Misteri yang Disebut Misteri
(Bagian 3)

(Penerjemah : Nana)


Pada saat Sakuta meninggalkan toko buku, waktu untuk shift kerja paruh waktunya sudah hampir dimulai, jadi ia berjalan menuju restoran.

Bosnya sedang berdiri di meja kasir, jadi Sakuta menyapanya dengan, “Selamat pagi,” dan melihat ke sekeliling ruangan. Di saat-saat sepert ini, pelanggan yang datang tidak terlalu banyak. Hanya kumpulan ibu-ibu rumah tangga yang saling meminum teh, beberapa anak kuliahan yang belajar, dan beberapa pekerja kantoran yang bekerja di depan laptop mereka. Suasana seperti ini masih bisa dibilang santai.

Sakuta langsung menuju ke ruang istirahat untuk staf di belakang. Ia perlu berganti baju dan mengisi absen dengan kartu hadirnya.


Namun, seseorang sudah berada di ruang istirahat lebih dulu dibanding Sakuta. Yuuma Kunimi yang merupakan salah satu dari dua temannya sedang duduk di kursi lipat dan sudah mengganti bajunya dengan seragam pelayan.

“Yo!” ucapnya sambil melambaikan tangan.

“Apa kulitmu jadi makin kecokelatan?”

Mereka terakhir bertemu saat kerja paruh waktu tiga hari sebelumnya. Saat itu, Kunimi sudah sangat kecokelatan, tetapi sekarang ini bahkan lebih cokelat dari tiga hari lalu.

“Sungguh? Kurasa karena Aku bermain di pantai kemarin.”

“Dengan pacarmu?”

“Siapa lagi?”

“Ugh, dasar jahat.”

“Kenapa? Kau juga punya pacar yang cantik sekarang.”

“Tapi Mai-san selalu sibuk, Aku bahkan belum melihatnya selama seminggu ini.”

“Aku kemarin melihatnya di TV.”

“Tak perlu khawatir. Jika cuma di TV, Aku juga melihatnya setiap hari.”

Sakuta tidak tahu berapa banyak kontrak yang disetujui Mai, tetapi dia muncul di banyak iklan. Mulai dari iklan minuman ringan sampai makanan ringan. Terkadang untuk jajanan yang sudah sering dibeli oleh Sakuta, tetapi parasnya yang menawan lebih sering mengiklankan produk seperti alat rias dan sampo.

“Yah, Aku bisa mengerti kenapa kau kesal,” ucap Kunimi sambil tersenyum.

Sakuta selesai berganti ke seragam pelayannya dan berjalan menjauh dari loker sambil bersiap dengan sarkasme yang biasanya.

Sebelum Sakuta bisa mengucapkannya, ia mendengar suara seseorang yang ia kenal dari luar ruang istirahat. “Selamat pagi,” Namun, suara langkah kaki yang bersamaan terdengar tidak begitu terlalu ia kenal. Karena suara langkah kakinya terdengar khas dari alas kaki yang berbeda.

Sesaat kemudian, pintu ruang istirahat terbuka dan Tomoe Koga melangkah masuk. Kehadirannya bagaikan setangkai bunga yang mewarnai ruangan yang didominasi oleh kehadiran laki-laki ini. Terutama karena dia sedang mengenakan yukata yang berwarna cerah. Termasuk sandal zori [1] yang dikenakannya dengan tali yang terbilang imut. Dia bahkan membawa kinchaku [2] tradisional yang terbuat dari kain yang bermotif ikan mas untuk membawa barang-barangnya.

“Urp, ada senpai!

Koga tampaknya tidak senang ketika melihat Sakuta.

“Kau datang untuk memamerkan yukatamu yang indah itu?”

Namanya tidak sedang berada di daftar shift kerja, jadi seharusnya dia tidak bekerja di hari ini.

“Aku belum menyerahkan shift kerja ku minggu depan, jadi Aku datang untuk mengisinya.”

Koga mengambil jadwal kerja kosong dari dokumen yang dilapisi plastik pelindung yang ada di atas meja. Dia berhati-hati agar tidak membuat kusut yukatanya begitu duduk di bangku, mengambil pulpen, dan menuliskan namanya dan jadwal kerja yang bisa dilakukannya selama dua minggu ke depan. Shift kerja ditentukan berdasarkan jadwal karyawan, dan mereka harus menyerahkan jadwal kerja ini setiap dua minggu sekali. Di beberapa kerja paruh waktu melakukan ini semua dari ponsel, jadi Sakuta merasa lega kalau tempat kerjanya masih menggunakan cara lama.

Ketika Sakuta tidak mengatakan apa-apa, Kunimi angkat bicara. “Koga, yukatamu lucu,” ucapnya.

Ia membuatnya terdengar begitu normal.

“Huh? Oh, terima kasih,” ucap Koga dengan sedikit gugup. Wajahnya berubah menjadis edikit memerah dan melirik ke arah Sakuta.

“Kau terlihat bagus dengan yukata itu,” ucap Sakuta.

“Terdengar jijik kalau dari senpai,” ucapnya dengan cemberut.

Sia-sia saja pujiannya, pikir Sakuta. “Di mana salahnya…?” keluhnya.

Dia terlihat begitu senang ketika Kunimi memujinya. Sangat tidak masuk akal sekali.

“Yah, karena senpai menatap dadaku.”

Koga menghalangi pandangan Sakuta yang tertuju ke dadanya dengan kinchaku yang dibawanya.

