cover jilid 2

Awal Hubungan Palsu
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Setelah selesai dari akuarium, Sakuta dan Koga sekarang sedang jalan-jalan santai di Jembatan Benten yang mengarah ke Pulau Enoshima langsung.

Suara hembusan angin, ombak, dan aroma air laut dapat dirasakan oleh mereka. Jembatan tersebut hanya berjarak beberapa meter di atas permukaan laut, jadi rasanya seperti sedang berjalan melintasi lautan.

Saat di tengah jembatan, Sakuta menghentikan langkahnya dan melihat ke belakang. Koga yang berjarak tiga langkah di belakangnya juga berhenti.

Koga terlihat murung semenjak mereka keluar dari akuarium, dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Apa kita sedang berpura-pura kalau Aku jadi suami yang egois?”

“Tidak.”

“Atau mungkin pacar sewaan?”

Koga perlahan mendekat ke arahnya.

Di sampingnya, dia meletakkan tangannya di pagar besi dan mengeluh. Matahari terbenam yang berada di balik awan menyinari wajahnya sehingga menjadi kemerahan.

“Aku sudah bilang ke senpai kalau Aku dari Fukuoka, kan?”

“Kau sedang pamer kampung halamanmu?”

“Tidak.”

“Kalau begitu apa?” tanya Sakuta yang berbalik dan menyandarkan tubuhnya ke pagar besi.

“Aku tak seperti ini saat SMP,” ucap Koga yang menatap ke laut di bawah mereka. “Ingin melihat foto diriku?”

“Tak tertarik.”

“Ini.” Dia tetap menunjukkan layar ponsel yang berisi foto dirinya di dalam ke arah Sakuta.

Tampaknya Sakuta tidak punya pilihan lain selain melihatnya.

Koga sedang mengenakan seragam seifuku model lama dengan panjang rok di bawah lutut dan gaya rambut kepang kuncir dua.

“Wow…kau seperti cewek populer pada umumnya.”

“Ini sebabnya Aku tak ingin senpai melihatnya!”

“Kau yang memaksaku untuk melihatnya!”

“Pekerjaan ayahku dipindahkan, jadi kami harus pindah ke Tokyo.”

“Tapi ini Kanagawa.”

“Tetap saja! Pada dasarnya ini Tokyo.”

“Baiklah.”

“Aku tak berada di kelompok cewek populer atau apa pun.”

“Hmm.”

“Tapi kurasa jika Aku tak kelihatan modis, Aku tak akan bisa berteman dengan siapa pun di sini. Aku takut kena bully.”

“Yang seperti itu memang sering terjadi.”

“Ketika Aku mengetahui kami harus pindah ke sini saat awal bulan Januari, Aku menghabiskan waktu selama tiga bulan untuk menjadi modis.” Koga mengulurkan tangannya dan menyentuh rambutnya sendiri. “Dimulai dengan riasan. Pergi ke salon mewah dan mengubah gaya rambutku. Aku juga membaca banyak majalah fashion dan menyalin penampilannya. Aku berlatih berbicara tanpa menunjukkan logatku…dan akhirnya sampai seperti ini.”

“Kau tak senang dengan dirimu saat ini?”

“Huh?”

“Dirimu yang baru ini.”

Koga dalam-dalam memikirkannya. Setelah beberapa saat, “Aku memang menyukainya. Sangat menyukainya,” ucapnya. Seakan sedang mencurahkan perasaan terdalamnya.

“Jadi apa yang kau khawatirkan? Konyol sekali.”

“K-konyol?”

“Kau hanya menjalani masa pubertas seperti, ‘Ini bukan diriku yang sebenarnya!’ kan?”

“Y-yah, cuma…”

“Sangat menyebalkan!”

Senpai jahat!”

“Tapi kurasa tak apa-apa.”

“Apanya?”

“Ini dirimu yang sekarang. Meskipun kau sangat berbeda dulunya, kau adalah dirimu yang sekarang.”

“Bagaimana senpai bisa tahu?!” Dia menatapnya seolah Sakuta tidak tahu apa-apa.

“Apa pun alasannya, kau yang sekarang ini karena usahamu untuk menjadi seperti ini.

“B-benar juga…”

“Dan kau senang dengan dirimu yang sekarang.”

“Mm.”

“Kalau begitu, tak masuk akal jika kau bilang ini bukan dirimu.”

“…”

“Jadi berhenti mengkhawatirkan hal seperti itu!”

“……Aku tak suka.”

“Huh?”

“Aku merasa kalau senpai menipuku.”

