Masa Remaja itu Rumit
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Setelah Mai selesai menceramahinya, mereka makan siang bersama, dan Sakuta berganti ke seragam sekolahnya supaya ia bisa mengunjungi tempat itu.

Hanya butuh berjalan kaki sekitar sepuluh menit di bawah terik panas matahari untuk bisa sampai ke Stasiun Fujisawa. Berada di jantung kota dari 40.000 penduduk. Mal dan toko elektronik banyak tersebar di sekitarnya. Jalur kereta JR, Odakyu, dan Enoden yang masing-masing dari tiga perusahaan berbeda melintasi Stasiun Fujisawa ini. Kerumunan besar orang saling berlalu-lalung masuk dan keluar dari stasiun ini.

Dari sini, waktu tempuh menuju stasiun yang dituju hanya butuh waktu sekitar 15 menit dari kereta yang melaju ke arah tenggara menuju Kamakura. Sakuta turun di Stasiun Shichirigahama dari Enoden yang dinaikinya, sebuah stasiun kecil dengan hanya satu jalur kereta yang melewatinya.

Begitu melewati gerbang tiket stasiun, ia disambut oleh aroma laut yang khas. Dirinya sendiri mengira kalau ia sudah terbiasa dengan aroma ini seiring waktu berlalu, tetapi Sakuta masih tetap sadar dengan aroma yang khas ini setiap kali ia turun dari kereta. Dan ia mulai dapat membedakan bagaimana aromanya berubah di musim atau kondisi cuaca yang berbeda.

Namun, hari ini, ia lebih terfokus dengan keadaan kakinya sendiri. Mai memaksanya untuk duduk bersimpuh untuk waktu yang lama dan itu membuat kakinya masih terasa lemas.

Tidak ada siswa-siswi lain saat perjalanannya dari stasiun menuju sekolah. Ia memang melihat beberapa peselancar lokal yang membawa papan selancar di pundak mereka---dan pemandangan itu sudah pasti karena sekarang ini sedang musim panas. Sekumpulan siswa-siswi yang tertawa saat akan menuju ke pantai juga berjalan melewatinya.

Gerbang sekolah juga hanya terbuka sepertiganya, tetapi Sakuta tetap bisa masuk melalui celah yang terbuka ke dalam gedung sekolah. Ia bisa mendengar suara klub olahraga yang berteriak di halaman. Seperti teriakan para pemain bisbol yang mengejar bola putih di lapangan dan suara pukulan antara pemukul logam yang bertemu dengan bola bisbol sesekali.

Turnamen musim panas sudah berakhir, dan siswa kelas tiga sudah berhenti bermain. Jadi, tim bisbol sedang sibuk untuk membangun kembali kekuatan mereka. Di Kanagawa ini ada cukup banyak SMA dengan tim bisbolnya masing-masing, tetapi hanya sebagian kecil saja yang akan bermain di Stadion Koshien. Tim bisbol Minegahara tidak sengaja bertemu dengan tim bisbol kuat saat pertandingan kedua mereka dan harus mundur lebih awal.

Puncak kekuatan mereka memang masih jauh, tetapi karena itulah mereka semua bekerja keras sampai mandi keringat untuk bisa mengalahkan lawan-lawan mereka.

Kendati kerja keras mereka, Sakuta berjalan menuju gedung sekolah untuk menghindar dari panasnya matahari.


“Futaba, kau di sini?” tanya Sakuta sambil membuka pintu lab sains.

“……”

Tidak ada jawaban dan ruang lab kosong tanpa ada seorang pun di dalamnya. Tetapi, ada cangkir kopi yang terisi setengah penuh di dekat wastafel yang sering digunakan untuk mencuci peralatan lab.

Tampaknya ‘Futaba palsu’ memang datang ke sekolah, setidaknya hal itu menjadi kabar baik buat Sakuta.

Apa dia sedang di kamar mandi? pikir Sakuta sambil menjulurkan kepalanya ke lorong sekolah. Kamar mandi wanita memang tidak terlalu jauh dari lab tetapi tidak ada tanda-tanda siapa pun yang akan keluar dari situ.

Tasnya juga diletakkan di samping meja di lantai, jadi dia pasti masih belum pulang.