“Whoa, tunggu dulu. Aku juga sedang melihat ke pinggul dan bokongmu.”

“Bahkan lebih buruk dari yang kukira! Tapi bukan berarti dadaku juga bisa ditahan oleh obi [3]. Karena dadaku sangat rata…

Sekarang Koga benar-benar murung.

Kunimi mulai tertawa.

“Sejak kapan kalian berdua jadi sedekat ini?”

“K-kami tak dekat!” Koga membantahnya.

“Apa ada cerita antara kalian berdua?” tanya Kunimi sambil melirik ke Sakuta.

“Aku membuat Koga menjadi wanita dewasa.”

“T-tunggu, senpai! Kenapa kata-katamu seperti itu?!

“Aku mengerti. Berarti Koga sudah dewasa sekarang ini,” ucap Kunimi dengan senyum lebar.

“”Bahkan senpai juga…” Koga merasa dikhianati. “Yah, Aku harus bertemu dengan teman-temanku, jadi Aku harus pergi. Sampai nanti.”

Dengan wajah yang terlihat marah, Koga dengan cepat membungkuk dan berbalik untuk bersiap pergi. Tetapi kemudian, Sakuta memanggilnya.

“Koga.”

“Mm? Apa?” Koga berhenti untuk mendengarkan.

“Aku suka melihat gadis yang memakai yukata berbalik seperti itu.”

“Karena itu senpai menghentikanku?! Senpai sangat jijik!”

Tetapi wajah cemberut Koga terbilang sangat lucu.

“Cuma bercanda.”

“Kalau begitu apa?”

“Aku tak melihat lipatan celana dalammu, apa kau tak memakai apa-apa?”

“Aku memakai tipe yang tak terlihat!”

“Yang T-back? Koga memakai celana dalam T-back!”

“A-aku tak akan mau memakai yang seperti itu! Berhenti membayangkannya!”

Kedua tangannya berusaha menyembunyikan bokongnya.

“Sudah terlambat. Sebaiknya terima saja.”

“Dalamanku lebih tertutup. Seperti semacam boxer.”

“Terima kasih karena menghancurkan khayalanku. Sebaiknya tak kutanya.”

“Argh, jangan membuatku mempermalukan diriku sendiri lalu bersikap seolah-olah kecewa! Senpai jahat beud! Aku pergi dulu!” [4]

“Oh, tunggu.”

“Masih ada lagi?! Senpai jadi menyebalkan sekarang.”

Koga menatap ke Sakuta dan memberanikan dirinya.

“Hati-hati dengan playboy.”

“Huh? Oh, uh…makasih.”

“Karena kau sangat imut.”

\

“Jangan panggil Aku imut!”

Dia menggembungkan pipinya karena cemberut.

“Baiklah. Karena kau cantik, jadi hati-hati.”

“Aku pergi dengan teman-temanku! Aku akan baik-baik saja. Dan Aku sudah telat, jadi sudah dulu!”

Kali ini dia benar-benar pergi.

Sekarang hanya tinggal Sakuta dan Kunimi yang berada di ruangan ini. Dua orang laki-laki.

“Uh, Sakuta…”

“Ya?”

“Apa itu jahat beud!

“Tak tahu.”

Kunimi berdiri dan mengisi kartu hadirnya dan Sakuta juga melakukan hal yang sama.

“Koga terkadang menggunakan kata-kata yang aneh ya.”

“Semua gadis remaja memang seperti itu sekarang ini,” ucap Sakuta. Koga tampaknya tidak menginginkan orang lain tahu kalau dia berasal dari Fukuoka, jadi Sakuta tidak memberitahukan hal itu.


Ada lebih sedikit pelanggan dari hari biasanya, dan suasana restoran terlihat sangat lengang. Mungkin semua pelanggan tetap sedang menyaksikan kembang api di Chigasaki.

Tidak lama setelah pukul delapan, sebuah keluarga yang mengenakan yukata memasuki restoran. Kemungkinan karena sudah pulang dari pertunjukan kembang api. Bocah laki-laki yang berusia sekitar empat atau lima tahun yang mengenakan yukata dengan motif superhero terlihat kelelahan karena ia hampir tidak dapat membuka matanya. Keluarga ini bukan satu-satunya pelanggan yang memakai yukata malam itu.

Sakuta mencatat pesanan mereka dan kembali ke belakang untuk mengisi sedotan di konter minuman. Ia harus mengeluarkan sekotak sedotan dari rak alat dan ketika ia sedang berjalan kembali ke belakang, Kunimi memanggilnya.

“Oh, Sakuta! Ketemu juga,” ucap Kunimi dengan senyum lebar. “Pelanggan di meja nomor lima memintamu melayaninya.”

“Huh?”

“Kau nanti tahu kalau sudah di sana.”

Dari wajah Kunimi yang tersenyum seperti itu, sepertinya bukan sesuatu yang buruk. Jika seorang pelanggan meminta dirinya untuk melayani, kemungkinan karena seseorang yang ia kenal. Tetapi ia tidak yakin siapa yang mau menemuinya di sini. Mungkin saja Fumika Nanjou, seorang jurnalis yang terus mencoba untuk mendapatkan berita darinya. Tetapi dia sudah beberapa bulan tidak muncul…

Kemungkinan lainnya adalah Mai, tetapi dia sedang syuting di Kyoto dan tidak akan kembali sampai besok.

“Lalu, siapa?”

Ia berjalan ke meja nomor lima untuk melihatnya langsung.

