Misteri yang Disebut Misteri
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


-----Kita harus ciuman.

Dia seorang siswi SMA ketika mengatakan hal tersebut, tetapi dua tahun kemudian ketika bertemu dengannya lagi…dia seorang siswi SMP.

Aku tidak tau harus bagaimana menyikapi hal itu.


Malam itu, Sakuta Azusagawa memimpikan sesuatu.

Sebuah mimpi tentang kejadian di masa lalu---tepatnya, mimpi tentang dirinya dua tahun yang lalu.

Saat itu, ia hanyalah seorang siswa kelas tiga SMP.

Sepuluh hari sebelumnya, ia dirawat di rumah sakit karena bermandikan darah segar dari tiga luka cakaran besar yang muncul di dadanya. Karena ia merasa muak melihat wajah bingung dari dokter yang merawatnya, Sakuta secara diam-diam menyelinap keluar dari rumah sakit dan menaiki kereta dari stasiun terdekat.

Ia tidak begitu peduli ke mana kereta itu membawanya. Satu-satunya alasan kenapa ia memilih untuk pergi ke pantai dikarenakan acara TV yang ditontonnya karena iseng kemarin di mana terdapat adegan seseorang yang duduk di tepi pantai, memandangi guliran ombak dengan wajah murung.

Dan menurutnya, suasana hatinya sedang cocok untuk melakukan hal yang sama.

Karena itulah ia bisa duduk termenung di pantai Shichirigahama di tengah hari seperti ini. Begitu ia melangkahi pasir pantai, Sakuta bisa mendengar kerasnya suara deburan ombak---jauh lebih keras dibandingkan dari yang ia bayangkan. Kemudian, ia berjalan perlahan menuju garis pantai.

Aroma khas dari air laut yang asin. Sinar matahari petang yang mulai terasa sejuk. Di permukaan air laut nampak jalur cahaya yang mengarah ke matahari. Dan di kejauhan---karena udara yang cerah, Sakuta bisa melihat garis cakrawala dengan jelas.

Ia memandangi garis yang membedakan lautan dan langit itu untuk sesaat. Lalu, ia bisa merasakan kalau ada sesosok orang yang sedang berdiri di sampingnya.

“Apa kau tau?” tanya orang tersebut dengan suara yang jelas. Nada bicaranya terdengar lembut, tetapi Sakuta bisa merasakan seberapa kuat tekad yang dimilikinya. “Jarak pandangan antara mata kita dengan garis cakrawala hanya sekitar empat kilometer!”

“……”

Sakuta melirik ke arah sosok yang berdiri di sampingnya. Sosok tersebut ternyata seorang gadis yang mengenakan seragam SMA sedang menahan rambutnya yang diterpa oleh angin pantai. Dengan blazer krem dan rok yang berwarna biru laut. Dia sedang berdiri dengan bertelanjang kaki di pasir pantai.

Sakuta tidak mengenalnya dan ia bahkan tidak tahu nama dari gadis itu.

Ketika gadis itu menyadari lirikan Sakuta, dia membalas tatapan tersebut dengan senyum nakal.

Kemudian, Sakuta melihat ke sekeliling untuk memeriksa tetapi benar saja dugaannya kalau tidak ada orang lain di sekitarnya. Hanya ada pasangan lansia yang berjalan-jalan menyusuri pantai dengan anjing mereka. Sepertinya ia bisa menyimpulkan kalau gadis itu memang sedang berbicara dengannya.

“Apa semua orang di kota ini sepertimu?”

“Mm?”

Kepala gadis itu miring sebelah karena bingung dengan apa yang Sakuta maksudkan.

“Apa semua orang di kota ini terbiasa mengobrol dengan orang asing?”

Sakuta sadar kalau tempat ini adalah kawasan wisata. Enoshima di sisi barat dan Kamakura di sisi timur. Mungkin semua orangnya mempunyai kebiasaan untuk ramah ke orang asing.

“Oh, apa kau pikir Aku ini orang aneh?”

“Tidak.”

