cover jilid 2

Awal Hubungan Palsu
(Bagian 5)

(Penerjemah : Nana)


Akhir pekan itu, JMA (Badan Meteorologi Jepang) secara resmi mengonfirmasi akhir musim hujan di Wilayah Kanto. Musim panas akhirnya tiba. Gelombang panas yang sebenarnya akan tiba beberapa hari ke depan, dan pantai akan dibuka pekan depan, area di sekitar pantai akan dipenuhi oleh orang-orang yang berkunjung.

Sakuta melihat sekelompok mahasiswa yang sedang bosan mengunjungi pantai, dan jumlah para peselancar di Shichirigahama meningkat tiap harinya.

Sementara birunya langit dan lautan menjadi simbol dari musim panas, Sakuta dan Koga tetap menjaga jarak satu sama lain. Keduanya saling berusaha menirukan kecanggungan dari pasangan baru.

Mereka tidak perlu memaksakan diri untuk selalu berduaan. Bahkan dalam perjalanan ke sekolah, mereka hanya bertemu jika jadwal mereka saling bersamaan.

Ini memungkinkan Koga untuk memprioritaskan waktunya dengan teman-temannya.

Tampaknya seluruh orang di sekolah sudah tahu akan hubungan mereka berdua sekarang ini, dan Sakuta bisa mengetahui kalau teman-teman sekelasnya penasaran akan hubungan mereka berdua.

Tetapi terlepas dari rasa ingin tahu mereka yang terlihat jelas, tidak ada satu pun yang berani untuk menanyakan hal itu ke Sakuta.

Jadi tidak ada seorang pun yang menyadari kalau mereka hanya berpura-pura.

Lagi pula, kenapa juga? Biasanya, tidak ada seorang pun yang berniat sejauh untuk menipu teman sekelas mereka seperti ini, dan bukan berarti orang lain akan mencari tahu kebenaran di balik gosip yang sedang hangat-hangatnya ini. Tidak ada seorang pun yang begitu peduli dengan urusan orang lain. Tingkat kepedulian yang rendah itu menjadi keuntungan untuk Sakuta kali ini.

Ini berarti ia tidak perlu khawatir jika tertangkap basah sudah berbohong.

Namun, masalah yang sangat sekali berbeda masih mengkhawatirkannya.

Sindrom Pubertas yang disebabkan oleh Koga. Mereka masih belum mengatasi akar masalahnya.

Hal ini membuat Sakuta memeriksa jam digitalnya di samping tempat tidur setiap paginya. Hal itu sudah menjadi bagian dari kesehariannya sekarang.

Sejauh ini, tidak ada pengulangan semenjak 27 Juni, tetapi ia tidak begitu yakin hal itu akan terjadi lagi. Ia tidak pernah merasa aman.

Kecemasan ini selalu menghantuinya selama sepekan ini. Sekarang sudah tanggal 5 Juli, tepat seminggu setelah ia terbebas dari pengulangan pertama.


Sakuta menunggu sekolah usai, lalu berjalan menuju lab sains.

“Futaba, kau di sini?” panggilnya sambil menggeser pintu hingga terbuka.

Ia melihatnya dengan pakaian yang biasa sedang bersandar di jendela, berbincang dengan seseorang di luar. Seseorang yang memakai kaus oblong dan celana pendek selutut. Kunimi. Dengan sambil memegang bola basket di tangan satunya, ia pasti sedang mampir sebelum latihan.

Keduanya berbalik menatap ke arah pintu. Sakuta kemudian balik menatap mereka.

“Maaf mengganggu,” ucapnya. Ia lalu berbalik dan pergi sambil menutup pintu di belakangnya.

Ia berencana untuk meminta bantuan Futaba dengan Sindrom Pubertas, tetapi tampaknya akan lebih baik jika ia berkunjung di lain hari. Sebelum ia bisa pergi jauh, pintu ruang lab terbanting lebar di belakangnya.


Saat ia melihat ke belakang, wajah Futaba bercampura malu dan gelisah.

“Apa kau bodoh, Azusagawa?!” celotehnya. “Apa kau benar-benar bodoh?!”

Futaba tampaknya sangat menyadari tatapan Kunimi. Meski ia masih berdiri di luar jendela sambil memutar bola basket di jarinya.