Meja nomor lima merupakan bilik di sudut restoran. Ia sudah bisa melihat bayangan pelanggan yang duduk begitu ia mendekat. Pelanggan tersebut membawa tas jinjing kecil yang ditempatkan di sampingnya, modelnya seperti tas jinjing kecil yang ada di film lama.

Ketika Sakuta berhenti di meja pelanggan tersebut, pelanggan tersebut sedang melihat daftar menu. Pandangannya tegas, tetapi ketika melihat ke arah Sakuta pelanggan itu tersenyum.

“Kenapa kau ada di sini, Mai-san?

Ya, pelanggan yang sedang duduk di meja nomor lima adalah seorang senpai yang saat ini Sakuta kencani---Mai Sakurajima.

Pakaian yang dia kenakan membuatnya terlihat lebih dewasa, dan dia juga memakai riasan tipis. Dia mungkin memutuskan untuk terlihat sederhana, tetapi tetap saja dia memancarkan aura kalau dia ini seorang selebritas.

Dan jelas saja, para pelanggan yang duduk di meja dekat Mai semuanya menatap ke arahnya. Sakuta bisa mendengarkan bisikan kagum seperti, “Apa itu benar-benar dia?”, “Wajahnya sangat menawan!”, dan “Dia juga makan di restoran keluarga?”

“Kukira kau baru kembali besok?”

“Banyak dari aktornya sudah kawakan, dan adeganku juga tidak perlu banyak diulang, jadi kami selesai lebih awal.”

“Begitu yah. Dan kau sangat merindukanku sampai harus cepat-cepat pulang?”

“Benar sekali,” ucap Mai dengan tersenyum. “Aku memang sudah memesan kamar hotel, jadi Aku baru pulang keesokannya, tapi Aku meminta manajerku untuk membelikan tiket kereta Shinkansen. Senang melihatku?”

“Tentu saja,” ucap Sakuta dengan nada datar.

“…Hmph,” Mai cemberut dan terlihat jelas di wajahnya kalau dia tidak senang dengan jawaban Sakuta.

Berpura-pura tidak menyadari Mai yang kesal, ia mengeluarkan tablet digitalnya. “Jika anda sudah siap untuk memesan, tolong sebutkan.”

“……”

“Saya bisa mencatat pesanan anda sekarang.”

Mai benar-benar marah sekarang ini, tetapi Sakuta tetap menjaga senyumannya sebagai pelayan.

“Kenapa kau marah begitu?” tanya Mai.

“Aku tak marah.”

“Kau marah.”

“Dan salah siapa Aku marah?”

“Yah…um…”

“Um?”

“…Maaf,” ucap Mai yang mengalah. “Aku tahu---Aku pacar yang jahat. Kita baru saja mulai berpacaran, tapi Aku sudah mencampakkanmu karena pekerjaan.”

“Aku tak marah sampai sejauh itu, tapi…”

“Tapi…?”

Wajah Mai terlihat cemas. Dan ekspresinya saat ini merupakan hal yang tidak dilihat Sakuta di TV. Ekspresi ini hanya untuk dirinya seorang.

“Kuharap kau bisa menggantinya.”

“Baiklah. Kuberi satu permintaan.”

“Apa permintaannya bisa melibatkan hal yang seksi?”

“Mungkin.”

“Kalau begitu Aku memaafkanmu.”

“Jangan yang aneh-aneh tapinya.”

Sambil menginjak kaki Sakuta, Mai memesan makanan dengan santainya. Sakuta mencatat yang dipesan melalui tablet digitalnya dan mengecilkan nada bicaranya sehingga hanya bisa didengar oleh Mai. “Aku senang kau kembali lebih awal.”

“Seharusnya kau mengatakan itu sejak awal!”

Mai terdengar marah, tetapi dia juga tersenyum dengan gembira.

“Sampai jam berapa kau bekerja?”

“Sekitar 30 menit lagi. Aku akan mengantarmu pulang…”

Sekarang sudah jam setengah sembilan lewat, dan Sakuta selesai tepat jam sembilan.

“Baiklah. Aku akan makan malam dulu dan menunggu sampai kau selesai.”

“Aku akan muncul kalau sudah selesai.”

“Oke, oke. Sekarang kembali kerja lagi.”

“Kau sendiri yang memanggilku ke sini!”

Lalu, Sakuta berjalan ke belakang untuk kembali dan menyelesaikan mengisi ulang sedotan.


Sakuta membuat dirinya tetap sibuk di setengah jam yang tersisa dan berhasil pulang kerja tepat waktu.

“Sudah dulu!” ucapnya dan mengganti pakaiannya dengan cepat,

Ketika ia keluar dari belakang restoran, Mai sedang berada di kasir untuk membayar makanannya. Jika Sakuta terlambat sedetik saja, dia pasti akan pulang ke rumah sendirian.

Mereka akhirnya pulang berduaan.

“Sini kupegang yang itu,” ucap Sakuta meraih koper yang dibawa Mai.

“Makasih,” ucap Mai sambil menyerahkan koper itu ke Sakuta, dan mereka saling berjalan berdampingan.

“Apa dia masih datang setiap hari?” tanya Mai. Nada bicaranya seperti tidak memperdulikan hal yang ditanya. Sama seperti ketika sedang menanyakan cuaca.

“Mm?”

“Shoko Makinohara.”

“Masih.”

