KISAH KEMBAR KUROBA, MISI MENARIK
(Bagian 1)

(Penerjemah : Fulcrum)



Minggu, 22 Juli, sesaat sebelum Kompetisi Sembilan Sekolah 2096. Kembar Kuroba, Fumiya dan Ayako, mengunjungi rumah utama Keluarga Yotsuba.

Tujuan kedatangan mereka ialah untuk memberikan laporan kepada Maya tentang hasil investigasi yang mereka lakukan terkait pengembangan senjata sihir, yang dilakukan diam-diam oleh Keluarga Kudou. Fumiya tidak turun tangan secara langsung dalam investigasi ini, tapi dia ditemani Ayako yang datang sebagai perwakilan ayah mereka, Mitsugu, yang saat ini sedang sibuk dengan misi lain.

Maya sepertinya puas dengan laporan Ayako. Dia berterima kasih atas kerja mereka, meminta mereka untuk menganggapnya rumah sendiri, dan dengan santai (sebenarnya bukan berarti dia benar-benar sedang santai, tapi hanya sedang tidak ada kerjaan saja sekarang) menawarkan mereka berdua untuk menyantap kue dengan teh.

Di zaman dahulu, seorang penguasa bisa saja menyuguhkan teh beracun kepada pengikut setianya, untuk melihat apakah mereka akan meminumnya atau tidak. Namun, Maya tidak akan melakukan hal setidak berguna itu, dan Fumiya dan Ayako bahkan tidak berpikir sejauh itu. Alasan kenapa mereka berdua agak ragu-ragu sebelum mengangkat piring kue mereka murni karena sungkan dengan Maya yang menawarkan mereka langsung.

Dan sampai sekarang, Fumiya dan Ayako masih belum bisa santai sama sekali. Melihat mereka yang polos begitu, Maya tidak mau menjahili mereka.

“Omong-omong, sebentar lagi, Kompetisi Sembilan Sekolah akan dimulai ya?”

“Iya” jawab Fumiya kepada Maya dengan tegang. Tidak, bukan tegang, tapi hati-hati.

“Kalian berdua akan ikut di Kompetisi Sembilan Sekolah?”

“Ya, Oba-sama.”

Ayako memanggil Maya dengan sebutan ‘Oba-sama’, hal itu karena Maya sendiri yang memintanya. Ayah kembar Kuroba, Mitsugu, adalah adik sepupu Maya; oleh karenanya, dari sudut pandang Ayako, Maya bisa dibilang bukan ‘bibi’nya. Saat berbicara dengan orang lain, Ayako lebih senang menggunakan sebutan ‘Gotoushu-sama’ atau ‘Maya-sama’.

Dan bagi Fumiya, Maya tidak memintanya memanggil dengan panggilan ‘Oba-sama’. Namun, mengingat dia memanggil ‘Oba-sama’ saat sedang menyamar sebagai perempuan, itu mungkin dilakukannya dengan alasan kalau seorang gadis seharusnya bersikap seperti itu.

“Kami berdua ikut di divisi kelas 1.”

Di antara mereka berdua, Ayako lah yang lebih terbiasa dengan keadaan seperti ini, dan lebih tidak malu-malu.

“Di divisi kelas 1? Aku rasa kemampuan kalian seharusnya bisa masuk ke divisi utama…”

Fumiya dan Ayako dengan mudah paham maksud di balik perkataan Maya; terutama di SMA 4.

“Tetapi bukankah akan terlalu menarik perhatian jikalau kami masuk ke divisi utama?”

“Jadi karna itu kalian dimasukkan ke divisi kelas 1….”

Dengan kata lain, di kalangan SMA 4 ada yang berpendapat kalau mereka seharusnya dimasukkan ke divisi utama. Mereka mungkin bisa menggunakan semacam trik untuk menghindari hal ini. Itu semua cukup sesuai dengan gaya kembar Kuroba, yang ahli dalam spionase.

“Apa kami sudah melewati batas?” sambil ketakutan Fumiya bertanya pada Maya. Ayako di sampingnya, juga, ikut tegang.

“Tidak, tidak melewati batas tapi…..”

Sikap Maya terlihat hangat. Fumiya dan Ayako, sambil menahan napas, menunggu kelanjutan kalimat itu.

“Baiklah. Tidak apa-apa divisi kelas 1.”

Mereka berdua terlihat lega dan tidak tahu harus bersikap seperti apa. Mereka berdua tidak seperti Tatsuya; yang bisa menolak perintah Maya, dengan rileks, sambil duduk bersandar.

“Fumiya-san, Ayako-san, jangan menahan diri di Kompetisi Sembilan Sekolah. Kerahkan seluruh kemampuan kalian.”

Berdua Fumiya dan Ayako bermaksud untuk segera menjawab “Baik” pada perintah Maya.

Tapi kenyataannya berbeda.

“Ba-Baik” jawab Fumiya.

“Baik. ….Tapi bukankah itu akan terlalu menarik perhatian yang tidak-tidak?

