cover jilid 2

Awal dari Hubungan Palsu
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


Pada akhirnya, tanggal 29 Juni tiba seperti biasanya.

Sakuta yang dibangunkan oleh adiknya berkata, “Selamat pagi, Kaede,” dan meraih jam digital yang ada di atas meja di samping tempat tidurnya.

Ia memeriksa tanggal yang ada di layar jam dengan mata yang masih setengah terbuka, dan layar jam menunjukkan Hari Minggu, tanggal 29 Juni, seperti seharusnya.

“……”

Haruskah ia senang dengan hal itu? Ia tidak mengulang hari seperti yang sebelum-sebelumnya, tetapi karena sebab dan alasan akan fenomena itu masih menjadi sebuah misteri, rasanya sulit untuk merasa lega.

Jika fenomena itu tidak akan terjadi lagi, ia ingin agar seseorang mengatakan hal tersebut kepadanya. Namun jika masih ada kemungkinan fenomena itu terjadi lagi…yah, ia ingin ada semacam peringatan.

Tidak tahu pasti kapan fenomena tersebut akan terulang membuatnya resah.

Ia melihat Kaede keluar dari kamarnya diikuti dengan kucing mereka, Nasuno, dan setelahnya ia bergumam sendiri, “Tapi, jika Aku terus bersama Koga, pasti akan terbongkar juga pada akhirnya.”

Salah satu alasan Sakuta menerima permintaan Koga yang konyol dikarenakan hal ini akan membantunya mengetahui Sindrom Pubertas Koga. Satu-satunya cara untuk meringankan kegelisahan Koga adalah dengan melibatkan dirinya langsung dengannya.

Dan ada manfaat dalam mempelajari berbagai kasus dari Sindrom Pubertas. Kaede masih terjebak dalam sindromnya sendiri, dan pengetahuan ini memungkinkan ia untuk mencari cara menyembuhkan Kaede.

Untung saja, luka fisik yang menimpanya telah hilang, tetapi ini hanya hasil sementara setelah menjauhkan diri dari media sosial. Jika dia terpapar oleh konten-konten di media sosial lagi, Sakuta yakin kalau luka-luka di tubuh Kaede akan kembali untuk membalas dendam.

Namun, Kaede tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya hanya dengan mengurung diri di rumahnya.

Sakuta tidak akan membiarkan hal tidak adil seperti itu terjadi.

“Selain itu, tak mengetahui kapan hari esok tiba sampai kita terbangun benar-benar menakutkan.”

Tidak perlu untuk merencanakan hari esok. Karena mungkin saja hari ini akan terulang lagi keesokannya.


Sakuta masih merasa cemas ketika ia memulai shiftnya pagi itu. Namun, ia tidak bisa membiarkan hal itu memengaruhi kinerja kerjanya.

“Tapi jika esok hari ini lagi, waktu kerjaku jadi sia-sia…”

Ia tidak mungkin akan mendapatkan bayaran tambahan untuk waktu yang terulang.

Begitu shift kerjanya usai, Sakuta berdoa ke salah satu Dewa Daikokuten [1] agar hari esok tiba.

Ia isi kartu hadirnya di jam dua tepat, meninggalkan restoran tempatnya bekerja paruh waktu, dan berjalan menuju jalur Enoden di Stasiun Fujisawa.

Kartu komuternya membawanya memasuki gerbang tiket stasiun.

Sebuah kereta baru saja berangkat, jadi peron tersebut sepi dari penumpang.

Ia membeli sebotol air dari mesin penjual otomatis dan duduk di bangku tunggu. Di sinilah Koga berjanji dengannya untuk bertemu.

Di peron yang sama yang Sakuta gunakan setiap harinya untuk pergi ke sekolah. Dengan dinding yang dipenuhi oleh poster iklan untuk atraksi turis di sepanjangnya. Saat akhir pekan di sore hari, kerumunan orang yang sangat berbeda naik-turun kereta di jalur ini. Ada jauh lebih banyak turis dibandingkan warga setempat. Sekelompok wanita paruh baya yang menuju ke Kamakura. Sebuah keluarga yang pergi ke pantai. Sepasang kekasih yang pergi berkencan di Enoshima. Ini adalah tempat di mana Sakuta dan Koga berencana untuk pergi.

