Misteri yang Disebut Misteri
(Bagian 4)

(Penerjemah : Nana)


Saat di rumahnya, Kaede yang terlihat mengantuk sudah bersiap untuk menyambutnya. Sakuta cepat-cepat menjelaskan situasinya ke adiknya. Ia tidak menyebutkan soal Sindrom Pubertas dan harus meyakinkan Kaede untuk membiarkan Mai dan Futaba menginap.

Onii-chan membawa cewek lain lagi…”

“Tolong ubah kata-katamu.”

“T-tapi Kaede ini adikmu, jadi Kaede menerima segala kekurangan onii-chan!

Awalnya, Kaede pasti gugup tetapi dia berhenti merasa takut akan Futaba dengan cepat. Karena sifat Futaba yang pendiam, hal itu mungkin membantunya. Dan Mai sudah sering datang hingga Kaede sudah terbiasa dengannya, yang mana hal ini berperan besar di dalam situasi seperti ini.

Dengan Kaede yang sudah setuju, mereka hanya harus memutuskan urutan dari siapa dulu yang harus mandi. Kaede sudah lebih dulu melakukannya, jadi mereka bertiga tinggal memutuskannya. 

“Aku yang terakhir,” ucap Sakuta yang niatnya baik.

Setelah Sakuta mengucapkannya, Mai dan Futaba terlihat jijik mendengarnya.

“Aku mungkin bisa hamil.”

“Bagaimana bisa begitu, Mai-san?

“Aku akan membawa pulang barang bawaanku dan mandi di tempatku. Aku juga akan mengambil beberapa pakaian ganti dari sana.”

Setelah mengatakan itu, Mai pergi.

“Jadi, duluan saja Azusagawa.”

“Ah, Aku mengerti. Kau pikir Aku orang mesum yang terangsang karena bekas air mandi cewek, kan?”

Sakuta memutuskan kalau tidak ada gunanya bertengkar karena ini dan mandi terlebih dahulu.

Ketika Sakuta muncul dari kamar mandi sepuluh menit kemudian, ia melihat Futaba sedang duduk diam di ruang tamu seperti kucing yang baru dipungut. Selanjutnya, dia pergi mandi.

Beberapa menit kemudian, Sakuta sadar kalau ia lupa mempersiapkan handuk tambahan untuk Futaba. Ia mengambil handuk bersih dari cucian dan membawanya ke ruang ganti.

“Futaba,” ketika Sakuta memanggilnya terdengar suara percikan air.

“Ap-apa?”

Dia terdengar sangat kaget dan suaranya tergagap. Seolah-olah dia membenamkan dirinya ke bak mandi untuk bersembunyi. Apa dia pikir kalau Sakuta benar-benar akan membuka pintu kamar mandi? Dia tidak percaya sekali.

“Aku membawakan handuk bersih.”

“Oke.”

“Kau punya baju ganti?”

Futaba juga membawa tote bag besar di antara barang-barangnya yang mereka bawa dari net café.

“Ya.”

“Yah, jika kau tak punya, Aku bisa meminjamimu kostum bunny girl atau piama panda.”

“Aku sudah bilang kalau Aku punya.”

Sakuta menganggap kalau kostum bunny girl tidak mungkin mau dipakai Futaba, tetapi Kaede punya beberapa piama panda yang sama, dan ia sangat ingin melihatnya memakai hal itu jika memungkinkan.

“Mau sekalian ku cuci pakaian kotormu?”

Pakaian kotor Sakuta dan Kaede sudah masuk ke mesin cuci dan ia juga menaruh kaus oblong Futaba sekalian dan mulai menyalakan mesin cucinya.

Dengan air yang mengalir masuk, mesin cuci Sakuta mulai mengerjakan tugasnya.

“Aku bisa melakukannya send---appwa?”

“Sudah kumasukkan ke mesin cuci.”

“D-dalamanku juga?”

“Mm? Apa kau tipe cewek yang tak ingin pakaian kotornya di mesin cuci yang sama dengan dalaman ayahmu?”

Sayangnya, pakaian dalam Sakuta juga berada di mesin cuci yang sama.