“Yah, Aku memang lebih bodoh dibandingkan dirimu,” Sakuta mengakuinya.

“Jangan coba membantuku! Kunimi mungkin menyadarinya!”

“Jika ia bisa menyadarinya dari sesuatu seperti ini, ia sudah tahu bagaimana perasaanmu.”

Ada kemungkinan kuat kalau Kunimi hanya berpura-pura kalau ia tidak tahu.

“Rasanya…menyebalkan,” ucap Futaba yang hampir mengucapkannya dengan kencang. Wajahnya seketika memerah malu.

Menggodanya lebih jauh adalah ide yang buruk, jadi Sakuta mendahuluinya masuk ke dalam lab.

“Kami baru saja membicarakanmu,” ucap Kunimi saat Sakuta mendekatinya.

“Membicarakanku diam-diam? Kejamnya.”

Kunimi mengabaikan godaan Sakuta.

“Apa benar kalau kau berpacaran dengan Koga sekarang?” tanya Kunimi.

“Ya.”

“Sungguh?”

“Maksudku, kami masih dalam tahap percobaan.”

“Hmph.”

Kunimi tampaknya tidak percaya. Ketika Futaba mendengar hal ini, dia juga sama curiganya. Futaba tampaknya punya firasat tentang apa yang sedang terjadi. Karena Sakuta sudah memberitahunya kalau Koga adalah Iblis Laplace ketika mereka mendiskusikan tentang Fenomena Sindrom Pubertas yang baru-baru saja terjadi.

Tetapi dia tidak membahasnya lagi saat ini.

“Yah, kalau begitu setidaknya Aku harus memperingatkanmu,” ucap Kunimi sambil memantulkan bola basket. “Tentang Koga…” ucapnya terhenti.

“Kenapa memangnya?”

“Ada rumor buruk tentangnya.”

“Tentang seleranya dengan cowok?”

Jika mempertimbangkan tentang reputasi Sakuta, kemungkinan seperti itu pasti akan muncul. Anak kelas satu mungkin berpikir kalau reputasinya sudah bersih, tetapi untuk anak kelas dua dan tiga, mereka tampaknya masih percaya dengan ‘insiden rumah sakit’. Ketika seseorang ditandai dengan seperti itu, bahkan jika orang itu menghilangkannya, bekas tandanya masih akan tersisa.

“Seperti dia yang jadi cewek murahan atau pelacur atau sudah tidur denganmu.”

Kunimi menurunkan nada bicaranya sedikit, kemungkinan karena segan dengan Futaba. Setelah mendengar hal itu, Futaba menahan diri untuk tidak ikut berpartisipasi dalam hal ini, meski dia masih tetap mendengarnya lebih lanjut.

“Apa?” Ini pertama kalinya Sakuta mendengar hal ini.

“Rumornya muncul di group chat klub basket cowok.”

Kata-kata itu langsung menjelaskan semuanya.

“Kau menanyakan tentang Yousuke-senpai tempo hari di tempat kerja, kan?” Kunimi menatapnya dengan menyiratkan hal ini. Jelas sekali dari mana rumor buruk ini berasal.

“Para cewek di kelasku juga membicarakan hal itu,” Futaba menambahkan.

Yang berarti kalau rumor ini sudah menyebar cukup jauh.

Keadaannya berubah menjadi buruk lagi. Sakuta tidak terlalu memperdulikan apa yang orang lain pikir tentangnya, tetapi lain halnya dengan Koga.

“Kurasa kau harus tahu hal ini.”

“Yeah.”

Kunimi mengangkat tangannya sambil berkata, “Yah, Aku latihan dulu,” dan pergi berlari menuju gimnasium. Futaba melihatnya pergi.

Karena tidak mau mengganggu, Sakuta menjauh dari jendela dan menyalakan pembakar alkohol di meja. Ia mengisi gelas beker (gelas kimia) dengan air dan menunggu sampai mendidih.

Ia sebaiknya harus melakukan sesuatu sebelum rumor tentang Koga menyebar lebih jauh.

“Apa yang akan kau lakukan, Azusagawa?”

Ia menengok ke atas dan melihat Futaba berdiri di seberang meja darinya.