“Kalau begitu, bagus!”

Dia terlihat lega.

“Aku lebih menganggap kalau kau menyebalkan.”

“Oof, kau tak boleh mengatakan hal itu ke cewek SMA. Salah satu dari tiga kata tabu! Menyebalkan! Payah! Dan kikuk!

Dia meletakkan kedua tangannya di pinggulnya dan membusungkan pipinya. Sakuta jelas membuatnya marah.

“Kalau begitu ku ganti jadi memalukan.”

“Itu kata yang paling tabu dari tiga lainnya!” Dia menatap tajam ke arah Sakuta. “Kau benar-benar lagi bad mood, ya? Ada apa?”

“Kata-katamu sebelumnya…,” ucap Sakuta mencoba mengabaikan pertanyaan gadis itu. Sikap seperti inilah yang membuat orang asing menganggapnya kalau ia sedang kesal.

“Ya?”

Tetapi dia tetap tidak mengalihkan pandangannya dari Sakuta. Bahkan, dia juga tersenyum. Tampaknya, dia seperti sedang menyembunyikan emosinya.

“Jarak pandang ke garis cakrawala,” ucap Sakuta dengan wajah yang tetap cemberut. “Apa benar-benar cuma empat kilometer?”

“Jauh lebih dekat dibanding yang kau kira, kan?”

Dia mengambil sebatang kayu apung dan menggambar sebuah lingkaran di pasir yang basah. Lalu, ditambah dengan stickman dan garis lurus dari kepala stickman sampai ke tepi lingkaran.

“Jika kau menggunakan teori garis potong-singgung yang kita pelajari di SMA, kau bisa dengan mudah menghitung jarak dari garis cakrawala.”

Dengan menggunakan pasir sebagai media papan tulis, dia mulai menulis formula untuk menghitung hal tersebut, tetapi deburan ombak datang dan menghapus tulisan tersebut. Dia mengulanginya lagi di pasir kering yang ada di luar jangkauan ombak.

“……”

Sakuta kembali menatap ke garis cakrawala. Sebelumnya ia merasa hal itu tampak sangat jauh. Jadi baginya aneh begitu ia mengetahui seberapa dekat garis cakrawala itu sebenarnya.

“Sekarang giliranmu untuk menjawab pertanyaanku,” ucap gadis itu.

Saat itu, Sakuta berniat untuk mengabaikan perkataannya. Namun, entah kenapa ia mulai menjelaskan kenapa dirinya bisa ada di sini.

“Aku punya adik perempuan,” ucap Sakuta. Tidak lama kemudian, ia bercerita ke gadis itu tentang perundungan yang dialami adiknya.

Sakuta juga memberitahunya tentang luka misterius yang muncul seperti sayatan dan memar akibat perundungan yang diterima. Seberapa tidak berdaya dirinya ketika ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan hal yang terjadi ke adiknya. Dan juga tentang luka cakaran besar yang tiba-tiba muncul di dadanya. Tentang bagaimana tidak ada satu pun usaha dirinya yang berjalan dengan lancar, and bagaimana ia bisa datang ke pantai ini karena mencoba untuk melarikan diri dari perasaan tidak berdayanya itu. Ia ceritakan semua itu ke gadis di sebelahnya.

Sakuta tidak menginginkan simpati dari gadis tersebut, dan ia juga tidak mengharapkannya untuk mencoba menghibur dirinya. Ia menduga jika ia menceritakan cerita seperti ini, gadis itu akan kebingungan dan meninggalkan Sakuta sendiri tidak peduli seberapa sibuk gadis itu. Ia menceritakan masalahnya karena alasan remeh seperti itu. Tetapi perkataan gadis itu memang benar dengan diri Sakuta yang sedang bad mood.

“Berat sekali sepertinya,” ucapnya.