Sakuta melihat-lihat hal yang ada di dalam lab sebentar untuk menunggu Futaba kembali. Lab ini ukurannya seperti dua ruang kelas biasa yang disatukan. Rasanya terlalu besar jika digunakan untuk menghabiskan waktu seorang diri. Penempatan bangku yang berantakan menandakan kalau ada bekas dari orang yang keluar-masuk ruangan ini. Ia sendiri masih bisa mendengar klub bisbol yang berteriak di luar, tetapi hal itu semakin membuat kalau situasi di lab ini semakin hening. 

Semakin lama ia menghabiskan waktu di sini, semakin ia merasakan kalau hanya ia sendiri yang ada di sekolah.

Rasanya seperti memang ada kerumunan di tempat ini sebelum Sakuta tiba, tetapi sekarang ini mereka semua menghilang---seperti inilah suasanya yang dirasakannya dari lab ini.

Suasana seperti ini membuatnya cemas. Sakuta sendiri merasakan mual di perutnya. Apa Futaba juga merasa seperti ini selama ini? Atau ini cuma imajinasi liarnya saja?

“……”

Sakuta memutuskan kalau ia perlu mengubah suasananya dan membuka jendela lab.

Angin sejuk mulai masuk ke ruangan dan suara-suara keramaian di luar mulai semakin terdengar. Ia menjulurkan kepalanya ke luar jendela dan perhatiannya langsung tertuju ke sumber suara yang berasal dari GOR (Gedung Olahraga). Ia melihat banyak siswa-siswi yang memakai kaus oblong dan rompi basket yang saling berkumpul di luar GOR. Ada juga rompi basket dengan warna berbeda---yang mengartikan kalau ada beberapa siswa-siswi luar dari sekolah lain.

“Oh benar juga, Kunimi bilang kalau mereka ada latih tanding hari ini.”

Kunimi memberitahunya di tempat kerja kemarin. Tim basket dari beberapa SMA sekitar juga akan mengikuti latihan ini.

Sakuta tidak perlu menebak untuk mengetahui di mana Futaba berada.


Sakuta kembali ke pintu masuk dari gedung sekolah, mengganti sepatunya, dan berjalan menuju gimnasium. Semakin ia mendekat, ia bisa mendengar suara bola basket yang menyentuh lantai dan para pemain yang sedang berlarian. Suara decitan dari sepatu olahraga juga dapat terdengar saat bergesekan dengan lantai GOR.

Pintu masuk depan GOR sudah ramai dikerumuni oleh anggota tim basket sekolah lain, jadi Sakuta berjalan ke samping. Bayangan besar GOR berada di sisi ini dan ada banyak siswa yang sedang duduk di dalam bayangan gedung untuk berteduh, kemungkinannya sedang istirahat dari latihan mereka. 

GOR ini punya tiga pintu di satu sisinya dan jarak antara satu dengan yang lainnya sama. Semua pintu juga sedang dibuka agar udara masuk. Sakuta melihat Futaba di pintu terakhir.

“Akhirnya ketemu…”

Tetapi, seketika pikiran itu membuatnya merinding.

Ia juga bertemu dengan ‘Futaba palsu’ ini kemarin. Mereka saling berbincang tentang banyak hal. Futaba juga memberinya saran. Wakuta itu, Sakuta tidak merasa ada yang salah. Tetapi karena sekarang ia tahu kalau ada dua Futaba, melihat diri Futaba yang lain tetap membuatnya merinding.

Ia memperhatikan diri Futaba yang ini dengan teliti.

Sama seperti ketika di toko buku kemarin, gaya rambutnya dikuncir kuda. Tidak memakai jas lab putih biasanya. Kulit mulus kakinya biasanya tersembunyi di balik mantel panjang dari jas labnya, tetapi hari ini hal itu dapat dengan mudah terlihat. Mulai dari lekukan pahanya, dadanya yang terasa menonjol dari kemejanya yang ketat, semakin terlihat jelas karena rompi yang dikenakannya juga. Semua kancing atasnya terbuka, bahkan kancing di kerahnya juga, yang mana hal itu membuatnya terlihat sangat serius---dan hal itu saling bertentangan dengan lekuk tubuhnya yang sangat mengundang perhatian dari setiap mata yang memandangnya.

Sekumpulan siswa sedang menatapnya dan ketika Sakuta berjalan melewati mereka, ia mendengar pembicaraan mereka.