“Aku bertanya tentang dalamanku!”

“Kau ingin Aku mencucinya dengan tangan, kan? Baiklah.”

Baik bra dan celana dalam yang dikenakan Futaba beberapa menit yang lalu berada di atas keranjang cucian. Sakuta mencoba meraih kain tipis itu yang tampak lembut dan berwarna kuning muda.

“Kau tak mengerti, ya! Jangan lihat! Jangan sentuh! Kau di luar saja!”

“Ini rumahku.”

“Keluar dari ruang ganti!”

“Kau yakin baik-baik saja?”

“Aku akan baik-baik saja ketika kau pergi!”

“Baiklah.”

Sakuta memutuskan untuk tidak meraih dalaman Futaba dan memilih untuk duduk di lantai, sambil bersandar ke mesin cuci.

“Kenapa kau duduk di luar?”

“Yang kumaksud baik-baik saja adalah Sindrom Pubertasnya.”

Ia cukup yakin kalau Futaba bisa mengertinya.

“……” Diri futaba yang terdiam menandakan kalau apa yang Sakuta pikirkan benar. “…Entahlah,” ucapnya sesaat kemudian.

Nada bicaranya terdengar gelisah seperti enggan untuk membicarakannya.

“Cuma itu saja?”

“Apa yang harus kukatakan?”

“Apa saja yang ada dipikiranmu.”

Memang fenomena Sindrom Pubertas tidak terjadi ke diri Sakuta, tetapi ia bahkan merasa kesal dengan itu. Pasti ada sesuatu yang dipikirkan oleh Futaba.

“…Aku agak takut,” ucapnya. Sakuta bisa mendengar diri Futaba yang bergerak di dalam air.

“Agak?”

“Ketika Aku sendirian di net café, Aku benar-benar ketakutan.”

Dia bisa mengingat bagaimana dirinya gemetar ketakutan saat itu.

Karena dirinya ada dua.

Rasa takut semacam ini belum pernah dirasakan oleh orang lain sekalipun. Bagaimana mungkin dia tidak takut?

“Tapi apa memang yang seperti ini mungkin terjadi?” tanya Sakuta. “Bagaimana mungkin ada dua orang yang sama?”

Sakuta mengingat kalau ada mitos populer yang mirip dengan situasi saat ini ketika ia kecil. Cerita tentang doppelgänger yang mirip dengan diri seseorang. Jika seseorang pernah bertemu dengan kembaran doppelgänger mereka,maka orang itu akan mati---kurang lebih mitos khas seperti itu.

Tetapi situasi saat ini membuat mitos seperti itu jadi tidak lucu.

“Jika teleportasi kuantum bisa dilakukan dalam tingkat makro, hal itu mungkin saja terjadi.”

“Tiap kali kau menyebutkan kata-kata seperti kuantum, Aku jadi tak bisa berkata apa-apa.”

“Bagaimana dengan teleportasi?”

“Yang seperti itu cuma ada di film fiksi ilmiah, kan?”

“Maksudku di dunia nyata.”

“Sungguh?”

Di pikiran Sakuta, teleportasi adalah hal yang 100%-nya terjadi di dunia fiksi.

“Kita pernah membicarakan keterkaitan kuantum sebelumnya, kan?”

“Uh, tentang bagaimana dua partikel berbeda di tempat yang berbeda bisa saling berkomunikasi?”

Sakuta sama-samar mengingat kalau kedua partikel berbeda dalam keadaan yang berbeda pula dapat saling berbagi informasi secara langsung tanpa ada perantara.

“Ya. Jika kita artikan keadaanku saat ini dengan cara yang sama dan menjelaskannya sesederhana mungkin…Contohnya saja, kita bisa menganggap kalau ada cetak biru diriku yang mampu membuat diriku yang lain.”

“Itu sudah terbilang sederhana?”

Mereka baru saja mulai pembahasannya, dan Sakuta sudah tidak mengerti.

“Informasi diriku yang ada di dalam cetak biru itu secara langsung dikirim ke tempat berbeda berdasarkan prinsip dari keterkaitan kuantum.”

