cover jilid 2

Segala Kebohonganku Padamu
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


Hari Minggu malam, ada pesan suara masuk di telepon rumah setelah Sakuta pulang dari kerja paruh waktunya.

“Siapa yang menelepon malam-malam begini?”

Ayah mereka sedang tidak tinggal bersama mereka, jadi terkadang ia menelepon mereka untuk memeriksa keadaan Sakuta dan Kaede.

Mengira kalau yang menelepon adalah ayahnya, Sakuta menekan tombol pesan masuk.

“Ini Mai Sakurajima. Aku baru kembali dari Kagoshima. Hanya ingin memberitahumu saja.”

Ternyata bukan yang Sakuta harapkan. Nada bicaranya terdengar lebih sopan dari biasanya, yang mana merupakan kesenangan tersendiri bagi Sakuta.

Ia memutar pesan suaranya kembali.

“Ini Mai Sakurajima. Aku baru kembali dari Kagoshima. Hanya ingin memberitahumu saja.”

Mesin penjawab teleponnya memungkinkan Sakuta untuk memutar suara Mai kembali.

Ia hampir mengulang untuk yang ketiga kalinya ketika ia menyadari kalah hal itu membuatnya seperti orang mesum.

Sebagai gantinya, Sakuta mengangkat gagang telepon dan menekan nomor ponsel Mai. Tentu saja, ia sudah hafal.

Mai mengangkat panggilannya saat dering ketiga.

“Siapa ini?”

“Aku.”

“Aku tahu. Nomormu sudah tersimpan di ponselku. Aku baru saja mau mandi.”

Nadanya terdengar kesal, seperti ini salah Sakuta sendiri karena meneleponnya di waktu ini. Ia hanya harus menyerah dengan keadaan ini karena hal ini menjadi salah satu misteri dari pikiran wanita.

“Jadi kau sedang telajang?”

“Jika begitu, Aku pasti tidak akan mengangkat telepon ini.”

“Kenapa tidak?”

“Hanya orang mesum yang berbicara ke seorang pria sambil telanjang.”

Pikirannya benar juga. Sakuta juga lebih suka kalau dia tidak melakukan hal seperti itu.

“Jadi, apa maumu?” Sakuta bisa tahu kalau Mai ingin segera mengakhiri pembicaraannya dan pergi mandi.

“Selamat datang kembali, Mai-san.”

“……”

Sepertinya dia sedikit terkejut.

“Itu saja?” tanyanya.

“Jawabanmu tak seperti yang kuharapkan.”

“Aku tidak bilang kalau ‘Aku pulang.’”

Berarti yang tadi itu tidak masuk hitungan? Sakuta merasa kalau dia bermaksud seperti itu, tetapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Mai.

Saat ia memikirkan hal itu, Mai mengakhiri percakapan sambil berkata, “Sampai jumpa,” dan mengakhiri panggilannya.

Dia memang tidak suka dibuat menunggu.

Tentu saja dia tidak akan mengangkat panggilannya lagi jika Sakuta meneleponnya lagi, ia menaruh gagang telepon kembali ke tempatnya dan merasa puas karena ia tahu kalau Mai sudah kembali pulang dengan selamat.


Hari berikutnya adalah Hari Senin, tanggal 7 Juli. Hari perayaan Festival Tanabata---dan hari yang cerah, tanpa ada awan sedikit pun yang terlihat di langit.

Sakuta menyalakan TV sambil memakan sarapannya.

“Tampaknya Putri Orihime dan Pangeran Hikoboshi bisa saling bertemu tahun ini!”

Pembawa berita pagi selalu menunggu-nunggu untuk bisa mengatakan hal seperti tadi.

Sisa segmen dari laporan cuaca memberitakan bahwa seluruh daerah yang mengalami pergantian musim, suhunya akan mulai mencapai 80 derajat ke depannya. Pembawa berita wanita yang membawakan ramalan cuaca tampak sangat senang dengan berita ini. Karenanya, Sakuta kehilangan motivasi.

Jika ia bisa menghindar, ia dengan senang hati akan bolos sekolah. Tetapi ia punya alasan bagus untuk tidak melakukannya karena UAS dimulai hari ini.


Sambil menahan teriknya panas matahari, Sakuta berhasil sampai ke sekolah di mana ujian Matematika dan Bahasa Inggris menunggunya. Ia berhasil menjawab semua pertanyaan yang ada saat ujian Matematika, tetapi bagian listening dari ujian Bahasa Inggris benar-benar kacau. Dalam perjalanan pulang, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan yang sama sekali tidak memerlukan Bahasa Inggris.

Mungkin saja ia memang tidak cocok menjadi Sinterklas.

Jalan singkat menuju ke stasiun dipenuhi oleh siswa-siswi Minegahara. Hari ini bahkan tampak lebih banyak dari yang biasanya karena klub olahraga tidak ada latihan selama pekan ujian berlangsung.

