cover jilid 2

Iblis Kecil Laplace
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Tetapi secercah harapan Sakuta pupus begitu saja ketika tanggal 18 Juli yang keempat kalinya tiba.

Jelas saja, satu-satunya cara untuk keluar dari situasi ini adalah dengan menghadapi Iblis Laplace langsung.

Ia menaiki kereta seperti biasanya dan bertemu dengan Kunimi lagi.

“Yo.”

“Mm.” balas Sakuta akan senyum Kunimi dengan wajah cemberut.

Kunimi meraih pegangan kereta di sebelahnya tanpa merasa terganggu sama sekali.

Mereka memandangi pemandangan kota yang terus berganti untuk sesaat.

“Kunimi,” ucap Sakuta memulainya.

“Mm?”

“Kau punya pacar, kan?”

“Dan Aku sangat bersyukur untuk itu.”

“Apa yang akan kau lakukan jika cewek lain menyukaimu?”

“……”

Ekspresi gelisah muncul di wajah Kunimi.

“Apa yang akan kau lakukan jika kau menyadari perasaannya padamu?” tanya Sakuta.

“Siapa yang sedang kita bicarakan?” Kunimi menatapnya bertanya-tanya seakan menyelidiki sesuatu.

“Misalnya saja.”

“Misalnya, ya?”

Sakuta tidak memberi tahu siapa yang sedang dibicarakan, tetapi Kunimi menganggap hal ini dengan serius. Hal itu membuat Sakuta yakin akan satu hal.

Kunimi menyadari akan perasaan Futaba padanya.

Karena itulah ia menganggap pertanyaan Sakuta dengan serius.

“Apa cewek ini tahu…kalau Aku tahu perasaannya?”

“Tidak untuk saat ini.”

Tidak satu pun dari mereka memeriksa tentang siapa yang mereka bicarakan.

“Untuk saat ini,” lanjut Kunimi sambil tersenyum. “Aku tak ingin menggali perasaan itu ketika dia menyembunyikannya.” Ia tetap menjaga tatapannya ke laut luas di depan mereka.

Menyipitkan mata ke arah cahaya yang bersinar terang.

“Aku merasa kalau yang begitu bisa dibilang sombong, kan? Seperti, memangnya Aku ini siapa?”

Kunimi memilih perkataannya dengan hati-hati.

“Tapi kupikir tak baik juga jika terus seperti ini. Apa yang harus kulakukan?”

“Aku yang bertanya.”

Mereka sampai di Stasiun Shichirigahama tanpa kedua dari mereka bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya.


Semua siswa-siswi berkumpul di gimnasium untuk upacara penutupan semester. Keempat kalinya Sakuta mengalami hal ini. Keempat kalinya juga ia sudah mendengar pidato kepala sekolah, jadi ia mengabaikannya dan memikirkan hal lain.

Tentang Koga.

Sakuta bisa melihatnya sedang duduk bersama anak kelas satu lain.

Dia pasti merasakan kalau Sakuta sedang menatapnya karena dia menatap balik.

Ketika pandangan mereka bertemu, dia terlihat terkejut. Tetapi sesaat kemudian dia tersenyum.

Ketika Sakuta melihat hal itu, rasanya semua sudah masuk akal baginya.

Ya. Anak kelas satu itu berbohong.

Koga memang berbohong.


Seusai sekolah, Sakuta dan Koga bertemu di Stasiun Shichirigahama dan menaiki kereta yang berhenti di tiga stasiun berikutnya, Stasiun Enoshima sambil membicarakan tentang nilai UAS yang mereka dapatkan.

Mereka berjalan menyusuri batu bata trotoar Jalan Subana menuju ke laut. Mereka menggunakan terowongan bawah tanah untuk menyeberang Jalan Raya Rute 134.

Dan Sakuta berjalan lurus menuju Enoshima.

Senpai? Pantainya lewat sini?”

Koga menunjuk ke arah kiri. Pantai Timur Enoshima, dengan semua kios dan loker penyimpanan barang-barang. Di arah kanan mereka adalah Pantai Barat Enoshima.