“Jadi, meskipun kau saat ini sedang ada di kamar mandiku, informasi tentang dirimu itu juga sedang dikirim langsung ke sekolah?”

“Sederhananya begitu. Melalui observasi yang dilakukan, informasi yang berisi versi diriku di sekolah diubah menjadi suatu wujud yang mungkin mirip dengan Rio Futaba yang kau kenal.”

“Teori Observasi lagi, ya?”

“Kau juga mengingat itu? Aku terkesan.”

“Kita sudah membicarakannya berkali-kali.”

Dalam istilah kuantum, tindakan observasi itu sendiri yang menentukan keberadaan dari suatu partikel. Sebelum bisa ditentukan dari observasi, partikel-partikel tersebut hanya sebuah kemungkinan belaka…jika ia ingat dengan benar.

Tetapi pemahaman Sakuta akan hal itu hanya di tingkat mendasar. Ia sendiri tidak yakin apa yang ia ketahui itu memang benar yang dimaksud. Dan konsep kuantum itu sekarang juga melibatkan tentang teleportasi, entah bagaimana. Sejauh yang bisa ia pahami, rasanya ia seperti diberi tahu kalau sihir itu nyata.

“Tapi dari caramu menjelaskannya, bukannya tak mungkin jika dirimu bisa ada dua secara bersamaan?”

Lagi pula, fenomena ini disebut teleportasi kuantum dan bukan duplikasi kuantum.

“Ah benar juga, tapi…penjelasanku belum sampai situ, jadi Aku kaget kalau kau mengerti hal ini.”

“Begitu diobservasi, itu sudah bukan kemungkinan belaka tapi bukan berarti kedua dirimu benar-benar terwujud. Sementara kau sedang mandi di sini, kau juga tak sedang ada di sekolah. Kurang lebih seperti itu, kan?”

“Menakjubkan. Kau benar-benar mengerti ini.”

“Aku punya guru yang hebat.”

“Yah, kau memang benar. Selain itu, Aku juga belum benar-benar melihat diriku yang lain ini.”

“Huh?”

“Jadi, jika kau bertanya padaku apakah kedua diriku ada secara bersamaan, Aku tak bisa bilang ‘ya’ atau ‘tidak’ dengan pasti. Tapi Aku yakin kalau ada versi diriku yang terwujud di suatu tempat dan sedang melakukan hal yang berbeda. Berdasarkan keadaan di kamar tidurku dan riwayat penggunaan ponselku terdapat bukti dari segala macam perubahan dan tindakan yang belum pernah kualami.”

“Jadi, selama Aku melihat dirimu saat ini, dirimu yang lain tak akan ada?”

“Jika orang yang memberiku wujud saat ini itu kau, maka bisa dibilang begitu. Mungkin cara paling mudah untuk menjelaskannya itu…selama salah satu dari dua diriku sedang dilihat oleh orang lain, maka orang itu tak bisa melihat diriku yang lain.”

“Uh…Aku tak mengerti.”

“Maksudku tentang perspektif berbeda ketika melihat diriku. Misalnya saja saat ini…Sakurajima-senpai pulang ke rumahnya, tapi apa yang terjadi jika dia bertemu dengan diriku yang satu lagi di luar?”

“Okee…”

“Jika Sakurajima-senpai membawa diriku yang satu lagi ke sini, mungkin saja diriku yang dibawa ke sini oleh Sakurajima-senpai tak akan mungkin ada di dunia yang kau dan Aku lihat. Sementara itu, di dunia di mana Sakurajima-senpai melihat diriku yang lain, Aku mungkin tak akan ada.”

“…Terdengar tak masuk akal!”

Remeh sekali rasanya.

“Ya. Dan hal itu akan menghasilkan paradoks karena dunia yang kau lihat dan Sakurajima-senpai lihat tak mungkin bisa ada dalam satu waktu yang sama.”

“Tapi ketika kami bertemu denganmu di net café, Aku sedang menelepon dirimu yang lain, meskipun kau sedang berdiri di depanku.”

“Apa itu benar-benar diriku?”

Pertanyaan yang spesifik.

“Yep.”

“Kau yakin?”

“Yah…bukan berarti Aku benar-benar melihat dirimu yang lain.”