Saat ia melewati pintu gerbang sekolah, Sakuta mengenali seseorang di depannya.

Koga yang mengenakan ransel dengan tali yang longgar sehingga menyembunyikan bokongnya.

Dia sedang menundukkan kepalanya, terlihat murung, dan berjalan perlahan-lahan. Ketiga gadis yang selalu bersama dengannya---Rena, Hinako, dan Aya---sedang tertawa bersama sekitar sepuluh langkah di depan.

Rasanya tidak seperti Koga yang tertinggal di belakang dan baru saja mengejar mereka. Lebih seperti teman-temannya yang lain tahu kalau Koga ada di belakang mereka tetapi berpura-pura kalau mereka tidak menyadarinya.

Jarak antara mereka terlihat disengaja.

Sakuta langsung memikirkan tentang apa yang Kunimi katakan Hari Jum’at kemarin.

Ada rumor buruk tentangnya.

Buruk itu sejujurnya istilah sopannya.

Seperti dia yang jadi cewek murahan atau pelacur atau sudah tidur denganmu.

Situasinya benar-benar buruk.


Peron kecil di Stasiun Shichirigahama dipenuhi oleh siswa-siswi Minegahara.

Koga sedang berdiri di tepi peron stasiun dengan kereta yang menuju Stasiun Fujisawa, di ujung dengan sosoknya yang terlihat sangat kecil. Tidak ada seorang pun yang berdiri di dekatnya, dia seperti dikelilingi oleh dinding yang tidak terlihat. Siswa-siswi yang lain berada di tempat yang sama, tetapi suasana di sekitar Koga berbeda sendiri.

Sakuta menggunakan kartu komuternya dan berjalan melewati gerbang tiket sambil mengabaikan tatapan orang lain ketika berdiri di sebelahnya. Ia mencolek pipi Koga.

“Jangan terlihat murung begitu,” ucapnya.

Senpai…

Koga melihat ke arah Sakuta untuk sesaat tetapi terlalu menyadari akan keadaan di sekitarnya jika dia tetap seperti itu.

Sakuta yang ikut berdiri di sampingnya hanya menaikkan jumlah perhatian yang tertuju kepada mereka berdua. Tetapi tidak ada satu pun yang dengan terang-terangan menatap mereka. Semuanya hanya dengan cepat melirik mereka, saling bertanya-tanya apakah rumor itu benar adanya.

Semua siswa-siswi yang ada menertawai mereka, terbuai dengan rumor yang ada, dan memandang rendah orang-orang yang keluar dari ‘arus’ mereka.

Hal ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Sakuta. Ia tidak memperdulikannya lagi sama sekali. Tetapi hal itu sekarang sangat membebani Koga.

Pandangannya ke arah bawah menatap kakinya, dan ia bisa tahu kalau dia hampir tidak bisa menahannya. Terlihat jelas kalau dia ingin berbalik dan lari dari keadaan ini.

Dia terlihat seperti akan menangis.

Sorotan seperti ini adalah satu hal yang setidaknya Koga ingin hindari. Dia berusaha mati-matian membaca situasi untuk menghindari hal seperti ini terjadi. Dia bahkan membuat Sakuta berpura-pura untuk menjadi pacarnya agar dapat menghindari rasa malu semacam ini.

Rasanya sama seperti ada yang mencambuknya dari belakang, sebuah gurauan tawa dengan maksud mengejek dapat terdengar dari belakang mereka.

Tubuh Koga gemetaran.

Dengan rasa kesal yang muncul, Sakuta berbalik dan melihat tiga siswa kelas tiga berjalan di belakang mereka. Ketiganya terlihat sangat modis dengan rantai yang menggantung di pinggul mereka. Yang berada di tengah-tengah dari ketiga siswa tersebut adalah Maesawa.

Pandangannya bertemu dengan Sakuta. Kemudian, ia tersenyum dengan sombongnya.

“Anak kelas satu memang sangat bersemangat/terangsang akhir-akhir ini ya.” ucapnya kepada kedua temannya tetapi suaranya dikencangkan sehingga semua orang yang ada di stasiun ini dapat mendengarnya.

Cara yang sangat bodoh untuk memulai perkelahian. Hal ini menurut Sakuta terdengar lucu, jadi ia tidak bisa menahan tawanya. Membalasnya sebaik mungkin yang ia bisa adalah sopan santun baginya.

“Ah?!” geram Maesawa sambil mengerutkan alisnya. Dipenuhi dengan amarah, ia berjalan mendekati Sakuta. “Apa kau baru saja menertawaiku?”

“Aku masih menertawaimu! Kenapa memangnya?”

“Kau pikir itu lelucon?!”

Maesawa meraih kerah kemeja Sakuta.

