Masa Remaja itu Rumit
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


Ia sedang memandangi lautan luas yang ada di hadapannya.

Duduk di atas anak tangga yang mengarah ke laut, diri Sakuta dari dua tahun yang lalu tanpa sadar sedang menyaksikan ombak yang berdebur di tepi pantai.

Ia memimpikan tentang pantai Shichirigahama berulang-ulang, jadi bahkan dalam tidurnya, Sakuta tahu kalau ia sedang bermimpi.

Dan ia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Shoko akan datang ke sini.

“Sakuta, kau murung lagi,” ucapnya sambil menuruni tangga dan duduk di sebelahnya.

“Shoko, kau jadi menyebalkan lagi.”

“Dilema di hati seorang pemuda tak akan bisa disembuhkan dengan hanya memandangi lautan setiap harinya.”

“Jika saja Aku tak pernah tahu seberapa dekat cakrawala itu.”

Hal yang Sakuta pikir terlihat jauh ternyata hanya berjarak sekitar empat kilometer. Mungkin pelajaran yang bisa diambil dari ini adalah tidak peduli seberapa jauh suatu hal dari kelihatannya, kenyataannya hal tersebut benar-benar dekat.

“Ah, kurasa Aku yang salah. Apa yang akan membantumu merasa lebih baik? Aku akan berusaha membantu semampuku.”

Dia mendekat, dan menatap ke wajah Sakuta langsung. Saat Shoko melakukan itu, rambutnya yang terlihat mengkilap tergerai sampai ke bahunya. Ketika dia memiringkan kepalanya seperti itu, terlihat sangat imut.

“Jika kau mengizinkanku menyentuh dadamu, Aku akan merasa lebih baik,” ucap Sakuta hanya untuk membalas perkataan Shoko.

“Apa yang seperti itu akan benar-benar membantu?” Dia tampaknya meragukan hal itu.

“Tentu saja.”

“Tapi…punyaku tak sebesar itu, loh?” dia mengakuinya sendiri dan tampak cemas.

“……”

Sakuta menoleh dan menatap ke arahnya. Setelahnya, wajah Shoko mulai tersipu malu.

“…J-jika cuma sebentar, kalau be---”

“Aku cuma bercanda. Kau tak perlu sampai seserius itu,” ucap Sakuta yang menjauhkan dirinya sebelum Shoko benar-benar menawarkannya untuk meraba payudaranya.

“Aku tahu kalau kau cuma bercanda.”

“Sungguh?”

“Tapi jika yang seperti itu memang membantumu, akan ku pertimbangkan,” ucapnya dengan senyuman seperti kakak perempuan yang menggoda adik laki-lakinya.

“Sombong sekali dengan ukuranmu yang kecil.”

“Oh, jadi mainmu begitu?” Shoko berdiri dan bergerak ke belakang Sakuta. “Ha!” teriaknya sambil menahan diri Sakuta dengan tangannya.

Masing-masing dari kedua tangannya saling menahan bahu Sakuta, dan dadanya juga menempel ke punggung Sakuta.  Setiap saraf yang ada di tubuh Sakuta seketika fokus dengan sensasi yang dirasakannya itu.

“Shoko.”

“Apa?”

“Punyamu jauh lebih besar dari yang kuduga.”

“Kan? Kan?” dia terdengar senang.

“Kau tahu, relatif normal.”

“Aku bisa merasakan detak jantungmu, dasar naka.”

“Dan Aku juga bisa merasakan punyamu.”

Tetapi Shoko tidak melepaskan diri dari Sakuta. Dia tetap duduk dan menjaga kontak erat dengan Sakuta, memandangi ombak, membicarakan hal-hal biasa. Percakapan mereka berdua tidak tentu arah. Kehangatan tubuh Shoko membuat Sakuta merasa aman. Ia tidak bisa mengingat apa yang membuat mereka membicarakan dilemanya---ia merasa kalau hal itu tanpa sadar keluar dari mulutnya.

“Sakuta, kau merasa bersalah karena kau tak bisa menyelamatkan adikmu.”