Sakuta jadi bingung sendiri. Gadis itu sepertinya tidak terkejut atau kebingungan dari apa yang sudah ia ceritakan. Dia juga tidak menunjukkan rasa simpati maupun mencoba untuk menghiburnya. Dia juga tidak bertanya lebih lanjut tentang bekas luka di dada Sakuta ataupun menuduh kalau cerita Sakuta itu bohong. Dia hanya mengulurkan tangannya.

“Namaku Shoko Makinohara,” ucapnya. “Nama Makinohara yang sama seperti rest area di tol Shizuoka. Sho yang berarti terbang, dan ko yang berarti anak kecil. Namamu siapa?”

“Aku…,” ucap Sakuta. Namun, tanpa ia sadari. Ucapannya terhenti dan ia merasa ragu, lalu meraih uluran tangan gadis itu. Tetapi sebelum ia bisa melakukannya…mimpi tersebut berakhir.


Tangan Sakuta mungkin meraih sesuatu yang hampa di dalam mimpinya, tetapi di dunia nyata, telapak tangannya menyentuh sesuatu yang lembut dan bulat.

Ia merasakan kehangatan dari tubuh sesuatu yang berbaring di atas tubuhnya. Dengan kulit yang halus, namun sedikit berkeringat, dan juga sedang meringkuk di samping kanan dirinya.

Dari yang bisa ia rasakan dan beratnya, tidak lain dan tidak bukan adalah seorang gadis.

Ia mulai memikirkan tentang apa yang dimaksud oleh dirinya sendiri, tetapi kemudian ia merasa ada hal yang menjilati bibirnya.

Kemudian, Sakuta membuka matanya.

Makhluk berbulu putih, lembut, dan menggemaskan itu sedang berada tepat di depan wajah Sakuta. Yang menjilati wajahnya dengan lidah yang terbilang kasar adalah seekor anak kucing berbulu putih.

Yang telah ia rawat selama dua minggu belakangan ini semenjak hari terakhir di semester pertamanya.

Ia memindahkan anak kucing itu dari wajahnya.

Namun, bukan hanya itu saja yang bersandar di dirinya. Masih ada satu hal lagi…hal yang jauh lebih besar dibandingkan seekor kucing.

Seekor panda. Atau lebih tepatnya lagi…Kaede, adiknya, yang mengenakan piama panda. Dia akan menginjak usia lima belas tahun nantinya di tahun ini, tetapi terkadang dia masih saja menyelinap ke tempat tidur Sakuta.

Nasuno, kucing dari kediaman Azusagawa, juga sedang berbaring di atas tubuh Kaede. Dia adalah kucing calico betina, dan sensasi bulat nan lembut yang ia rasakan tadinya pasti berasal dari bokong Nasuno. Sakuta merasa lega kalau yang ia sentuh bukan payudara adiknya.

Ia melepaskan sentuhannya dari Nasuno, kemudian menguap dan mencubit hidung Kaede.

“Mmph.”

Kaede menunjukkan ekspresi wajah anehnya karena hidungnya yang dicubit oleh Sakuta dan kemudian membuka mulutnya, mencoba bernapas melalui mulutnya. Ia memikirkan untuk menjepit mulut Kaede juga dengan tangannya tetapi sepertinya cara tersebut bukan hal yang bagus untuk memperlakukan gadis remaja, jadi Sakuta memutuskan untuk tidak melakukan itu.

“Kaede, bangun.”

“Mm? Oh, selamat pagi onii-chan!

Dia mencoba untuk tidak menguap dan mengusap matanya.

“Kan sudah kubilang, kau harus berhenti untuk menyelinap ke kasurku.”

“Karena onii-chan nantinya akan jatuh cinta dengan Kaede?”

“Tidak.”

“Jangan khawatir onii-chan! Jika onii-chan menginginkannya, Kaede akan mengikuti keinginan onii-chan!

“Karena gerah.”

Sekarang sedang musim panas. Hangat tubuh manusia tidak begitu menarik bagi Sakuta di saat-saat seperti ini. Kenyataannya, ia lebih memilih untuk tidak menyentuh siapa pun di musim panas ini.