“Aku cuma mengejekmu terang-terangan.”

Seseorang yang ada di peron yang sama tertawa keras mendengarnya.

Sekejap kemudian, pukulan kuat dilayangkan ke wajah Sakuta. Terdengar bunyi gedebuk. Sakuta terlempar beberapa langkah ke belakang.

“Eek!”

Suara teriakan itu mungkin berasal dari Koga.

Penglihatannya menjadi kabur dan hanya terlihat warna putih. Pipi kirinya serasa mati rasa.

Sedetik kemudian, rasa sakit yang terasa panas dan berdenyut menyelimutinya. Tinggi Maesawa sekitar tujuh senti lebih tinggi dari Sakuta, penampilan fisiknya terbentuk dari latihan basketnya, dan pukulannya bahkan lebih kuat dibandingkan dengan yang Sakuta bayangkan.

“Ow…”

Keheningan terjadi di peron yang menampung kerumunan siswa-siswi Minegahara ini, semua orang seperti menahan napas mereka. Ketegangan dapat terasa.

Maesawa mengayunkan lengannya ke belakang untuk melancarkan serangan berikutnya.

Senpai!

Koga yang bertubuh mungil tiba-tiba berdiri di antara Sakuta dan Maesawa.

“Jangan!” teriak Sakuta sambil meraih ransel Koga dan menariknya ke belakang. Gerakan ini membuatnya berdiri di mana Koga berdiri sebelumnya.

Dengan Koga yang menghalanginya membuat Maesawa lengah karena ia sekarang terdiam dengan tinju yang dipersiapkannya.

Para siswa-siswi yang menonton kejadian ini tidak berani berkedip sedikit pun.

Sakuta berencana untuk menahannya sambil tersenyum. Tetapi rasa sakit yang terasa di pipinya tidak juga mereda, dan amarahnya mulai muncul. Adrenalinnya mengambil alih.

Senpai…,” ucap Koga sambil menarik lengan bajunya dengan gelisah. Melihatnya yang hampir menangis membuat dirinya yang mencoba menahan pukulan jadi tampak bodoh.

Ia mengambil langkah berani dan mengangkat tinjunya.

Maesawa langsung mengangkat kedua tangannya dalam posisi bertahan. Hal itu membuat bagian bawah dirinya, kakinya, terbuka lebar. Membuat Sakuta mendaratkan tendangan dengan ujung sepatunya sekeras mungkin ke tulang kering Maesawa.

“Unh?!” teriakan kecil karena terkejut dan rasa sakit dapat terdengar.

Maesawa langsung berlutut, memegangi kaki kanannya yang terluka.

“Kau tak adil!” keluhnya sambil melotot ke arah Sakuta.

“Ironis sekali mendengarnya.”

Sakuta kemudian meletakkan bagian bawah sepatunya ke wajah Maesawa. Menendangnya dengan bergaya seperti Yakuza sekeras mungkin.

“Gah!”

Karena tidak bisa menyeimbangkan dirinya sendiri, Maesawa terjatuh ke belakang dan berguling di peron.

Ia melotot ke arah Sakuta, dengan muka yang memerah karena rasa malu, marah, dan terhina.

Tidak ada seorang pun yang mengatakan apa-apa. Efek kejutnya terasa begitu hebat, tidak ada yang tahu bagaimana harus bereaksi. Mereka semua bersiap menunggu kata-kata Sakuta selanjutnya.

Sakuta tidak akan melakukan keinginan dari banyak orang yang melihatnya, tetapi ia memilih hal yang paling tidak ingin didengar oleh Maesawa.

“Menyedihkan.”

Kerumunan yang mengerubungi mereka menjadi heboh. Orang-orang yang melihat saling tertawa.

“Siapa… Siapa…?!” ucap Maesawa yang tergagap, begitu marah hingga tidak bisa menyelesaikan kata-katanya. Bibirnya terlihat seperti ikan mas yang berenang.

Kedua temannya melangkah maju.

Sakuta mengabaikan mereka dan berkata, “Senpai, sebaiknya kau mencuci mukamu.”

“Huh?”

“Aku menginjak kotoran anjing kemarin.”

Maesawa dengan cepat menyeka wajahnya dengan satu tangan. Ketika orang-orang yang menonton melihatnya mencium tangannya, tawa lainnya bermunculan.

Kedua temannya tadi berhenti maju sambil menjaga jarak. Ternyata kotoran anjing menjadi penghalang yang kuat.

Sakuta melihat ke sekeliling dan melihat banyak siswa-siswi mengeluarkan ponsel pintar mereka. Mengunggah kejadian ini di media sosial, memberi tahu teman mereka melalui pesan singkat kalau ada kejadian yang mereka lewatkan.

