Misteri yang Disebut Misteri
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Tidak lama setelah Shoko pulang, Sakuta juga pergi keluar rumah---tetapi waktu sekarang ini masih agak terlalu awal untuk memulai shift kerjanya di restoran, jadi ia mengunjungi toko elektronik yang ada di dekat stasiun.

Di lantai pertama berjejer ponsel pintar model baru, jadi ia hanya sekadar melewati tempat itu karena tidak begitu peduli saat berjalan menuju eskalator. Ia terus menaiki eskalator untuk ke lantai atas, bahkan tidak melirik ke lantai yang dipenuhi oleh barang-barang audio atau alat rumah tangga lainnya.

Begitu ia sampai di lantai tujuh, suasananya sama sekali berbeda dari lantai-lantai sebelumnya. Lantai tujuh ini, dan delapan yang ada diatasnya ditujukan untuk toko buku yang cukup lengkap.

Baris demi baris rak buku memenuhi tempat yang luas ini, setiap sisinya dipenuhi oleh berbagai macam buku. Lantai tujuh ini dikhususkan untuk buku-buku tertentu, dan para pelanggannya semakin menurun tiap tahunnya. Karena itu di sini begitu hening dan tenang, sama seperti suasana di perpustakaan.

Sakuta berjalan melewati rak-rak buku, memeriksa dengan detail.

Ia tidak sedang mencari buku atau sejenisnya.

Setelah Shoko pulang, Sakuta menelepon Rio Futaba untuk meminta saran, dan ucap Futaba, “Aku sedang di toko buku yang ada di atas toko elektronik. Temui Aku di sini.”

Tetapi Sakuta tidak melihat sosok Futaba di mana pun. Ia mengira kalau dia berada dekat di kumpulan buku sains, tetapi di sana ia hanya melihat gadis lain yang berseragam SMA Minegahara dengan gaya rambut kuncir kuda.

Ia kembali berkeliling di lantai itu tetapi tetap tidak bisa menemukan Futaba.

“Ponsel akan sangat berguna di saat seperti ini…”

Pesan singkat, panggilan, atau aplikasi pesan gratis---akan membuat Sakuta lebih mudah untuk bertanya ke Futaba tentang lokasinya saat ini.

Begitu ia melewati rak-rak buku sains lagi, sebuah suara memanggilnya dari belakang.

“Azusagawa.”

Ia berhenti dan berbalik.

“Apa kau melewatiku begitu saja karena dendam?”

Yang ternyata memanggilnya adalah gadis yang memakai seragam musim panas SMA Minegahara sebelumnya. Dia sedang memasang muka cemberut ke Sakuta, dan ketika ia melihatnya dengan teliti…ternyata gadis itu adalah Futaba.

“Futaba?”

“Apa kau sedang demam?”

Futaba menghela napas karena kesal. Dia memang sedang memakai seragam sekolah dan memang terbilang wajar jika dia tidak mengenakan jas lab putih biasanya di luar sekolah. Tetapi bukan hanya pakaian yang dipakainya saja yang membuat Sakuta berjalan melewatinya sampai dua kali.

Gaya rambutnya juga berbeda. Dia biasanya hanya menggerainya tanpa perlu diikat, tetapi sekarang sebagian rambutnya diikat ke belakang hingga memperlihatkan tengkuk lehernya---dengan warna kulit yang terbilang pucat karena tidak pernah tersinar oleh sinar matahari. Futaba biasanya juga tidak begitu memperlihatkan kulitnya, jadi dengan tampilannya yang begitu sederhana ini bahkan terkesan erotis.

“Terlalu gerah jika tak kuikat,” ucapnya lebih dulu sebelum Sakuta bisa menanyakannya. Alasan yang masuk akal itu kesannya Futaba sekali.

Namun, masih ada suatu hal yang mengganjal di pikiran Sakuta. Pandangannya tertuju ke mata Futaba berikutnya.