Tentu saja, ia akan membuat pengecualian untuk seorang senpai yang ia pacari---Mai Sakurajima. Ia akan dengan senang hati menyentuhnya sepanjang tahun.

Tetapi dunia ini tidak dibangun untuk hasratnya semata, dan hari-hari terus berlalu tanpa ada kontak fisik sedikit pun. Kenyataannya, ia hanya melihat Mai beberapa kali semenjak liburan dimulai.

Mai kembali bekerja lagi, dan jadwalnya begitu padat dengan syuting acara TV dan iklan serta melakukan wawancara, melakukan promosi untuk acaranya sendiri, dan melakukan pemotretan untuk model suatu majalah mode---segala sesuatu yang berhubungan dengan selebriti.

Sebelum liburan dimulai, Mai pernah bilang kalau dia hanya akan bekerja sampai setengah libur musim panas, tetapi jadwalnya langsung sibuk dengan cepat. Dia hampir tidak punya waktu untuk istirahat.

Dan yang Sakuta bisa lakukan hanyalah mengeluh tentang hal itu.

“Ada apa onii-chan?

“Kaede, apa kau tahu tanggal berapa sekarang?”

Kaede melihat ke layar dari jam digital Sakuta.

“2 Agustus,” balasnya.

“Liburan musim panas sudah berjalan selama dua minggu.”

“Benar sekali.”

“Tapi Aku belum bermesraan dengan Mai-san sama sekali!”

“Kalau begitu, sama Kaede saja!”

Kaede mendekat ke Sakuta.

“Tidak terima kasih.”

Ketika Kaede gagal menghiburnya, Sakuta langsung bangun dari tempat tidurnya.

“Apa yang Mai-san punya tapi Kaede tidak?!” ratap Kaede.

Dia melompat ke arah Sakuta, dan ia hampir saja tertindih oleh Kaede. Kemudian, ia memutuskan untuk cepat-cepat bangun dari tempat tidurnya.

“Kau sangat manja hari ini.”

“Aku sedang berada di tengah krisis terbesar dalam hidupku!”

“Kenapa bisa begitu?”

“Aku harus menguasai seni menjadi adik secepat mungkin!”

Kaede mengangguk setelah mengatakan hal tersebut.

Apa pula seni menjadi adik? Apa masih berhubungan dengan kendo atau judo? Tidak, jika hal itu termasuk di dalam kategori yang sama, pasti akan muncul keluhan dari komite olahraga.[1]

Sesaat Sakuta mengabaikan hal yang dikatakan adiknya itu, interkom rumahnya berbunyi. Begitu ia melirik ke arah jam; waktunya menunjukkan pukul 10 pagi. Sakuta bisa tahu siapa yang mengunjunginya tanpa perlu menjawab dari interkom rumahnya.

Hanya ada satu orang yang datang di jam yang sama seperti ini.

“Ya, ya, Aku akan segera membukanya.”

Sambil menguap, ia berjalan menuju pintu masuk masuk rumah untuk menyambut tamu yang datang.


Di pintu masuk rumah Sakuta berdiri seorang gadis muda yang terlihat menawan dengan gaun putih yang dikenakannya hanya menambah kesan gemulainya.

Usianya 12 tahun, siswi kelas satu SMP. Wajahnya memang terlihat sesuai dengan usianya yang muda, tetapi sikap yang ditunjukkannya ketika memasuki tempat tinggal Sakuta sambil menundukkan kepalanya dan berkata, “Maaf mengganggu,” membuatnya terkesan lebih tua dibandingkan dengan usia mudanya. Dengan kata lain, dia terbilang sangat sopan dan tahu akan sopan santun dengan sangat baik.

Gadis remaja yang bernama---Shoko Makinohara---melepas sepatunya dan melangkah ke dalam apartemen Sakuta. Anak kucing yang berbulu putih berlari mendatanginya dan mengusap dirinya ke pergelangan kaki gadis itu.

“Kau mungkin sudah tahu, tapi Aku belum memberinya makan.”

“Oh, kalau begitu boleh Aku yang memberikannya?”