Dan ia melihat Rena yang menatapnya dengan kaget. Hinako juga berdiri panik di sebelahnya, dan Aya sedang berusaha untuk menenangkan temannya.

“Om-omong kosong!” geram Maesawa yang akhirnya kembali berdiri.

“Harusnya itu omonganku. Jika senpai tak mau menjadi bahan olok-olokan, jangan memulainya. Cara hidup yang menyedihkan.”

“Omong kosong!”

Senpai sudah bilang itu tadi.”

“……”

Rupanya, kosa katanya jadi kacau. Maesawa tidak bisa memikirkan kata-kata lain untuk membalasnya. Ia terus mengucapkan “Omong kosong” seperti kaset rusak.

Senpai, sudah cukup,” ucap Koga. Tangannya mencengkram bagian belakang seragam Sakuta. Dia tampak khawatir tentang akibat dari semua sorotan negatif kepada Maesawa. Mengingat seberapa bencinya dia dengan tatapan semacam itu, sangat masuk akal jika dia tidak menginginkan hal itu terjadi juga ke orang lain.

Tetapi Sakuta masih belum selesai.

“Tidak, masih ada satu hal yang mau kukatakan.” Sakuta melotot ke arah Maesawa. “Koga tidur denganku? Ha! Aku ini masih perjaka.”

Dan setelah mengatakan hal itu, ia menggenggam tangan Koga dan membawanya keluar dari stasiun. Setiap langkah yang mereka ambil semakin cepat sampai sebelum Sakuta menyadarinya, mereka sedang berlari.

Bukan karena ia mengira kalau Maesawa akan mengejar mereka.

Mereka berdua hanya begitu tegang hingga tidak bisa menahan diri untuk tidak berlari. Sakuta sendiri hampir pusing rasanya. Ia tidak tahu kenapa ia begitu menikmati ini semua tetapi jantungnya berdetak begitu kencang.

Senpai, kau terlalu berlebihan.”

“Benarkah?!”

“Sangat berlebihan,” ucap Koga. Tetapi wajahnya tetap tersenyum selama mereka berlari.


Suara deburan ombak dan semilir angin menenangkan jantung mereka yang berdebu-debu.

Perasaan gelisah serta cemas yang menumpuk menghilang begitu saja.

Pantai merupakan tempat ajaib yang menghilangkan hal-hal seperti itu.

Sakuta dan Koga menjauh dari stasiun kereta dan sedang berjalan maju ke arah barat di sepanjang pesisir pasir pantai Shichirigahama. Mereka bisa melihat pulau Enoshima yang mengambang di laut di depan mereka, perlahan mendekat dan semakin terlihat jelas.

Senpai, ingin ikut?” ajak Koga. Dengan kaus kaki serta sepatu yang dilepasnya, dia sedang menikmati deburan ombak yang menerpa kakinya. Sakuta sedang berdiri beberapa langkah di pinggir pantai, menjauhi ombak yang menuju ke arahnya.

“Dan siapa yang akan memegang sepatuku?” tanyanya.

Koga melepaskan sepatu dan kaus kakinya ke pantai, dan Sakuta bertugas memegangnya saat ini.

Sekarang hari kerja, tetapi masih ada cukup banyak orang yang mengunjungi pantai sekarang ini. Para keluarga dengan anak kecil mereka, kumpulan anak kuliahan, pasangan dewasa…semuanya saling tertawa dan bermain-main dengan ombak. Dengan hari cerah seperti ini, mereka saling bersenang-senang dengan kunjungan pertama mereka ke pantai di tahun ini. Semuanya tampak senang.

Senpai.”

“Aku tak ikut!”

“Bukan itu.” keluh Koga sambil membusungkan pipinya.

“Kalau begitu apa?”

“Terima kasih.”

“……”

Senpai membuatku sangat bahagia.”

“Sama-sama,” ucapnya acuh. Pipi kirinya masih terasa sakit seperti sedang terbakar.

“Kurasa Aku mulai mengerti tentang apa yang senpai katakan sebelumnya.”

“Mm?”

“Tentang meskipun seluruh dunia membenci senpai tapi jika ada satu orang yang menopang senpai. Yang seperti itu.”

“Kau bahkan tak mengingatnya!”

“Aku merasa seperti pacar senpai tadi. Seperti Aku benar-benar penting bagi senpai.”

Suara hembusan angin dan deburan ombak menyampaikan kata-kata pujian itu ke telinga Sakuta.

“Yah, kita sudah setuju untuk melakukannya hingga akhir semester.”

Awalnya, hubungan mereka hanya sekadar “lebih dari senpai, tapi bukan pacar”, tetapi seperti sudah tidak berlaku lagi sekarang ini.

“Kebanyakan orang tak akan bertindak sejauh itu hanya untuk pacar palsunya. Karena tak begitu penting.”

“Aku ini perfeksionis.”