“Ini keempat kalinya bagiku.”

“Jadi senpai sudah muak dengan pantai?”

“Aku senang kau mengerti situasinya,” ucap Sakuta.

Ia melangkah maju ke Jembatan Benten.

“Kita pergi ke Enoshima?” tanya Koga. Mengejar Sakuta dengan berlari ringan dan menoleh ke arah wajah Sakuta.

“Kita tak pernah sampai ke sana kan saat kencan pertama kita?”

“Oh, benar juga.”

Sebelumnya, mereka berhenti di tengah jembatan, dan Koga melihat teman sekelasnya sedang dalam kesulitan. Gadis itu…Nana Yoneyama kehilangan gantungan ponselnya. Dia dan teman-temannya membeli gantungan yang sama, jadi dia nekat untuk mencari gantungan yang hilang.

“Pulau Enoshima. Langit membentang. Lautan luas.”

Di depan mereka, langit dan laut yang berwarna biru melengkapi Enoshima. Tiga hal itulah yang hanya bisa dilihat sejauh mata memandang.

Koga mengulurkan tangannya ke atas seakan mencoba meraih langit biru.

Layangan terbang di atas mereka. Burung-burung yang terkadang bertanggung jawab atas makanan hilang dari para pengunjung pantai.

Jembatan dengan jalan paving ini panjangnya sekitar 300 meter dan ketika mereka tiba di ujungnya, mereka disuguhkan dengan deretan toko oleh-oleh yang ditujukan untuk turis, serta kios-kios yang dikelola oleh nelayan setempat. Tempat ini ramai ketika musim panas tiba. 

Begitu melewati Gerbang Torii, jalannya menjadi menanjak---dan bisa dibilang bukan jalan menanjak yang curam. Jalannya juga menjadi menyempit dan membangkitkan nostalgia dari orang-orang yang melewatinya. Di kedua sisinya terdapat banyak toko-toko yang menjual berbagai benda, dari ikan teri (khas lokal) sampai dompet warna-warni dengan penjepit logam.

Sakuta dan Koga melewati sepasang kekasih anak kuliahan yang saling berbagi kerupuk nasi raksasa dengan gurita yang dipanggang di dalamnya (tako senbei).

Sakuta merasa tatapan Koga ke arahnya.

“Jajanan pasar seperti ini buruk untukmu,” ucap Sakuta, tetapi ia tetap menyerahkan uang ke penjual kiosnya.

“Aku akan mulai diet besok.”

“Oh?”

Mereka sambil berbincang sementara menunggu kerupuk gurita tersebut matang.

“Ini sangat besar!” ucap Koga yang kagum dengan ukurannya. Kerupuk tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kepala mereka.

Mereka kembali berjalan menyusuri jalan setapak sambil bergiliran menyobek kerupuk menjadi potongan-potongan kecil.

Di depan mereka terbentang tangga yang menjulang tinggi dengan Gerbang Torii merah di tengah dari dua anak tangga tersebut. Di akhir anak tangga setelah Gerbang Torii terdapat tiga kuil (Hetsumiya, Nakatsumiya, Okutsumiya) dari Kuil Enoshima yang merupakan salah satu dari Tiga Kuil Agung Benzaiten di Jepang.

Sakuta dan Koga menghabiskan sisa kerupuk mereka saat berada di luar Gerbang Torii, lalu berjalan menaiki tangga menuju ke kuil.

Hal ini cukup sulit dilakukan hingga mereka berdua terdiam, berkonsentrasi agar kaki mereka terus melangkah menaiki anak tangga. Ketika mereka sampai di kuil pertama, Hetsumiya, mereka sudah kelelahan.

“Kakiku gemetaran.”

“Tapi kau masih kelas satu!”

“Apa hubungannya dengan itu?”

“Kau masih muda!”

Setelah berhenti sejenak, mereka berdua berdoa di depan kuil.

“Koga, di sini ada papan doa untuk percintaan.”