“Dengar ya…” saat Sakuta hendak mengucapkan keluhannya, Koga menatap layar ponselnya.

“Oh…ini dari Rena,”  ucapnya sambil membuka pesan singkat di ponselnya.

“Apa katanya?”

“’Kalian terlihat serasi. Ia pria yang baik lebih dari yang kukira.’”

“Akhirnya dia sadar.”

“Aku akan bilang kalau senpai mengatakan itu.”

“Jangan!”

“Sudah ku kirim. Balasnya hanya, ‘Pfft.’”

“Haaaa…”

Menjadi bahan perbincangan dari gadis SMA membuat Sakuta kehabisan kata-kata.

“Yah, sudah saatnya kita ke Enoshima.”

“Mm… Oh, tunggu.” Perhatian Koga tiba-tiba tertuju ke pantai yang ada di samping jembatan. Dengan matahari yang terbenam, kerumunan orang mulai berkurang, tetapi di sana terlihat seseorang yang sedang menatap ke pasir pantai seperti sedang mencari sesuatu. Dari sosoknya, orang itu adalah gadis SMA.

“Itu Yoneyama.”

“Kau mengenalnya?”

“Nana Yoneyama, dari kelasku.”

Koga bahkan mengetahui nama lengkap gadis itu. Padahal,Sakuta hanya tahu nama marga dari sebagian teman kelasnya.

Koga berbalik arah dari Enoshima dan berlari kecil di Jembatan Benten. Keluar dari trotoar, dan menuruni tangga yang menuju ke pantai. Sakuta rasa tidak ada gunanya pergi ke Enoshima sendirian, jadi ia mengikutinya.

Saat mereka mendekati pantai, ia bisa melihat jelas sosok Nana Yoneyama. Dengan kacamata yang berwarna hitam, gaya rambut seperti gadis SMP yang panjangnya sebahu. Rok panjang sampai di bawah lutut, dan cardigan biru laut yang dikenakannya. Tubuhnya terbilang kecil sama seperti Koga, dan tampak seperti tipe yang pemalu dan pendiam. Serta, perpustakaan seperti menjadi tempat yang nyaman baginya.

Nana yang sedari tadi mondar-mandir di pantai, terlihat seperti akan menangis.

“Yoneyama-san,” ucap Koga.

Tubuh Nana sesaat bergetar ketakutan.

Saat menoleh, dia melihat Koga dan merasa terkejut lagi.

“Apa kau melakukan sesuatu yang aneh? Dia terlihat ketakutan,” ucap Sakuta yang mengamati dengan tenang.

“A-Aku belum melakukan apa-apa!” bisik Koga.

“Koga-san… dan senpai yang layak untuk dikencani. Kenapa…?”

“Apa semua kelas satu menganggapku seperti itu?”

Ketika tatapan Sakuta bertemu dengannya, Nana tampak terlihat lebih ketakutan.

“M-maaf,” ucapnya.

“Apa yang kau lakukan, senpai?” Koga memanfaatkan kesempatan itu untuk membalasnya.

“Tak ada. Aku belum melakukan apa-apa.”

“Yah, jangan lakukan apa pun nantinya juga!” tatap Koga, lalu kembali menatap Nana. “Yoneyama-san, ada apa?” tanyanya.

“Oh, tak apa-apa…,” ucap gadis itu. Jelas saja kalau ada sesuatu yang terjadi.

“Sedang mencari sesuatu?” tanya Koga.

“M-mm.” Nana menggelengkan kepalanya.

Dibandingkan dengan perasaan benci di antara keduanya, tampaknya Nana hanya malu dan karena dia belum pernah berbicara dengan Koga sebelumnya, dia terkejut dengan interaksi ini. Sakuta dan rumor tentangnya hanya mempersulit dia.

“Aku akan membantumu mencarinya! Kau kehilangan apa?”

“O-oh, tak perlu. Lagi pula, kau anggota kelompok Kashiba.”

Alasan yang sangat spesifik sekali, pikir Sakuta.

Sebuah alasan yang menggambarkan dengan jelas tentang kuasa di kelas Koga.

Nana Yoneyama jelas sekali berada di kelompok gadis pendiam. Sama sekali tidak cocok dengan Koga yang populer atau anggota lain dari kelompok Rena. Yang mana hal ini membuatnya canggung.

Sakuta ingin memberi tahu kalau Koga bahkan lebih buruk penampilannya saat di SMP.

Tapi ia baru saja memuji usaha yang dilakukan Koga untuk merubah dirinya, jadi Sakuta berusaha keras menahan untuk tidak memberi tahu hal itu.