Senpai benar-benar garing,” ucap Koga dengan logat Fukuoka-nya.

“Ga—apa?”

Senpai bahkan tak tahu itu?” cibir Koga. Lalu dirinya terlihat begitu bangga. “Aku akan membantu senpai. Garing itu berarti senpai itu tak lucu.”

“Aku tak bermaksud begitu.”

Mereka saling berjalan berdampingan.

“Koga.”

“Mm?”

“Aku harus berterima kasih denganmu. Jika kau tak melerainya, Maesawa pasti akan menghajarku.”

Mengingat betapa besar tubuhnya, dua atau tiga pukulan lainnya pasti akan mengalahkan Sakuta.

“Tapi lebih hati-hati lagi. Jika Maesawa memukulmu, kau bisa benar-benar terluka.”

“Aku hanya putus asa.”

“Yah, karena kau cewek SMA pejuang keadilan.”

Sakuta mengingat tentang bagaimana mereka pertama kali bertemu, ketika Koga salah menyangkanya sebagai orang mesum dan mencoba menolong gadis kecil dengan menendangnya di bokong tanpa berpikir akibat yang dapat ditimbulkannya.

Itulah sifat asli Koga, pikir Sakuta.

Ketika situasi semacam itu terjadi, dia langsung bergerak sebelum memikirkannya terlebih dulu. Didorong akan kebutuhannya dalam melakukan sesuatu.

Tidak semua orang bisa melakukan hal yang sama. Kebanyakan orang hanya akan terdiam dalam situasi bahaya seperti itu.

“Dan juga, maaf.”

“Untuk apa?” dia terdengar kebingungan.

“Aku mempermalukan orang yang disukai temanmu begitu brutal.”

“Ohhhh, benar juga. Sial.”

Koga menghentikan langkahnya, ekspresi wajahnya langsung berubah seperti orang khawatir.

Deburan ombak menerpa kakinya.

“Tak perlu memikirkan hal itu lagi sekarang,” ucap Sakuta.

“Ini salah senpai! Senpai juga harus memikirkannya!”

“Kan Aku sudah minta maaf sebagai gantinya.”

“Sangat tak bertanggung jawab!” keluh Koga.

Lalu, bahunya tersentak. Dia mengeluarkan ponsel yang bergetar dari sakunya.

“Oh, ini dari Rena…”

Dia hanya menatap layar ponselnya dengan tampak tegang.

“Apa katanya?”

“’Maaf, Aku tak tahu sudah kerasukan apa.’”

“Oh?” Sakuta tidak bisa menahan senyumnya.

“’Aku sudah kehilangan rasa hormat ke Maesawa-senpai.’”

“Yah, sayang sekali. Tapi, jika rasa sukanya bisa diakhiri karena kotoran anjing di wajah, berarti rasa sukanya tak begitu kuat.”

Rena hanya menyukai tampilan luar Maesawa. Jika dia benar-benar mencintainya, satu momen jelek tentangnya tidak akan merubah perasaan itu. Meskipun rasa malu itu masih menjadi bagian dari dirinya.

“’Kami akan belajar bersama untuk ujian. Ingin ikut?’”

Yah, setidaknya masalahnya selesai dan mereka berteman lagi. Koga membalas pesannya, dan mereka saling membalas satu sama lain untuk beberapa saat. Kemudian, dia tersenyum lagi.

Bahkan saat dia menaruh ponselnya kembali ke saku, dia merasa enggan untuk meninggalkan tempat ini.

“Kau tak ikut?”

“Kubilang Aku ingin senpai membantuku belajar.”

“Dan?”

Koga menunjukkan Sakuta layar ponselnya. Dengan balasan dari ketiga temannya yang tidak menunjukkan kata-kata---melainkan hanya stiker wajah dengan senyum lebar.

“Oh iia, senpai…

“Mm?”

“Ada satu hal yang ingin kukatakan.”

Dirinya ragu-ragu.

“Kau perlu buang air kecil?”

“Tidak!”

“Kalau begitu apa?”

“A-aku…juga belum melakukannya.”

“Belum apa?”

Sakuta tahu apa yang dimaksud oleh Koga, tetapi wajahnya yang tersipu malu begitu menghiburnya, Sakuta berpura-pura tidak mengetahui maksudnya. Jadi bagaimana dia akan menjelaskannya?

Sakuta menunggu hal ini dengan penuh harapan.

“Aku juga masih perawan,” ucapnya sambil menatap Sakuta.

Sakuta tidak bisa menahan dirinya dan tertawa begitu keras.

“Ke-Kenapa senpai tertawa?! Senpai jahat!”

Dia menendang air ke arahnya dan Sakuta menghindarinya.

“Jangan menghindar!”

“Kau pikir Aku memercayai rumor tersebut?”

“Tidak, tapi jika senpai mempercayainya? Aku tak mau hal itu terjadi.”