“Bisa sekalian dengan Nasuno juga?”

“Oke!” ucap Shoko tampak sangat senang.

Sakuta menuntun Shoko ke ruang tamu sementara anak kucing tersebut terus melekat di kakinya.

Begitu mereka melewati pintu ke ruang tamu, Kaede memberi isyarat ke Sakuta. “Kemari sebentar”, ucapnya. Ia terus menuntun Shoko ke ruang tamu, lalu berjalan ke arah Kaede.

“Apa?”

“Apa onii-chan lebih suka adik perempuan yang lebih muda?” tanya Kaede dengan air mata yang mulai muncul di matanya.

“Kenapa dengan pertanyaan itu?”

Onii-chan lebih suka adik perempuan yang gemulai dan sopan?”

Kaede melirik dengan sinis ke arah ruang tamu. Rupanya, Shoko adalah sumber dari “krisis terbesar Kaede.”

“Aku cuma butuh seorang adik, dan kau sudah mengisi peran itu,” ucap Sakuta.

“S-sungguh?”

“Aku tak mengerti kenapa kau berpikir yang sebaliknya.”

“Ka-kalau begitu, Shoko itu bagi onii-chan siapa?”

“…Pertanyaan yang bagus.”

Dua minggu telah berlalu semenjak pertemuan tidak terduga mereka. Ia sudah sering kali memikirkannya tetapi tetap tidak bisa menjawab pertanyaan itu dan pertanyaan-pertanyaan lain mulai bermunculan.

Mungkin dia cuma punya nama yang sama. Tetapi tetap saja, wajah mereka juga terbilang sangat mirip…dan jika keduanya memang kerabat, akan sangat aneh jika nama keduanya sama. Shoko tidak tahu siapa Sakuta, jadi ia cukup yakin kalau dia bukanlah Shoko Makinohara yang ia temui sebelumnya. Tetapi siswi kelas satu SMP ini yang sedang merawat kedua kucing di rumahnya sangat mirip dengan siswi kelas dua SMP yang Sakuta temui dua tahun lalu. Ia tetap tidak percaya kalau dia ini orang lain…

Yang berarti hanya ada satu kemungkinan lain.

Semacam fenomena Sindrom Pubertas sedang terjadi di sini. Fenomena supranatural yang tidak ada seorang pun yang mempercayainya sedang menjadi topik perbincangan hangat di internet akhir-akhir ini. Dan Sakuta tahu kalau cerita-cerita seperti itu bukanlah omong kosong belaka. Ia sudah mengalami dua kasus seperti itu dalam tahun ini. Salah satunya melibatkan Mai, dan yang satu lagi melibatkan kohai Sakuta yang bernama Tomoe Koga.

Mungkin saja fenomena serupa terjadi juga pada diri Shoko. Ia tidak begitu yakin apakah kejadiannya baru-baru ini atau sudah terjadi sejak dua tahun yang lalu, tapi…

“Um, Sakuta-san?

Ia sedari tadi melihat ke arah Shoko, namun pikirannya melayang ke mana-mana. Wajar saja jika pandangan mereka saling bertemu begitu Shoko berbalik.

“Mm?”

“Uh, maaf.”

“Untuk apa?”

“Untuk ini.”

Shoko dengan lembut membelai punggung anak kucing itu saat kucing itu makan.

“Aku terus bilang kalau Aku akan merawatnya di rumah, tapi Aku hanya tidak bisa menemukan waktu yang tepat untuk menanyakannya ke orang tuaku…”

Nasuno duduk bersebelahan dengan anak kucing itu.

“Aku janji akan segera membicarakan ini dengan mereka. Tolong tunggu sebentar lagi.”

Inilah alasan mengapa anak kucing yang dia temukan di taman berada di apartemen Sakuta.

“Apa orang tuamu tegas?”

“Mereka sangat baik mendidikku.”

“Tak suka hewan?”

“Kurasa mereka tidak apa-apa dengan hewan. Ketika kami mengunjungi kebun binatang bersama, orang tuaku sangat senang sepertiku.”

