cover jilid 2

Segala Kebohonganku Padamu
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Hari kedua UAS, Selasa. Sakuta langsung dipanggil ke ruang guru ketika ia sampai di sekolah, dibawa ke ruang BK, dan dipaksa untuk mengerjakan ujiannya sendirian.

Ia tidak perlu bertanya kenapa. Penyebabnya sudah jelas karena perkelahiannya di Stasiun Shichirigahama.

Petugas stasiun pasti melaporkan kejadiannya.

“Saat UTS, kau juga menyebabkan keributan besar di halaman, dan sekarang, saat UAS, kau malah berkelahi. Apa kau tidak suka dengan yang namanya ujian, Azusagawa?”

“Kurasa semuanya akan senang jika ujian dihilangkan.”

“Kau tahu kalau hal seperti itu tidak akan pernah terjadi.”

Wali kelasnya bersikap seakan sedang memarahinya tetapi nada bicaranya tidak terdengar seperti orang yang kesal. Karena ada banyak saksi mata, dan kejadian yang sebenarnya juga dilaporkan dengan sebagaimana mestinya.

Terutama bagian di mana Maesawa duluan yang memulainya.

Wali kelasnya akhirnya menyuruhnya untuk berhati-hati, tetapi Sakuta tidak yakin apa yang perlu ia waspadai. Kotoran anjing di jalan mungkin.

Dan rupanya, Maesawa tidak masuk sekolah sama sekali hari ini.


Setelah sekolah usai, Sakuta meninggalkan ruang BK dan bertemu dengan Koga yang menunggunya di lorong sekolah.

Dia tampak menyesal seolah semua ini salah dirinya karena membuat Sakuta dipanggil oleh guru.

“Bagaimana ujianmu?” tanya Sakuta.

“Sangat buruk,” bahkan jawabannya saja merepresentasikan kemurungan tersebut.

“Belajar bareng dengan teman-temanmu berubah menjadi ngobrol-ngobrol di restoran keluarga?” tebak Sakuta.

Ia mulai berjalan, dan Koga dengan murung mengikutinya.

“Bagaimana dengan senpai?” tanyanya.

“Menurutku cukup.”

“Cukup baik?”

“Cukup buruk.”

“Yah, setidaknya kita juga sama.”

Rasa persahabatan berdasarkan hasil ujian buruk tidak akan membuat mereka berdua menjadi siswa-siswi yang lebih baik, tetapi Koga tampak lega dengan hal ini.

“Oh iia, senpai, kau seharusnya punya ponsel sendiri.”

“Huh?”

“Maksudku, Aku tiba-tiba kabur begitu saja kemarin, kan? Kalau begitu, um…Aku jadi khawatir dengan apa yang kau pikirkan tentangku.”

“Kupikir karena emosimu sedang tak stabil.”

Wajah Koga langsung berubah merah. Amarahnya muncul.

“Yah, Aku ingin menjelaskan hal itu secepatnya!” keluhnya sambil melotot ke Sakuta. “Dan senpai di panggil ke ruang guru langsung pagi ini, jadi Aku ingin mengobrol dengan senpai dulu sebelumnya…dan Aku jadi tak bisa berkonsentrasi dengan ujianku sama sekali.”

Tampaknya dia memendam dendam karena hal itu.

“Tapi, uh…cuma itu yang senpai pikirkan?” tanya Koga yang tampak enggan untuk menanyakannya.

“Cuma apa?”

Senpai tak memikirkan hal lain tentang kejadian kemarin?”

“Aku bahkan tak memikirkan tentangmu sama sekali.”

“Cara senpai mengatakannya sangat jahat. Tapi…baiklah.”

“Bagus,” bisik Koga dengan pelan dan tampak lega. Sakuta menyadari kalau mata Koga tampak sedikit bengkak.

“Apa kau kurang tidur karena belajar semalaman?”