Ayako merespon hal ini lebih santai daripada Fumiya. Tapi ia berhasil menanyakan satu hal. Dan itu dilakukannya karena kesetiaannya kepada Keluarga Yotsuba, yang ditanamkan ayahnya, Mitsugu, padanya. Terlibat dalam operasi-operasi gelap, Keluarga Kuroba tenggelam ke dalam kegelapan jauh daripada keluarga lain di Yotsuba.

Mereka lah kegelapan di antara kegelapan. Operasi yang mereka lakukan selalu ilegal, dan oleh karenanya pengkhianatan terhadap Yotsuba adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Tentu saja, dengan posisi mereka saat ini, prinsip kesetiaan terhadap kepala keluarga sudah ditanamkan dalam diri mereka.

Dengan kesetiaan sedalam itu, Ayako melayangkan pertanyaan terhadap perkataan Maya yang jauh dari dugaannya.

“Itu benar, Ayako-san. Kalau kau bersungguh-sungguh, kau bisa menarik perhatian publik juga seperti yang Miyuki-san dan Tatsuya-san lakukan tahun lalu.”

“Gotoushu-sama, kalau begitu apa ‘itu’ maksud Anda?”

“Ya, kau benar, Fumiya-san” sambil menyeringai, Maya menjawab pertanyaan Fumiya.

“Tahun ini putri termuda Keluarga Saegusa juga akan ikut serta di divisi kelas 1, dan putra tertua Keluarga Shippou juga pasti akan berusaha untuk menunjukkan eksistensi mereka. Kalau kalian di saat yang sama juga menunjukkan performa yang tinggi yang bisa membuat orang lain menebak hubungan kalian dengan Keluarga Yotsuba, bukankah itu bisa mengalihkan perhatian orang-orang dari Miyuki-san dan Tatsuya-san?”

Setelah mendengar penjelasan itu, mereka akhirnya mengerti maksud Maya.

“Saya mengerti.”

Tapi, mengerti dan paham adalah dua hal yang berbeda.

“Tapi bukankah itu akan mempersulit kami dalam beroperasi ke depannya?”

Secara logika, argumen Ayako masuk akal. Tidak ada gunanya terlihat mencolok bagi seorang agen rahasia.

“Kalian tidak perlu khawatir akan itu.”

Namun, Maya membantah argumen Ayako tanpa membeberkan maksudnya.

“Yang perlu kalian pikirkan adalah bagaimana cara kalian terlihat semencolok mungkin di Kompetisi Sembilan Sekolah. Aku pribadi tidak sabar dengan itu.”

“Baik, akan kami lakukan sebaik mungkin.”

“Akan kami lakukan seperti yang Gotoushu-sama inginkan.”

Fumiya dan Ayako, tanpa bertukar padang, mengatakan hal yang sama, dan setuju dengan perintah Maya.

◊ ◊ ◊

Setelah menunggu Fumiya dan Ayako keluar, Maya memencet dan membunyikan bel yang ada di mejanya.

Suara ketukan pintu datang segera setelahnya, orang tersebut datang terpanggil oleh bel tersebut.

“Masuk.”

“Permisi.”

Hayama mengikuti perintah Maya dan membuka pintu.

“Hayama-san, cepat sekali kau datang, seperti biasa. Tolong hubungi Mitsugu-san.”

“Baik Nyonya. Apa ini ada hubungannya dengan apa yang Nyonya sedang lakukan sekarang?”

“Ya, itu benar. …Oh, tunggu sebentar.”

Maya menghentikan Hayama, yang sudah menunduk dan baru saja akan meninggalkan ruangan itu.

“Aku akan bicara sendiri dengannya. Hubungi dia di sini.”

“Baik, Nyonya.”

Hayama pergi mendatangi sebuah telepon kuno yang ditaruh di pojok ruangan dan menekan nomor telepon Mitsugu.

Mitsugu segera menjawab panggilan itu. Bahkan seorang Kuroba Mitsugu tidak bisa mengabaikan panggilan yang datang dari nomor pribadi Maya.

Hayama bertegur sapa dengan Mitsugu dan dengan sopan menyerahkan telepon itu kepada Maya. ….Meski desainnya antik, telepon itu nirkabel.

Maya mengangkat telepon itu dan menyapanya, dan sebagai balasannya, terdengar sebuah suara halus elegan dari telepon itu.

“Oh, sepupuku yang cantik. Apa anak-anakku melakukan sesuatu?”

“Tidak, pekerjaan mereka sempurna.”

“Benarkah? Senang sekali mendengarnya! Kalau begitu, pekerjaan apakah yang akan kau berikan padaku hari ini?”

“Sebelum itu, Mitsugu-san. Kita ini jarang menggunakan video call, ya bukan?”

“Aku minta maaf sebesar-besarnya tentang itu. Aku benar-benar minta maaf tidak bisa melihat sosok sepupu cantikku yang seindah bunga mekar di bawah cahaya rembulan. Jadi, apa ada pekerjaanku untukku?”

“Mitsugu-san. Aku tidak nyaman mendengarkan itu semua, tapi kalimat terakhirmu benar.”