Ketika waktu berlalu secara perlahan. Pada akhirnya, ia mendengar langkah kaki yang menuju ke arahnya.

“S-siang senpai, maaf Aku telat.”

Sakuta menoleh dan melihat Koga yang menatapnya dengan canggung.

Koga mengenakan celana jeans pendek, dipadu dengan blus tanpa lengan yang berenda di bagian bahu dan ujung bajunya. Dengan sepatu kets yang longgar, kaki telanjangnya dapat terlihat jelas. Namun, dengan tote bag bergaris biru-putih yang dibawanya dengan dua tangan seakan menghalangi pandangan Sakuta dari kaki telanjangnya.


Tampilan yang imut dan feminin tampak sangat cocok dengan kencan tepi laut.

Ketika Sakuta terdiam, tatapan Koga seperti orang kebingungan. Campuran dari rasa tegang dan rasa malu dapat terlihat jelas di wajahnya.

“Mukamu merah.”

“Aku tadi buru-buru!”

“Yah, baiklah.”

“Kencan seperti ini bukan masalah besar!” Koga bersikeras membuat hal ini seperti sebuah alasan baginya entah kenapa.

“Tapi kau telat lima menit, Koga.”

Mereka berjanji untuk bertemu di sini saat pukul setengah tiga, tetapi Koga baru tiba pukul 2:35, dan jarum jam yang ada di stasiun sudah mulai bergerak menuju pukul 2:40.

“Yah, Aku harus berdandan dulu.”

“Tentu saja.”

Ketika Sakuta melihatnya lagi. Koga tidak seperti merias wajahnya sama sekali. Dengan riasan yang sangat kekinian. Tidak terlalu mencolok, hanya perlu sedikit aksen ringan yang menyatu dengan riasan di sekitarnya.

“Ap-apa?”

“Yah, kau terlihat imut.”

“J-jangan menyebutku imut!”

“Bukannya sudah jelas. Kau imut.”

Senpai melakukannya lagi!”

“Biasanya akan ku kurangi nilainya jika tak memakai rok pendek, tapi kan ku maafkan karena kaki telanjangmu.”

“Berhenti memandangi kakiku!”

Koga langsung berjongko, sambil memeluk kakinya dengan kedua tangannya. Sia-sia sekali, pikir Sakuta.

“Aku tahu kalau kakiku gemuk,” keluhnya sambil menatap Sakuta.

Hal ini hanya membangkitkan nalurinya untuk menggoda. Pandangannya tertuju ke bokong bundar yang dibalut oleh celana jeans denim.

Senpaaai, jangan berani-berani mengomentari bokongku!” Koga memperingatinya lebih dulu.

Secara mengejutkan, Koga ternyata mengetahui niat Sakuta.

“Kenapa tidak?”

“Karena besar,” keluhnya.

“Yah, kau akan sangat mudah melahirkan nantinya.”

“Pu-pujian senpai sangat mesum!” ucapnya hingga salah tingkah lebih dari yang pernah diketahui oleh Sakuta. “Aku tak percaya senpai berani mengucapkan itu!”

Wajahnya mulai memerah dan dia mulai khawatir kalau orang-orang di sekitarnya mendengar percakapan mereka.

“Dimana kau beli pakaian seperti itu?”

“Huh? Ya, di, toko pakaian seperti biasanya…”

“Yang mana?”

“Kenapa senpai menanyakan itu?”

“Ketika hari gajian tiba, Aku berencana untuk membeli beberapa pakaian untuk adikku.”

Mai kemarin bilang agar ia harus lebih menaruh perhatian dengan apa yang di pakai Kaede, dan karena Koga hampir seumuran dengan Kaede, dia mungkin bisa jadi referensi yang bagus.