Jika memang begitu, tidak bisa berkonsentrasi dengan ujian benar-benar menyedihkan buatnya.

“Tidak, memangnya kenapa?”

“Matamu seperti mata panda.”

Senpai bercanda kan?!” Koga mengeluarkan cermin kecil dan memeriksanya. “Argh, seperti yang senpai bilang! Aku harus membetulkannya.”

Dia berlari ke toilet perempuan dengan buru-buru.

Karena ditinggal, Sakuta bergumam sendiri, “Lebih seperti bengkak karena menangis.”


Saat Hari Rabu, dua hari sebelum UAS selesai, Sakuta diperbolehkan untuk mengerjakan ujiannya di kelas.

Ia bertemu dengan Maesawa di stasiun kereta saat berangkat. Tampaknya ia sudah pulih dari syok yang melandanya. Pandangan mereka saling bertemu sekali, dan ekspresi jijik di wajah Maesawa menunjukkan kalau ia masih belum menyadari kalau Sakuta hanya mengarang tentang kotoran anjingnya.

Dengan keduanya menaiki kereta yang sama, suasana di dalam kereta menjadi tidak begitu nyaman, dan siswa-siswi lain saling berbisik “Kotoran anjing” di sekitar. Beberapa menunjuk ke Sakuta, dan beberapa ke Maesawa. Satu atau dua orang juga berbisik, “Perjaka yang bangga.” Hal ini jelas saja ditujukan untuk menghina Sakuta, tetapi ia tidak begitu kesal karenanya.

Tampaknya cuma sebatas itu saja.

Jika dilihat dari besar konfliknya, tanggapan siswa-siswi lain agak kurang, tetapi karena perkelahian ini terjadi ketika sedang ujian, hal tersebut membantu mengalihkan perhatian siswa-siswi lain. Semuanya lebih sibuk dengan diri mereka masing-masing dibandingkan harus memperdulikan hal lainnya.

Tetapi satu hal yang sangat jelas adalah semua orang tahu akan hubungan Sakuta dan Koga sekarang. Semuanya tahu kalau alasan Sakuta berkelahi dengan Maesawa adalah untuk melindungi Koga, yang mengartikan kalau mereka pasti saling jatuh cinta. Sudah tidak mungkin untuk bersikap seperti “lebih dari senpai, tapi bukan pacar” sekarang ini.

Berarti, ide mereka untuk putus setelah liburan musim panas berakhir pasti tidak akan dapat meyakinkan banyak pihak. Mereka butuh alasan yang jelas dan kuat untuk putus.

Ketika ia selesai mengerjakan ujiannya, Sakuta menatap ke arah laut dari jendela kelas sambil memikirkan suatu alasan yang jelas dan kuat.


Langit menjadi mendung saat Hari Kamis pagi, dan hujan deras turun tidak lama kemudian. Sangat menyebalkan, pikirnya.

Hingga sore hari, tidak ada tanda-tanda hujannya akan segera reda. Cucian yang Sakuta jemur di kamarnya tidak kering-kering juga.

“Berhenti melihatnya.”

Yang duduk di lantai kamar Sakuta di bawah cucian yang dijemurnya adalah Mai yang datang tiba-tiba.

Ia menikmati makan siang santai dengan Kaede dan baru saja selesai menggantung jemurannya ketika Mai tiba.

“Kita harus belajar untuk ujian,” ucap Mai dengan nada mengancam. Yang mana terjadi saat ini juga.

Mereka mengatur meja lipat di tengah-tengah ruangan dan duduk berdampingan. Dilihat dari sudut yang berjarak 45 derajat dari Mai, tampaknya suasana hatinya sangat buruk.

“Apa kau sedang marah denganku, Mai-san?

“Kenapa kau menanyakan itu?”

“Karena kau tiba-tiba saja menyuruhku belajar.”

“UAS berakhir besok. Aku di sini membantu belajar. Cepat selesaikan soal ini.”