“Jahat sekali. Jadi pekerjaan apa yang ingin kau berikan padaku?”

Mitsugu akhirnya berbicara dengan nada normal digunakannya ketika melakukan pekerjaan, tapi Maya sendiri sudah siap untuk merubah arah pembicaraan ini.

“Ini tentang anak-anakmu.”

Mitsugu butuh waktu beberapa saat sebelum bisa menanggapi hal tersebut.

“….Aku mengerti. Akan kusampaikan langsung perintahnya.”

Jeda itu menunjukkan apa yang Mitsugu rasakan.

“Mitsugu-san. Aku paham ketidaksenanganmu, tapi urusan ini akan membantu anak-anakmu.”

“Bukan begitu maksudku, tapi apa keuntungannya melakukan ini?”

Pertentangan seperti ini bukanlah hal yang biasa dilakukan seorang Kuroba Mitsugu. Tapi setidaknya, dia bersikap seperti ini bukan karna tidak senang dengan kerja kedua anaknya yang lebih bagus ketimbang dirinya. Namun, mengingat tujuan akhir hal ini, dia tidak bisa menahan diri dan diam saja.

“Menurutku akan sia-sia hanya memanfaatkan kedua anakmu untuk misi spionase.”

“Sia-sia?”

“Sihir Fumiya-san bisa melumpuhkan musuh hanya dengan sekali serangan. Ayako-san dengan sihirnya mampu membuat dirinya bahkan orang lain jadi hampir sama sekali tak terlihat. Bukankah terasa sia-sia kalau mereka hanya jadi agen rahasia?”

“Aku yakin sihir keduanya sangat sesuai untuk intelijen.”

“Benarkah? Tapi, menurutku sebagai kepala keluarga, aku hanya ingin yang lebih baik bagi mereka.”

Mitsugu tidak merespon hal itu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa yang bertentangan dengan kehendak kepala keluarga.

“Pekerjaan yang ingin kuberikan kali ini ada hubungannya dengan itu. Kupercayakan padamu, meski kau kelihatan tidak senang dengan itu.”

“Aku bukan tidak senang. Akan kuteruskan perintah ini, sesuai apa yang diperintahkan.”

“Kupercayakan padamu, Mitsugu-san.”

Puas dengan jawaban Mitsugu, Maya menyerahkan telepon itu kepada Hayama.

“Hayama-san.”

“Ya, Nyonya?”

Hayama mengembalikan telepon itu dan berdiri kembali di depan Maya.

“Mengenai Fumiya-san dan Ayako-san. Mitsugu-san bahkan menyetujuinya, tapi isi hatinya berlawanan.”

“Apa menurut Nyonya ada kemungkinan terjadinya sabotase?”

Maya tersenyum mendapati pertanyaan Hayama.

“Kurasa tidak sampai sejauh itu, tapi itu akan mempengaruhi kinerjanya jadi lebih buruk. Oleh karna itu, Hayama-san, aku ingin kau memantau rumor yang beredar.”

“Apa Nyonya ingin saya memantau kinerja Kuroba-dono?”

“Ya. Pantau kecepatan penyebaran rumor, dan laporkan padaku apa rumor itu menyebar sesuai rencana atau tidak.”

“Baik.”

Hayama menunduk dalam. Tapi dia tidak berhenti membahas hal tersebut.

“Tapi Nyonya, kegelisahan Kuroba-sama cukup bisa diterima.”

Maya mengerutkan dahinya mendengar komentar Hayama.

“Kegelisahan Mitsugu-san…? Memangnya ada apa?”

Maya bukan pura-pura. Dia memang tidak tahu.

“Kalau rumor tentang orang Keluarga Kuroba punya hubungan dengan Keluarga Yotsuba, hal tersebut akan mempersulit pekerjaan Kuroba-sama ke depannya. Karena Kuroba-sama selalu memperkenalkan dirinya dengan nama Kuroba pada berbagai kesempatan.”

Hayama menyatakan pendapatnya sebagai bentuk kekhawatirannya, dan bukan hanya mengatakan fakta yang ada.

“Ah jadi itu maksudnya.”

Raut wajah Maya terlihat paham.

“Memang benar itu akan membuat mereka lebih sulit menjalankan tugas ke depannya. Tapi itu semua sudah diperhitungkan.”

“Dengan begitu membatasi pergerakan Kuroba-sama juga tujuan dari Nyonya?”

“Karena aku tidak suka kalau akhir-akhir ini aku terlalu bergantung pada Mitsugu-san dan orang-orangnya. Kalau kita tidak memberikan pekerjaan pada keluarga cabang yang lain, kemampuan mereka akan tumpul, bukan begitu?”

Hayama menunduk kepada Maya, setuju bahwa tidaklah baik hanya bergantung pada Keluarga Kuroba saja untuk menjaga kestabilan kekuatan internal keluarga besar.

◊ ◊ ◊

Di hari yang sama Ayako dan Fumiya kembali ke rumah mereka dari rumah utama Keluarga Yotsuba, setelah makan malam, mereka berkumpul di kamar Fumiya untuk berunding.