Senpai punya adik? Berapa usianya?”

Koga duduk di sebelahnya.

“Setahun di bawahmu. Meski dia lebih besar dibandingkan dirimu.

“Aku tak tanya tentang ukurannya!”

“Yang kumaksud bukan payudaranya. Hanya tingginya.”

“A-aku tahu itu… Oh, iia, senpai, ID-mu!”

Seakan dia baru saja mengingat sesuatu yang penting, Koga mengeluarkan ponsel pintarnya dari dalam tote bagnya.

“Huh?”

“Aku tadinya ingin mengabari karena akan telat dan sadar kalau Aku tak tahu ID senpai,” ucap Koga yang terlihat kesal.

“Jadi itu salahku?”

“Yang terlambat itu Aku. Maaf.”

Dia akhirnya mengaku.

“Yah, Aku tak kesal karena kau terlambat lima menit atau apa pun itu.”

“Tapi kau terlihat kesal! Jadi, ID senpai?”

Koga sampai menunjukkan layar ponselnya.

“Aku tak punya.”

“Huh?”

“Tak punya ID.”

Senpai tak punya aplikasi ini?” tanyanya seolah-olah Sakuta adalah manusia terakhir di bumi ini yang tidak mempunyai aplikasi yang sama.

Jika yang begitu sudah mengejutkannya, Koga berarti dalam masalah besar.

“Aku bahkan tak punya ponsel.”

“Apa?” Dia hanya berkedip padanya. “Apa maksud senpai?”

“Aku tak memegang ponsel.”

Ia mengangkat kedua tangannya seakan sedang mengakui sesuatu. Sakuta telah melempar ponselnya ke laut di pantai Shichirigahama. Saat hari di mana ia mengetahui kalau ia lulus ujian masuk di Minegahara. Hari itu juga ia memutuskan untuk menjauhkan Kaede dari hal yang terkait dengan media sosial.

Senpai bercanda, kan?”

“Tidak.”

“Kalau begitu, bagaimana senpai bisa hidup?!”

“Aku bahkan tak menyadari kalau tak memiliki ponsel begitu mengancam nyawaku.”

“Tentu saja!” tegasnya. “Tunggu, apa senpai sudah mati?”

Koga memandangnya seperti zombie yang pernah dilihatnya di film. Wajahnya langsung pucat karena rasa tidak percayanya.

Dia mulai mengatakan hal lain, tetapi Sakuta mengabaikannya. “Oh, keretanya sudah tiba,” dilhatnya dan mulai berjalan mengikuti keluarga yang berniat untuk ke pantai dengan menaiki kereta yang sama.

“Ah! Tunggu!”

Koga buru-buru mengejarnya.


Bel peringatan berbunyi, dan pintu gerbong kereta perlahan menutup.

Dengan kereta yang perlahan melaju. Sakuta dan Koga saling duduk bersebelahan.

Dalam beberapa menit pertama, Koga masih membicarakan masalah ponsel sebelumnya, tetapi ketika mereka tiba di Stasiun Ishigami, dia sudah tidak mengatakan sepatah kata pun.

Keretanya kembali melaju. Saat itu juga, bahu Sakuta terasa berat karena Koga yang bersandar padanya. Ia melirik ke arahnya dan melihat Koga dengan mulutnya yang setengah terbuka. Dia sedang tertidur.

“Hei,” seru Sakuta sambil memberinya jentikkan ringan di dahi Koga.

“Ow!” Koga mengelus dahinya dengan kedua tangannya sambil melotot padanya.

“Siapa yang tertidur secepat itu?”

“Aku kurang tidur.”

“Terlalu bersemangat untuk kencan ini?”

“Semuanya mengobrol di grup sampai jam 2 lewat semalam…setelah itu Aku menonton video hewan lucu sampai pagi. Lalu, Aku harus bersiap-siap untuk kencan ini…”

Dia menahan rasa kantuknya dengan kedua tangan dan segera menyeka air mata yang keluar sebelum hal itu merusak riasan wajahnya sambil mengeluarkan cermin untuk memastikan riasannya baik-baik saja.