Dia menunjuk ke salah satu soal fisika.

Yang bertanya tentang efek Doppler.

“Waktumu lima menit.”

Peringatan yang sangat sederhana.

“Selama Aku tak gagal…”

“Sakuta, apa kau benar-benar memikirkan tentang masa depanmu?”

“Aku berencana untuk bersama denganmu sampai maut memisahkan.”

“……”

Mai dalam diam menekan pensil mekaniknya. Tanpa ada buku catatan di depannya, pensil itu pasti akan digunakannya untuk sesuatu selain menulis. Misalnya, seperti untuk menusuk Sakuta.

Sepertinya akan lebih baik jika ia tidak bercanda lagi.

“Aku memang ingin melanjutkan kuliah.”

Ada dua kondisi yang menghalanginya. Yang pertama adalah karena prestasi akademiknya. Ia tidak akan bisa melanjutkan ke kuliah jika ia tidak bisa lulus dari ujian masuknya. Kondisi lainnya adalah ekonomi keluarganya karena keadaannya saat ini. Ayahnya sudah mengisyaratkan kalau kuliah swasta bukan pilihan baginya.

“Kalau kau, Mai-san?

“Sama.”

“Tak fokus dengan pekerjaanmu?”

“Aku bisa melakukan keduanya. Karena sudah terbiasa.”

Sekarang pun juga sama.

“Aku berniat untuk masuk ke Universitas negeri di Yokohama.”

Entah itu universitas yang dikelola oleh pemerintah pusat atau daerah, ujian masuknya pasti akan cukup sulit.

“Kau memang pintar.”

Dia pernah bilang kalau nilainya tidak pernah di bawah delapan.

“……”

Dengan kedua tangan yang menopang dagunya, Mai menatapnya lama sekali.

Rasanya seperti disengaja, jadi Sakuta menghindar dari pandangannya.

“Jangan berpaling dariku,” tegurnya. “Kau ingin masuk ke Universitas yang sama denganku, kan?”

Ternyata benar seperti yang Sakuta harapkan.

“Yah, Aku tidak---”

“Kau. Ingin. Kan?”

Dengan sambil tersenyum, dia mengarahkan ujung pensilnya ke Sakuta.

“Jika memungkinkan.”

“Kalau begitu belajar.”

“……”

“Jika kuliah di universitas negeri, beban ekonomi yang akan ditanggung oleh orang tuamu tidak akan terlalu besar, dan jika di Yokohama, kau bisa pulang-pergi dari sini.”

Perkataan Mai benar adanya. Dia bahkan sudah mempersiapkan semua kemungkinannya. Apa yang terjadi dengan persiapan sebelum bisa masuk ke salah satu universitas negeri yang ada? Mai langsung melewatinya karena yakin akan perkataannya.

“Yah, kalau begitu…”

“Apa masalahmu?”

“Aku hanya membayangkan betapa susahnya prestasi akademik yang harus kucapai agar bisa lolos.”

Nilai akademik Sakuta hanya berada di rata-tara. Terus bertengger di angka enam.

“Tapi hal itu akan mudah jika kau mencoba mendaftar sendiri.”

“Dan Aku tak mau melakukan itu karena itulah Aku menolaknya.”

“Bahkan setelah apa yang kukatakan.”

“Jujur saja, Aku masih belum mendengar satu kata pun tentang apa yang kau benar-benar inginkan.”

Mai duduk tegak dan menatap langsung ke mata Sakuta.

“Jika Aku bilang kalau Aku ingin melanjutkan ke universitas yang sama denganmu, apa kau akan termotivasi?”

“……”

Pipi Mai sedikit memerah. Dia mungkin sedang berakting, tetapi kata-kata tersebut tetap seperti panah cinta yang menembus hatinya.

“Ap-apa?” tanya Mai.

“Aku jadi ingin melompat ke arahmu sekarang.”

Kutusuk kau.”