“Alergi dengan kucing?”

“Tidak.” Shoko menggelengkan kepalanya.

“Apa kau tinggal di atas restoran yang dijalankan orang tuamu?”

Apa mungkin kalau mereka khawatir takut melanggar aturan kesehatan atau ada pelanggan yang alergi dengan kucing.

“Ayahku bekerja sebagai pegawai kantoran, dan ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Benar-benar keluarga normal seperti biasanya.”

“Huh.”

Jika Sakuta bertanya lebih jauh, rasanya seperti ia sedang menginterogasi Shoko, jadi ia mengalah.

Tetapi kemudian, Shoko mengatakan alasannya.


“Jika Aku minta ke orang tuaku kalau Aku ingin kucing, kurasa mereka berdua tidak akan melarangku.”

Jadi, kenapa wajahnya terlihat sedih seperti itu?

Selain itu, kata-katanya yang diucapkannya juga terbilang ganjil. Sakuta penasaran tetapi ia memutuskan untuk tidak menanyakan lebih jauh. Jika Shoko bisa dengan mudah menjelaskannya, Shoko tidak akan melakukan hal seperti ini sejak awal.

“Tapi…yah, Aku masih belum dapat waktu yang tepat…,” ucapnya lagi.

“Tak apa-apa.”

“Maaf. Kata-kataku sedikit tidak masuk akal, ya?”

“Tak juga,” ucap Sakuta.

Shoko kemudian tertawa kecil.

“Aku tak keberatan merawatnya sementara waktu ini. Nasuno juga kelihatannya senang karena punya teman.”

Kedua kucing tersebut sibuk menjilati satu sama lain.

“Dan kau bisa belajar untuk merawatnya di sini sebelum kau merawatnya di rumah.”

“Benar juga.”

“Apa kau sudah punya nama untuknya?”

“Sudah!” Shoko seketika menjadi ceria kembali.

“……”

“……”

Tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.

“Apa Aku tak boleh mendengarnya?”

“Er? Uh, yah…janji untuk tidak tertawa?”

“Apa namanya lucu?”

“T-tidak, namanya biasa saja, cuma…Hayate.”

Anak kucing itu menoleh ke arah Shoko dengan tampak bingung. Rasanya Hayate bisa tahu kalau Shoko sedang membicarakannya.

“Kupikir nama Hayate cocok dengan warna bulu anak kucing ini yang putih.”

“Nama yang bagus. Hayate bisa jadi sobat Tohoku seperti Nasuno.”

“Sobat Tohoku?”

Nasuno dan Hayate adalah kedua layanan yang ditawarkan di Jalur Kereta Tohoku Shinkansen, tetapi Shoko tampaknya tidak mengerti ini, dan Sakuta pikir sepertinya tidak begitu penting untuk dijelaskan.

“Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Sakuta.

Shoko kembali bermain dengan kedua kucing tersebut. Lalu, dia tampak menyadari sesuatu dan melihat ke arah Sakuta. “Um,” ucapnya dengan suara yang kecil.

Dia melirik ke samping, dan di belakang Sakuta…terdapat Kaede yang sedang mengawasi mereka berdua dari celah pintu yang terbuka sedikit.

“Apa Kaede-san membenciku?”

“Sikap Kaede memang seperti itu ke semua orang, jadi tak perlu khawatir tentang itu.”

“Kurasa Aku masih sedikit khawatir.”

Memang cukup adil. Siapa pun akan seperti itu wajarnya.

“Kaede, kau sudah selesai dengan PR-mu?”

“Ada yang susah. Onii-chan bisa membantuku?”

“Kalau begitu sini.”

Kaede berjalan dengan ragu-ragu ke ruang tamu sambil memegang buku paket matematika. Dia segera menempelkan dirinya ke punggung Sakuta.

“Bagaimana Aku bisa membantumu jika seperti ini?”