“Kemarin hari pertamamu bekerja, kan?”

“Mm.”

“Melelahkan buatmu, ya?”

Melakukan hal-hal baru membuat orang-orang biasanya menjadi sangat lelah.

“Aku sangat kelelahan.”

“Kalau begitu, kau seharusnya langsung tidur.”

“Aku tak bisa tidur ketika yang lain masih bangun!”

“Kalau begitu tonton saja video hewan itu di lain waktu.”

“Semuanya bilang kalau mereka sudah menontonnya, akan jadi masalah besar jika Aku tak bisa mengikuti obrolannya ketika saat itu tiba! Dan Rena juga yang merekomendasikannya.”

“Rena lagi?”

Mengikuti apa yang dilakukan oleh teman terdengar merepotkan.

“Oh, iia! Aku harus memberi tahu Rena.”

Koga mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi chatting di ponselnya. Dengan mudahnya, dia mengetik tentang betapa lucunya video-video tersebut.

Balasannya segera tiba.

Sakuta melirik ke layar ponsel Koga, dan balasannya berisi tautan video lagi. Koga pasti akan kurang tidur lagi malam ini, pikirnya.

Tetapi sebaliknya, dia mulai menonton video itu. Videonya berisi seekor panda yang tersandung dengan bodohnya di layar ponselnya yang kecil tersebut. Dengan kaki yang terentang ke kedua sisi, dan selangkangannya yang terbuka lebar.

Kereta yang mereka tumpangi sudah sampai di tujuan, Stasiun Enoshima, sebelum video yang diputar di ponselnya selesai dan Koga terlalu asyik menonton sampai tidak menyadarinya.

“Ayo, kita harus turun di sini,” sela Sakuta sambil menarik lengannya.


Stasiun Enoshima adalah salah satu pemberhentian terpenting dari Enoden. Di sini juga tempat pemberhentian untuk orang-orang yang ingin menaiki Monorel Shonan. Hanya perlu berjalan sebentar menuju Jalur Odakyu Enoshima di Stasiun Katase-Enoshima, yang dibangun berdasarkan Istana Laut/Istana Dewa Naga dari legenda “Urashima Taro” yang terkenal. Namun, tidak ada stasiun kereta yang dibangun di pulau Enoshima. Hanya ada satu yang dibangun di dekatnya.

Sakuta dan Koga keluar dari stasiun dan berjalan ke arah pantai, menuju lautan. Dengan angin laut yang berhembus membawa aroma musim panas.

Mereka berjalan menyusuri Jalan Subana, sebuah jalan beraspal dengan bebatuan yang ditata seperti batu bata kota. Di sebelahnya terdapat deretan toko-toko dan kafé-kafé mewah, dan saat akhir pekan tiba, tempat-tempat itu cukup ramai. Banyak sepasang kekasih yang berkencan di hari ini.

“Banyak pasangan di mana-mana!”

“Karena ini Hari Minggu.”

“Kita juga sama, kan?”

“Aku ragu.”

“Kenapa senpai ragu?”

“Yah…”

Sakuta mengisyaratkan jarak di antara mereka. Koga berjalan tiga langkah di depannya. Di jalan yang sempit ini, mereka bahkan terlihat seperti tidak mengenal satu sama lain. Cukup banyak orang yang lewat di antara mereka. Jika mereka terlihat seperti sepasang kekasih, orang-orang akan berjalan memutari mereka.

Menyadari arti dari pandangan Sakuta, Koga melangkah mendekat. Berpindah dari tempatnya semula hingga terpaut satu langkah di depan Sakuta.

“Sejauh ini?”

“Sejauh itu.” Sakuta menunjuk ke pasangan anak kuliahan yang berjalan di depan mereka. Dengan bahu mereka yang hampir saling bersentuhan.

Koga akhirnya berjalan di sebelahnya.

“Kalau begitu, kita harus seperti mereka,” ucap Sakuta, menunjuk ke arah pasangan seusia mereka yang saling melihat menu makanan di kafé pinggir jalan.