“Kau tahu yang kumaksud. Jangan membuatku mengatakannya langsung seperti itu,” Mai mencubit pipi Sakuta.

“Apa itu mengganggumu?”

“Dia siswi kelas dua SMA ketika bertemu denganmu dua tahun yang lalu, tapi sekarang ini dia siswi kelas satu SMP? Bagaimana mungkin itu tidak menggangguku?”

Mai menatap Sakuta, menjelaskan kalau dia tidak cemburu dengan gadis yang berusia dua belas tahun.

“Aku lebih suka kalau kau cemburu.”

“Cemburu karena apa?”

“Kau sudah tahu, kan?”

“Kau sudah punya gadis cantik sepertiku. Apa kau akan meninggalkanku dan lebih memilih gadis kecil itu?”

“Dipaksa tanpa bisa kencan atau saling kontak fisik…bisa membuat siapa pun menjadi seorang pedofil.”

“Aku membolehkanmu membawa koperku, kan.” Mai menariknya dari belakang Sakuta. “Ada dalamanku di situ.”

“Aku boleh mengintip isinya?”

“Perlu kuperjelas, Aku sudah mencucinya lebih dulu.”

“Apa Aku pernah menunjukkan ketertarikan akan celana dalam yang sudah terpakai?”

“Kau mencoba menyangkalnya karena kau punya ketertarikan seperti itu?” Mai tampak benar-benar terkejut.

“Apa yang ingin kulihat bukanlah celana dalamnya sendiri tapi dirimu yang terlihat malu karena Aku melihat dalamanmu.”

“Kau yang melihat dalamanku tidak akan membuatku malu sedikit pun.”

“Kalau begitu, Aku boleh melihatnya?”

“Sudah cukup. Balik ke topik sebelumnya.”

“Tapi Aku masih ingin bermesraan denganmu. Sudah lama sejak kita bisa begitu.”

“Kita bisa melakukannya selama yang kau mau nanti,” keluhnya.

“Aww, padahal Aku inginnya sekarang.”

“Baiklah. Kau boleh pegang tanganku.”

“Kita bukan seperti pasangan anak SMP. Itu masih belum cukup untuk memuaskanku!”

“Oh? Kalau begitu tidak jadi.”

Mai tidak jadi mengulurkan tangannya namun Sakuta meraihnya dengan cepat. Diselipkan jari-jarinya ke jari-jari Sakuta, pasangan itu saling berpegangan tangan.

“Sudah lebih baik, kan?” tanya Mai.

“……”

“Kenapa kau tiba-tiba diam seperti itu?”

“Mai-san, kau sangat imut.”

“Aku sudah tahu,” ucapnya dengan sinis. Tetapi dari nada bicaranya terdengar sedikit malu dan dia juga mengalihkan pandangannya dari Sakuta. “Jadi?” tanyanya lagi, melanjutkan ke topik semula.

Jelas saja masih bertanya tentang Shoko.

“Dia merawat kedua kucing di apartemenku.”

“Ada yang aneh?”

“Tidak.”

“Sudah ada petunjuk?”

“Aku membicarakan hal ini dengan Futaba tadi, tapi tetap tak dapat petunjuk. Kemungkinannya kecil kalau dia orang yang berbeda dengan nama yang sama.”

“Tentu saja tidak. Kurasa, dia itu seperti diriku. Apa dia benar-benar mirip seperti gadis yang kau temui dua tahun lalu?”

“Yah, dia memang jauh lebih muda dari yang kuingat, jadi Aku tak bisa tahu pastinya, tapi jika dia tumbuh dewasa…pasti akan sangat mirip. Meski begitu…sifat mereka benar-benar berbeda.”

Mungkin juga karena Sakuta tidak begitu tahu siapa sosok Shoko Makinohara itu sendiri, tetapi Shoko yang saat ini bisa dibilang agak pendiam. Dan itu juga kata terakhir yang ia gunakan untuk menggambarkan diri Shoko di SMA dari dua tahun yang lalu. Dia itu tipe orang yang lebih terbuka dan sanguinis.[5]

“Hmm.”

Sakuta tidak yakin apakah Mai mengerti dengan yang ia maksud atau tidak. Dia tidak pernah bertemu dengan Shoko dari dua tahun yang lalu, jadi dia harus bergantung dengan kata-kata Sakuta---yang mana mungkin tidak begitu banyak membantu.

“Futaba juga bilang jika fenomena yang terjadi sekarang ini tak jadi masalah ke orang lain---tak sama seperti yang kau alami. Jadi, mungkin saja kita tak perlu terlalu khawatir.”

“Jika kau tidak ada masalah dengan itu, maka Aku juga.”

Dia tidak terdengar begitu yakin.

Lalu, Mai berkata, “Oh,” dan menghentikan langkahnya.

“Mai-san?

“Bukannya itu Futaba?”

Mai sedang melihat ke minimarket di depan mereka. Di dalam minimarket tersebut terlihat gadis remaja yang selesai berbelanja dengan kantong plastik di tangannya. Dan gadis remaja itu jelas-jelas Futaba. Waktu Sakuta bertemu dengannya dia sedang mengenakan seragam sekolah, tetapi sekarang dia mengenakan kaus oblong dan celana pendek. Rambutnya juga tidak dikuncir; digerainya seperti biasa. Dan dia juga memakai kacamatanya.

“Apa yang dia lakukan di sini?”