“Apa Aku salah?”

“Tidak, yang begitu tak salah. Tapi melihatmu murung seperti ini pasti juga hal yang sulit bagi adikmu. Jika adikmu berpikir kalau ini kesalahannya kalau kau tak tersenyum lagi, pasti terasa menyedihkan, kan?”

“Tapi bukan salahnya kalau dia harus mengalami itu.”

“Meski begitu.”

“……”

“Merasa menyesal itu memang penting dan memang benar begitu. Tapi, sepenting apa pun itu, permintaan maaf yang dipaksakan ke dirimu juga bisa menjadi hal yang kejam.”

“Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?”

“Apa kata-kata yang ingin kau dengar?”

“……”

“Apa kau lebih suka diberi tahu kata-kata seperti ‘Aku minta maaf’?”

“Tidak.”

“Aku juga tak menyukainya. Kata-kata seperti ‘Terima kasih’ atau ‘Kerja bagus’ atau ‘Aku menyayangimu’ jauh lebih baik. Ketiga itu adalah kata-kata favoritku.”

Lengan Shoko memeluk erat diri Sakuta, saking eratnya sampai terasa sakit sedikit tetapi juga terasa menyenangkan dan hangat.

“Kerja yang bagus, Sakuta,” bisiknya.

“?!” Seketika, Sakuta merasa gugup dan cemas.

“Kau sudah melakukan segala yang kau bisa untuk adikmu.”

“……”

Sakuta merasakan sensasi terbakar pada hidungnya. Sial, pikirnya tetapi sudah terlambat. Ia berkedip sekali dan air matanya mulai mengalir keluar.

Sakuta tidak punya orang lain yang bisa diandalkan. Tidak ada yang muncul untuk menolongnya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menonton tidak berdaya begitu Sindrom Pubertas membuat tubuh Kaede dipenuhi oleh luka. Tidak peduli seberapa keras ia ingin membantu, sudah tidak ada hal yang bisa ia lakukan. Ia bahkan tidak bisa menemukan orang lain yang percaya akan hal aneh yang terjadi ke adiknya.

Ia sudah lelah menjelaskan hal yang menimpanya, tetapi tidak ada satu pun yang mendengarkannya. Kedua orang tuanya tidak menerima kenyataan ini; para guru di sekolah adiknya juga saling tutup mata; teman-temannya juga mulai berhenti menjenguknya. Semakin Sakuta bersikeras untuk menjelaskan, orang lain semakin menjauhkan diri mereka darinya. Sikap mereka seolah-olah kalau ini semua salahnya karena tidak bisa membaca situasinya. Hal itu sangat menyiksa dirinya dan luar biasa sakit. Dan Sakuta akhirnya tidak punya pilihan lain selain sama-sama menderita dan tersiksa karena fenomena itu.

“Aku…”

“Kau sudah berjuang keras, Sakuta.”

Kata-kata tersebut meluapkan emosi yang selama ini Sakuta pendam. Air matanya tidak berhenti mengalir. Ia mengira sudah tidak ada seorang pun yang bisa mengerti dirinya, tetapi akhirnya ia bertemu dengan orang itu. Seseorang yang mengerti hal yang dideritanya. Dan satu hal itu saja sudah sangat penting baginya. Satu orang yang mengerti itu sudah cukup untuk menyelamatkan dirinya.

“Shoko, Aku…”

Ia membiarkan emosi dirinya mengambil alih dan mencoba untuk menoleh ke arah Shoko. Tetapi Sakuta gagal. Ada sesuatu yang memegang kedua pipinya, dan ia tidak bisa menggerakkan kepalanya sama sekali…


Tekanan yang dirasakan di wajahnya membuat Sakuta terbangun.

Pipi sebelah kanannya terasa panas dan begitu juga sebelah kirinya. Rasanya seperti berdenyut-denyut seperti ada seseorang yang telah menamparnya.

Rasa sakit itu membuat matanya terbuka, dan ia sedang melihat Mai yang sedang menunduk ke arahnya dengan arah wajah yang terbalik.