Sang Gadis memegang jari pacarnya---tapi hanya kedua jarinya. Jari kelingking dan jari manis.

“Kau pernah berkencan sebelumnya, kan? Jadi, hal seperti ini harusnya tak masalah buatmu.”

“B-benar juga.”

Koga dengan gugup mengulurkan tangannya. Tapi, bukannya menggenggam tangan Sakuta, dia memegang hal lain---ujung dari ikat pinggang yang dipakainya.

Hubungannya dengan pacarnya yang terakhir pasti sangat suci. Dengan asumsi kalau pacarnya itu memang benar-benar nyata.

Dia menatap ke bawah dengan malu-malu. Sangat jelas kalau dia hanya bisa seperti ini saja.

Mengingat tubuhnya yang kecil, situasi ini anehnya terlihat imut. Tetapi ada satu masalahnya.

“Aku merasa jadi seperti anjingmu.”

“Oh, Aku memang punya anjing!”

“Aku punya kucing. Tapi sejujurnya, kita tak perlu memaksa seperti sepasang kekasih.”

Mungkin di sekolah tidak apa-apa, tapi apa gunanya menipu orang asing di keramaian seperti ini?

“Yah…mungkin saja ada,” ucap Koga dengan canggung sambil memalingkan pandangannya dari Sakuta. “Jadi senpai, uh…ada hal kecil yang harus kusampaikan.”

Akhirnya, mereka sampai di ujung jalan beraspal, dan lautan luas terbentang di hadapan mereka.

Pulau yang mengambang di lautan yang luas itu adalah tujuan mereka, Enoshima. Pulau kecil yang mencuat di tengah Teluk Sagami yang berbentuk seperti busur kurva. Di arah barat terdapat Odawara dan Hakone, jadi jika cuacanya cerah, Gunung Fuji dapat terlihat. Tetapi hari ini berawan, dan hanya terlihat bayangannya saja.

“Tiga cewek yang mengikuti kita?”

Ia merasakan tatapan mereka semenjak mereka turun di Stasiun Enoshima. Sakuta pernah memeriksa ke belakangnya sambil berpura-pura melihat ke arah Koga dan melihat Rena dan kedua temannya, Hinako dan Aya.

Senpai menyadarinya?”

“Gerak-gerikmu mencurigakan.”

“S-sungguh?”

Kencan ini berarti bukan kencan biasa yang bisa dikarang hanya dengan mengambil foto dari kencan mereka. Jika teman-teman Koga mengamati mereka berdua selama ini, mereka harus bersungguh-sungguh bersikap sebagai “lebih dari senpai, tapi bukan pacar” sepanjang kencan mereka.

“Rena bilang dia harus menilaimu.”

“Dia tampaknya masih ragu denganku setelah kemarin.”

Bukan tentang kebohongan mereka, tetapi tentang sikap dan sifat Sakuta. Setelah menyatakan perasaannya kepada Mai sebulan yang lalu di depan seluruh penghuni sekolah, tertarik akan Koga secepat ini pasti akan membuat orang lain ragu. Masuk akal jika Rena mengkhawatirkan temannya.

“Pertemanan ternyata hal yang indah ya.”

Senpai membuatnya seperti hal yang buruk.”

Pertemanan itu hanya membuat situasinya tambah buruk, jadi Sakuta pikir ia berhak untuk mengatakan itu.

Jujur saja, mengetahui kalau teman-teman Koga akan mengamati mereka membuatnya tidak nyaman sebagai pacar palsunya. Sementara itu, teman-temannya sepertinya yakin kalau mereka tidak akan ketahuan, tetapi sudah menjadi peran seorang senpai untuk mengajari kohai mereka betapa kerasnya hidup ini.

“Koga, perubahan rencana.”

“Huh? Whoa!”

Ia menggengam tangan Koga dan menuntunnya di sepanjang Jalan Raya Rute 134 sampai melewati pantai Shichirigahama di belakang mereka dan menyeberangi jembatan di atas Sungai Sakai yang mengalir hingga ke laut.