Terdapat banyak papan kayu yang tergantung di sekitar pohon jodoh.

“Ayo tulis juga.”

“Huh? Bukannya kalau begitu kita akan berbohong kepada Dewa-Dewi?”

Sakuta mengabaikan Koga dan membeli papan ema [1] dari miko [2] yang berjaga.

S-Senpai!

Miko yang berjaga mengira kalau Koga pasti hanya malu karena gadis itu hanya tersenyum lebar.

Sakuta meminjam pulpen dan menuliskan nama lengkapnya di dalam bentuk hati. Sakuta Azusagawa.

“Kan?”

“Nanti kena nasib sial!”

“Kita sudah siap untuk pergi ke neraka ketika kita memutuskan akan membohongi semuanya.”

“Memang, sih. Tapi Aku tak ingin senpai ikut bersamaku ke neraka!”

Koga ragu-ragu, lalu membalik papan kayu itu. Di belakangnya adalah daftar dari tipe hubungan yang bisa dipengaruhi oleh permohonan ema tersebut. Dan yang paling atas tertulis “Cinta tidak terbalas.”

Sakuta bisa mengetahui rasa terkejut Koga.

Dia agak ragu untuk sesaat, lalu menuliskan nama lengkapnya Tomoe Koga dengan kanji di sebelah nama Sakuta. Ia kemudian mengambil papan kayu itu dari tangan Koga dan mulai mengikatnya di gantungan pohon jodoh.

Senpai! Kita tak boleh menaruh kebohongan di antara semua permohonan yang nyata. Aku bawa pulang saja yang ini.”

Dia menarik lengan baju Sakuta berusaha untuk menghentikannya. Sakuta sendiri khawatir kalau miko yang berjaga akan mendengar mereka.

“Cuma Aku yang berbohong di sini, jadi tenang saja.”

“Huh?”

Dengan Koga yang mengendurkan tarikannya. Sakuta mengambil kesempatan ini dan menyelesaikan ikatan papan kayu mereka. Ia pastikan kalau tali ikatannya akan sulit untuk dibuka.


Mereka kembali menaiki anak tangga tanpa berbicara sepatah kata pun seakan-akan sedang dalam upacara keagamaan. Mereka kembali berdoa ketika sampai di Nakatsumiya dengan pilar merahnya yang khas. Berjalan lebih jauh sedikit, mereka sampai di dekat menara pengawas Enoshima (Mercusuar yang dinamakan ‘Lilin Laut Enoshima’).

Sakuta dan Koga melewati menara tersebut dan berjalan menuju Okutsumiya yang ada di belakang pulau.

Dengan jalan berbatu kuno yang cukup kecil, rasanya sangat pas dengan keadaannya. Tangga yang berada di area tersebut membawa mereka naik-turun, dan di sekitarnya ada beberapa kios oleh-oleh, toko manisan Jepang, dan restoran.

Rasanya seperti sedang berada di film jadul. Suasana ramah serta nyaman yang dirasakan ketika semua orang yang tinggal kenal dengan sesama tetangganya. Para kucing liar yang terkadang lewat dan Koga berusaha mengelus mereka semua tetapi tidak berhasil sama sekali.

Senpai, yang tadi itu…”

“Mm?”

“Di pohon jodoh.”

“……”

“Oh, lupakan saja.”

“……”

Sakuta tahu apa yang ingin Koga katakan.

Dia ingin menanyakan tentang apa yang ia katakan sebelumnya.

Cuma Aku yang berbohong di sini, jadi tenang saja.

Ia tahu kalau hal ini pasti mengganggunya, tetapi Koga tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Mereka sampai di Okutsumiya tanpa Koga yang mengatakan sepatah kata apa pun.

Mereka berdoa dalam diam. Sakuta mencoba melirik ke diri Koga saat dia menepukkan kedua tangannya dengan ekspresi wajah yang sangat serius. Sebenarnya, apa yang dia harapkan?


Jalan bertapaknya semakin mengecil. Mereka berjalan menuruni tangga kecil yang panjang dan sampai di Tepi Barat dari Enoshima---Chigogafuchi.