Kantong plastik yang dipegangnya terlihat rata di dasarnya---seperti ada kotak bento di dasarnya. Hal ini langsung membuat Sakuta merasa aneh. Futaba bukan tipe gadis yang berkeliaran keluar di malam hari. Tetapi dia ada di sini, setelah jam sembilan malam, dan berjalan ke area perbelanjaan? Dan Futaba tinggal di dekat Hon-Kugenuma, satu stasiun sebelum bertemu dengan Jalur Odakyu Enoshima, jadi sangat aneh baginya membeli makan di minimarket dekat Stasiun Fujisawa.

Dan sikapnya juga lebih mencurigakan. Dia tampaknya berusaha keras untuk tidak menarik perhatian sekitar, tetapi penampilannya yang seperti itu menjadi bumerang balik baginya.

“Mai-san, apa tak keberatan kalau kita ke tempat lain dulu?”

“Kau mau mengikutinya?” tanya Mai seakan tidak menyetujui pilihan itu.

Tetapi Mai sudah berjalan lebih dulu untuk mengikuti Futaba.


Sakuta dan Mai mengikuti Futaba yang berjalan mengarah ke stasiun dan berhenti di luar dari sebuah gedung perkantoran yang tingginya sekitar tujuh atau delapan lantai. Mereka melihat Futaba masuk ke dalamnya.

Ketika Sakuta melihat papan tanda di luar gedung, terdapat papan tanda sebuah bank, bar, dan net café. Karena di waktu seperti ini bank sudah tutup, dan karyawan bar pasti akan mengusir Futaba begitu dia masuk, jadi hanya ada satu tujuan yang tersisa.

Tetapi bahkan net café sekalipun akan mulai mengusir anak SMA setelah jam sepuluh. Futaba bahkan tidak akan punya banyak waktu jika dia mulai menyewa bilik di net café di jam-jam seperti ini. Dan dia bahkan membeli kotak bento, jadi…apa dia berencana menginap di tempat seperti ini?

“Mai-san, kau bisa tunggu di sini?”

Membawa seorang selebriti ke tempat seperti ini akan menyebabkan keributan besar.

“Aku belum pernah ke net café sebelumnya,” ucapnya yang menyiratkan kalau dia ingin ikut masuk dengan Sakuta.

Tetapi, yah… tidak ada gunanya juga berdebat dengan Mai sekarang ini. Jadi Sakuta hanya bisa mengalah dan mereka menaiki lift bersama-sama.


Mereka berdua menaiki lift sampai di lantai tujuh. Begitu pintu lift terbuka, mereka langsung disambut oleh suasana net café. Nyala lampu di tempat itu dibuat redup sehingga memberikan kesan dingin dan suasana yang khas.

“Selamat datang. Berapa lama anda ingin menyewa?”

Karyawati yang berusia sekitar 20-an yang berjaga di kasir bertanya dengan suara kecil, menyesuaikan dengan suasana net café. Dia pasti menyadari kehadiran Mai yang sedang melihat-lihat ke sekeliling ruangan dengan rasa penasaran.

Sakuta mendekat ke kasir. Di sampingnya ada papan tanda yang menunjukkan tarif yang ditawarkan. Mulai dari tiga jam, lima jam, atau sepanjang malam.

Sakuta menunjuk ke tarif yang ada di paling atas.

“Kami akan ambil yang ini,” ucapnya.

200-yen untuk tiga puluh menit pertama. Paket standar dengan tambahan biaya tergantung dari seberapa lama mereka berada di sana. Tiga puluh menit seharusnya sudah cukup untuk mencari Futaba, pikir Sakuta.

Sakuta juga membayar untuk Mai dan diberikan dua voucher oleh kasir.

Mai sudah berjalan ke tempat minuman gratis dan melihat jenis-jenis minuman apa saja yang tersedia.

“Kau bisa mencobanya begitu kita menemukan Futaba.”

“Apa Aku harus bayar lagi?”

“Jika kita sudah bayar biaya awalnya, minuman dan es krimnya gratis.”

Intinya, harga dari minuman dan yang lain-lainnya sudah termasuk di biaya awal. Di net café ini disediakan soda, teh oolong, jus jeruk, dan bahkan ada sederet mesin kopi dan espresso. Hampir mirip dengan minuman yang disediakan di banyak restoran keluarga. Tempat ini bahkan menyediakan cemilan es krim lembut, jadi mungkin sedikit lebih bagus dibandingkan banyak restoran keluarga. 

Sakuta bertingkah seperti sedang mencari bilik yang tersedia begitu mereka berjalan menuju bagian belakang net café ini. Di tengah-tengah dari tempat ini dipenuhi oleh rak-rak buku tinggi yang diisi oleh banyak komik. Dan yang mengelilingi rak itu adalah bilik bernomor dengan pintu untuk menjaga privasi pemakainya.

Tidak ada tanda-tanda keberadaan Futaba, atau orang lainnya---merek semua pasti ada di bilik mereka masing-masing. Sakuta terkadang bisa mendengar suara ketikan keyboard dan hal ini mempersulitnya untuk menemukan Futaba.

Ia berniat untuk menanyakan ke karyawati yang berjaga di kasir, tetapi hal itu mungkin akan melanggar kebijakan privasi mereka.

“Jika kau hafal nomor Futaba, kenapa tidak coba meneleponnya?” Mai menyarankan hal itu sambil mengulurkan ponselnya. Ponsel itu dilapisi oleh cover merah muda dengan bentuk telinga kelinci di atasnya. Sakuta mengambil ponsel dari tangan Mai, tetapi pandangannya tertuju ke tangan Mai yang satunya.