“Tiga orang jauh lebih baik dibandingkan sendiri,” Sakuta menawarkan bantuan sambil melihat ke sekeliling meski ia tidak yakin apa yang harus dicarinya.

“Kan, bahkan senpai mau membantu.”

“B-baiklah…Aku sedang mencari gantungan ponsel.”

“Yang seperti apa?”

“Bentuknya seperti ubur-ubur kecil. Dari toko oleh-oleh di akuarium.”

“Warnanya?”

“Warnanya transparan, tapi mungkin agak sedikit kebiruan?”

“Gantungan ini penting buatmu?”

“Yeah…Aku dan teman-temanku membeli gantungan yang sama saat Golden Week.”

Pasti akan sangat menyebalkan kalau hanya dirinya saja yang kehilangan hal tersebut.

Dan dia tidak bisa begitu saja membeli penggantinya. Bagi Nana, yang terpenting adalah mereka membeli gantungan ini bersama-sama.

“Apa kau yakin kalau menjatuhkannya di sekitar sini?”

“M-maaf, Aku tak begitu yakin.”

“Tak perlu meminta maaf.” Sakuta melambaikan tangannya. Ia menjaga tatapan matanya, takut kalau tatapannya itu hanya akan menakuti dia lagi. Mengetahui kalau ada orang yang begitu takut dengannya membuatnya murung.

Senpai memang aneh, tapi tak perlu takut dengannya,” ucap Koga.

Kasar sekali. Sakuta kira Koga juga cukup aneh.

“M-mm…”

Nana masih menjaga jarak dari mereka berdua.

Dengan situasi yang terkesan canggung sedikit, mereka bertiga mencarinya hingga hampir setengah jam tanpa menemukan tanda-tanda keberadaan gantungan ubur-ubur itu. Matahari juga hampir terbenam, dan jika mencari lebih lanjut akan sangat susah.

Karena mereka juga tidak begitu kenal satu sama lain, mereka terbatas oleh waktu.

Saat Sakuta yakin kalau mereka sudah kehabisan waktu, matanya melihat sesuatu yang berkilau di ujung pantai.

Dengan air laut yang surut, ia melihat gantungan ponsel ubur-ubur yang tergeletak di atas pasir yang basah.

“Ketemu!” teriaknya.

“Benarkah?” Koga dan Nana menghampirinya.

Sakuta mencoba untuk mengambilnya, tetapi ombak selanjutnya datang mengadang, jadi ia melompat mundur. Seketika itu juga, ia melihat orang lain mendahuluinya.

“Ah! Koga-san!” teriak Nana mencoba untuk menghentikannya, tetapi Koga sudah lebih dulu melindungi gantungan itu dengan tangannya. Sesaat kemudian, ombak laut menghantamnya.

“Yikes!” jeritnya, kehilangan keseimbangannya dan terjatuh. Dia benar-benar basah kuyup.

“Kau tak apa-apa?” tanya Sakuta.

Koga menoleh dan tersenyum. “Jangan khawatir!” ucapnya sambil menunjukkan gantungan ponsel tersebut.

Sakuta khawatir dengan Koga, tidak dengan gantungannya, dan rupanya dia tidak mengerti yang dimaksud Sakuta.

“Apa kau baik-baik saja, Koga-san?” tanya Nana.

Dia jelas tidak baik-baik saja. Tubuhnya jelas-jelas basah kuyup hingga ke celana dalamnya. Blus putih yang dipakainya menempel dan Sakuta bisa melihat warna bra yang dipakai Koga dan kulit putihnya karena hal itu.

Sakuta segera membantunya berdiri dengan masih memakai sepatu untuk masuk ke dalam air. Kaki Koga yang tersangkut di pasir yang basah membuatnya terhuyung-huyung.

“Whoa, mundur! Kau akan membuatku basah!”

S-senpai seharusnya senang dengan ini!”

“Riasanmu luntur.”

“Augh! Jangan lihat!”

Koga menutupi wajahnya. Tetapi ada hal yang jauh lebih penting yang harusnya dia tutupi saat ini.

“Bajumu jadi tembus pandang, jadi tutup itu dulu.”

“Augh! Tanganku tak cukup!”

“Aku akan dengan senang hati meminjamkan punyaku,” Sakuta menyarankan.

Koga memikirkan ini untuk sesaat.

“Tunggu dulu, tidak! Itu sudah di luar batas!”

Pada saat ini juga, Nana tertawa keras melihat mereka berdua.