“……”

Dia terlihat kesal. Sayang sekali, padahal dia terlihat cantik dengan celemek yang dia kenakan. Arah wajahnya terbalik karena Mai sedang duduk bersimpuh di arah atas kepala Sakuta, di mana ia sedang berbaring.

Kedua tangan Mai berada di kedua sisi wajah Sakuta.

“Maaf,” ucapnya dengan bibir yang menjorok ke depan seperti gurita di kartun-kartun.

“Untuk apa?”

“Um…”

Sakuta bisa tahu alasan spesifiknya. Karena ia mungkin hampir memanggil nama Shoko dalam tidurnya.

“Boleh Aku tanya alasanmu melakukan ini?” tanya Sakuta dengan hati-hati.

“Aku menginap di tempat yang sama denganmu, tapi tidurmu pulas sekali hingga rasanya menyebalkan,” ucap Mai. Tetapi pandangannya tertuju ke hal lain yang menandakan kalau dia sedang berbohong.

“Bisa Aku anggap kalau kau terlalu senang karena menginap di apartemen pacarmu dan tak bisa tidur?”

“Jujur saja, tidur di apartemen pacar yang lebih muda dariku bukanlah hal besar.”

Dia berusaha keras dengan sikap sewajar mungkin, tetapi sebelum Mai bisa menyelesaikan perkataannya, bicaranya terganggu oleh suara menguap kecil. Sebelumnya, ketika mereka tidur berdampingan di kasur saat di sebuah hotel bisnis di Ogaki, Mai tidur sangat pulas meski Sakuta berada di sampingnya… Apa yang berubah? Apa dia jadi lebih sadar diri tentang Sakuta sekarang? Tidak, mungkin Mai cuma lelah setelah syuting acara di Kyoto. Sakuta memutuskan untuk lebih optimis dan percaya dengan tebakannya yang pertama.

“Jangan langsung mengambil kesimpulan seperti itu, Sakuta.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Sudah terlihat jelas di wajahmu.”

“Wajahku yang bilang kalau kau sangat imut?”

“Jangan coba kabur dengan kata-kata seperti itu.”

Dia menepuk-nepuk pipi Sakuta lagi dan kali ini cukup kears.

“Aku sudah buat sarapan, jadi basuh mukamu.”

Sakuta mengangkat kepalanya dan melihat French toast dan telur orak-arik sudah tersedia di atas meja makannya.

“Aku menyiapkannya dari bahan-bahan yang ada di kulkasmu,” ucap Mai.

“Anggap saja ini rumahmu sendiri.”

“Berhenti main-main dan cepat bangun.”

“Baiklah.”

Ia berpura-pura untuk siap-siap bangun tetapi setelahnya menaruh kepalanya di paha Mai. Ini bisa juga disebut sebagai bantal pangkuan. Tetapi rasanya sedikit aneh. Karena Mai duduk bersimpuh dengan lutut yang terangkat sedikit dan pinggul yang tidak bertumpu ke tumitnya, membuat pangkuannya terasa canggung.

“Mai-san, leherku sakit.”

“Salahmu sendiri.”

Tetapi Mai tidak mendorong Sakuta pergi. Rasanya seperti suatu momen bahagia yang tenang.

“Ah!”

Kemudian, rasa tersentak kaget yang tiba-tiba muncul mengganggu mereka. Kaede sudah bangun dan keluar dari kamarnya.

“Oh, Kaede,” ucap Sakuta. Pag---- Owww!”

Di tengah ucapan selamat pagi Sakuta, Mai seketika langsung melompat dan berdiri. Kepala Sakuta langsung terjatuh ke lantai.

“……?!”

Rasa sakitnya bahkan terlalu hebat sampai tidak bisa berteriak. Sakuta hanya berbaring diam dan mengusap-usap bagian kepalanya yang sakit.

“Pagi, Kaede,” ucap Mai yang sama sekali sudah mengabaikan apa yang dia lakukan ke Sakuta. Ini juga myakinkan dirinya kalau ia memang memanggil nama Shoko saat sedang tertidur. Harga diri Mai menghentikan dirinya untuk melanjutkan perkataannya itu---dia tidak bisa mengakui kalau keberadaan Shoko mengganggunya.