“Dan Aku tak memakai kacamata karena memakai lensa kontak hari ini.”

Sekali lagi, dia bahkan tidak membiarkan Sakuta bertanya. Dengan gaya rambut barunya dan tanpa mengenakan kacamata, Futaba benar-benar terlihat berbeda. Tetapi nada bicaranya tetap saja datar dan tanpa menunjukkan ekspresi apa pun membuktikan kalau yang di depannya ini diri Futaba yang ia kenal.

“Kenapa memakai seragam?” tanya Sakuta yang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bertanya hal lain.

Futaba jelas tidak memakai seragam sekolah untuk memamerkan status dirinya sebagai gadis SMA.

“Aku akan mampir ke sekolah setelah ini.”

“Jika kau berniat untuk melihat Kunimi, kami berdua ada shift kerja sore ini.”

Setelah mengatakan itu, Futaba menatapnya dengan sinis.

“Jika Aku tak produktif, klub sains bisa-bisa ditutup,” ucapnya. “Jadi? Apa yang mau kau bicarakan?”

“Oh, uh…kalau itu yah…”

“Masalah lagi?” tanya Futaba yang tampak sudah bosan mendengarnya. Dia kemudian mengambil sebuah buku dari rak dan mulai mencari-cari sesuatu dari isi buku tersebut. Hal tentang mekanika kuantum yang bagi Sakuta tidak dapat ia mengerti sedikit pun.

“Mungkin, tapi mungkin saja bukan.”

“Sudah, katakan saja!”

“Aku bertemu dengan Shoko Makinohara,” ucapnya langsung ke intinya.

“……”

Nama tersebut mengalihkan perhatian Futaba dari buku yang dibacanya. Ada ekspresi terkejut yang bisa terlihat di wajahnya. Sakuta pernah menceritakan tentang Shoko Makinohara ke Futaba sebelumnya---tentang bagaimana dia itu cinta pertama Sakuta dan bagaimana ia memilih untuk mengikuti ujian masuk untuk SMA Minegahara karena Shoko bersekolah di sana. Tetapi tidak hanya dia tidak bersekolah di Minegahara, bahkan tidak ada tanda-tanda kalau dia lulus atau menjadi bagian dari siswi di Minegahara. Dan tanpa ada petunjuk tentang apa yang terjadi, Sakuta dilanda kesedihan karena patah hati. Futaba tahu semua itu.

“Dia benar-benar nyata?” tanya Futaba. Reaksinya terbilang wajar. Sakuta sendiri bahkan sudah yakin kalau mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Ia sudah tidak memimpikan tentang Shoko lebih dari setahun.

“Dan yang paling mengejutkannya adalah sekarang ini dia anak kelas satu SMP.”

“Huh?” Futaba terkejut sampai hampir menjatuhkan buku yang dipegangnya.

“Dua tahun lalu, Shoko itu siswi kelas dua SMA, tapi ketika Aku bertemu dengannya dua minggu yang lalu, dia masih siswi kelas satu SMP.”

“Apa kau sudah gila, Azusagawa?”

“Sayangnya tidak.”

“Kalau begitu, perhitungannya aneh jadinya.”

Jika dua tahun lalu Shoko berada di kelas dua SMA berarti sekarang ini dia sedang berada di tahun pertamanya kuliah. Tetapi entah bagaimana, sekarang ini dia siswi kelas satu SMP.

“Apa dia mengingatmu?”

“Tidak…Rasanya tak seperti kalau kami pernah bertemu.”

“Senang bertemu denganmu,” ucap Futaba setelahnya mencoba membuat jengkel Sakuta.

“……” Futaba kembali merenungkan hal ini. “Azusagawa,” ucapnya sambil menatap ke arahnya.

“Mm?”

“Kau yakin kalau dia itu bukan orang lain dengan nama yang sama dan kebetulan saja terlihat mirip?”

“Kemungkinan terbesarnya mungkin itu.”