Sebuah dataran tinggi di tepi laut yang berbatu dengan lebar sekitar 45 meter, di mana hantaman ombak menabrak dataran berbatu sehingga memperhalus permukaannya. Sepertinya, tempat ini muncul ke permukaan selama Gempa Besar Kanto.

Siang ini hari yang cerah, dan mereka bahkan bisa melihat pemandangan dari Gunung Fuji yang merupakan pemandangan yang menakjubkan untuk dilihat.

Semilir angin laut menghilangkan rasa lelah mereka. Banyak pasangan kekasih yang berhenti untuk melihat bentukan aneh dari apa yang telah diciptakan oleh alam.

“Hinako bilang kalau tempat ini sangat indah saat matahari terbenam,” ucap Koga dengan kedua tangannya di atas pagar pembatas.

Dia mungkin sudah menyadarinya.

Kenapa Sakuta mengajaknya ke Enoshima.

Dan kenapa ia mengatakan hal sebelumnya.

Dan dia berpura-pura untuk tidak menyadarinya.

“Ayo.”

“Mm.”

Balasannya semakin singkat dan pendek.


Mereka berjalan kembali ke tempat semula dalam diam.

Tidak ada satu pun dari mereka yang banyak bicara.

Ketika mereka mulai mengunjungi kuil pertama, rasanya sangat sulit, tetapi jalan pulang mereka terasa begitu mudah karena jalannya yang menurun. Mereka melewati Gerbang Torii di kuil pertama lagi hingga ke area perbelanjaan yang ramai. Penjaga kios memanggil-manggil mereka tetapi keduanya terus berjalan meninggalkan Enoshima di belakang mereka.

Ketika berjalan melintasi Jembatan Benten, mereka dapat melihat dengan jelas pantai yang berada di kedua sisi. Perspektifnya terbalik dengan Pantai Barat berada di sebelah kiri mereka dan Pantai Timur berada di sebelah kanan mereka. Terik matahari yang perlahan mengarah ke selatan dan kedua pantai tersebut semakin ramai. Banyak siswa-siswi dari SMA Minegahari pasti langsung berkunjung ke pantai setelah upacara penutupan selesai. Sama seperti rencana yang dilakukan oleh Sakuta dan Koga.

Senpai, masih mau pergi ke pantai?” tanya Koga yang terlihat sangat ingin mengunjunginya. “Aku masih mengenakan baju renang dibalik ini.”

Ada nada ceria di balik perkataannya tersebut. Dia terdengar seperti dirinya yang biasa.

Hal itu hanya memantapkan pilihannya. Sakuta menghentikan langkahnya.

Koga menyadari hal itu beberapa saat kemudian dan berbalik sekitar dua meter di depan Sakuta sambil menatapnya dengan kebingungan. Mereka berdua sedang berada tepat di tengah dari Jembatan Benten yang dikelilingi oleh lautan di bawahnya.

Senpai?

“Koga, kebohongannya harus berakhir.”

“Huh? Oh, benar juga. Sekarang hari terakhir.”

“Bukan yang itu.”

“…Senpai? Kau menakutiku.”

Koga menatapnya dengan bingung.

“……”

Tetapi Sakuta tetap tidak mengalah.

“Uh…ada apa memangnya?”

“Kau pikir Aku tak menyadarinya?”

“Apa yang sedang kita bicarakan?”

“Memang terbilang palsu, tapi kita sudah berpacaran selama tiga minggu.”

“……”

“Kau juga pernah bilang kalau Aku bisa membaca situasi tapi nyatanya tidak.”

Senpai jadi sangat aneh,” keluhnya yang sudah kehilangan kata-kata.

“Kau tak perlu mengatakannya padaku tapi Aku tahu.”

“……”

“Kau tahu, ternyata benar seperti yang dikatakan orang-orang,” ucap Sakuta.

Koga selalu menatap langsung ke Sakuta selama ini, tetapi sekarang ini dia menundukkan kepalanya.