“Kalau begitu kita bisa bilang, ‘Sosok itu adalah seseorang yang sangat mirip denganku, tapi kita tak begitu yakin kalau itu benar-benar Aku.’ Kurasa ada elemen ketidakpastian di mana ‘Aku’ yang kau telepon itu terlibat.”

“Apa seperti itu caramu agar kedua dirimu bisa ada secara bersamaan?”

“Ini cuma tebakanku saja, hanya satu dari banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Fakta kalau Aku belum pernah bertemu diriku yang lain mungkin hanya sebuah kebetulan semata. Masih ada kemungkinan lainnya di mana orang lain mungkin bisa melihat kedua diriku pada saat yang bersamaan.”

“Tapi pada akhirnya, kau berarti tak bisa seenaknya berkeliaran ke mana pun, ya?”

Situasinya akan berubah buruk jika ada seseorang dari Minegahara yang melihat kedua diri Futaba. Penjelasannya akan sangat panjang, dan beralasan kalau mereka berdua itu kembar mungkin tidak akan berhasil.

“Uh, tapi tunggu dulu, jika teleportasi kuantum ini dan informasi tentang dirimu berasal dari hal yang sama, maka jika tak masalah kalau kalian berdua dapat terwujud karena dilihat oleh seseorang, bukannya kesadaran dan ingatan dirimu juga bisa dibilang sama?”

Karena hanya lokasi suatu partikel yang ditentukan oleh observasi. Maka seharusnya hal itu tidak akan menyebabkan perubahan apa pun yang diketahui oleh seorang Rio Futaba. Jika keduanya mempunya pikiran dan ingatan yang berbeda, bukankah hal itu berarti kalau ada dua orang yang berbeda, dan masing-masing dari mereka memanggil dirinya sendiri sebagai Rio Futaba?

“Ini cuma teoriku…,” ucap Futaba dan kemudian terdiam.

Dalam suasana yang hening itu, suara dari mesin cuci terdengar sangat keras.

“Futaba?” tanya Sakuta.

“Jika Aku… Jika yang melihat langsung ‘Rio Futaba’ yang lain adalah diriku sendiri… Jika diriku yang lain itu memang merupakan kesadaran diriku dan sedang melihat diriku juga mungkin saja ada alasan kenapa kami berdua bisa ada, lalu setelahnya mungkin akan menjelaskan situasinya saat ini.”

“Seperti…dua sifat yang berbeda?”

“Kurasa tak sampai sejauh itu.”

“Yah, kalau kita anggap teorimu itu benar…kenapa hal ini bisa terjadi?”

“Aku benar-benar tak tahu.”

“Mungkin…kau mengalami syok atau stresmu menumpuk?”

“Kau sepertinya sedang memikirkan suatu hal lain. Dan memang, Aku juga pernah mendengar kalau syok atau hal semacam itu bisa mengganggu pikiran dan ingatanmu.”

Sakuta pernah menyaksikan hal yang serupa dua tahun lalu. Stres berat yang dihasilkan dari kasus perundungan Kaede membuat seseorang yang dekat dengan Sakuta menerima konsekuensinya.

“Ya, Aku pernah mengalaminya…”

“…Tentang ibumu?”

Futaba jelas-jelas merasa ragu sebelum menanyakan hal tersebut. Sakuta pernah menceritakan hal ini ke Futaba kalau ibunya tidak sanggup menerima kenyataan dari kasus Kaede dan harus di rawat di rumah sakit semenjak itu.

“Yep.”

“Maaf.

“Tak apa-apa. Aku yang pertama kali membicarakannya.”

“Mm…Jadi, Azusagawa…”

“Mm?”

“Aku mau keluar sekarang. Kepalaku sudah sedikit pusing.”

“Oke,” ucap Sakuta namun ia tetap tidak bergerak dari tempatnya.

“Maksudku, Aku ingin kau keluar,” geramnya.

Karena suaranya bergema di ruangan yang kecil, suara geramannya semakin terdengar jelas.

Setelahnya, Sakuta berdiri. “Aku akan pergi, tapi kau bisa berendam selama yang kau mau.”