“P-pagi! Kaede tak melihat apa-apa!!”

Ketika Sakuta akhirnya beranjak bangun dari lantai, ia melihat Kaede menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan sikapnya gelisah.

“Kaede tak akan mau melihat apa pun lagi! Masa depan Kaede terlihat kelam!”

“Itulah yang terjadi kalau kau menutupi wajahmu seperti itu.”

“Kaede tak bisa melihat hari esok!”

“Hidup memang begitu.”

“Oh, jadi begitu. Drama tanpa naskah, ya?”

“Kalian semua sudah bersemangat sekali di pagi hari,” ucap Futaba yang keluar dari kamar mandi. Saat dia memakai kacamatanya, rasa gelisah muncul di wajahnya. Sangat jelas terlihat kalau dia ragu apakah dia bisa tahan dengan situasi seperti ini nantinya.


Mereka berempat akhirnya duduk di meja makan, bersiap untuk menyantap sarapan yang dibuat Mai.

Hari ini menandakan pertama kalinya semua bangku di meja makan terisi semenjak Sakuta dan Kaede pindah ke sini.

Butuh beberapa menit bagi Kaede untuk bisa duduk bersama dengan mereka bertiga, tetapi sekarang ini dengan gembiranya dia sedang memakan French toast di samping Sakuta. Duduk sangat tepat di sampingnya hingga membuat Sakuta kesusahan menyantap sarapannya sendiri. 

“Ini sangat enak! Empuk dan lembut!”

“Telurnya juga enak.”

“Lembut juga!”

“Kita harus menyuruh Mai-san memasak untuk kita mulai saat ini.”

“Ya!” seru Kaede sambil mengangguk dengan girangnya.

“Jangan manfaatkan Kaede seperti itu,” ucap Mai sambil menginjak kaki Sakuta.

“Ow!”

“Ada apa onii-chan?” tanya Kaede.

“Cintaku sedang diuji.”

Mai mulai menginjak lebih keras.

Kaede terlihat bingung. Sementara itu, tangan Futaba terlihat berhenti bergerak.

“Futaba, kau tidak suka dengan makanannya?” tanya Mai.

“Oh, tidak…,” ucap Futaba mulai menyantap makanannya. “Aku hanya belum makan sarapan dengan banyak orang akhir-akhir ini.”

Kalau dipikir-pikir lagi,Futaba selalu memakan roti panggang di lab sains sekolah. Ditambah dengan kopi instan dari persedian guru fisika… Apa dia tidak makan sarapan bersama keluarganya?

Sakuta berniat mencoba bertanya tetapi diganggu oleh suara getaran. Suaranya terdengar sangat samar sampai ia harus mendengarkannya dari jarak dekat agar yakin kalau ia memang mendengar bunyi getaran ini. Tetapi Sakuta segera menyadarinya kalau suara getaran itu berasal dari dering ponsel karena ia melihat Kaede yang terkejut.

“Oh, maaf, bunyinya dariku,” ucap Mai sambil mengeluarkan ponsel yang dilapisi cover merah muda berbentuk telinga kelinci dari saku celemeknya. “Aku akan segera kembali. Ini dari manajerku.”

Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar ke beranda dengan ponsel yang menempel ke telinganya.

“Ya?” ucapnya dengan nada bicara dan sikap yang seketika terlihat dewasa.

“Hi, Mai?”

Antara suara manajernya yang lantang atau Mai menyalakan mode pembicara di ponselnya. Karena Sakuta bisa mendengar setiap perkataan mereka.

“Ada apa?”

“Maaf meneleponmu pagi hari begini. Kau sedang luang?”

“Ya, tidak apa-apa.”

“Aku yakin kalau kau lelah setelah syuting kemarin… Apa kau sedang ada di luar?”

Kebisingan yang berasal dari jalan di bawah pasti membuat hal itu menjadi jelas.