“Tak peduli seberapa banyak kau mengulanginya, perasaan orang tak akan berubah.”

“……”

“Kebohongan tak akan berubah menjadi kenyataan, dan kenyataan tak akan menjadi sebuah kebohongan.”

Sebagai tanggapannya, Koga dengan erat menggenggam lengan seragamnya. Seperti sudah tidak tahan dengan situasinya.

“…Bahkan setelah ratusan kali?” jawabnya serak sambil menatap ke arah kakinya. Angin laut yang kencang meredam ucapannya.

“Tidak.”

“……Bahkan ribuan kali?”

Bicaranya gemetaran.

“Tidak.”

“Puluhan ribu kali?”

“Kau bisa mencobanya sebanyak jutaan kali dan Aku masih mencintai Mai-san.”

“……”

“Dan tak peduli seberapa banyak kau mengulanginya, perasaanmu juga tak akan berubah.

“……”

“……”

Suasana hening yang begitu berat menyelimuti mereka berdua. 

Tetesan air hujan mulai turun dengan deras, dan jalan paving yang kering berubah menjadi gelap.

Sakuta menatap ke atas dan langitnya masih berwarna biru. Ternyata hujan panas turun.

Senpai bohong,” ucap Koga dengan suara yang terendam di rintik-rintik hujan. “…Perasaan bisa berubah.”

Tetesan air hujan itu begitu besar hingga terasa sakit, dan begitu derasnya yang turun hanya membuatnya semakin buruk.

“Setiap kali kita mengulanginya, perasaan itu semakin kuat. Tumbuh begitu kuat.”

Suaranya serak, Koga mengakui kebohongan yang dia katakan pada dirinya sendiri. Koga tahu kalau mereka akan mengulangi hari yang sama. Dia tahu itu tetapi pura-pura bertindak seolah ini adalah yang pertama kali. Tanggal 18 Juli yang kedua dan ketiga lewat dengan dirinya yang bersenang-senang menghabiskan waktu di pantai seakan tidak menyadarinya. Tetapi semua itu hanya akting.

Untuk menyembunyikan semua perasaan sukanya.

“Aku tahu kalau Aku harus melupakannya, tapi Aku tak bisa melakukannya. Setiap kali kupikirkan kalau, ‘Kali ini harus kulupakan,’ tapi hal itu tak pernah berhasil. Tak peduli seberapa inginnya Aku agar tak merasa seperti ini!”

Suaranya yang gemetaran menghantam Sakuta seperti pisau yang tertancap di dadanya.

Semua emosi yang dipendam di dalam dirinya mulai keluar. Perasaan itu sangat manusiawi. Tidak mungkin Iblis memiliki sesuatu seperti ini.

“Kita seharusnya bersenang-senang di kencan terakhir kita dan mengakhiri hubungan palsu ini dengan senyuman. Dan setelah putus, senpai dan Sakurajima-senpai mulai berpacaran, dan ketika semester kedua dimulai, Aku akan menggoda senpai tanpa ampun tentang hal itu.”

“Koga…”

“Dan kita akan berteman. Pertemanan di mana kita bisa berbicara tentang apa pun. Senpai akan jadi teman yang lebih tua yang dapat kuandalkan. Dan Aku tahu kalau senpai menyukai hal itu juga. Kita akan berbicara tentang segala hal yang terjadi, bahkan tentang hubungan palsu, seperti hal yang begitu menyenangkan. Dan kita akan berteman selamanya!”

Koga menatap Sakuta, mencoba untuk tersenyum namun gagal.

“Cuma itu yang kuinginkan.”

Ekspresi wajahnya yang terlihat begitu kesakitan membuat hati Sakuta begitu pedih melihatnya.

“Hanya itu yang kuinginkan. Aku tak menginginkan hal yang istimewa atau apa pun. Aku tak ingin egois. Aku tak ingin membuat masalah ke orang lain. Jadi… Jadi kenapa hari esok tak tiba juga?!”