“Walau begitu, ‘Direct Pain’ tidak bisa kita pakai.”

“Kalau begitu apa kita ganti pakai ‘Phantom Blow’?”

Topik pembicaraan mereka ini tentang seberapa jauh mereka bisa unjuk kemampuan.

Meski Fumiya dan Ayako diperintahkan oleh Maya untuk unjuk kebolehan mereka, mereka tidak diberitahu seberapa jauh mereka bisa melakukannya. Seperti perintah yang mereka dapat, menunjukkan kemampuan mereka, bukan berarti mereka membuka semua ‘kartu’ mereka.

Di tempat seperti Kompetisi Sembilan Sekolah, dimana banyak orang umum yang menonton, kebanyakan penyihir memilih untuk tidak menampilkan banyak sihir, yang menjadi kartu as mereka, termasuk sihir militer rahasia dan terlarang seperti ‘Mist Dispersal’ milik Tatsuya. ‘Kartu as’ ini selalu disimpan untuk keadaan terdesak, karna itulah mereka menyebutnya ‘kartu as’.

Contohnya saja, Juumonji Katsuto di Kompetisi Sembilan Sekolah tidak pernah menampilkan versi menyerang dari ‘Phalanx’.

Saegusa Mayumi tidak menunjukkan sihir ‘Dry Meteor’nya, yang bisa membuat lawannya kehabisan napas. Watanabe Mari tidak mempertunjukkan ‘Pressure Slash’, apalagi ‘Dojikiri’nya.

Meski begitu, tidak seperti Katsuto, Mayumi, dan Mari, sihir mereka tidak memungkinkan untuk digunakan dikarnakan bertentangan dengan peraturan perlombaan yang ada. Bahkan semisal di kelas perempuan diadakan lomba seperti Monolith Code di kelas laki-laki, mereka tetap tidak akan menggunakan ‘Dry Meteor’ dan ‘Dojikiri’. Karena sihir itu bukanlah sesuatu yang bisa mereka gunakan dalam sebuah kompetisi.

“‘Phantom Blow’ apa masih tidak cukup ya? Maya-sama ingin kita melakukan sesuatu yang menarik perhatian, jadi kenapa kita tidak menyamarkan ‘Direct pain’ dengan ‘Phantom Blow’ dan menggunakannya bersamaan?”

‘Direct Pain’ milik Fumiya adalah sihir yang unik. Sihir Pengganggu Mental Sistematik Luar, yang menimbulkan rasa sakit di pikiran lawannya, benar-benar mirip dengan ‘Phantom Blow’, disebabkan gelombang Psion yang diciptakan nan dipancarkan mereka, memberikan kesan ‘pukulan’ atau ‘tembakan’. ‘Direct Pain’ akan membuat target merasakan sakit langsung ke pikiran mereka, sementara yang lain akan mengira kalau sang target terkena serangan ‘Phantom Blow’. Sistem kedua sihir itu bekerja benar-benar berbeda, tapi mereka berdua sama-sama menimbulkan rasa sakit yang disebabkan fenomena yang bekerja di tubuh mereka.

“Benar…”

“Kalau begitu, Fumiya, kau perlu berlatih Rangkaian Aktivasi ‘Phantom Blow’.”

Fumiya menghela napas mendengar perkataan Ayako.

“Aku tidak terlalu ahli Sihir Non-Sistematik.”

“Jangan pesimis.”

Ayako memukul punggung adiknya.

Fumiya sedikit mengerang mendapat pukulan itu.

Meski itu kelihatan tidak keras, kenyataannya pukulan itu cukup kuat.

“Kau enak, kau ada sihir yang bisa digunakan. Tapi aku tidak tahu perlu menggunakan sihir apa.”

Ketika berbicara dengan orang lain, Ayako menggunakan kata ganti orang pertama yang elegan, watakushi, dan bukan watashi yang biasa digunakannya untuk berbicara dengan keluarganya. Dan kini, sambil mengeluh, dia kelihatan seperti seorang gadis pada umumnya.

“Di Kompetisi Sembilan Sekolah, aku tidak bisa memakai ‘Perfect Diffusion’, ‘Mock Teleportation’ juga dilarang oleh peraturan.”

Keluhan Ayako itu memang benar, dan Fumiya tidak tahu bagaimana cara membantu kakaknya. Seperti yang dikatakannya, ‘Perfect Diffusion; tidak bisa digunakan di mana pun di Kompetisi Sembilan Sekolah. Sihir ‘Perfect Diffusion’ bekerja dengan mempengaruhi distribusi energi gas, cairan, dan benda fisik sampai pada titik tak terdeteksi. Kegunaan utama sihir ini adalah menyamarkan suara dan refleksi cahaya dari diri sang pengguna maupun orang lain. Dengan kata lain, ini adalah sihir penyamaran. Di Monolith Code mungkin bisa digunakan, tapi Monolith Code hanya ada di divisi laki-laki. Dan juga, ‘bisa digunakan’ dan ‘boleh digunakan’ adalah dua hal berbeda.