“Dia cewek kelas tiga?”

“Seksi dan keren sekali.”

“Coba ajak bicara.”

“Kau duluan.”

Mereka tampak sedang bersenang-senang.

Sakuta mengerti kenapa pembicaraan mereka seperti itu. Dengan rambut yang diikat, Futaba terlihat sangat dewasa, dan hal itu meningkatkan daya tarik dirinya. Dan tanpa mengenakan kacamata, dia seperti orang yang sedang murung, yang mana membuat seseorang ingin menghiburnya.

Tetapi Futaba hanya tertarik ke satu orang. Tatapannya tertuju ke setiap gerakan orang itu. Dia tidak sedang menonton latihan bola basketnya. Tetapi sedang menonton Yuuma Kunimi.

Tatapannya tidak peduli ke mana bola basket itu berada.

“Main Kunimi bagus?” tanya Sakuta yang muncul di samping Futaba dan bersikap dengan normal.

“?!”

Futaba tampak terkejut.

Dari belakang mereka, ia bisa mendengar suara para siswa yang berkata, “Pacarnya?” “Tak mungkin.”

Futaba melirik ke Sakuta dan mengalihkan pandangannya kembali. Rasanya, dia terlihat cemas.

“Kuputuskan untuk mampir, karena Aku sudah datang untuk urusan klub,” ucap Futaba dengan suara kecil seperti sedang berbisik.

“Aku belum bilang apa-apa.”

“Tapi kau pasti akan bertanya begitu.”

“Yah, Aku sangat senang ketika melihatmu malu-malu seperti itu.”

“Mati saja kau.”

“Masih ada banyak hal yang ingin kulakukan dengan Mai-san! Apa Aku boleh minta tambahan waktu 80 tahun lagi?”

“Azusagawa, kau pikir kau masih akan hidup sampai usia 90-an?”

“Orang jahat itu biasanya hidup lebih lama, kan?”

“Jangan pikir kalau kau ingin bertaruh untuk hal seperti itu,” ucap Futaba dengan menghela napas.

Tatapannya masih tertuju ke Kunimi.

Sakuta memeriksa skor pertandingan itu dan hasilnya cukup seimbang. Tim basket Minegahara masih memimpin dengan perbedaan tiga angka. Dan di pertandingan basket ada hal yang namanya tembakan tiga angka, jadi selisih angka itu bisa disamakan kapan saja. Bahkan saat ini, siswa yang memakai rompi basket warna kuning---warna rompi berbeda dari tim Minegahara---berencana untuk melakukan tembakan itu.

Tembakannya melengkung panjang---dan memantul di tepi ring basket. Seorang siswa bertubuh tinggi dengan rompi basket putih dari Minegahara mengambil bola yang memantul itu. 

Kunimi yang berada di area lawan mengangkat tangannya. Dengan umpan panjang ke arahnya, ia berhasil menerimanya.

Tim lawan cepat-cepat mundur, suara langkah kaki yang berlari menggema di GOR ini.

Dengan bola yang berada di tangan Kunimi, ia melakukan dribel ke area lawan. Seorang pemain berompi kuning mencoba mencegatnya, dan Kunimi berhasil menipunya dengan mendribel di bawah kakinya dan melewati pertahanan itu. Karena sudah terbebas dari pemain bertahan, ia bersiap untuk melakukan tembakan melompat. Kemudian, seorang pemain lawan yang bertubuh besar sekitar 180 cm mencoba untuk mencegat tembakannya. Tetapi, gerakan Kunimi itu juga tipuan lainnya, dan kakinya juga tidak pernah melompat dari lantai.

Setelah mengecoh tempo pertahanan tim lawan, kali ini ia benar-benar menembakkannya.

Bola itu melengkung dengan mulus saat di udara, terus berputar seperti itu---dan jaring ring basket berayun saat bola itu melewatinya.

Kumpulan gadis yang menonton bersorak dengan gembira. Pasti para siswi kelas satu. Gadis-gadis dari sekolah lain juga saling menyemangati.

“Wow, menyebalkan sekali. Jahat beud.”

“Kau terlalu kaku, Azusagawa.”

“Kenapa kau juga tak bersorak seperti, ‘Kyaa, Kunimi’?”

“……”

Futaba hanya menatapnya dengan wajah kesal.