“……”

“Aku memutuskan untuk mengakhiri perasaan ini, jadi kenapa ketika Aku bangun di pagi harinya perasaan ini terasa semakin kuat dari hari kemarin?!”

Karena memang seperti itu kenyataannya. Memendamnya jauh di dalam diri tidak akan menghilangkan perasaan tersebut. Mereka tidak akan menghilang begitu saja. Perasaan itu terus tumbuh di lubuk hati yang terdalam.

Semakin orang itu mencoba untuk menyangkalnya, akan semakin sulit juga untuk melupakannya.

“Ini sangat menyebalkan…”

Ingatan dan perasaan dari manusia bukanlah hal yang digital. Tidak bisa dihapus dengan begitu tiba-tiba. Hal tersebut tidak seperti nomor ponsel, alamat email, atau ID aplikasi. Tidak bisa menekan tombol hapus dan hilang begitu saja. Manusia terikat dengan orang lain dalam cara yang rumit. Waktu selama tiga minggu yang dihabiskan oleh Sakuta dan Koga bersama-sama telah menghubungkan keduanya.

“Aku sudah putuskan untuk menyingkirkan perasaan ini. Aku sudah membuat pilihan itu!”

“Kau tak perlu melakukan hal tersebut.”

“Perlu!”

Koga menjalani hidup dengan caranya sendiri. Tidak peduli seberapa banyak dia mengulanginya, hal itu hanya membuatnya menderita.

“Kan senpai suka dengan Sakurajima-senpai! Aku hanya sebagai pengganggu. Perasaanku ini bukanlah perasaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang teman! Teman itu tak butuh dengan perasaan seperti ini!”

Itulah yang diminta oleh Sakuta untuknya.

Ketika kebohongan ini berakhir, kita tetap teman.

Koga memutuskan untuk memendam perasaannya jadi dia bisa memenuhi permintaan tersebut. Dia tidak punya pilihan lain karena dia tidak ingin menjadi beban bagi Sakuta.

Karena itulah dia tidak berkata apa-apa dan mencoba untuk mengatasi masalahnya sendiri. Mencoba untuk menyembunyikan perasaannya. Membuatnya seperti perasaan itu tidak pernah ada. Itulah yang harus dia lakukan untuk menjadi teman Sakuta.

Agar terus bersama di sisi Sakuta sebagai teman yang sedikit lebih muda darinya, kohai kecil yang nakal.

Tetapi perasaannya tidak mengindahkan perintah dirinya, dan mencoba untuk mewujudkan perasaan tersebut seperti yang diinginkan terbukti tidak mungkin.

Beberapa emosi manusia terlalu kuat untuk bisa dikendalikan dan semua manusia bahkan tidak selalu mengerti betul akan perasaan mereka sendiri.

Hal ini mungkin pertama kalinya untuk Koga dalam menghadapi emosi seperti ini.

Hubungan mereka dimulai sebagai sebuah kebohongan.

Tetapi sebelum dia bisa menyadarinya, perasaan suka itu nyata adanya. Tumbuh berkembang menjadi nyata.

Meski begitu, kebohongan tetaplah kebohongan, jadi dia membuat hari perpisahan tersebut dalam pengulangan…tapi perasaan sebenarnya tetap melekat di dirinya. Emosi kuat yang terkunci di dalam dirinya dan tidak hilang sepenuhnya. Tanpa benar-benar bisa mengungkapkannya, perasaan tersebut terjebak dalam kegelapan di dirinya, hingga membuat perasaan tersebut memohon pada dirinya.

Tetapi Koga tidak akan membiarkan dirinya untuk mendengarkan permohonan dari perasaan itu. Jika dia biarkan perasaan itu meluap keluar, hal itu akan menjadi masalah. Masalah untuk Sakuta. Untuk menjadi Tomoe Koga yang Sakuta inginkan, satu-satunya pilihannya adalah dengan mematikan perasaan itu. Menginjak-injaknya hingga tidak berdaya dan menguburnya dalam-dalam di dirinya.