“Kemana kita pergi?” tanya Koga yang begitu kebingungan.

“Ke sana,” ucap Sakuta.

Menunjuk ke bangunan besar berbentuk kotak di tepi seberang sungai---ke akuarium.


Sakuta dan Koga membeli tiket masuk dan masuk ke dalam gedung akuarium tersebut. Di dalamnya, mereka berdua disambut oleh berbagai hewan laut yang bisa ditemukan di Teluk Sagami ini. Ragam hewan saling berenang mengitari tangki raksasa yang dibelah oleh terowongan bawah laut yang membentang hingga ke lantai di bawah mereka. Ikan gitar yang berenang di dasar dengan kepala berbentuk segitiga. Ikan air tawar yang terlihat lezat jika disantap. Penyu yang berenang dengan anggun sambil mengitari tangki. Kedua ikan pari yang melintas di atas mereka secara bersamaan, memperlihatkan bagian bawah tubuh mereka---yang terlihat seperti wajah manusia. Kumpulan dari ribuan ikan sarden yang membentuk bulatan aneh di tengah-tengah tangki saat mereka saling mengitari sesamanya.

Anak-anak kecil yang datang melihat menempelkan wajah mereka ke gelas kaca, begitu terpukau dengan ragam hewan laut yang berenang kesana-kemari. Koga mengikuti kumpulan anak kecil tersebut dan berhasil berdiri tepat di depan gelas kaca. Seketika itu juga, seekor hiu besar berenang melewati dirinya tepat di depan wajahnya. 

“Eep!”

Koga yang terkejut mengeluarkan jeritan kecil dan terjatuh ke belakang dengan bokong yang terlebih dahulu menyentuh tanah. Karena Sakuta berdiri tepat di belakangnya, bokong besar Koga mendarat tepat di atas kakinya.

Dengan Rena dan kedua teman Koga yang mengamati mereka, Sakuta membantunya bangun seperti seorang pacar.

Ia berharap kalau harga tiket masuk akuarium ini membuat teman-teman Koga mengurungkan niat mereka untuk mengikuti, tetapi sepertinya sia-sia saja. Tapi dengan berada di dalam gedung ini saja sudah membatasi pergerakan mereka, jadi Sakuta sedang menunggu kesempatan untuk membalas perbuatan mereka. Ia tidak sebaik itu sampai membiarkan dirinya menjadi tontonan dari tiga orang gadis remaja.

Setelah puas melihat hewan-hewan laut yang ada di tangki besar, Koga dan Sakuta berjalan ke tempat hewan laut lain.

Ikan tropis dengan warna-warna yang cerah. Hewan laut aneh dari laut dalam. Lampu gedung yang bertempat di area ubur-ubur diredupkan, menjadikan suasana tersebut seperti di planetarium.

Sakuta melihat pasangan lain berhenti untuk mengambil gambar.

Seekor ubur-ubur berenang perlahan mendekati Koga dan Sakuta.

“Imut sekali!” seru Koga yang mengeluarkan ponselnya dan memotret peristiwa itu.

Mereka juga melihat ubur-ubur lain yang tampak seperti terbuat dari permen kapas.

“Yang ini seperti makaron!” ucap Koga, yang ternyata memikirkan hal yang serupa dengannya. “Senpai, ambil fotonya!”

Koga menyerahkan ponselnya ke Sakuta, dan ia berhasil memotret Koga dan ubur-ubur itu bersamaan.

“Tidak, jangan seperti itu!” ucap Koga. Dia melirik ke arah pasangan lain yang cukup jauh dari mereka sedang berdiri berdampingan dengan bahu yang saling menyentuh membelakangi tangki. Si pria merentangkan tangannya sehingga bisa memotret mereka berdua dalam satu foto.

Sakuta melakukan seperti yang Koga minta dan bahu mereka saling bersentuhan. Sentuhan tersebut membuat Koga sedikit terkejut. Ia yang melirik ke arahnya melihat wajah Koga yang begitu tegang.