“Tetap saja, kau malah langsung bilang kalau ‘Aku juga masih perawan,’ dengan terang-terangan seperti itu?”

Sepasang suami istri lansia dengan seekor anjing yang menemani lewat tepat di samping mereka.

“K-kecilkan suara senpai!

“Kau yang mengatakannya duluan.”

“Y-yah…kupikir akan lebih bagus jika Aku jujur.”

“Yah memang lebih bagus seperti itu sekarang! Aku tak terlalu memedulikan hal seperti itu lagi pula.”

Sakuta mulai berjalan maju. Jika tidak, mereka pasti akan tetap berdiri di tempat yang sama.

“Ah! Tunggu!”

Koga berlari mengejarnya.

Koga yang berjalan di pesisir pantai, dan Sakuta di pantai, jarak di antara mereka berdua tidak akan pernah merapat maupun menjauh.

“Tapi kau bilang kalau sebelumnya kau pernah punya pacar?” Sakuta mengingatkanya dengan senyum lebar.

Senpai sudah tau kalau hal itu juga bohong,” balasnya dengan setengah rasa malu dan kesal.

“Tak terlihat seperti itu awalnya.”

“Maksudku, semuanya bilang kalau mereka pernah punya pacar saat SMP. Rena, Hinako, Aya. Bahkan, Hinako masih berpacaran dengan cowok yang sama.”

“Hmm.”

“Aku tak memberi tahu hal itu ke mereka! Lebih seperti kalau semuanya setuju kalau Aku pernah punya satu. Dan rasanya aneh jika Aku membantahnya, dan…sekarang beginilah jadinya.”

“Ahhh.”

“Dan jika Aku bilang kalau Aku belum pernah berpacaran, kukira senpai akan memandang rendah diriku.”

“Memangnya siapa yang coba kau lawan?”

“Entahlah.”

Mungkin saja ekspektasi masyarakat atau harapan orang-orang terhadapnya. Dia berusaha keras menjaga akan persepsi orang-orang tentang dirinya yang disebut sebagai “Tomoe Koga.”

Perjuangan sehari-harinya untuk membuat dirinya menjadi versi yang tidak akan dibenci oleh orang lain. Pertarungan melawan suatu hal yang tidak berbentuk…seperti ‘arus’.

“Uh, senpai…,” ucapnya sambil menatap Sakuta sekilas sambil menendang-nendang air.

“Mm?”

Sakuta sedang berhati-hati dengan langkahnya, berusaha agar tidak tersandung pasir pantai.

“Bagaimana Aku bisa membalas perbuatanmu?”

Suara langkah kaki Koga berhenti.

Ia berjalan beberapa langkah di depannya, lalu berhenti dan berbalik menghadap Koga.

Wajahnya terlihat sangat serius. Menunggu jawaban yang akan diberikannya.

“Aku sampai kaget kau menanyakan hal itu dengan wajah datar.”

“Aku serius menanyakannya.”

“Kau tak perlu membalasku. Timnas bola Jepang berhasil lolos dari babak penyisihan saja sudah cukup.”

Sebelumnya, mereka berhasil menang telak melawan Timnas lain yang kuat dan berhasil maju ke babak berikutnya. Kerja keras mereka selama empat tahun akhirnya terbayarkan, dan sambutan para penggemarnya sangat luar biasa.

Koga memegang janjinya dan menyemangati mereka sepanjang waktu. Dia bahkan menunjukkan gambar dirinya yang mengenakan seragam Timnas bola sambil melukis wajahnya dengan gambar bendera jepang.

“Tapi…”

“Jika itu masih belum cukup, ikut Aku akhir pekan ini.”

“Kemana?”

“Aku ingin membeli beberapa pakaian untuk adik ku setelah gajiku tiba, tapi Aku tak tahu pakaian mana yang sedang ‘modis.’”

“Baiklah…”

Dia memang menyetujuinya tetapi masih tampak tidak puas. Seperti masih tidak cukup untuk membalas apa yang Sakuta sudah lakukan.

“Baiklah, satu hal lagi kalau begitu.”

“Apa?” tanyanya yang begitu bersemangat.

“Ketika kebohongan ini berakhir, kita tetap teman.”

“……”

Koga sama sekali tidak menduganya, dan matanya terbuka lebar. Lalu, dia tertawa kecil tetapi masih tampak tidak puas.

“Kau tak mau?”

“Aku mau tapi tidak juga.”

“Coba ulangi lagi?”

Seperti ada sesuatu yang mengganggunya, Koga meletakkan tangannya di dada, membuka dan menutupnya dengan gugup.

“Kau tak perlu melakukannya jika tak mau,” ucap Sakuta.

“Tidak, senpai menang. Aku akan jadi teman dekat senpai.”