“Ia pasti akan terkejut sampai-sampai tembakannya meleset,” seru Sakuta.

“Aku memang menyemangatinya.”

“Dari dalam hatimu?”

“……”

Futaba yang terdiam menandakan kalau perkataannya benar.

“Kau kurang usaha, Futaba.”

Suara sorakan lain terdengar dan tim lawan berhasil mencetak angka.

Selisih angka yang kian menjauh dan mendekat membuat para kerumunan yang menonton benar-benar bersemangat.

Hanya tinggal dua menit tersisa.

“Jadi, Futaba…”

“Aku akan sangat senang jika kau bisa berhenti menggangguku.”

“Apa yang kau suka dari Kunimi?”

Sakuta langsung saja ke intinya.

“Ia temanmu juga, kan,” sindirnya. “Kau mau bilang padaku kalau kau tak tahu apa yang baik darinya?”

“Ia memang cowok yang baik. Sangat baik sampai-sampai membuatku kesal, dan ia tak menilai orang lain berdasarkan rumor belaka.”

Kunimi tahu bagaimana ia harus menilai orang lain daripada bergantung dengan kata-kata orang lain untuk menilai seseorang. Ia pernah bilang kalau ibunya yang mengajarinya itu, tetapi Sakuta pikir kalau hal seperti itu bukanlah hal yang bisa diajari oleh seseorang. Menghabiskan waktu dengan orang yang punya reputasi buruk akan membuat seseorang itu juga punya reputasi buruk. Begitulah cara dunia ini bekerja. Ia benar-benar mengerti kenapa Saki Kamisato berkali-kali menghampirinya, dan menuntut kalau Sakuta harus jauh-jauh dari Kunimi. Tetapi bukan berarti ia harus menuruti tuntutan yang kasar itu…

“Jadi, Aku memang menyukainya sebagai seorang individu. Tapi Aku masih suka perempuan, jadi Aku tak yakin apa yang kusuka darinya adalah apa yang para cewek sukai darinya.”

Sakuta tahu kalau Kunimi memang tampan. Ia juga bertubuh lebih tinggi dari Sakuta, berbakat main basket, pria tampan berhati lembut. Ia pernah mendengar seorang mahasiswi di tempat kerjanya berkata kalau rasanya lucu bagaimana senyum Kunimi dapat membuatnya seperti anak kecil. Tetapi Sakuta sendiri tidak bisa menghilangkan perasaan ganjal yang dirasakannya kalau ketertarikan Futaba akan Kunimi karena alasan yang berbeda.

“Apa gunanya jika kau mengetahui alasannya?”

“Tak apa-apa. Cuma penasaran saja. Topik seperti ini umum dibicarakan para remaja, kan?”

“Bilang itu pada remaja normal.”

“Jadi, kau mau bilang kalau dirimu itu spesial?”

“Kita tak sedang menjalani kehidupan SMA yang normal,” ucapnya dengan nada datar tanpa tatapannya yang tidak pernah lepas dari Kunimi.

“Setiap orang berhak untuk jatuh cinta. Karena hal seperti cinta tak butuh izin seperti mengemudi.”

Semua orang berhak untuk melakukannya. Cinta itu bisa muncul tanpa memperdulikan hak, pengakuan, dan izin. Hati seseorang dapat bergerak dengan sendirinya, menyeret pemiliknya ke sana dan kemari. Sebagian orang dapat menikmati hal itu; dan sebagian orang juga bisa kesal karenanya sampai ingin mati.

Tidak ada yang spesial tentang itu.

“Dari lama Aku selalu memikirkan ini, Azusagawa, tapi kau ini cenderung dekat dengan yang namanya cinta ini.”

“Sungguh?”

“Kau mengikuti ujian masuk Minegahara untuk mengikuti cinta pertamamu, lalu kau butuh setidaknya setahun agar bisa melupakannya, dan sebelum kau bisa sadar…kau sudah berpacaran dengan seorang selebriti. Yang seperti ini tak normal.”

“Pujianmu tinggi sekali.”

“Kau sudah tahu kalau bukan itu yang kumaksud.”

“Sayang sekali.”

“Aku tak memujimu, tapi Aku memang iri dengan caramu menjalani hidup dengan mengikuti kata hatimu. Kebanyakan orang takut melakukannya. Sikap seperti ketulusan, terus terang, dan berdedikasi tak bisa dilakukan oleh orang banyak.”