“…Maaf.”

“Tak perlu dipikirkan.”

Fakta kalau dia tidak bilang, “Terima kasih” tipikal Futaba sekali, pikir Sakuta. Ia meninggalkan ruang ganti dan menutup pintu di belakangnya.

Setelah ia melakukannya, interkom rumahnya berdering. Menandakan kalau Mai sudah kembali.

“Ya, sebentar!”


Begitu Futaba keluar dari kamar mandi, saatnya mendiskusikan tentang siapa yang harus tidur di mana.

Saat ini, Sakuta dan Kaede tinggal di apartemen dengan dua kamar tidur. Jadi hanya ada dua tempat tidur---yang pertama di kamar Sakuta dan yang satunya lagi di kamar Kaede. Mereka juga punya satu kasur tambahan jika ada tamu yang menginap, jadi ada cukup untuk tiga orang.

“Kalau begitu, Mai dan Futaba bisa tidur di kamar onii-chan, dan onii-chan sendiri bisa tidur bersama Kaede.”

“Tak akan.”

Sakuta langsung menolak saran Kaede. Pada akhirnya, Kaede tidur di kamarnya sendiri, sementara Mai dan Futaba tidur di kamar Sakuta dengan kasur tambahan, dan Sakuta bisa tidur di ruang tamu. Logisnya seperti ini---dan satu-satunya pilihan praktis yang mereka bisa pikirkan.

“Selamat malam.”

Pintu kedua kamar akhirnya tertutup; Sakuta juga mematikan lampu ruang tamu dan berbaring menyamping di ruang tersisa antara TV dan sofa.

Lampu LED yang ada di langit-langit ruangan juga masih menyala redup. Ia bisa mendengar suara mesin kulkas yang berbunyi di tengah keheningan itu.

Sakuta menutup matanya tetapi ia tidak bisa tertidur.

Setelah beberapa saat, ia mendengar suara pintu terbuka. Dari arah suara yang datang, sepertinya suara itu berasal dari kamar tidurnya.

Ia mengira kalau langkah kaki yang keluar dari kamarnya berjalan menuju toilet, tetapi suara langkah kakinya bergerak menuju ruang tamu dan berhenti tepat di samping Sakuta.

Lalu, ia mendengar suara seseorang berbaring di sampingnya.

Futaba pasti tidak akan melakukan hal ini. Jadi Sakuta pikir pasti Mai yang melakukannya dan kemudian ia membuka matanya.

Yang berbaring menyamping di depannya adalah Mai dengan wajah cantiknya. Bahkan di tengah cahaya yang redup, Sakuta bisa melihat jelas bentuk wajah Mai, dan Mai sendiri tampaknya senang dengan keadaan saat ini.

“Mai-san.”

“Mm?” Nada bicaranya bahkan terdengar seperti orang yang gembira.

“Sedang apa kau di sini?”

“Melihat wajahmu.”

“Aku tahu itu, tapi…”

“Melihat wajah pacarku, kalau begitu.”

“……”

Sangat tidak adil sekali. Jantung Sakuta berdegup kencang sekali sekarang ini. Bagaimana mungkin ia bisa tidur sekarang ini?

“Kau berdebar-debar, kan?” tanya Mai dengan nada menggoda.

“Kau lagi senang, ya?”

“Tentu saja. Tidak hanya Aku bisa menghabiskan waktu denganmu lagi, Aku juga menginap di tempatmu.”

Yang barusan itu cuma aktingnya. Mai benar-benar sedang bermain-main dengan Sakuta. Lalu, wajahnya tampak terlihat masam dan sebelum ia bisa menyadarinya, Mai sudah mencubit hidung Sakuta.

“Dan Futaba?” tanya Sakuta dengan suara yang teredam.

“Tidur nyenyak. Kemungkinan sudah beberapa hari semenjak dia bisa tidur dengan pulas.”

“Benar juga.”

Tidur di net café akan membuat gadis mana pun waspada dan Futaba cenderung lebih tertekan dan memikirkannya dibandingkan dengan banyak gadis remaja lainnya.

“Meski Aku sedang ada di depanmu, tapi kau malah memikirkan tentang Futaba.”