Senyum lebar Koga berkilau di bawah matahari musim panas.

“Teman biasa saja tak masalah.”

“Aww.”


Sakuta dan Koga berjalan sejauh dua stasiun dari tepi pantai sebelum akhirnya menaiki kereta dari Stasiun Koshigoe.

Mereka melihat penumpang yang naik di kereta sebelum mereka bisa memasuki gerbong. Sudah satu jam lebih semenjak perkelahian Sakuta dengan Maesawa, dan hampir tidak terlihat satu pun siswa-siswi Minegahara yang menaiki kereta di jalur ini. Semuanya sudah pulang lebih awal ke rumah mereka masing-masing untuk bersiap dengan ujian esok harinya.

Koga terlihat begitu lega.

Mereka melihat ada kursi kosong dan duduk berdampingan. Di depan mereka ada sekelompok mahasiswa yang terkesima dengan kereta yang melaju begitu dekatnya di antara rumah-rumah penduduk.

“Ini luar biasa!”

“Jaraknya begitu dekat! Kita pasti akan menabraknya!”

“Guys, ini sangat revolusioner.”

Bukannya kata-kata itu berkebalikan dengan apa yang mau kau katakan? Ketika Sakuta memikirkan hal tersebut, pandangannya bertemu dengan Koga. Dia pasti memikirkan hal yang sama karena dia juga tersenyum. Laju kereta ini bisa dibilang penuh dengan nostalgia dibandingkan dengan revolusioner seperti yang diucapkan salah satu mahasiswa tersebut. Orang tersebut perlu memperbaiki penggunaan kosa katanya.

“Jadi, kita akan belajar di mana, Koga?

“Huh? Kita akan benar-benar belajar?”

“Jika tidak, kau bohong dengan teman-temanmu.”

“…Apa senpai pandai dengan kimia?”

Dia menatap Sakuta dengan rasa keingintahuan.

“Aku cukup percaya diri dengan kemampuanku dibandingkan dirimu.”

“Rasanya senpai seperti sedang menghinaku.”

“Kenapa begitu?”

“Aku harus memeriksanya sendiri apa benar begitu.”

“Kalau begitu, kau mau belajar di rumahku?”

“Huh?”

“Orang tuaku tak ada di rumah.”

“Uhhhh?!”

“Shhh, jangan kencang-kencang---kita sedang di kereta.”

Banyak pasang mata yang menoleh ke arah mereka.

“T-tapi…Aku…Aku belum siap untuk…tetap saja, uh…baiklah.”

Wajah Koga seketika menunjukkan berbagai ekspresi, mulai dari panik hingga bingung tersipu malu, tetapi pada akhirnya, dia mengangguk setuju.

“Kau pasti salah paham.”

“T-tidak kok! Jangan memperlakukanku seperti anak kecil.”

“Yah, kau juga tak ingin mengambil langkah pertama untuk menjadi dewasa.”

Sakuta menghabiskan sisa waktunya memberikan sepuluh alasan berbeda kenapa ia tidak akan melakukan apa-apa ke Koga sebelum mereka sampai di Stasiun Fujisawa. Wajah Koga cemberut selama itu juga dan dengan sengaja menginjak kaki Sakuta saat mereka turun dari kereta.


Hanya butuh berjalan kaki sepuluh menit dari stasiun kereta ke gedung apartemen Sakuta. Di sana, mereka naik lift ke lantai lima.

“Aku pulang!” ucap Sakuta sambil membuka pintu.

Kaede menjulurkan kepalanya keluar dari ruang tamu.

“Selamat datang kem---”

Dia hampir selesai mengucapkannya sebelum menyadari kalau Sakuta tidak sendirian hari ini, dan bersembunyi dibalik pintu masuk. Kaede menatap Koga seperti binatang kecil yang sadar akan pemangsa alaminya.

Onii-chan membawa gadis lain ke sini?!” tanyanya.

Rasanya sudah seperti aib bagi dirinya, jadi Sakuta mengabaikannya.

“Masuklah.”

“Te-terima kasih sudah mengundangku,” ucap Koga. Dia mengayunkan kepalanya dan melepas sepatunya. Diaturnya dengan rapi, dan Sakuta menyuruhnya untuk pergi ke kamarnya duluan.

Sebelum Sakuta bisa memasuki kamarnya, Kaede menarik lengan bajunya.

“Apa?”

Dia mengisyaratkan dengan tangannya untuk berbisik di telinga Sakuta.

“Jika onii-chan ingin mengundang ‘kupu-kupu malam’ ke kediaman kita, harusnya onii-chan memperingatkan Kaede sebelumnya.”

“Kaede, kau sudah salah paham.”

Koga tidak cukup seksi sampai bisa mendapatkan julukan seperti itu. Gaya rambutnya terlalu sederhana, riasannya natural, dan kenapa pula dia menggunakan kata kediaman? Tidak ada yang pernah menyebut apartemen mereka dengan istilah yang begitu megah seperti itu.