Ia tetap saja menekan tombolnya.

Ketika mereka melihat hasil gambarnya, wajah Koga benar-benar terlihat sangat gugup.

Senpai, matamu sangat sayu.”

“Aku memang selalu seperti itu.”

“Jadi, kau selalu mengantuk?”

Tawa tersebut seperti menenangkan diri Koga.

Kemudian, mereka berjalan menuruni koridor setelah menyadari kerumunan orang di depannya. Para pengunjung lain saling berdesak-desakkan di salah satu sudut akuarium.

Sekelompok Penguin Humboldt dapat terlihat di pantai buatan yang dibuat mengikuti tempat asal penguin tersebut.

Penjaga akuarium yang memakai mikrofon headset sedang berdiri di tengah-tengah tempat tersebut---menjelaskan tentang pertunjukan yang berlangsung saat ini.

“Ingin melihatnya?”

“Mm!”

Penjaga itu sedang menjelaskan tentang ciri unik dari Penguin Humboldt. Ternyata, corak tubuh yang tergambar di dada mereka selalu berbeda-beda, tetapi ada kemiripan di antara anggota keluarga. Penjaga tersebut mengangkat seekor penguin dan menunjukkannya kepada pengunjung yang menonton.

Penguin yang lain mulai berkumpul di sekitar kaki penjaga itu. Jika sang penjaga melangkah ke kanan, para penguin juga bergerak ke kanan. Jika sang penjaga melangkah ke kiri, penguin tersebut juga mengikutinya ke arah kiri.

Para pengunjung saling meneriakkan kata “Imut!”

“Penguin-penguin itu memang imut! Sangat Imut!” seru Koga yang terpukau.

Seimut saat berada di daratan, tampaknya penguin-penguin tersebut akan menunjukkan seberapa keren mereka ketika berenang di air. Sakuta yang memikirkan bagaimana cara melakukannya disela oleh aksi penjaga yang melemparkan ikan kecil ke air.

Penguin-penguin tersebut mulai terjun ke dalam air. Meluncur dengan cepat di air seperti peluru yang ditembakkan. Mereka seperti sedang terbang. Penguin tentu saja tidak bisa terbang di udara tetapi mereka tampak seperti sedang terbang ketika di dalam air.

Senpai coba lihat yang itu…”

“Hmm?”

Koga sedang melihat ke arah sudut dari tempat buatan tersebut.

Di sana terlihat ada satu penguin yang tidur dengan santainya, benar-benar mengabaikan penguin lain yang saling berebut ikan.

“Yang itu sepertimu senpai.”

“Apa kakiku sependek itu?”

“Semuanya saling bermain dengan sesamanya, tapi yang itu tak peduli sama sekali.”

“Jadi, kau yang kedua dari barisan yang riang itu?”

Yang paling depan dari barisan itu berarti Rena Kashiba. Keempat penguin tersebut menerima semua ikan yang diberikan oleh penjaga mereka. Nyatanya, penguin-penguin juga memiliki hierarki sosial.

“Tidak, Aku itu yang paling belakang, selalu mengikuti tiga penguin di depannya,” bisik Koga dengan pelan.

“Oh, benar juga karena bokongnya besar.”

“Aku lagi serius!” seru Koga sambil memegang bokongnya dengan kedua tangannya. Dengan melotot ke Sakuta, tingkahnya tersebut mirip sekali dengan penguin.

“Tapi kenapa penguin yang itu tak mengikuti yang lain?” Koga bertanya-tanya.

Penguin yang ada di sudut itu terbangun dan perlahan-lahan melihat ke sekelilingnya. Penjaga yang menyadari hal itu berkata, “Ah, kau baru bangun? Padahal pertunjukannya sudah usai!”

Tetapi pinguin tersebut tampak tidak peduli dan melanjutkan tidurnya. Para pengunjung yang melihat hal itu tertawa.