“Aku sedang di rumah pacarku,” ucap Mai seolah hal itu bukan masalah besar. Mai juga membuatnya terdengar seperti dia sudah memberi tahu manajernya tentang Sakuta, tetapi…

“Oh, rumah paca--- Tungguh, apa?!” Rupanya, ini pertama kalinya Mai menyebutkan hal ini. “A-apa kau barusan bi……? Kau bilang pacar?

“Ya,” ucap Mai dengan entengnya sementara manajernya sedang bingung.

“Kau jangan bergerak dulu! Aku harus bicara ke bos…dan Aku juga akan berkunjung ke tempatmu nanti!”

Manajernya pasti menutup telepon, karena Mai kembali ke dalam.

“Sudah selesai,” ucapnya dan mematikan ponselnya juga.

Dia kembali duduk dan menatap ke Kaede, sambil menempatkan kedua telapak tangannya di depan dirinya. “Maaf, Kaede,” ucapnya.

“K-kaede tak apa-apa! Cuma tanpa sadar Kaede gemetaran ketika mendengar bunyi itu.”

“Apa kau baik-baik saja, Mai-san?

“Aku mungkin akan dapat ceramah dari kepala agensiku nanti. Semua ini karena salahmu.”

“……”

“Aku bercanda.”

Dia tersenyum seolah itu hal kecil dan mulai menggigit French toast-nya. “Enak juga,” ucapnya yang senang dengan masakannya sendiri. Rasanya memang benar-benar enak. Sakuta tidak melebih-lebihkan ketika ia menyuruh Mai memasak untuk mereka seperti ini setiap harinya.

“Aku tak bisa bilang kalau kau sedang bercanda atau tidak ketika masalah pekerjaan,” ucap Sakuta.

“Punya pacar tidak apa-apa.”

“Kau memang begitu tapi manajermu sendiri? Dia tampak syok mendengarnya.”

“Kami baru saja menandatangani kesepakatan iklan, agensiku harus waspada kalau ada skandal yang beredar. Skenario terburuknya yah mungkin mereka akan menyuruh kita untuk tidak kencan sementara waktu ini.”

“Aku tak yakin kalau yang seperti itu bisa dibilang ‘tak apa-apa.’”

Hal itu juga membuat Sakuta khawatir jika mereka akan menyuruhnya untuk putus dengan Mai.

“Dan juga, manajerku memang selalu gelisah seperti itu.”

“Kedengarannya juga mengkhawatirkan buatku.”

Dari apa yang ia tahu, manajer itu bertanggung jawab menangani pengaturan dan jadwal kerja klien mereka. Harusnya pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang bisa tetap tenang dalam situasi apa pun. Dan manajernya menelepon Mai tetapi sudah mengakhiri panggilannya tanpa menyebutkan alasan kenapa dia menelepon…dan Mai juga sudah mematikan ponselnya demi Kaede. Jika managernya mencoba untuk meneleponnya lagi dan tidak bisa tersambung, dia pasti akan lebih gelisah lagi.

Tetapi tidak ada gunanya untuk mengkhawatirkan hal itu untuk sekarang, jadi Sakuta memilih untuk menikmati sarapannya.


Shoko datang di jam sepuluh tepat seperti biasanya. Hari ini dia memakai topi dengan pinggiran yang besar. Tipe topi yang dipakai oleh gadis-gadis kaya ketika mereka berjalan-jalan di area resor.

“Ibuku menyuruh memakai ini karena mataharinya sangat terik,” ucapnya ketika dia melihat Sakuta menatap dirinya. Lalu, dia juga menyadari banyak sepatu yang ada. “Um, kau ada tamu, Sakuta?”

“Yah, ini…ceritanya panjang. Tak usah khawatir. Masuk saja.”

Shoko melepas sepatunya dan Sakuta menuntunnya ke ruang ramu. Mai, Futaba, dan Kaede juga berada di ruangan yang sama.

“Kau kenal banyak gadis ya, Sakuta.”

“……”

“Ah, maksudku bukan apa-apa,” ucap Shoko sambil melambaikan tangannya. “Aku benar-benar---tidak,” ucapnya lagi.