Mai sedang memegang cangkir kertas kecil yang diisi oleh es krim lembut dengan bentuk spiral yang sempurna. Padahal Sakuta sudah bilang kalau mereka harus menemukan Futaba terlebih dulu, tetapi Mai pasti tidak mendengarkannya. Tipikal dirinya sekali.

Mai menggunakan sendok kecil untuk menyendok sebagian dari es krimnya dan mengulurkannya ke Sakuta.

“Bilang, ‘Ahhh.’”

“Ahhh.”

Ia membuka mulutnya dan curiga kalau ini cuma jebakan, tetapi pada akhirnya Mai menyuapi es krim tersebut ke dirinya.

“Enak?”

“Ya.”

Mai tersenyum bahagia, menyendok sebagian es krim lagi, dan menyuapi Sakuta lagi.

“Kau tak ingin memakannya?”

“Aku baru saja makan malam, jadi sudah cukup kenyang.”

“Oh…”

“Apa? Jika kau tidak suka, kau harus makan ini sendiri.”

Rupanya, dia berencana membuat Sakuta untuk menghabiskan cangkir kecil es krim itu sendiri. Membuat Mai menyuapi dirinya memang pilihan yang lebih baik.

Sakuta menjawabnya dengan membuka mulutnya lagi, dan Mai menyuapi sisa es krim di cangkir ke Sakuta sesuap demi sesuap.

Tidak lama kemudian, Sakuta mengalami brain freeze. Ketika Mai menyadari hal ini, dia cepat-cepat berjalan ke tempat minuman untuk membuat espresso.

“Makasih.”

“Sama-sama.”

Ia langsung meminum espresso itu.

Begitu Sakuta selesai meminumnya, mereka membuang cangkir kertas es krim dan menaruh cangkir kopi di tempat piring kotor. Lalu, ia akhirnya memencet nomor Futaba di ponsel Mai.

Futaba mengangkat panggilannya saat dering kedua.

“Halo?”

Nada bicaranya terdengar waspada. Tetapi yah memang wajar karena dia mendapat panggilan dari nomor tidak dikenal.

“Ini Aku.”

“Kenapa kau menelepon dari nomor ini?”

“Aku meminjamnya dari Mai-san.”

“Kalau kau ingin pamer, telepon orang lain,” keluh Futaba.

Tanggapan Futaba persis sekali seperti yang Sakuta prediksikan. Dirinya terdengar normal sampai Sakuta tidak bisa percaya kalau sekarang ini dia sedang berada di ruangan yang sama dengan mereka berdua.

“Jadi, ada apa? Masalah lagi?”

“Apa bagimu Aku setara dengan masalah?”

“Ya. Karena itu nama tengahmu.”

“Hei…”

Begitu Sakuta baru mau membantah perkataan Futaba, pintu dari salah satu bilik internet yang ada di belakang mereka terbuka.

“…Sakuta, coba lihat,” ucap Mai sambil menepuk pundaknya.

Begitu ia berbalik, Sakuta langsung tahu kalau ada hal yang mengganjal di pikirannya.

Meskipun Sakuta sedang berbicara dengan Futaba di telepon saat ini dan mencoba menanyakan keberadaannya, dia muncul di belakangnya.

Tetapi Futaba yang ia lihat di depannya sedang tidak memegang apa-apa. Dia tidak sedang berbicara dari ponsel dan jelas saja dia juga tidak sedang menggunakan headset.

Kemudian, ia mendengar suara yang memanggilnya dari ponsel yang dipegangnya.

“Ada apa, Azusagawa?” ucap Futaba yang memanggilnya dari balik panggilan teleponnya.

Tetapi Futaba yang berada di depannya tampak terkejut melihat dirinya dan mulutnya juga terdiam.

“Uh, maaf Futaba. Sepertinya baterainya mau habis. Kita bicarakan ini besok.”

“Baiklah. Jika kau tak sedang buru-buru, Aku tak keberatan.”

“Sudah dulu ya.”

Sakuta menjauhkan ponsel Mai dari telinganya dan mengakhiri panggilan teleponnya. Ketika ia menyudahi panggilannya, pandangannya tertuju ke Futaba lagi.

Dan Futaba cepat-cepat kembali ke biliknya sendiri.

“Ah! Tunggu!” ucap Sakuta tetapi pintu bilik tertutup rapat.

Ia mulai menenangkan dirinya dan mengetuk dengan pelan.

“Futaba?”

“……”

Tidak ada jawaban.

“Kau tak akan berpura-pura kalau kau tak ada di bilik ini, kan?”

Terdengar suara *klik begitu Futaba membuka kuncinya, dan pintu biliknya berayun terbuka.

Yang di depannya saat ini sudah pasti Futaba. Rio Futaba yang ia kenal. Saat ini dia memakai celana pendek berjenis cargo dengan saku yang besar di setiap sisinya, kaus oblong yang longgar, dan dalaman yang bergaris di balik kausnya.

“Kau sedang berbicara denganku di telepon, ya?” tanyanya.

Sebuah pertanyaan yang aneh jika diajukan di situasi yang berbeda, tetapi di saat-saat seperti ini, pertanyaan itu terdengar masuk akal. Karena hal itulah yang ingin Sakuta ketahui saat ini juga.

“Ya.”

“Kalau begitu, tak ada gunanya lagi jika Aku merahasiakannya, ya?”