Kata-katanya tidak terdengar seperti orang yang iri. Dan Sakuta sendiri yakin kalau dirinya tidak pantas dirasa iri oleh orang lain.

“Kau peduli dengan yang lagi modis, Futaba?”

“Terlalu terang-terangan bisa selamanya mengubah yang kau miliki saat ini.”

Jelas saja, yang dia maksud itu tentang hubungannya dengan Kunimi.

“Jadi, Apa yang kau sukai dari Kunimi?”

Sakuta kagum dengan betapa mudahnya Futaba mengalihkan topik pembicaraan mereka, tetapi ia memutuskan sudah saatnya kembali memaksa pertanyaan awalnya.

“……”

Futaba menatapnya dengan kesal lagi dan kemudian dia menghela napas panjang.

Dia sudah jelas sekali menginginkan agar Sakuta mengerti supaya tidak mengganggunya.

“Obrolan cinta membuatmu capek?”

“Kata-kata yang baru saja keluar dari mulutmu membuatku merinding.”

“Aku janji tak akan kuberitahu siapa pun.”

Sakuta yakin kalau ia tidak pernah menyebutkan obrolan cinta sebelum ini semasa hidupnya.

“Cornet cokelat.”

Futaba tiba-tiba menyebutkan nama dari sebuah roti.

“Kau ingin Aku membelikanmu itu?”

“Tidak. Kunimi pernah memberiku itu saat Aku lupa bawa bekal makan siangku.”

“Oh.”

Di SMA Minegahara tidak ada yang namanya kantin. Hampir semua orang membawa bekal makan siang mereka sendiri. Bagi yang tidak, ada truk kecil yang selalu terparkir, dan penjual wanitanya menawarkan berbagai jenis roti yang sudah dikemas. Toko roti yang terparkir di dekat gerbang sekolah dan hanya ada di jam makan siang.

Ada juga minimarket di dekat sekolah, jadi secara teori itu juga jadi pilihan, tetapi keluar dari area sekolah merupakan pelanggaran, jadi hanya beberapa orang saja yang bisa pergi.

Satu-satunya pilihan yang tersisa untuk mendapatkan makan siang tanpa perlu terkena ceramah oleh guru adalah dengan membeli roti yang terbatas dijual, dan truk kecil yang menjadi toko roti itu selalu ramai. Kumpulan siswa-siswi yang rakus mengerubungi toko roti itu seperti belalang yang menghabiskan suatu makanan.

Begitu kerumunannya mulai menipis, yang tersisa hanyalah kemasan kosong dan wajah puas dari sang penjual.

“Saat itu di semester pertama, kelas satu…dan pertama kalinya Aku pergi beli makan di truk roti itu.”

Kerumunan yang ada di sekitar truk bisa sangat gaduh. Sampai membuat siswa-siswi yang pendiam jadi sulit untuk ikut membeli.

“Dan Kunimi membantumu ketika kau sedang kesulitan itu?”

“Ia muncul sambil memakan roti kari yang dibelinya.”

“Pangeran roti kari, ya?”

“Begitu Aku merasa kewalahan dengan kerumunan orang banyak, ia tersenyum dan berkata, “Kau seperti cewek yang suka makanan manis, Futaba. Apa Aku benar?’”

Sakuta bisa membayangkannya dengan mudah situasi itu. Futaba yang ragu untuk ikut membeli di tengah-tengah siswa-siswi yang berebut roti. Dia berharap kalau dia bisa membeli satu roti tetapi tidak berani untuk ikut ke dalam kerumunan itu. Dengan kepala yang menunduk, bersiap untuk pergi---dan di situlah Kunimi tiba dengan senyum polos biasanya…

Setidaknya, ia bisa tahu awal ceritanya.

“Hmm,” seru Sakuta sambil mengangguk seperti orang bijak.

“……”

Pipi Futaba sedikit memerah, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya.

“Lalu, setelah itu?” tanya Sakuta yang penasaran.

“Cuma itu saja,” balasnya dengan nada datar seperti biasa.

“Aku mengerti. Jadi cuma butuh yang seperti itu.”

“Yep.”

“Berapa harga cornet cokelat itu?”

“130-yen.”