“Bagian yang ini,” ucapnya sambil menyodorkan buku paket ke depan Sakuta. Soal pemfaktoran. Kaede sudah menulis formula yang dibutuhkan dengan benar, dan dia juga sudah menyelesaikan semua soal yang melibatkan penyederhanaan dan pemfaktoran.

“Aku tak mengerti apa yang tak kau mengerti.”

“Kaede tak mengerti bagaimana pemfaktoran bisa berguna dalam hidup ini.”

“Hal ini akan membantumu untuk lulus ujian masuk SMA yang kau pilih.”

Setidaknya, pemfaktoran berguna di saat-saat seperti itu untuk Sakuta.

“Oh, masuk akal juga,” ucap Kaede, dan dia menuliskan kata Berguna dalam ujian! di pojok atas dari buku paketnya. Apa dia benar-benar mengerti yang dimaksud oleh Sakuta? Apa cuma itu jawaban yang dia butuhkan? Mungkin dia menanyakan untuk sesuatu yang lebih bermakna, tetapi Sakuta tidak mempunyai jawaban untuk hal itu. Sakuta saja masih berusaha untuk mengerti tentang kalkulus dan trigonometri. Siapa juga yang membuat hal-hal seperti ini? Sinus, cosinus, tangen…

Lalu, ia menyadari kalau Shoko sedang menatap ke arahnya.

“Ada apa?” tanyanya.

“Apa Aku juga boleh mengerjakan PR-ku di sini?”

“PR musim panas?”

“Ya.”

“Tentu saja. Pakai meja yang di sana,” ucap Sakuta sambil menunjuk ke arah meja yang berada di depan TV.

“Terima kasih.”

Shoko membungkuk dengan sopan dan segera duduk di lantai. Dia mengeluarkan lembar kerja yang berisi soal-soal dari tote bag yang dibawanya. Ternyata, dia juga punya PR matematika. Soal persamaan linear dasar. Totalnya ada dua puluh soal yang seperti itu berturut-turut. Mungkin hanya butuh lima belas menit jika dia berkonsentrasi penuh.

Tetapi ketika Shoko melihat soal pertama dan meraih pensil mekaniknya untuk mulai menulis…dia benar-benar terhenti karena bingung. Soal pertamanya adalah 3x= 9. Dia hanya perlu membagi kedua angka dengan angka 3 dan hasil dari x adalah angka 3, tetapi tangannya tidak bergerak sama sekali.

Sekitar semenit dia terdiam seperti itu.

Ketika dia mulai kehabisan akal, dia meraih tote bagnya dan mengeluarkan buku paket matematikanya. Kemudian, dia membuka di halaman tentang persamaan linear dan mulai membacanya, tetapi dia hanya terlihat semakin kebingungan.

“Perlu bantuan?”

“……”

Shoko menatap ke Sakuta dengan wajah terkejut.

“Kau tampaknya sedang kesusahan.”

“A-aku baik-baik saja. Aku bisa melakukannya, kurasa.”

Shoko kembali membaca buku paketnya.

Dia terus-terusan membacanya selama sekitar lima menit dan akhirnya mencoba memecahkan soal pertama. Dia membagi keduanya dengan angka 3 dan berhasil mendapatkan kalau x= 3.

Dia menatap ke arah Sakuta, penasaran apakah dia benar dengan jawabannya itu.

“Kerja bagus,” ucap Sakuta. “Kau sudah benar.”

Dia menyelesaikan sisa soalnya dengan cukup cepat. Sepertinya dia sudah mengerti konsep pertanyaannya. Dia tidak terlihat begitu ragu…yang mana hal itu membingungkan Sakuta. Karena sikap Shoko tidak seperti seseorang yang akhirnya mengingat akan pelajaran yang sudah diajarkan oleh guru di kelas. Sikapnya lebih seperti…dia belum pernah melihat soal seperti ini sebelumnya dan baru saja mengerti tentang konsep dasarnya.

Dia menyelesaikan lembar kerja yang ditugaskan dan menaruhnya kembali ke dalam tote bagnya.

“Um,” ucap Sakuta.

