Sakuta yakin kalau Futaba sadar betapa konyol kelakuannya saat ini. Tetapi ada suatu hal yang mendorongnya untuk tetap melakukan hal ini. Hal apa itu? Sakuta sendiri tidak tahu.

“Apa yang membuat cewek-cewek melakukan hal seperti ini?”

“Mana Aku tahu.”

“Jangan pura-pura bodoh. Katakan saja padaku.”

“Aku tak akan pernah melakukan yang seperti ini! Kau bodoh, ya?”

“Tapi kau juga mengambil foto seperti ini?”

Sakuta menunjukkannya gambar dari galerinya sendiri, yang ia buka tanpa izin.

Gambar itu menampilkan Kamisato yang memeluk boneka beruang besar. Wajah beruangnya cukup menakutkan seperti sudah siap untuk menyantapnya.

“Si-siapa yang bilang kau boleh melihatnya?! Beraninya kau!”

“Selalu penting untuk menyembunyikan kekuranganmu ketika mengomentari orang lain.”

Kamisato mengambil ponselnya kembali.

“Tanya saja ke si Futaba itu!” ucapnya dengan marah.

Lalu, dia berbalik dan berjalan pergi.

Begitu Sakuta melihat Kamisato pergi, ia bergumam sendiri, “Dia punya cara yang aneh untuk khawatir.”

Dan dia juga punya kode etik yang aneh.

“Tapi apa yang harus kulakukan dengan berita ini?”

Dengan Kamisato yang sudah pergi, Sakuta kembali memikirkan tentang Futaba lagi.

Ia bisa saja pergi ke lab sains dan menanyakannya langsung, tetapi ada hal lain yang mengganggunya tentang ini.

Dari postingan di akun rahasia yang Kamisato tunjukkan padanya, Futaba mengunggah foto pertamanya seminggu yang lalu. Kemarin dia sendiri bilang kalau, “Dalam tiga hari terakhir, ada dua Rio Futaba.” Dengan kata lain, saat postingan pertama diunggah, hanya ada satu Futaba. Hal itu juga mengartikan kalau Futaba sendiri yang mengunggah selfie seksi itu sebelum fenomena Sindrom Pubertas terjadi padanya.

“Apa yang harus Aku lakukan sekarang?”

Ia sadar kalau ada gadis SMA yang mengambil keuntungan dari tubuh mereka sendiri, melakukannya karena keinginan sendiri atau…dipaksa oleh orang lain. Dan masyarakat sangat marah akan hal ini dan banyak yang membahasnya di TV.

Tetapi sampai beberapa menit yang lalu, hal itu seolah-olah seperti membayangkan dirinya sendiri pergi ke negara yang sangat asing baginya. Ia juga tidak memperhatikannya. Karena ia tidak pernah mendengar rumor tentang siapa pun dari kelasnya melakukan hal yang sama atau menemukan petunjuk kalau hal-hal seperti itu mungkin sedang terjadi.

Ia mengira kalau hal seperti itu tidak pernah ada hubungannya dengan dirinya.

Tetapi tiba-tiba ia diberi tahu hal itu langsung, dan bukan juga terjadi dengan orang yang tidak dikenalnya, melainkan temannya sendiri…dan fakta itu membuat perutnya merasa mual.

“Sebaiknya Aku harus membicarakan hal ini ke orang lain…”

Ia tidak bisa memikirkan tentang orang lain yang tahu akan hal-hal seperti ini.

“…Ah tidak, kurasa Aku tahu harus bicara dengan siapa.”

Dia bukanlah seseorang yang Sakuta ingin temui. Jelas juga bukan seseorang yang membuatnya ingin berhutang ke individu ini---tetapi siapa lagi yang bisa ia mintai tolong?

Sakuta menghela napas, mengganti sepatunya, dan berjalan kembali menuju telepon umum. Kemudian, ia mengambil segenggam koin dari dompetnya lagi dan mengeluarkan sebuah kartu nama.