Wajahnya terlihat murung, tetapi dia sudah mengalah.


“Ayo bicara di luar,” ucap Futaba, jadi Sakuta mengembalikan voucher dirinya dan Mai di kasir dan mereka meninggalkan net café itu.

Mereka bertiga menaiki lift yang turun, dan Futaba mulai berjalan ke bagian yang menghubungkan peron JR dan Enoden di Stasiun Fujisawa.

“Diriku ada dua,” ucapnya dengan nada datar.

Seolah bukan hal yang harus dikhawatirkan.

Futaba meletakkan tangannya di pagar pembatas sambil melihat ke orang-orang yang lalu-lalang di sisi lain pagar.

“Maksudmu?”

“Tepat seperti yang kukatakan sebelumnya. Dalam tiga hari terakhir, ada dua Rio Futaba.”

“……”

Sakuta tahu kalau perkataan Futaba terdengar sangat gila. Ia mengerti hal itu, tetapi otaknya sendiri menyangkal untuk memahaminya. Ia sangat yakin kalau dirinya sedang berbicara dengan Futaba di telepon beberapa saat yang lalu. Yang di telepon itu juga sosok Rio Futaba yang ia kenal.

Dan pada saat yang bersamaan, Futaba juga muncul di depannya. Dan dia ini juga Rio Futaba.

“Apa karena Sindrom Pubertas?” tanya Mai.

“……” Futaba hanya terdiam menatap ke arah kakinya. “Aku benci mengakuinya, tapi…,” balasnya.

“Kau punya dugaan kenapa ini terjadi?”

“Jika Aku tahu, Aku bisa mengatasinya sendiri.”

“Kurasa memang seperti itu jadinya yah.”

Tetapi masih ada suatu hal yang mengganjal di pikiran Sakuta. Gaya rambutnya yang sekarang ini digerai dan dia juga memakai kacamata. Ketika ia bertemu dengannya sore ini, gayanya tampak berbeda sekali.

“Ketika Aku bertemu denganmu sore ini…itu dirimu yang lain?”

“Aku tak ingat pernah bertemu denganmu hari ini, jadi mungkin saja.”

“Baiklah…”

“Diriku yang palsu itu sangat menyebalkan. Dia tinggal di rumahku, jadi Aku tak bisa pulang. Aku tak ingin orang tuaku tahu akan hal ini.”

“Benar juga.”

Orang tua mana yang tidak kaget jika anak perempuan mereka ada dua?

“Si palsu juga juga serius menjalani kegiatan klub. Dia menghadiri kelas dan hal lainnya.”

“Sore ini dia memakai seragam sekolah. Katanya dia sedang menuju ke klub sains.”

“Jika Aku tetap berada di luar risiko ketahuannya akan semakin besar. Jika orang yang kukenal melihatku seperti ini, pasti pertanyaan mereka tak akan ada habisnya. Karena itu Aku harus bersembunyi.”

“Di net café? Bukannya ada tempat yang lebih aman?”

“Aku tak punya uang untuk menyewa kamar hotel.”

Terutama jika tidak ada yang tahu berapa lama hal ini akan terus berlanjut.

“Dasar bodoh,” ucap Sakuta.

“Terdengar sangat menusuk mendengarnya darimu.”

“Kenapa kau tak meneleponku?”

“……”

Ketika Futaba menyadari kalau Sakuta benar-benar marah kepadanya, senyum murungnya memudar.

“Coba pikirkan lagi,” ucap Sakuta. “Kau ini gadis SMA. Menginap di net café? Gila sekali.”

Pintu biliknya mungkin punya sepasang kunci, tetapi hal itu tidak menjamin keamanannya. Seorang pria mungkin tidak apa-apa, tetapi seorang gadis muda akan mendapat bahaya besar.

Ada sekumpulan orang-orang yang menargetkan gadis-gadis yang kabur dari rumahnya. Mau apa pun alasannya, Futaba benar-benar ceroboh.

Dan karyawan yang bekerja akan tahu betapa muda dirinya lama-kelamaan. Akan tidak mungkin untuk melanjutkan hal seperti ini. Begitu karyawan yang bekerja melaporkan hal ini ke polisi dan memberi tahu orang tuanya, Futaba akan dalam masalah besar.

“……”

Futaba hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa bisa berkata apa-apa.

“Dengar ya, Futaba… Ow!”

Sebelum Sakuta melanjutkan bicaranya, Mai memukul tulang rusuk Sakuta.

“Mai-san, Aku minta maaf jika kau bosan karena Aku tak memprioritaskan dirimu, tapi ini hal penting… Ow, ow, ow!”

Sekarang ini Mai menarik telinga Sakuta.

“Tidak mungkin Futaba bisa meminta bantuanmu, kan?” Pandangan Mai menyiratkan kalau Sakuta tidak peka. “Kau benar-benar tidak peka, ya?” ucap Mai kemudian dengan lantang.

“Er, kenapa tak peka?”

“Bayangkan jika Futaba meneleponmu dan menjelaskan situasinya. Setelah itu, apa?”

“Aku akan menyuruhnya untuk menginap di tempatku.”

“Tapi kau ini pria.”

“Yah, memang sih, tapi…”

“Futaba memang kenal dekat denganmu, tapi kau ingin dia menelepon teman pria yang dia kenal dan si pria itu menyuruhnya untuk menginap di tempatnya?”

“Aku tak mengerti kenapa Aku tak boleh melakukan itu,” ucap Sakuta yang benar-benar jujur.