“Kurasa Aku harus meminum kopi dan menenangkan diriku.”

“Bukan itu. Bagaimana dengan Sakurajima-senpai?

“Dimana kopi bubuknya?”

Dia membuka laci dan mengeluarkan stoples yang berisi kopi bubuk.

“Baiklah,” ucap Futaba. “Apa yang membawamu kemari?”

“Yah, Aku belum mengulang hari lagi sejak 27 Juni, jadi…Aku masih bingung kenapa hal itu terjadi.”

Air yang dimasaknya sudah mendidih sekarang, jadi ia mematikan apinya. Dituangkannya sesendok kopi bubuk ke dalam gelas beker, dan bubuk hitam itu menyebar seperti awan di air yang bening tersebut.

“Ku asumsikan kalau apa yang kau katakan itu benar.”

“Mm?”

“Siswi kelas satu yang saat ini kau panggil sebagai pacar adalah Iblis Laplace.”

Pemilihan katanya sangat menarik. Futaba mengetahui kalau mereka hanya berpura-pura.

“Dan dia akan terus melempar dadu itu sampai situasinya berjalan sesuai keinginannya.”

Futaba mengeluarkan dadu dari sakunya dan melemparnya di meja. Angka lima, lalu empat, dan kemudian angka dua.

“Saat ini, dia senang dengan situasinya jadi dia tak perlu pengulangan.”

Angka satu di dadu berwarna merah. Ketika angka itu muncul, Futaba menghentikan lemparannya.

“Dia tak menyadarinya saat ini.”

“Jika dia sadar, dia akan benar-benar menjadi seorang Iblis.”

“Benar sekali.”

Diteguknya kopi itu dan rasanya jelas saja pahit.

“Sepertinya kau ingin agar pengulangannya terjadi lagi,” ucap Futaba sambil melepas kacamatanya.

“Jika memang tak akan terjadi lagi, Aku hanya ingin agar seseorang memberitahuku agar tak terjadi lagi.”

Futaba mengabaikan perkataan Sakuta itu. “Kau yakin tak ingin mengulang kehidupanmu?” tanyanya.

Pertanyaannya seperti alasan utama kenapa dia membahas hal ini.

“……”

“Jadi kau memang ingin melakukannya.”

“Apa kau pernah berpikir, ‘Jika saja Aku…’?”

“Yang berkaitan dengan adikmu?”

Futaba tidak akan membiarkannya mengelak dari hal ini. Sebagai balasan karena menggodanya tentang Kunimi.

“Yeah. Apa Aku salah?”

“Tak salah, tapi itu tak seperti dirimu”

“Aku tak begitu ingin mengulang kembali dan mencobanya lagi.”

“Kalau begitu kenapa?”

“Aku hanya ingin berhenti memikirkan tentang kekecewaan yang akan terjadi ketika Aku tahu kalau hal itu tak akan berhasil dilakukan.”

“Yang itu baru seperti dirimu.”

“Situasiku saja saat ini sudah susah hampir mau mati rasanya. Kembali mengulang waktu…tak mungkin Aku bisa menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi. Rasanya seperti mimpi buruk.”

Futaba mengabaikan perkataan Sakuta akan hal ini sambil menyalakan pembakar alkoholnya.

Sakuta memutar dadu yang ada di atas meja dan berhenti di angka tiga.

“Uh, Futaba…”

“Apa?”

Sibuk dengan api yang dinyalakan, dia terdengar kesal. Seperti dia telah mendengar apa yang ingin didengarnya dan kehilangan minat dengan Sakuta.

“Punya cara bagus mengalahkan seseorang yang lebih besar dari kita dan juga seorang atlet?”

“……”

Tangan Futaba berhenti bergerak. Ada rasa terkejut dalam tatapan matanya. Namun, hal itu segera memudar menjadi cemoohan. Pada akhirnya, dia menatap Sakuta seakan mengejeknya.

“Bukan bidangku.”

“Kurasa tidak.”

Dia mengatur nyala api sehingga menyala biru.

“Tapi…”

“Hmm?”

“Manusia itu bukan monyet, jadi jika kau menggunakan akalmu…kau mungkin punya kesempatan untuk menang.”

Sebuah solusi yang sangat khas dengan Futaba.