“Rasa sukamu harganya murah ya.”

“Jika kau yang melakukan itu, Aku tetap tak akan suka denganmu.”

“Jadi, tetap karena wajah tampannya yang membuatmu suka ya?”

“Kunimi adalah orang pertama---selain dirimu---yang memanggilku Futaba.”

Tahun lalu, Sakuta, Kunimi, dan Futaba berada di kelas yang sama. Kelas 1-1. Saat itu juga, Futaba sudah mengenakan jas lab putihnya ke mana-mana sampai dikenal orang banyak. Dia tidak bisa menyesuaikan dirinya dengan grup-grup gadis yang ada, dan para pria juga tidak berbicara dengannya. Dia menyendiri di kelas itu---dan label itu sudah menempel di dirinya sejak kelas satu. Dia tidak pernah mencoba untuk berbicara dengan orang lain. Semua orang juga terbiasa memanggilnya dengan sebutan “Profesor” atau “Gadis jas lab”---tidak ada yang memanggil dengan namanya. Itulah Rio Futaba pada saat itu.

“Jadi, kenapa tak suka denganku?”

“Aku bahkan bukan tipe yang kau suka, Sakuta.”

“Aku memang mengakui kalau kau tipe orang yang kuinginkan sebagai temanku dan bukan sebagai pacar.”

Futaba tersenyum sedikit mendengar hal itu. “Intinya, waktu juga memainkan peranan penting. Aku sedang sangat terpuruk kala itu.”

“Mm? Apa kau sedang dalam masalah?”

“Bahkan ketika Aku tak punya masalah, terkadang tak ada seorang pun yang memahami perasaanmu. Kau tak pernah merasa seperti itu?”

“Kau mungkin tak menyadari ini, jadi biar kubuat jelas---kau dan Aku sama-sama manusia.”

“Fakta yang sangat mengejutkan.”

“Yah, kurasa sikapmu yang seperti itu tak masalah juga. Jadi kau sedang murung dan Kunimi baik kepadamu, jadi kau mulai naksir?”

“…Ketika kau mengatakannya seperti itu, Aku jadi terlihat seperti orang yang mudah ditakluki.”

Futaba mencaci dirinya sendiri.

Sakuta mencoba memikirkan hal lain untuk dikatakan, tetapi bel yang menandakan pertandingan selesai berbunyi terlebih dulu.

Kedua tim saling berbaris.

“Pertandingan yang bagus!” teriak mereka dengan suara yang menggema ke seisi gimnasium ini.


Dengan selesainya latihan, para anggota tim basket yang basah karena keringat cepat-cepat keluar dari GOR, membuka baju mereka dan berteriak, “Ayo langsung ke pantai!” Atau langsung menuju ke keran air dan menyemprotkan air ke tubuh mereka.

Latihan yang keras membuat mereka semua berotot, dan sekolah-sekolah lain selain Minegahara juga dekat dengan air, jadi semua anggota tim basket identik dengan kulit kecokelatan.

Para gadis kelas satu yang menonton ribut sendiri, mereka terlihat setengah malu dan juga setengah senang melihat para pria yang bertelanjang dada. Sedangkan para gadis kelas dua dan tiga kebanyakan mengatakan, “Dasar cowok,” dan memalingkan mata mereka karena sebal. Melepas kaus yang dikenakan setelah pertandingan hanya hal yang dilakukan oleh para pria.

Tetapi tubuh para pria yang kekar tidak menarik bagi Sakuta, jadi dia tidak berniat melihat yang seperti itu. Karena agak terlalu berlebihan buatnya.

Futaba juga memalingkan pandangannya. Tetapi bukan untuk alasan yang sama dengan Sakuta. Telinganya bergerak setiap kali dia mendengar teriakan dari tim Kunimi, dan wajahnya memerah sampai ke lehernya.

“Kau bisa melihatnya kalau kau mau,” ucap Sakuta.

Kunimi sedang menundukkan kepalanya di bawah keran dan sekarang mengibaskan air yang membasahi rambutnya. Lalu, ia mengambil handuk, mengeringkan dirinya sendiri, dan memakai kaus bersih.

“Aww, Kunimi sudah pakai baju lagi.”

“……”

Futaba yang menatap sinis ke Sakuta tampak sudah siap untuk menancapkan sebilah pisau ke perutnya. Mungkin ia sebaiknya berhenti menggodanya. Jika ia masih peduli dengan persahabatan mereka.