Sakuta tidak mengucapkan sepatah kata apa pun, jadi hal ini terdengar seperti ada maksud tersembunyi dari perkataan Shoko itu.

“Uh, apa kau pikir Aku ini playboy atau sejenisnya?”

“Tidak, Aku mengiranya kau lebih seperti seorang maharaja.”

Terdengar sama saja sepertinya, pikir Sakuta. Sebelum dia bisa menarik kesimpulan lagi, Sakuta memperkenalkan Futaba. Mai juga bersama Sakuta di hari di mana mereka memungut Hayate, jadi Shoko sudah mengenalnya.

“Ini Rio Futaba. Dia juga satu sekolah denganku.”

“Perkenalkan, namaku Shoko Makinohara,” ucap Shoko sambil membungkuk.

Futaba terlihat agak terkejut dan dia melirik ke arah Sakuta. Ia hanya mengangguk setuju tanpa perlu menjelaskan terlebih dulu. Karena Sakuta bertanya ke diri Futaba yang lain tentang Shoko kemarin, jadi Futaba yang ini masih belum mengetahui tentangnya. Dan jelas saja, dia sangat terkejut mengetahui hal ini.

Karena Sakuta sudah bertanya ke “Futaba” tentang Shoko kemarin, ia tidak kepikiran untuk memberi tahu hal ini ke Futaba yang di sini. Mungkin seharusnya ia juga memberitahunya.

Ia segera menjelaskan hal ini ke Futaba sementara Shoko bermain-main dengan Hayate.

“Sindrom Pubertas benar-benar menyukaimu ya, Azusagawa.”

Ia sendiri tidak merasakan hal yang sama, malahan sebaliknya.

Setelah itu, seperti yang dijanjikan, Sakuta dan Shoko berencana memandikan Nasuno. Ia menyuruh Shoko untuk mengambil Nasuno dan menggendongnya hingga ke kamar mandi. Langkahnya seperti sedang melompat-lompat kecil karena Hayate mengikuti mereka tetapi terhenti di pintu kamar mandi dengan bulunya yang berdiri karena waspada.

Sakuta mulai menyalakan wastafel dengan air hangat. Ketika ia menatap ke arah Shoko, dia menurunkan Nasuno hingga ke dalam baskom. Nasuno sendiri sangat santai dan duduk dengan tenang. Sakuta mengambil ember kecil dan membasuh air ke bagian tubuh Nasuno yang tidak terendam sepenuhnya. Nasuno yang menikmati mandinya, memejamkan matanya.

Lalu, saatnya untuk keramas.

“Lakukan secara perlahan. Jangan menggosoknya berlawan arah dari bulunya.”

“Oke.”

Tangan kecil Shoko perlahan mulai menggosok, memastikan semua bagian tubuhnya bersih. Kemudian, mereka membilas semuanya.

“Daaaaan kita sudah selesai.”

Nasuno mengeong sebagai balasannya dan meninggalkan wastafel, dengan melompat ke lantai. Dia berhenti tepat di depan Shoko.

“Uh-oh.”

“Huh?”

Sebelum Sakuta sempat memperingatinya, Nasuno mengibaskan tubuhnya yang basah hingga menerbangkan tetesan air ke mana-mana.

“Eep!”

Shoko terjatuh ke belakang di lantai yang basah. Dia juga masih memegang kepala shower yang masih menyala di tangannya jadi pada akhirnya dia menyirami dirinya sendiri.

“Aduh! Duhhh!”

Terkejut dengan semprotan air yang tiba-tiba membasahinya, Shoko menjatuhkan kepala showernya. Tingginya tekanan air yang keluar dari kepalanya membuat shower tersebut menggeliat seperti ular, tidak kenal ampun membasahi tubuh Shoko.

“Apwaaa…?”

Sakuta cepat-cepat mematikan shower.

Tetapi ia sudah terlambat.

Shoko basah kuyup dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Gaun musim panasnya yang tipis menempel ke kulitnya, dan Sakuta bisa melihat jelas dalaman dan kulit telanjang yang ada di balik gaun Shoko.