“Karena kau kelihatannya sedang marah, jadi kupikir lebih aman jika kita membicarakan hal yang serius.”

Dan di tengah-tengah pembicaraannya itu, Sakuta juga memancing masalah yang lainnya.

“Padahal Aku punya waktu luang seharian besok,” ucap Mai dan berpaling dari Sakuta. Dia juga melepaskan cubitan hidung Sakuta dan menambahkan, “Agar kita berdua bisa pergi kencan.”

“Karena itu kau pulang lebih awal?”

“……”

Mai tidak membenarkan atau menyangkal pertanyaan Sakuta. Dia hanya menjawabnya dengan tatapan yang tidak puas. Dari itu saja sudah meyakinkan Sakuta kalau pertanyaannya itu benar.

“Tunggu, kenapa kau mengatakannya seperti kita tak bisa pergi kencan besok?”

“Karena kau pasti akan mencari tahu tentang masalah Futaba, kan?” ucapnya.

“Yah, maksudku…Dirinya yang lain kemungkinan akan ada di Klub Sains besok jadi yah, Aku memang berniat untuk menemuinya.”

Tidak ada gunanya lagi untuk menyembunyikan hal itu. Tidak ada yang akan bisa dimulai tanpa memeriksa apakah ada dua Rio Futaba atau tidak.

“Kan? Sudah kuduga.”

“Dan tentang itu sebenarnya…Aku ingin minta bantuanmu.”

“Tidak,” ucapnya sebelum Sakuta selesai bertanya. “Kau ingin Aku mengawasi Futaba yang di sini sementara kau menemui yang satu lagi, kan?”

“Kau sangat mengenalku.”

Cara tercepat untuk memeriksanya adalah dengan menyuruh Futaba yang menginap di tempatnya untuk datang ke sekolah dan berdiri di samping dirinya yang satu lagi, tetapi cara tersebut sangat berisiko. Jika orang lain melihat kalau ada dua Rio Futaba, hal ini bisa menyebabkan kepanikan besar.

Teori yang disampaikan oleh Futaba juga menyarankan kalau tidak mungkin bisa melihat keduanya di waktu yang bersamaan.

Ditambah, Sakuta juga sedikit khawatir tentang mitos doppelgänger. Secara keseluruhannya, akan lebih baik jika menjaga kedua Futaba untuk tetap terpisah dari satu sama lain sampai mereka bisa tahu lebih jauh tentang masalahnya.

“Jangan senang dulu,” ucap Mai sambil mencubit pipi Sakuta.

“Ow, ow.”

“Jangan senang dulu,” ucapnya lagi.

“Tapi, kau bisa membantuku?”

“……” Mai menatap Sakuta dengan sinis tanpa berkata apa pun. “Kalau begitu, permintaanmu batal.”

“Maksudmu…permintaan karena kau mengabaikanku selama dua minggu?”

“Yep.”

“Aw.”

“Membantumu besok sama saja dengan mengabulkan permintaanmu.”

“Jika kau membantuku dengan ini, Aku akan melakukan apa pun yang kau mau. Jadi, Aku ingin permintaanku ini juga bisa dikabulkan seperti yang kau janjikan.”

“Ini Aku sudah berbaring di lantai bersamamu.”

“Aku mengharapkan sesuatu yang lebih ‘intim’ dan dimulai dengan kata French.

“……” wajah Mai tampak kesal.

“Apa kata-kataku terlalu ambigu?”

Tentu saja tidak. Tingkah Mai yang seperti disebabkan karena dia tahu pasti yang dimaksud olehnya. Dengan berbaring sedekat ini, kata yang dimulai dengan French hanya ada satu dan itu berarti French Kiss.[1]

“Kau tidak perlu sebuah permintaan untuk melakukan yang seperti itu. Selama kau memilih waktu, tempat, dan suasana yang tepat, kau bisa langsung melakukannya.”

Mai seperti menatap dengan nakal ketika mengatakan itu, tetapi di akhir kata, dia jadi tersipu malu dan mengalihkan pandangannya.

“Mai-san?

“Ap-apa?”