Mai menghela napas panjang dan berkata, “Dasar pria.”

“Maaf.”

“Sakuta,” ucapnya dengan nada sinis.

“Tapi, maksudku, Futaba kan temanku? Aku tak akan mencoba untuk merayunya.”

“Ohhh, jadi jika ada gadis SMA yang mandi di tempatmu, kau tidak akan sedikit pun terangsang?”

“Tidak, pasti Aku akan terangsang.”

“Kau sudah mengerti itu, kan?” ucap Mai sambil menyentil dahi Sakuta.

“Tapi, kau membuatku membayangkan gadis yang hanya mengenakan handuk mandi. Jangan menyalahkanku.”

“Aku tidak bilang kau harus membayangkan yang seperti itu!”

Wajah Mai terlihat sedikit tersenyum, tetapi tidak dengan tatapannya.

“……”

Futaba juga menatap sinis ke arahnya.

“Tentu saja, yang kubayangkan itu Mai-san yang mengenakan handuk mandi,” ucapnya.

“Kalau begitu tidak apa-apa.”

“Yang begitu tak apa-apa?”

Mai mengabaikan kata-kata terakhir Sakuta dan menatap ke arah Futaba.

“Tapi karena sudah ketahuan, mungkin sudah saatnya menerima bantuan Sakuta?” Mai menyarankan. Tidak ada paksaan atau kata-kata simpati yang diutarakannya. Mai hanya menangani situasi ini seperti orang dewasa. Meski dia hanya lebih tua satu tahun dari Futaba, tetapi di saat-saat seperti ini, Mai tampak terlihat lebih dewasa.

“Jika kau bersikeras untuk tetap melanjutkan ini, Sakuta akan berpikir kalau sikapmu kekanak-kanakan.”

Futaba hanya bisa menghela napas. Mungkin kata-kata itu membuatnya sadar.

Futaba berbalik ke arah Sakuta dan berkata, “Azusagawa.”

“Oke.”

“Aku belum bilang apa-apa,” ucapnya sambil tersenyum seolah situasi tegang yang dirasakannya sudah mereda.

“Jadi, Mai-san,” ucap Sakuta.

“Apa?”

“Futaba akan menginap di tempatku. Tak apa-apa, kan?”

Sakuta mencoba memastikan.

Tetapi Mai menjawab dengan, “Tentu saja tidak.”

“Huh?”

Sakuta benar-benar bingung sekarang ini. Mai baru saja menyuruh Futaba untuk minta menginap di rumahnya, jadi kenapa Mai mencoba untuk menghentikan hal itu?

“Api itu mengejutkanmu?”

“Sangat!”

Sakuta benar-benar tidak mengerti.

“Apa kau memang benar-benar tidak peka?”

Mai menatapnya seperti orang bodoh. Dan Sakuta sendiri mungkin memang benar-benar bodoh.

“Coba kau pikir lagi. Jika Aku mengajak teman priaku menginap di tempatku, apa kau tidak keberatan?”

“Aku bahkan tak mau membayangkan hal itu terjadi.”

“Kan?”

“Ya, baiklah, Aku mengerti.”

Kalau begitu apa yang harus mereka lakukan dengan Futaba? Sakuta menyilangkan kedua tangannya dan berpikir keras.

Dengan senyuman menggoda, Mai menjawabnya, “Jadi, Aku hanya harus ikut menginap juga.”

“Huh?”

“Ayo, ambil barang-barang Futaba.”

Tanpa menunggu jawaban Sakuta, Mai mulai berjalan ke gedung yang mereka masuki sebelumnya. Sakuta dan Futaba awalnya saling menatap, lalu akhirnya mengikuti Mai.

“Hubungan kalian berdua sepertinya akan langgeng,” ucap Futaba seolah sudah menduga hal ini.

“Tatapanmu mengatakan kalau Aku yang mengalah.”

“Bagus sekali, Azusagawa, akhirnya kau sadar.”

“Mengalah sedikit adalah kunci sukses dari sebuah hubungan.”

“Sekarang kau coba-coba cari alasan. Kalau sudah jadi berandalan, kau akan tetap cowok berandalan.”

“Aku dengan senang hati mengalah setiap kali Mai menyuruhku.”

“……”

Sakuta berjalan mengikuti Mai dan mengabaikan tatapan sinis Futaba.




[1] Nananotes: Zori merupakan alas kaki atau sandal yang dikenakan bersamaan dengan kimono, bisa dipakai dalam acara formal ataupun non-formal.
[1] Nananotes: Kinchaku merupakan tas serut kecil atau biasa disebut tas kimono karena biasanya dibawa saat orang-orang memakai kimono atau yukata. Tapi ada juga tas kinchaku yang lebih besar dan biasa digunakan sebagai pelapis wadah kotak makan. Awalnya, hanya maiko dan geisha yang membawa tas kinchaku ini tapi lama-kelamaan jadi barang sehari-hari.
[1] Nananotes: Obi merupakan ikat pinggang dari kimono atau yukata dan menjaga pakaian tersebut agar tidak terbuka.
[1] Nananotes: Jahat beud atau horribad dari raw Englishnya merupakan salah satu kata gaul Tomoe Koga. Kalau di volume sebelumnya ada Tidak Pisan, di sini ada yang baru.
[1] Nananotes: Sanguinis, intinya itu orang yang optimis, aktif, ramah dll. Kebalikan dari sifat Shoko saat ini yang lebih pendiam.