“Ia bahkan tak peduli jika semua orang menertawainya… Yang itu benar-benar mirip seperti senpai,” Koga mengulangi ucapannya seakan berhasil menyindir Sakuta.

Pertunjukan penguin tersebut berakhir dengan sukses.

Pengunjung yang berkumpul mulai menyebar kembali.

Sakuta meninggalkan Koga di dekat tangki singa laut, bilang kalau ia perlu pergi ke toilet dan meninggalkannya.

Namun alih-alih menuju ke toilet, Sakuta mengitari akuarium itu. Ia mengetahui ada di mana Rena, Hinako, dan Aya saat pertunjukan penguin berlangsung.

Ia perlu memutar ke pintu masuk, dan berjalan mengikuti jalan yang mereka ambil sebelumnya. Ia menemukan ketiga gadis tersebut sedang bersembunyi di dekat toko oleh-oleh. 

Sakuta mendekat dari belakang mereka dan berkata, “Ah, ketemu ikan langka di sini!”

Hinako dan Aya tampak terkejut. Sementara hanya Rena yang tetap tenang dan berbalik menghadapnya.

“Kebetulan bisa bertemu dengan senpai di sini,” ucapnya.

Sakuta benar-benar terkesan.

“Cewek SMA sekarang ini benar-benar punya banyak waktu luang ya.”

“Kami sedang sibuk.”

“Kelihatannya tak seperti itu.”

“Apa senpai yakin meninggalkan Tomoe sendirian?”

“Augh, kan?” ucap Hinako yang masih mengenakan kacamata yang terlihat palsu.

Hinako menunjuk ke arah Koga berdiri.

Sakuta juga melihatnya.

Dua pria sedang menggoda Koga. Kedua rambut mereka berwarna cokelat. Keduanya juga mempunyai rantai dompet yang menjuntai di celana mereka dan memakai sendal.

Mereka mungkin ingin mengajaknya menonton pertunjukan lumba-lumba dari gelagat salah satunya yang menunjuk ke pintu keluar.

“Mereka terlihat menakutkan.”

Koga melambaikan tangan tanda menolak di depan mereka, tetapi salah satu pria itu meraih pergelangan tangannya.

“Haruskah kita membantunya?” tanya Hinako ke Rena.

Tetapi Sakuta sudah bergerak terlebih dahulu. Ia berjalan ke arah Koga dan memukul kepalanya. “Baru saja kutinggal sebentar, dan kau sudah digoda orang lain?” cibirnya. Lalu, ia menaruh lengannya di bahu Koga sambil menjauhkannya dari kedua pria tersebut.

“Kau sudah punya pacar?” Salah satu pria tersebut mengatakan hal itu ke mereka dengan nada kesal.

Senpai ke toilet lama sekali!” bisik Koga dengan pelang.

“Aku buang air besar,” ucap Sakuta. Tetapi kenyataannya tidak begitu, namun alasan ini cukup untuk menghilangkan minat kedua pria berambut cokelat tersebut.

“Kau buang air besar saat kencan?” si pria yang satu lagi tertawa dan menjauh dari mereka berdua.

Sakuta melirik ke arah dua pria tersebut dan berkata, “Temanmu tak ada yang naksir mereka, kan?” bisiknya.

“Tentu saja tidak!” seru Koga.

“Kalau begitu bilang saja kalau kau tak tertarik.”

“Aku tahu, tapi…”

“Tapi apa?”

“Aku tak menduga akan digoda orang lain! Aku jadi gugup.”

“Kau harusnya terbiasa dengan hal ini.”

Pantai akan dibuka minggu depan. Seluruh wilayah pantai akan dipenuhi oleh para pria yang mengajak gadis bermain dengan mereka.

“Kenapa Aku?”

“Apa kau tak melihat dirimu sendiri di cermin?”

“Sudah tiap hari!”

Koga melihat bayangan dirinya yang terpantul di tangki akuarium.

“Gimana menurutmu?” tanya Sakuta.

“…Ini seperti bukan diriku,” ucap Koga yang menatap ke lantai.