Sihir lain yang jadi keahlian Ayako adalah ‘Teleportation’, atau lebih tepatnya, ‘Mock Teleportation’, tidak bisa digunakan di Kompetisi Sembilan Sekolah. Sihir itu melawan peraturan. ‘Mock Teleportation’ adalah sihir yang menyelubungi diri sang pengguna maupun orang lain dengan selubung udara, menghilangkan inersia, dan memindahkan selubung udara itu melalui suatu lorong vakum di udara dengan instan. Kalau mau digunakan, sihir ini hanya bisa diigunakan di Mirage Bat, namun, dengan mengganggunya selubung udara itu terhadap peserta lain, maka orang yang menggunakan sihir itu bisa didiskualifikasi.

“Ah iya!”

Fumiya kepikiran ide, dan memukul tangannya.

“Peraturan lomba melarang pembentukan lorong vakum. Ketika melompat, gunakan saja ‘Perfect Diffusion’ di udara searah dengan pergerakan, sehingga itu tidak akan melanggar peraturan.”

Mendengar ide Fumiya, Ayako mengerutkan dahinya.

“Fumiya… ‘Mock Teleportation’ membentuk suatu lorong vakum, karena sihir ini masih mudah digunakan meski prosesnya rumit. Lalu, ‘Perfect Diffusion’ adalah sihir dengan distribusi yang rumit. Sihir itu tidak akan bekerja kalau tekanan udara di selubung tempatku tidak meningkat ketika berpindah tempat. Dan itu tidak akan berubah, karna ketika kita melompat udara di sekitar kita akan terdorong menjauh.”

“Jadi bukannya itu lebih bagus, ya?”

Namun, Fumiya tetap bersikeras menggunakan ide itu, dan tidak mengindahkan komplain Ayako. 

“Kalau Nee-san menunjukkan kemampuan tanpa menggunakan sihir, itu jelas akan menarik perhatian banyak orang!”

“Memang bisa saja seperti itu, tapi… aku ahli teleportasi, aku tidak ahli melompat.”

“Semuanya akan baik-baik saja. Lorong vakum akan menghilangkan resistansi udara, tapi inersianya akan tetap ada. Lagipula ‘Mock Teleportation’ adalah kunci untuk bisa menyelaraskan Sihir Tipe Gerakan dan sihir yang menghilangkan inersia. Bahkan dengan adanya resistansi udara, tidak ada anak SMA manapun yang bisa bergerak secepat Nee-san. Bahkan Miyuki-san tidak bisa.”

Ayako mengangkat alisnya. Dari perkataannya tentang Miyuki yang tidak bisa, jiwa kompetisinya jadi berkobar.

Fumiya tidak bermaksud melakukan ini, tapi pada akhirnya dia menggunakan argumen paling efektif untuk memotivasi Ayako.

“Benar…. Ada benarnya perkataanmu. Aku rasa akan kucoba.”

Ayako sebenarnya bukan orang yang sesederhana ini biasanya.

“Benar. Kalau itu Nee-san, semuanya akan baik-baik saja.”

Di momen itu, Fumiya merasakan ada sesuatu yang salah melihat dengan mudahnya dia membodohi saudara kembarnya, meski dia tidak bermaksud melakukan itu sejak awal.

◊ ◊ ◊

Untuk bisa mencapai kemenangan di Kompetisi Sembilan Sekolah, SMA 4, daripada fokus pada sihir bertarung, lebih memilih menggunakan sihir kompleks yang memanfaatkan teknologi. Hal ini disebabkan terutama karena sekolah ini diresmikan segera setelah SMA 3. Di SMA 3, kurikulum militer digunakan, dan, berbanding terbalik dari SMA 1 dan 2, mereka menaruh fokus pada kemampuan praktik sihir (sihir yang digunakan dalam pertarungan). Oleh karena itu, SMA 4, yang diresmikan segera setelah SMA 3, menggunakan kebijakan yang hampir berkebalikan penuh dari SMA 3.

Tapi ini bukan berarti semua murid SMA 4 lebih lemah dibanding sekolah lain dalam hal kemampuan tempur. Memang benar banyak murid yang lebih condong ke pengetahuan teknologi sihir, tapi mereka hanya lebih mengutamakannya saja, tidak lebih dari itu.

“Memodifikasi ‘Mock Teleportation’ agar tidak melanggar peraturan huh?”

“Apa itu sulit?”

“Tidak, sederhananya, kita perlu menurunkan resistansi udara tanpa menciptakan lorong vakum, ‘kan? Itu bisa dilakukan” jawab seorang anak kelas 3 dengan percaya diri, yang mana membuat Ayako jadi tidak yakin dengan itu. Meski mungkin saja omongannya itu bukan cuma pamer dengan adik kelasnya yang cantik, tapi dengan fokus SMA 4 yang ada pada teknologi sihir, dia tidak bisa mengatakan ‘tidak bisa’.

“Oh! Luar biasa Naruse-senpai.”

“Ah ya. Serahkan saja padaku.”