“Jadi? Kau butuh apa, Azusagawa?”

“Huh?”

“Kau tipe yang tak terlalu suka sekolah sampai harus datang saat liburan kecuali kau punya niat lain.”

“Ya, Aku berharap kalau liburan musim panas bisa berlangsung selamanya.”

Tetapi hal itu hanya berlaku jika ia bisa melihat Mai setiap harinya.

“Kau seperti anak SD,” keluh Futaba dan kemudian menatap Sakuta dengan sinis sampai dirinya bisa mengerti pertanyaan Futaba sebenarnya.

“Baiklah, Aku langsung ke intinya saja.”

“Lanjutkan.”

“Futaba sedang ada di tempatku sekarang.”

“……” Futaba tampak terkejut. “Jadi karena itu kau terdengar aneh saat di telepon semalam,” gumamnya.

“Apa yang sebenarnya sedang terjadi?”

“Kenapa tak kau tanyakan pada diriku yang satu lagi?”

“Caramu mengatakannya sama saja seperti kau mengakui kalau dirimu ada dua.”

Futaba menjaga nada bicaranya seperti seorang profesional, seolah-olah kalau ini masalah orang lain. Karena Futaba memang selalu seperti ini, dan sikapnya saat mereka sedang membicarakan tentang Kunimi juga sama seperti yang diharapkan Sakuta darinya. Ia masih belum menemukan satu pun alasan kenapa gadis yang ada di depannya ini bukan Futaba. Bagaimana mungkin ia bisa menyebutnya sebagai “Futaba palsu”?

“Apa yang dipikirkan oleh diriku yang lain?”

“Dia bilang kemungkinannya karena teleportasi kuantum.”

“Sama sepertiku berarti.”

Kalau dipikir-pikir lagi, dia membeli buku tentang hal yang sama kemarin.

“Tapi jika memang teleportasi kuantum, kami berdua seharusnya tak bisa ada secara bersamaan, dan kami juga punya ingatan dan pemikiran yang sama.”

Diri Futaba yang lain juga mengatakan hal yang sama.

“Ya, jadi dirimu yang lain punya teori kalau kali ini yang jadi pengamat adalah ‘Kondisi sadar Futaba,’ dan karena suatu alasan, ada dua versi dari kesadaran itu.”

Sakuta tidak yakin apakah yang ia katakan itu benar, tetapi seperti itulah ia memahaminya.

“Aku mengerti. Lalu, apa yang diriku bilang tentang kenapa dua kesadaran itu bisa ada?”

“Dia bilang tak tau.”

“Dan kau percaya dengan kebohongan seperti itu?”

“Aku mencoba untuk tak meragukan perkataan temanku.”

“Padahal kau melakukannya setiap saat. Kau pikir Aku yang palsu sekarang ini, kan?” tanyanya dengan kesal.

“Jujur saja---Aku memang memikirkan kemungkinan seperti itu awalnya.”

“Kau sepertinya sudah berubah pikiran.”

“Mau seperti apa pun kulihat, kau tetaplah Futaba. Tapi jika kau punya firasat tentang alasan dari dua kesadaran ini, tolong jelaskan padaku.”

“Kau harusnya bertanya dengan diriku yang satu lagi. Dia pasti juga punya firasat yang sama.”

“Kenapa kau berkata begitu?”

“Karena Aku tahu alasannya.”

Dan jika mereka berdua memang diri Rio Futaba, keduanya juga pasti tahu. Bahkan, Futaba yang ada di depannya ini bilang kalau dirinya yang lain tidak tahu, kalau begitu dia ini kemungkinannya memang palsu.

“Yah, kalau jawaban kalian berdua sama saja, kenapa tak beri tahu Aku saja.”

Pandangan Futaba seketika melihat ke arah belakang Sakuta. Ke tempat di mana Kunimi berada.

“Aku akan kembali ke lab,” ucapnya dan berjalan menjauh. Seperti sedang melarikan diri dari lokasi kejahatan.

“Tak ingin mengobrol dengan Kunimi?” tanya Sakuta. Ia menyimpulkan kalau Futaba tidak akan memberinya jawaban tentang Sindrom Pubertas itu, jadi Sakuta memutuskan untuk menggodanya seperti yang sering ia lakukan.