Nasuno dengan tenangnya berjalan keluar dengan bulu yang masih basah, jadi Sakuta tidak bisa membiarkannya begitu saja.

“Kaede! Nasuno menuju ke arahmu! Ambil pengeringnya!”

Lalu, Sakuta mengulurkan tangannya dan membantu Shoko berdiri. Ia sangat terkejut begitu mengetahui betapa ringan diri Shoko.

Sakuta langsung menuntunnya keluar ke ruang ganti di mana ia mengambil handuk dan mulai mengeringkan rambut Shoko.

“Tidak usah. Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Oh, benar juga.”

Dia memang sudah bukan anak kecil.

“Aku akan mengambil baju ganti, jadi lepas pakaian basahmu itu sebelum kau terkena demam.”

“Oke.”

Shoko meraih kancing baju yang ada di dadanya. Tetapi karena bajunya basah, kain bajunya menjadi keras dan dia terlihat kesulitan melepasnya.

“Biar kubantu,” ucap Sakuta.

Shoko membiarkan Sakuta untuk mengambil alih. Pakaiannya sangat susah dilepas tetapi akhirnya ia berhasil melepaskan dua buah kancing.

Begitu bagian depan gaun itu terbuka, Sakuta bisa melihat pakaian dalam putih berbentuk kamisol yang dikenakan Shoko di balik bajunya. Dalamannya juga basah, dan Sakuta bisa melihat kulit putih mulus melalui baju yang basah.

Ia baru saja akan melepaskan satu kancing lagi agar Shoko bisa melepas gaun basahnya. Lalu, Sakuta merasakan kalau ada seseorang yang berada di belakangnya.

“Sakuta, kau sedang apa?”

Mai sedang berdiri di ambang pintu dari ruang ganti.

“Melepas pakaian Makinohara.”

“Kau masih juga berani mengakuinya?”

Mai tampaknya sangat marah.

“Huh? Tunggu, apa Aku terlihat seperti orang mesum yang akan melecehkan gadis muda ini?”

“Benar sekali.”

“Mai-san, jangan konyol; dia ini anak kecil.”

Shoko masih terlalu muda untuk hal-hal semacam itu.

“Tetap saja, dia masih seorang gadis.”

Mai sepertinya tidak akan mau menyerahkan ini ke Sakuta. Mereka hanya harus saling bertoleransi dan mencari jalan tengahnya.

“Makinohara.”

“Ya?”

Shoko tampak sama sekali tidak terganggu dengan semua ini.

“Apa kau masih mandi dengan ayahmu?”

“Cuma sampai kelas tiga.”

“Sekarang?”

“Kalau sekarang, sudah tidak.”

Jawaban yang jelas dan memang wajar. Shoko mungkin lebih muda dari dirinya, tetapi di sudah dua belas tahun. Tidak semuda itu juga. Mungkin Mai memang benar.

“Uh, Mai-san, kau yang sebaiknya membantunya,” ucap Sakuta sambil tersenyum dan berharap ia bisa terlepas dari ceramah nantinya.

“Kita akan membicarakan ini setelah Aku selesai.”

Sepertinya tidak berhasil.

 “Kuharap pembicaraan kita menyenangkan,” ucapnya.

“Um, Aku tidak keberatan, jadi jangan marah ke Sakuta,” ucap Shoko yang menatap ke arah Mai. Gadis ini sangat baik hati.

Sebuah dukungan yang sama baik dengan dirinya. Hanya saja hal itu menjadi bumerang balik bagi Sakuta.

“Kau mengasuhnya dengan sangat baik,” ucap Mai dengan tatapan yang terlihat mengancam.

“Aku tak melakukan apa-apa! Dia sudah seperti itu sejak awal!”

“Sudah, keluar saja.”

Mai mendorong Sakuta keluar dari ruangan dan membanting pintu dengan kencang ketika menutup ruang ganti di belakang Sakuta.

“Sial, Mai-san benar-benar marah…”

“Aku masih bisa mendengarmu bodoh.”

“……Maaf. Tolong maafkan Aku.”