Sekalipun di sini Ayako sedang mempermainkannya, harga diri seorang murid SMA 4 tidak akan membiarkannya menolak tantangan seperti itu.

Kebetulan, ‘Naruse-senpai’ ini, Naruse Harumi, adalah sepupu Shizuku. Ibu Shizuku, Kitayama Benio atau Naruse Benio, dan ibu Harumi adalah seorang penyihir tempur, tapi Harumi sendiri memilih menjadi teknisi sihir. Dia sebagai siswa SMA 4 juga memiliki kemampuan praktik yang tinggi, jadi dia akan ikut serta sebagai atlet. Namun, Harumi sendiri inginnya ikut sebagai staf teknis. Mungkin itulah kenapa dia memilih untuk membantu anak kelas 1 mengatur Rangkaian Aktivasi mereka.

Hari itu hari Senin, sehari setelah Maya memerintahkan mereka untuk ‘menarik perhatian’. Oleh karna itu, Ayako coba mencari orang yang bisa membantunya, sementara Fumiya memutar otak mencari cara terbaik yang bisa mereka gunakan.

Omong-omong, Fumiya adalah laki-laki yang tampan. Dia termasuk ke golongan bishounen yang mana akan berubah jadi bishoujo kalau dipakaikan pakaian perempuan.

Dia tidak tinggi, tangan dan kakinya kurus, meski sudah berlatih intens.

“Kuroba-kun, kau bisa serahkan saja semuanya pada kami, oke?”

“Ya, terima kasih banyak. Aku akan tanya kalau ada yang tidak kumengerti.”

“Ya. Jangan malu-malu, apapun itu katakan saja, oke?”

Bagi ukuran anak SMA, penampilan Fumiya terlihat seperti anak laki-laki lemah yang selalu butuh perlindungan, dan karna itu mereka semua ingin ‘melindungi’nya. Mereka sudah agak lama mengganggunya dengan tawaran seperti itu. 

Tapi perlakuan seperti ini tidak membuat Fumiya senang. Dia ingin menjadi sosok orang yang bisa diandalkan dan keren, seperti Tatsuya (menurut pandangan subjektif Fumiya), dan dia tidak suka menjadi sebuah barang rebutan.

Fumiya tidak sampai bersikap kekanak-kanakan sampai bersikap kasar pada kakak kelasnya. Meski begitu sikapnya terbilang cukup dewasa untuk orang seusianya. Dia memperlakukan mereka yang mendekatinya dengan sesopan mungkin, jelas dan tidak langsung menolaknya begitu saja. Kalau dia meresponnya dengan kasar, maka gosip itu pasti akan cepat menyebar di kalangan perempuan. Dia memilih membalas semua yang mencoba mendekatinya dengan sebuah senyuman hangat. Berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan, sikap seperti itu malah memberi kesan dirinya sebagai pemberani di mata orang lain.

Walaupun ini tidak ada hubungannya dengan misi mereka, Fumiya dan Ayako perlahan-lahan meningkatkan perhatian orang di SMA 4 terhadap mereka.

◊ ◊ ◊

Akhir bulan Juli, Kompetisi Sembilan Sekolah sudah akan dimulai. Rumor-rumor aneh mulai menyebar di kalangan penyihir yang tinggal di area Tokai (bagian selatan Kanto).

Keluarga Yotsuba dari Sepuluh Master Clan. Keluarga yang dipandang sebagai salah satu keluarga paling berpengaruh di dunia sihir Jepang. Keluarga yang dikepalai oleh Yotsuba Maya, salah satu penyihir perempuan terkuat di dunia. Namun, lokasi pusat kediaman mereka tidak diketahui, dan selain Yotsuba Maya sendiri, semua anggota keluarga yang lain identitasnya masih misteri.

Tapi kini salah satu anggota keluarga tersebut mulai naik permukaan. Lebih tepatnya, ada satu keluarga yang tampaknya punya hubungan dengan Keluarga Yotsuba. Menurut rumor ini, keluarga yang bernama Kuroba punya hubungan darah dengan Keluarga Yotsuba.

Hanya nama keluarga Kuroba lah yang tersebar di kalangan penyihir. Nama lengkap penyihirnya, lokasi, pekerjaan, status pernikahan, silsilah keluarga, dan lain-lain tidak diketahui. ‘Rumor’ ini menyulut rasa penasaran banyak orang.


“Kuroba-san, apa benar kau berasal dari Keluarga Yotsuba?”

Sampai-sampai dia berani menanyakan hal ini langsung menunjukkan kalau Naruse Harumi adalah sosok yang tidak tidak kenal takut (meski dia tidak datang khusus hanya untuk menanyakan itu, melainkan ditanyanya sambil melakukan pengaturan CAD). Dengan beredarnya rumor, di SMA 4, di depan Fumiya dan Ayako, semua orang mencoba untuk tidak menyentuh hal ini sebisa mungkin.

Dan tersebarnya rumor itu membuahkan pertanyaan ini. Orang-orang lain yang ada di sekitar mereka seketika terdiam terpaku tak bisa bergerak dan berusaha ‘membuka’ telinga mereka.