“……”

Tetapi tanggapan yang diberikannya hanya diam. Futaba bahkan tidak menghentikan langkahnya saat berjalan kembali ke gedung sekolah. Sakuta melihatnya sampai sosoknya sudah tidak kelihatan lagi.

“Diri Futaba selalu sulit untuk ditebak ya…”

Terkadang Sakuta merasa kasihan melihatnya.

“Ada apa dengan Futaba?” tanya seseorang yang ada di belakangnya.

Sakuta berbalik dan melihat Kunimi yang sudah memakai pakaian ganti dengan kaus oblong dan celana pendek serta handuk yang ditaruh di kepalanya. Ia juga memegang botol minuman dengan label biru di tangannya. Minuman olahraga sebanyak dua liter, tadinya dua pertiga dari isinya sudah habis diminum dan Kunimi sendiri sedang sibuk meminum sisanya.

“Ah, Aku merasa hidup kembali!”

“Kau sudah mati selama ini?”

“Hampir! Tapi ada apa dengannya?”

“Tak apa-apa. Cuma Futaba yang seperti biasanya.”

“Ah.”

Sakuta jelas menolak menjelaskannya ke Kunimi, tetapi Kunimi sendiri tampak percaya dengan ucapan Sakuta yang ambigu. Ia sendiri tidak bisa langsung mengatakan kalau ada dua Futaba. Kunimi pasti akan bilang kalau Sakuta sudah gila. Tidak…karena ia kenal dekat dengan Kunimi, ia pasti akan tetap mendengarkan sampai Sakuta berhasil meyakinkannya. Tetapi Futaba pasti tidak ingin Kunimi mengetahui hal ini.

“Dia tadi di sini, kan?”

“Kau melihatnya?”

“Tepat setelah pertandingan dimulai.”

“Fokus saja pada pertandinganmu.”

“Sangat mudah melihat kalian berdua dari tempatku berada.”

Kunimi melempar botol kosong ke tempat sampah terdekat. Sakuta mencoba membuat lemparannya meleset dengan pikirannya tetapi gagal.

“Kau barusan mencoba mengacaukan lemparanku, kan?”

“Kau juga bisa membaca pikiran sekarang?”

“Sangat jelas terlihat di wajahmu.”

Kunimi memukul kepala Sakuta.

“Futaba sering datang ke tempatmu?”

“Mm, tak yakin. Kadang-kadang sepertinya, ketika dia sedang ada keperluan klub?”

“Yang mana alasan sebenarnya dia datang ke sekolah?” Sakuta memberi Kunimi isyarat.

“Kau melebih-lebihkan,” ucap Kunimi.

“Aku tak akan membiarkanmu bermain dengan hatinya.”

“Kau terus terang sekali, ya?”

Tim basket wanita sedang memulai pertandingan mereka di dalam GOR.

“Aku akan bertanggung jawab nantinya,” ucap Kunimi. “Jadi, kenapa kau ada di sini?”

Pertanyaan yang masuk akal.

“Apa Aku seharusnya tak di sekolah?”

“Kau tipe yang tak terlalu suka sekolah sampai harus datang saat liburan.”

“Futaba juga bilang sama persis.”

Kunimi berpikir sejenak, lalu bertanya, “Ada masalah apa dengannya?”

“Apa yang kau maksud dengan masalah?

“Aku baik-baik saja sekarang ini, tapi kau datang ke sekolah saat sedang liburan… Memangnya apalagi alasannya?”

Memang kedengaran masuk akal, tetapi…

Kunimi memang sangat dekat dengan Futaba dan Sakuta sampai bisa menyimpulkan seperti itu.

“Kunimi, pelatih mencarimu,” teman setimnya memanggilnya.

“Oke, sebentar,” ucap Kunimi sambil berjalan pergi. Lalu, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke Sakuta. “Kabari Aku jika kau butuh bantuan.”

“Mm?”

“Dengan Futaba.”

“Tak perlu bilang begitu. Kau sebaiknya langsung terbang menemuiku tak peduli selarut apa kutelepon.”

“Aku tak bisa terbang, jadi Aku akan mengayuh sepedaku secepat mungkin.”

Kunimi tersenyum padanya dan kembali berjalan ke dalam GOR.