Hal ini bersifat menyakitkan, merusak, dan tidak terhindarkan. Itu juga yang membangunkan Iblis yang tertidur di dalam dirinya. 

Inilah bentuk sejati dari Iblis tersebut. Bagian dari diri Koga yang dia kurung di dalam dirinya sendiri. Bagian dari dirinya yang tidak ingin libur musim panas tiba. Yang ingin terus berpacaran dengan Sakuta meskipun hal itu hanya sebuah kebohongan. Yang berharap hari esok tidak akan pernah tiba.

Tetapi meski begitu, Koga tetap terdiam, mencoba untuk melupakan Sakuta. Mencoba membuat agar semua hal ini tidak pernah terjadi. Karena itulah dia berbohong.

“Koga”

Ketika Sakuta mulai berbicara, dia merasa kaget.

Tapi bahkan jika hal ini akan melukainya, Sakuta harus mengatakannya.

“Kau selalu membuat masalah untukku selama ini.”

Senpai sangat jahat…”

“Kau baru menyadarinya?”

“Aku tak suka senpai. Aku benci senpai! Ini semua salah senpai! Jika senpai tak bersikap begitu baik padaku…”

“Ya. Jadi kau tak perlu khawatir menjadi beban.”

“Aku juga benci diriku sendiri. Ini bukan diriku sendiri!”

“Ini dirimu! Ini adalah bagian dari dirimu, Koga.”

“Tidak! Ini bukan Aku! Aku ingin agar musim panas tiba! Aku ingin berteman dengan senpai, bersenang-senang, dan saling tertawa bersama! Hanya itu yang kumau!”

Koga masih belum meneteskan setetes air mata pun. Namun, matanya berkaca-kaca saat dia melihat ke arah Sakuta. Seperti jika dia membiarkan air matanya mengalir, semua itu akan berakhir.

“Jangan berbohong dengan dirimu sendiri lagi.”

“……”

“Kau ini cewek SMA pejuang keadilan, kan?”

“Tidak adil. Jika senpai mengatakannya seperti itu…”

“Kau tak bisa mengubahnya, Koga.”

“Tak adil. Senpai tak adil.”

“Kau tak perlu memendamnya lagi.”

Senpai bodoh! Dasar bodoh! Aku benci senpai! Aku muak dengan senpai! Tapi…”

Rasa sakitnya bisa terdengar dengan jelas.

“Tapi…Aku juga suka senpai.”

Air matanya mengalir.

“Aku cinta senpai.”

Ditarik napasnya dalam-dalam dan…

“Aku cinta senpai!” teriaknya. Meluapkan semua emosinya yang terkurung. Melepaskan mereka semua, tepat di depan wajah Sakuta.

Semburan dari emosi murni bergema di langit yang biru.

“Koga,” ucap Sakuta dengan pelan. Selembut yang ia bisa.

Untuk sesaat, Koga berusaha menahan air matanya. Tetapi kata-kata Sakuta tidak membiarkannya.

“Selamat,” ucapnya.

Wajah yang seakan menangis dengan air mata yang mengalir hingga membuat pipinya berkilau.

“Kerja yang bagus.”

Dia menangis terdiam dan jalan paving di bawah kakinya menjadi basah karena air matanya.

Langit yang biru menatap mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun, berubah cerah tanpa ada satu awan pun sejauh mata memandang.

Hujan panas yang membasahi mereka juga sudah lama reda.



[1] Nananotes: Ema awalnya merupakan papan kayu yang digunakan sebagai hono atau ‘persembahan’ sebagai rasa terima kasih karena permohonan yang diminta telah terwujud. Namun seiring berjalannya waktu, sekarang ini ema digunakan sebagai ‘persembahan’ untuk menyampaikan permohonan atau doa kepada Dewa-Dewi.
[2] Nananotes: Miko adalah gadis kuil atau pendeta-wanita pendamping dalam agama Shinto di Jepang. Dulu dianggap sebagai dukun namun dalam zaman modern ini peran miko hanya dilakukan secara adat yang berlaku.