“Itu tidak benar.”

Ayako tersenyum membantah pertanyaan Harumi. Baginya, tidak apa-apa kalau mereka berpikiran ‘Kuroba Ayako bisa saja anggota Keluarga Yotsuba’, tapi mereka masih belum boleh tahu kalau ‘Kuroba Ayako adalah anggota Keluarga Yotsuba’.

Mereka yang mencoba menguping sudah kembali melakukan pekerjaan mereka dengan wajah tak berdosa. Namun, Harumi tidak bisa melepaskannya begitu saja setelah mendapat jawaban seperti itu.

“Apa kau benar-benar tidak ada hubungan dengan mereka? Sihirmu ini, kalau diperhatikan lebih seksama, setingkat dengan sihir-sihir Sepuluh Master Clan.”

Tatapan Harumi beralih dari CAD yang dikerjakannya, mengangkat kepalanya dan menoleh ke Ayako bertatapan langsung dengan matanya.

Ayako juga dengan senyuman lebarnya membalas tatapan matanya.

“Senang sekali mendapat pujian dari Naruse-senpai. Aku juga suatu saat ingin menjadi penyihir yang kuat seperti Naruse Benio-san, yang kata orang kekuatannya setara dengan penyihir Sepuluh Master Clan.”

Harumi tersenyum kecut mendengar jawaban Ayako yang disampaikannya dengan elegan.

“Tapi sekarang namanya Kitayama Benio.”

Harumi hanya bisa menjawab seperti itu.

“Begitukah? Maaf atas kesalahanku.”

Senyuman Ayako tidak menggentarkan Harumi meski dia cuma seorang anak SMA.

“Tidak. Aku lah yang seharusnya minta maaf menanyakan hal aneh seperti itu.”

Harumi malu-malu membuang muka dan kembali menatap CAD yang dikerjakannya.


Dengan begitu, berkat sandiwara ulung Ayako dan Fumiya, rumor yang beredar di SMA 4 tentang keterkaitan mereka dengan Keluarga Yotsuba dengan cepat mereda. Namun, di orang-orang luar, rumor tentang Keluarga Kuroba merupakan bagian dari Keluarga Yotsuba terus menyebar.

Oleh karena itu, jumlah orang yang ingin memastikan kebenaran rumor itu kian banyak. Nama Kuroba bukanlah nama keluarga yang umum digunakan, tapi tidak selangka itu juga.

Tapi jika kita coba batasi pencarian kita hanya pada penyihir bernama keluarga Kuroba, maka jumlahnya cukup sedikit. Perlu adanya penyelidikan yang mendalam yang akan menghabiskan banyak biaya untuk mencari tahu kebenaran ini. Dan banyak juga orang yang berpandangan bahwa segala informasi tentang Keluarga Yotsuba memanglah suatu hal yang pantas dibayar mahal.

“Nee-san.”

“Uh-huh… Hari juga ya, huh?”

Setelah menyelesaikan latihan Kompetisi Sembilan Sekolah mereka, Fumiya dan Ayako pulang dari sekolah melewati gerbang utama, tempat dimana mereka biasanya dibuntuti banyak orang. Hal ini sudah berlangsung tiga hari berturut-turut. Kemarin lusa mereka masih tidak nyaman dengan semua tatapan itu, tapi di hari ketiga ini mereka sudah berpikiran lain, “Apa, begini lagi…”.

“Kira-kira hari ini siapa ya?” gumam Ayako tidak senang.

Yang mana dijawab oleh Fumiya yang kedengaran lelah dengan itu.

“Jurnalis rasanya. Kini dia sedang bersembunyi, dan sepertinya dia tidak diikuti asisten.”

Mereka tidak gelisah sama sekali, bukan hanya karna mereka sudah terbiasa dengan itu, tapi juga karena tingkat kemampuan orang yang membuntuti mereka cukup rendah.

“Jurnalis ya…. Jadi enaknya kita gimana?”

“Nee-san, aku sebenarnya mau mengingatkan kalau sentimenmu terhadap media muncul lagi, tapi hari ini aku sependapat. Siapapun kita, kita tidak ada hubungannya dengan permasalahan politik, ekonomi, ataupun budaya.”

“Bukankah mereka itu orang yang senang berteriak “Semua orang berhak mengetahui”? Tapi, mereka sendiri tidak tahu apakah orang-orang ingin tahu tentang kita atau tidak.”

Melanjutkan pembicaraan mereka tentang jurnalis dengan suara kecil, mereka sudah sampai di stasiun terdekat. (Orang yang mungkin) jurnalis yang sudah membuntuti mereka dari gerbang sekolah sudah tidak bisa apa-apa kalau mereka sudah sampai stasiun. Ketika berkendara dengan cabinet, pada sistemnya, tidak bisa diatur untuk mengejar cabinet lain.

Tapi pemikiran seperti itu cukup naif bagi mereka berdua. Baik Fumiya dan Ayako meremehkan tekad jurnalis itu. 