Sakuta juga pernah memikirkan untuk kemungkinan itu tetapi kemungkinannya terlalu besar untuk bisa dibilang sebagai kebetulan semata.

“Kudengar, selalu ada setidaknya tiga orang di dunia ini yang memiliki wajah yang mirip denganmu.”

“Cerita tersebut cuma mitos.”

“Benar juga. Cuma mitos,” Futaba mengulanginya lagi sambil melihat ke arah lain. Kata-katanya memang tidak terdengar aneh, dan tidak begitu penting---tetapi entah kenapa, Sakuta menyadarinya. Mungkin karena kata-kata yang ia ucapkan ke Futaba biasanya tidak sampai memancing respons emosionalnya seperti ini. Biasanya dia hanya akan mengabaikannya tanpa menunjukkan ekspresi wajah apa pun.

“Futaba?”

“Kemungkinan lainnya adalah dia adik Shoko Makinohara dan menggunakan nama kakaknya untuk suatu alasan.”

Futaba terus melanjutkan bicaranya seolah tidak terjadi apa-apa, jadi Sakuta sengaja tidak menanyakannya lebih jauh.

“Alasan seperti apa?” Ia pikir pasti alasannya cukup rumit.

“Kau yang harus menanyakannya.”

“Jika Aku bertanya banyak pertanyaan aneh, dia akan menganggapku sebagai orang aneh.”

“Jadi? Kalau Aku tak masalah?”

“Maksudku, hal itu buruk untuk ku!

“Aku terkejut kalau kau peduli dengan anggapan orang lain selain Sakurajima-senpai.”

“Perlu kuperjelas, Aku tak tertarik dengan gadis dua belas tahun.”

“Aku juga tak terlalu peduli. Kurasa hanya ada satu kemungkinan tersisa, kemungkinannya adalah Shoko Makinohara yang kau temui dua tahun lalu adalah ramalan masa depan dirinya di waktu itu.”

“Tapi bukan Aku yang menyebabkan fenomena itu.

Ramalan masa depan adalah hasil dari Sindrom Pubertas Tomoe Koga. Seorang gadis setahun lebih muda dari Sakuta di sekolahnya---kohai imut dengan bokong seperti buah persik.

“Karena kalian berdua mengalami hal yang sama, kurasa kita tak bisa menyangkal adanya kemungkinan kalau kau membantu menghasilkan fenomena itu.”

“Jika Aku memang terlibat, kala begitu usiaku tak akan sama sepertimu, kan?”

“Benar juga. Tapi…sekarang ini, hal itu tak menjadi masalah, kan?”

“Sepertinya begitu.”

Inilah yang membedakan dari kasus Mai dan Koga. Kali ini bahkan ia tidak begitu yakin jika Sindrom Pubertas terlibat, dan tidak menyebabkan masalah yang bisa ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Futaba menutup buku yang dibacanya dan mengembalikannya lagi ke raknya sebelum mengambil buku yang lain. Kemudian, dua orang gadis yang memakai yukata [1] berjalan melewati mereka.

Mereka sedang membicarakan tentang laporan---sepertinya mahasiswi yang datang untuk mencari buku referensi.

Pandangan Sakuta menatap ke kedua orang gadis itu.

“Jangan menatapnya, Azusagawa,” keluh Futaba.

“Mereka tak akan memakai yukata jika tak ingin dilihat oleh orang banyak.”

“Bukan berarti mereka ingin kau untuk melihatnya.”

“Apa ada pertunjukan kembang api malam ini?”

“Chigasaki.”

“Kau sudah tahu itu?”

“Ada posternya di sana.”

Futaba menunjuk ke dinding di dekatnya. Pemberhentian kedua dari Jalur Tokaido di Stasiun Fujisawa, pertunjukan kembang api di Teluk Sagami, pantai Chigasaki. Tanggal 2 Agustus, Hari ini.

“Kalau kuingat lagi, kita bertiga pergi ke pertunjukan kembang api tahun lalu, kan?”