Sakuta mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah, dan kemudian berguling di lantai.

“Jangan malas!”

“Tak ada yang bisa memotivasiku.”

“Bagaimana jika Aku mengajarimu dengan kostum bunny girl?

“Aku akan sangat termotivasi.”

Sebenarnya apa yang ingin dia ajarkan ke Sakuta? Jantungnya berdetak begitu kencang menunggu apa yang terjadi. Tetapi Sakuta juga menganggap kalau ini hanya bercanda.

“Jika kau berjanji akan belajar, Aku akan memakainya.”

“Sungguh?”

Sakuta langsung berdiri.

Mai sudah membuka lemari Sakuta dan mengeluarkan paper bag yang berisi pakaian bunny girl tersebut.

“Aku perlu menggantinya. Keluar.”

Dia bersungguh-sungguh mengatakan itu.

Sakuta bahkan tidak pernah berani memimpikan hal seperti ini. Ia tidak akan melewatkan kesempatan ini.

Tanpa sepatah kata apa pun, ia langsung keluar dari kamarnya.

“Jika mengintip, kau akan mati,” geram Mai.

Dan langsung menutup pintu kamar Sakuta.


Sakuta melakukan apa yang diperintahkan, menunggu dengan sabar di ruang tamu.

Mai sedang berganti baju di kamarnya, dan yang memisahkan mereka hanya sebuah pintu kamar. Sebagian dari dirinya ingin mencoba mengintip, tetapi ia menahan dirinya.

Tidak perlu melakukan tindakan berisiko seperti itu. Jika Sakuta menunggunya, ia dapat melihat Mai mengenakan kostum bunny girl itu lagi. Jika harus memilih antara momen telanjang atau sesi bunny girl yang lama…Sakuta akan memilih yang terakhir. Ia pikir ini pilihan yang tepat.

Kaede menatapnya dengan aneh saat ia menunggu di luar, tetapi Sakuta mengelak dengan berkata kalau ia sedang memberi makan Nasuno.

Ia menunggu selama lima belas menit.

“Baiklah,” Mai akhirnya memanggilnya.

“Aku masuk ya,” ucap Sakuta memastikan.

“Silahkan saja.”

Ketika ia mendengar kata-kata tersebut, Sakuta membuka pintu kamarnya.

Mai sedang duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya, dengan satu kakinya yang di geser ke sebelah.

Tapi kali ini dia sedang mengenakan leotard hitam ketat. Dengan stocking hitam panjang yang menyelimuti kaki rampingnya, dasi kupu-kupu di lehernya, manset putih di pergelangan tangannya, dan ikat kepala yang berbentuk telinga kelinci. Sepatu hak tingginya sedang tidak dikenakan karena sedang berada di dalam ruangan saat ini.


Mai mengganti pakaiannya, tetapi yang lainnya tetap sama.

“Ayo sini, duduk.”

Ketika Mai berbicara, telinga kelincinya bergoyang.

Sakuta duduk bersebrangan dari Mai. Lutut mereka saling bersentuhan di bawah meja. Mai tidak mencoba menghindar dari kontak fisik tersebut. Rupanya, kontak fisik seperti ini masih dalam batas yang wajar.

“Sekarang kau belajar.”

Seperti yang dijanjikan, Sakuta membuka buku catatannya dan membaca soal yang ada di buku paket.

Tetapi tanpa sadar, pandangannya kembali tertuju ke diri Mai. Bahunya yang terbuka terasa halus jika Sakuta bisa menyentuhnya. Kulit mulus dari belahan dadanya, membentuk lembah lembut di antara keduanya. Lekukan ramping pinggangnya, lekukan pinggul dan pahanya yang begitu indah. Sakuta bisa menatap semua itu sepanjang hari tanpa lelah.

“Tanganmu tidak bergerak.”

Mai mendekatinya dan menekan hidung Sakuta dengan jarinya.