Ketika mereka sudah menginjakkan kaki di stasiun, mereka bisa mendengar langkah kaki dari belakang mereka. Sang (orang yang mungkin) jurnalis, yang seharusnya membuntuti mereka diam-diam, mendadak berjalan mendekati Fumiya dan Ayako. Berdua kakak-adik itu bersamaan menilai kalau akan rumit jadinya jika sampai mereka tertangkap, jadi mereka mempercepat langkah ke loket tiket. Namun, dari depan, dua pria paruh baya juga mendekati mereka, yang jika dilihat dari penampilannya juga kelihatan seperti jurnalis. Jelas ini semua sudah terencana, dan mereka akan melakukan wawancara tanya jawab di stasiun itu.

Para murid SMA 4, yang ke sekolah naik cabinet, selalu menggunakan stasiun ini, jadi tidaklah sulit bagi mereka untuk menentukan titik sergap yang pas. Dan (orang yang mungkin) jurnalis yang membuntuti mereka dari belakang diperlukan untuk mengabari rekan-rekannya apakah Fumiya dan Ayako pergi ke stasiun atau tidak.

Fumiya dan Ayako hanya bisa saling bertukar pandang, dan dalam sekejap berlari mengitari salah satu jurnalis itu. Jurnalis yang ada di depan mereka gelagapan melihat hal itu dan berusaha lari mengejarnya, tapi Fumiya dan Ayako lebih cepat. Ditambah lagi, tujuan mereka berdua sangatlah dekat. Dengan napas yang terengah-engah, Fumiya dan Ayako menerobos masuk pos polisi yang ada di stasiun.

Mereka beruntung pos itu tidak kosong. Setelah dipasangnya sistem kamera pengawas jalan, jumlah pos polisi diperbanyak, tapi di setiap stasiun memang selalu ada satu. Namun, mereka seringkali tutup ditinggal oleh polisi yang sedang berpatroli, tapi kali ini mereka beruntung. …Sepertinya, polisi itu sadar akan kemungkinan terjadinya masalah ketika jam berangkat dan pulang sekolah.

Polisi itu secara tidak sadar mengerutkan dahinya melihat warna putih seragam SMA 4. Dia baru saja ditugaskan di pos polisi stasiun itu, yang sering digunakan oleh murid dari SMA 4. Meski dia masih baru, petugas polisi itu juga seorang penyihir, sekaligus alumni dari SMA 4. Oleh karena itu, dia terlihat tidak senang kalau adik kelasnya ada terlibat masalah dengan orang sipil nonpenyihir.

Namun, ketika dia melihat wajah Fumiya dan terutama Ayako, perasaan itu hilang. Sudah tidak perlu lagi dijelaskan kenapa. Lagipula polisi itu juga masih muda.

“Maaf, Sersan!”

Ketika Ayako berlari dan berbicara kepadanya dengan tampilan tak berdaya, pikiran polisi muda itu langsung menyimpulkan kalau mereka berdua adalah korban. Memanggilnya ‘Sersan’ dan bukan ‘Pak Polisi’ juga memberi kesan kalau Ayako adalah orang yang tahu pangkat.

“Ada apa?”

Polisi muda itu menjawabnya dengan seramah mungkin, yang mana itu tak dapat terhindarkan mengingat dia ada di hadapan pesona Ayako. Fumiya juga membantu usaha Ayako, bergaya melihat ke belakang beberapa kali sambil terlihat tidak tenang.

“Kami diikuti oleh orang-orang aneh… dan, sepertinya, mereka mau menangkap kami.”

Seketika, mata Ayako mulai berkaca-kaca.

“Kita tidak bisa menggunakan sihir semau kami… Dan tanpa sihir, kami…” Fumiya melanjutkan perkataan kakaknya dengan pura-pura ketakutan. Meski dia sedang tidak cross-dress, tapi lekuk tubuhnya yang langsing, membuatnya mudah disalahkira sebagai perempuan, jadi perkataannya juga punya pengaruh yang kuat.

“Aku mengerti. Serahkan saja padaku.”

Polisi itu memasang wajah serius dan pergi meninggalkan pos.

Fumiya dan Ayako bertukar pandang, dan melihat kepergian polisi itu.

Dari luar pos, bisa terdengar suara pembicaraan polisi itu dengan (orang yang mungkin) jurnalis. Para (orang yang mungkin) jurnalis itu meneriakkan sesuatu semacam ‘kebebasan pers’, mengabaikan fakta bahwa Fumiya dan Ayako, terlepas dari statusnya sebagai penyihir, adalah anak di bawah umur. Ditambah lagi, ketiga (orang yang mungkin) jurnalis itu adalah pria paruh baya, dan berdua Fumiya dan Ayako adalah anak yang cantik. Juga terdengar suara orang-orang yang menyaksikan para jurnalis itu mengejar dua anak SMA yang lari ke pos polisi. Mereka secara proaktif mengajukan diri menjadi saksi mata.

Para (orang yang mungkin) jurnalis itu, akhirnya sadar akan posisi mereka yang terpojokkan, mulai meminta maaf, menunduk, dan pergi meninggalkan tempat loket tiket.