Kembang Api Malam Enoshima, diadakan pada tanggal…mungkin tanggal 20 Agustus.

Saat itu, Sakuta dan Kunimi sudah menyelesaikan shift kerja sorenya, dan bersiap untuk pulang. Tetapi bos mereka memberi tahu tentang pertunjukan kembang api. Karena terbilang menyedihkan jika cuma dua orang laki-laki yang pergi, mereka mengajak Futaba. Ini terjadi sebelum Kunimi mulai berpacaran dengan Saki Kamisato.

“Ya,” ucap Futaba sambil menatap ke kedua gadis yang mengenakan yukata dengan nada datar.

“Tapi kau memakai pakaian normal.”

“Kau juga sama.”

“Padahal Kunimi dan Aku sudah berharap banyak.”

Sakuta sudah sadar betul kalau Futaba menyukai Kunimi. Atau mungkin saja di hari itu ia baru menyadarinya. Ia tidak sengaja melihat Futaba menatap ke arah Kunimi ketika Kunimi sendiri sedang menatap ke pertunjukan kembang api yang dimulai.

“Kau tak usah malu-malu! Yukata itu selalu pilihan yang tepat untuk pergi ke pertunjukan kembang api.”

“Kenapa Aku harus memakai sesuatu yang merepotkan begitu?”

“Agar Kunimi bisa melihatnya.”

“……”

Futaba mengalihkan pandangannya karena tidak senang mendengar kata-kata Sakuta.

“Tak cocok untukku.”

“Sungguh?”

“Sungguh.”

“Oh, benar juga, payudara yang besar memang cocok untuk yukata.”

Bahkan ketika dia mengenakan seragam sekolah, payudara Futaba terbilang ‘menakjubkan.’

“Bukan itu maksudku,” ucap Futaba sambil menyilangkan kedua tangannya. Tampaknya dia tidak begitu menyukai saran Sakuta.

“Kalau begitu, apa yang kau maksud?”

“Aku tak punya alasan untuk memberi tahumu.”

“Kenapa tidak?”

“Karena kau sudah tahu hal itu dan kau sedang mencoba membuatku untuk mengatakannya.”

“Jika kau pikir dirimu terlihat tak menarik ketika mengenakan yukata, kau berarti salah besar.”

“……” Ekspresi wajah Futaba menyiratkan kalau dia meragukan kata-kata Sakuta.

“Memakai yukata dengan gaya rambut seperti itu akan sangat cocok.”

Kombinasi dari kuncir kuda dan yukata adalah hal klasik.

“Dan kau pernah mencobanya setidaknya sekali, kan?”

“……” Sekarang Futaba benar-benar waspada. “Apa artinya itu?”

“Dari caramu berbicara, kau pasti punya satu yukata.”

“Kenapa kau bisa bilang begitu?”

Dengan Futaba menanyakan hal ini sama saja kalau dia mengakuinya.

“Jika tidak, kau tak akan bilang kalau tak cocok; kau harusnya bilang Aku tak punya, jika Aku jadi kau.”

Futaba selalu berbicara secara logis dan langsung ke inti persoalannya.

“…Kau terkadang terlalu pintar, Azusagawa.”

“Tak perlu begitu kesal.”

“Tak mungkin. Karena kau orang yang menjengkelkan.”

“Kasar sekali.”

Tetapi Futaba mengabaikan kata-kata Sakuta dan mengambil buku yang berjudul Masa Depan dari Teleportasi Kuantum.

“Kalau cuma itu saja, Aku pergi dulu,” ucapnya dan berjalan ke arah kasir.

“Makasih bantuannya,” balas Sakuta.




[1] Nananotes: Yukata merupakan sejenis kimono non-formal berbahan tipis dan biasanya digunakan saat musim panas, karena bahannya yang tipis itu membuat terasa lebih sejuk saat digunakan di musim panas untuk menonton pertunjukan kembang api atau mengunjungi festival musim panas.