Shoko dengan spontan menatap ke arahnya seperti dirinya sudah diajari untuk selalu menatap mata seseorang ketika sedang berbicara dan lama-kelamaan dia selalu melakukan ini.

“Boleh Aku bertanya? Mungkin terdengar agak aneh.”

“Er…,” ucap Shoko yang waspada. Dan wajahnya sedikit tersipu malu. “Apa pertanyaannya mengarah ke hal yang kotor?”

“Tak sama sekali.”

“O-oh.”

Sakuta tidak mengerti kenapa Shoko menganggapnya seperti itu, tetapi jika ia mencoba memperpanjang alasannya, ia tidak akan pernah bisa menanyakan hal yang ingin ia tanyakan.

“Makinohara-san, apa kau punya kakak perempuan?”

“Tidak.”

“Ada kerabat yang mirip denganmu?”

“Kurasa tidak ada sejauh yang kutahu…”

Dia mulai terdiam karena jelas saja dirinya kebingungan dengan pertanyaan yang ditanyakan Sakuta.

“Sebenarnya, dulu Aku pernah bertemu dengan seorang cewek yang mirip denganmu. Cewek ini jauh sedikit lebih tua dibandingkan dirimu, jadi Aku penasaran apa kalian berdua kerabat.”

“Aku anak tunggal.”

“Oh…”

“Seberapa tua usianya?”

“Mm?”

“Gadis yang mirip denganku.”

“Dua tahun yang lalu dia itu ada di kelas dua SMA, kalau sekarang berarti dia sedang menjalani kuliah tahun pertamanya---jadi mungkin 19 tahun?”

“Sembilan belas…,” bisik Shoko.

Angka tersebut tampaknya tidak begitu penting bagi Sakuta, tetapi sebaliknya dengan Shoko yang merasa kalau angka tersebut sangat penting baginya. Atau cuma perasaan Sakuta saja yang begini?

“Ada apa?”

“Oh tidak apa-apa. Aku hanya tidak bisa membayangkan diriku menjenjang perguruan tinggi. Aku penasaran bagaimana rasanya nanti.”

Kata-katanya terdengar normal untuk seseorang yang baru saja memulai SMP.

“Jangan khawatir. Aku sendiri sudah kelas dua SMA, dan Aku juga tak bisa membayangkan diriku masuk kuliah.”

“Kurasa Sakuta-san harus mulai memikirkan tentang itu,” ucap Shoko. Dia agak ragu mengatakannya, tetapi dia memang tidak salah.

“Benar juga.”

Mereka kembali berbincang-bincang, dan Shoko bersiap untuk pergi sebelum waktu tengah hari. Sama seperti yang selalu dilakukannya. Sakuta berjalan mengantarnya sampai ke pintu masuk apartemen.

“Besok sudah waktunya mandi untuk Nasuno,” ucap Sakuta begitu Shoko bersiap untuk pergi. “Kau bisa berlatih memandikan kucing dengannya.”

Hayate masih terbilang kecil, jadi dia sebaiknya tidak mandi dulu sebelum bisa mengatur suhu tubuhnya dengan baik.

“Terima kasih telah merawat Hayate,” ucap Shoko sambil menundukkan kepalanya. Lalu, dia melambai pergi dan berbalik.

“Masih tak ada petunjuk untuk misteri dua tahun lalu ya,” gumam Sakuta saat dia melangkah masuk ke dalam lift. “Kurasa Aku harus bertanya ke Futaba.”





[1] Nananotes: Seni menjadi adik atau Sister-do dari raw Englishnya pelesetan dari kata Judo atau Kendo, kata Ju yang berarti Jujutsu atau bela diri tangan kosong/senjata pendek dan -do bisa diartikan sebagai jalan tapi bisa kita terjemahkan menjadi kata ‘seni’ karena secara keseluruhan baik Judo atau Kendo merupakan seni bela diri. Untuk Kendo dengan kata Ken yang berarti Kenjutsu atau bela diri alat dan kata -do artinya sama seperti di Judo.