Dia mempersiapkan dirinya dan menatap langsung ke mata Sakuta lagi.

Apa itu sinyal untuk melakukannya? Pikir Sakuta seperti itu. Bahkan, jika memang Mai tidak setuju, dia hanya akan memarahi Sakuta. Dan di saat-saat seperti ini, ia menganggap kalau ini hadiah untuknya, jadi kenapa harus ragu?

“……”

“……”

Mereka berdua saling menatap satu sama lain.

Sedetik. Dua detik. Tiga detik berlalu dan bulu mata Mai menutup pandangannya.

Sakuta mendekat untuk menciumnya. Tepat sebelum ia melakukannya, Mai mengayunkan kepalanya ke arah bawah karena merasa malu. Hal ini mengartikan kalau dahi mereka saling bertemu sebelum bibir mereka bisa menyentuh satu sama lain. Suara keras *tung terdengar.

“Aduh, sakit,” ucapnya sambil melotot ke arah Sakuta.

“Ini karena kau yang malu dan coba menundukkan kepalamu.”

“K-kau juga yang terlalu kasar!”

Kemudian, Mai memilih untuk bangun dan duduk.

“Mai-san?

“Sudah dulu untuk hari ini.”

Sakuta tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah Mai karena gelap, tetapi ia yakin kalau sekarang ini dia sedang tersipu malu.

“Aww.”

Menunda hal ini ketika mereka sudah sejauh ini? Benar-benar menyakitkan.

“Salahmu sendiri.”

“Ugh, sangat jahat! Aku jadi hilang percaya diri! Dan Aku takut dengan cewek sekarang!”

“Yang seperti itu tidak akan pernah terjadi.”

Kata-katanya tampak sangat yakin.

“Kenapa kau seyakin itu?”

“Karena Aku akan memperbolehkanmu berlatih sesukamu sampai kau bisa melakukannya dengan benar.”

“…Mai-san.”

“Apa? Kau tidak mau?”

“Aku sangat mencintaimu sepenuh hatiku.”

“Aku tahu.”

Dia terdengar kesal, tetapi sebelum Mai bisa berbalik, Sakuta bisa melihat senyuman di bibir Mai.

“Malam,” ucapnya dan berdiri.

“Selamat malam.”

Mai melambai padanya begitu dia berjalan kembali ke kamar Sakuta. Ketika ia mendengar suara pintu tertutup, Sakuta memejamkan matanya.

Ia masih tidak bisa tidur. Semua hal yang Mai katakan dan lakukan membuatnya sangat bersemangat/terangsang.

Tetapi bukan hanya itu saja yang ada di pikirannya.

Ia terus berpikir tentang Futaba. Diri Futaba yang memberinya nasihat sore ini. Diri Futaba yang sedang tertidur nyenyak di kamar tidurnya. Jadi, tentang kedua Futaba yang ditemuinya.

Futaba yang saat ini tidur di kamarnya memanggil dirinya yang lain dengan sebutan “palsu.” Jika Sakuta bisa menerima perkataannya itu, mungkin tidak akan merepotkan seperti ini.

Karena Sakuta punya pandangannya sendiri dalam masalah ini, yaitu;

Keduanya merupakan Rio Futaba.

Jika hanya ada satu yang asli, mereka hanya harus menghilangkan yang palsu. Tetapi rasanya tidak sesederhana itu dan hal ini yang membuatnya terjaga.

Tetapi tetap saja…meski keduanya itu memang asli, kedua diri Rio Futaba itu juga merupakan masalah. Baik keluarganya, pihak sekolah, dunia yang mereka tinggali tidak siap dengan keberadaan dari dua Rio Futaba. Kenyataannya sudah jelas sekali terlihat.

Jadi, bagaimana Sakuta menenangkan dirinya?

“Argh, sial! Satu-satunya yang bisa membantuku hanyalah dengan memikirkan kostum bunny girl yang Mai-san pakai!”





[1] Nananotes: French Kiss atau Ciuman ala Perancis merupakan ciuman yang lebih intim karena tidak hanya menempelkan kedua bibir pasangan satu sama lain tapi lidah keduanya juga saling ‘bermain’ saat ciuman.