“Lihat ke arah buku paketmu, jangan ke arahku.”

Ia kira Mai akan marah, tetapi sepertinya dia tidak menunjukkan tanda-tanda seperti itu. Dia tampak menikmati menjadi pusat perhatian Sakuta.

“Kenapa denganmu, Mai-san?

“Kenapa memangnya?”

“Kau tak terlihat sedang marah.”

“Haruskah Aku marah?”

“Ada hal yang menyenangkan terjadi?”

“Tidak…Kupikir Aku bisa memberimu hadiah sekali-sekali.”

Mai berpaling dari Sakuta dan mengatakan suatu hal. Tetapi ia tidak bisa mendengarnya.

“Apa?”

“Kubilang, tidak kusangka kau berkelahi untuknya.”

“Kau melihat yang terjadi Hari Senin ini?”

“Sedikit. Kau sudah mencuci sepatumu, kan?”

“Aku mengarang hal itu.”

“Oh. Argh, Aku tidak menyukainya.”

Sangat tidak adil. Butuh kerja keras agar tetap mendapatkan perlakuan baik dari Yang Mulia Ratu. Sakuta tidak berpikir kalau hal seperti ini pantas untuk dicemburui, tetapi Mai memang tidak suka dengan hal ini.

Mai menjatuhkan dirinya dengan tengkurap di atas meja sambil melotot ke arah Sakuta. Namun, hal ini jelas-jelas hanya memperjelas belahan dadanya.

“Berhenti menatap payudaraku!”

“Jadi intinya, kau haus akan perhatian.”

“Kau ingin kupukul?”

“Jangan di wajah!” Sakuta mengangkat kedua tangannya di posisi bertahan seperti orang yang sedang melawak. Mai melakukan pukulan gerak lambat dan mendaratkan tinju putarnya di bahu Sakuta.

Lalu, dia menghela napas dengan panjang.

“Ayolah! Hibur Aku!”

Perintah yang sulit. Tetapi memang seperti itu seharusnya dengan Mai.

“Mai-san, kau sudah punya rencana di liburan musim panas ini?”

“Aku harus menghabiskan setengah waktu liburku dengan bekerja. Kau?”

“Kebanyakan besar harus bekerja juga. Tapi sisanya, Aku ingin menghabiskan waktu bersama denganmu. Lagi pula, sekarang musim panas.”

“Aku tidak bisa datang ke pantai maupun kolam renang.”

“Aww.”

“Serius. Karena Aku ini selebritis.”

Dan bukan sembarang selebriti biasa. Dia seorang aktris yang terkenal di seluruh Jepang. Jika dia muncul dengan pakaian renang di pantai setempat atau kolam renang, kemunculannya akan menyebabkan kehebohan kecil.

“Ajak saja pacarmu yang imut ke sana,” ucap Mai seperti hal itu sudah tidak penting lagi baginya.

“Mai-san.”

“Apa?”

“Aku mencintaimu.”

Tangannya mendekat ke wajah Sakuta dan mencubit pipinya.

“Owwww.”

“Jangan coba selingkuh! Kau ini pacar dari anak kelas satu itu sekarang.”

“Yah, Aku melihat cewek yang begitu cantik ini dan tak bisa menahan diriku untuk tak mengatakannya.”

“Jangan bilang ke orang lain kalau kau mencintai mereka secara tidak sengaja.”

Kedengarannya Mai seperti sedang memarahinya, tetapi wajahnya tersenyum. Suasana hatinya tampak membaik atau mungkin dia memang suka menggoda Sakuta.

“Ayo, lanjutkan belajarmu.”

“Aww.”

“Kau tidak boleh tidur sampai menyelesaikan semua soal ini.”

Ada banyak persamaan fisika di halaman yang dia tunjuk. Harga yang harus dibayar untuk melihat kostum bunny girl sangatlah mahal. Tetapi janji tetaplah janji…