“Berapa banyak dia menipu onii-chan?

“Dia itu Tomoe Koga, kohai dari sekolahku.”

“Jika onii-chan suka yang lebih muda, kan ada Kaede!”

“Apa yang sedang kita bicarakan?”

“Kaede bilang Mai-san nanti!”

Ancamannya sangat mengkhawatirkan. Mai memang mengizinkan permasalah tentang Koga, tetapi laporan detail tentang masalah ini pasti akan menyakiti perasaan Yang Mulia Ratu.

“Kami harus belajar untuk ujian. Kita lanjutkan nanti.”

Dia melepaskan tarikan Kaede dari dirinya dan menutup pintu kamarnya.

“Duduk saja sesukamu,” ucap Sakuta sambil melambai ke bantal.

Koga duduk bersimpuh dengan sopan seperti orang Jepang pada umumnya. Sakuta mempersiapkan meja lipat di depannya.

“Kakimu nanti akan kesemutan jika duduk seperti itu.”

“B-benar juga.”

Berhati-hati dengan ujung roknya, Koga menggeser kakinya ke kedua sisi.

Sakuta duduk di seberangnya.

Ia membuka buku paket Bahasa Jepang Modern untuk bersiap akan ujian keesokan harinya. Koga membuka buku paket kimia dan buku catatannya tetapi sepertinya tidak bisa fokus belajar. Pandangannya tertuju ke berbagai arah di sekitar kamar Sakuta. Wajahnya memerah ketika dia melihat tempat tidur Sakuta. Kemudian, ia melihat ke meja Sakuta dan menundukkan kepalanya.

Akhirnya, kata-kata “Aku tak bisa!” di teriakannya dan memasukkan bukunya kembali ke tas ranselnya. Dia mencoba menggendong tas ranselnya tetapi tidak bisa memasukkan tangannya ke tali ransel.

“A-aku akan belajar bersama dengan Rena dan yang lainnya!” ucapnya dan berlari keluar dari kamar. “Te-terima kasih sudah mengundangku!”

Dia bahkan sudah keluar dari pintu masuk.

“Koga!” teriak Sakuta mengejarnya. Ia memakai sendal rumahnya dan melangkah keluar.

Sementara Koga yang sudah berdiri di depan pintu lift dan ketika bunyinya terdengar di lantai tempat tinggal Sakuta.

Seketika kemudian, pintu lift terbuka.

Koga mencoba masuk ke lift tetapi terhenti dengan mulut terbuka.

Ada seseorang yang keluar dari lift.

“Ah!”

Mulut Sakuta juga terbuka lebar. Dengan seragam SMA Minegahara, dan stocking hitam meski sedang memakai seragam musim panas. Mai.

Koga menggantikan posisi Mai di lift.

Mai melirik ke arah Sakuta dan ke arah Koga saat pintu lift menutup.

Lalu, dia berjalan menuju Sakuta dengan sepatu hak tingginya yang berbunyi khas.

“Kalian berdua jadi sangat dekat ketika Aku sedang pergi.”

Jarinya yang ramping dan pucat menekan hidung Sakuta.

“Wajahnya sangat merah! Apa yang kau lakukan dengannya?”

Dia seperti sedang menuduhnya.

“Aku sedang belajar bersama dengannya.”

“Belajar apa?”

“Aku belajar Bahasa Jepang Modern, dan Koga belajar kimia.”

“Hmph.”

Dengan wajah yang semakin tidak puas, Mai terus menekan hidung Sakuta dengan lebih kencang.

Sepertinya, ia harus mengubah topik pembicaraannya.

“Mai-san…apa kau membawakan kami oleh-oleh?”

Pandangannya tertuju ke paper bag di tangan Mai. Namun suasana hati Mai tidak juga membaik, tetapi dia akhirnya melepaskan cubitannya.

“Ya,” ucapnya sambil menyodorkan tas itu ke tangan Sakuta.

Ia melihat isinya dan melihat tumpukan ikan kering, beberapa otak-otak, dan kue bolu berisi puding custard yang disebut kasutadon.

“Didinginkan juga enak rasanya.”

“Terima kasih.”

Setelah memberikannya, Mai berbalik dan berjalan kembali menuju lift.

“Kau tak mau masuk dulu?”

“Jika Aku masuk sekarang, rasanya Aku seperti sedang bersaing dengan anak kelas satu itu.”

Entah kenapa masuk akal tetapi juga tidak, dia tetap saja pergi setelahnya.

Tidak ada gunanya berdiri diam di sini. Sakuta kembali masuk dan memanggil Kaede keluar, dan mereka memakan oleh-olehnya bersama.

Semuanya enak!”

“Yep, memang enak!”