Mengurus Kamil

(Translator : Hikari)


Ini adalah hari pertamaku sebagai seorang kakak untuk adik laki-lakiku yang lucu, Kamil. Jelas ini adalah hari yang patut diingat, tapi meskipun aku harus bersikap sebagai seorang kakak yang baik, musuh bebuyutanku—rasa kantuk—melancarkan serangan mendadak. Rasa sakit persalinan dimulai saat fajar dan Kamil lahir antara bel kedua dan ketiga. Pada saat itu aku benar-benar kecapekan karena mondar-mandir mengelilingi sumur. Aku jadi mengantuk tepat setelah makan siang.

…Tidak, tidak! Aku tidak bisa tidur!

Aku bisa membawakan air untuk Ibu, mencuci piring, dan menangani semua urusan tugas rumah tangga. Setidaknya aku ingin tetap membantu sampai Ayah atau Tuuli kembali dari perayaan untuk menolong.

Sementara aku terus berjuang menahan kelopak mataku yang semakin berat mengatup, Ibu menepuk alas tidur di sampingnya. "Kau bisa tidur kalau kau mau, Myne."

"Tidak. Aku harus tetap bangun sampai Ayah atau Tuuli kembali. Aku akan jadi kakak yang hebat yang mengurus Kamil sepanjang waktu," balasku.

Aku tidak berniat tidur sekarang begitu Kamil akhirnya ada di sini. Aku sudah menimangnya sekali, dan aku berniat untuk terus mengurusnya.

Ibu tersenyum lembut setelah mendengar pernyataan penuh tekadku. "Ibu hargai niatmu itu, tapi kekhawatiran utama Ibu adalah kau jatuh sakit. Kau sebaiknya istirahat kalau capek," katanya.

Aku mengangguk sedih. Ibu masih lelah setelah melahirkan; aku tidak boleh membuatnya lebih cemas lagi.

Aku membersihkan piring-piring kotor, melepas sepatuku, dan naik ke tempat tidur. Setelah bergeser sedikit ke samping supaya aku tidak berguling menimpa Kamil, aku berbaring menyamping dan mengamati wajah tidurnya sebelum memejamkan mataku.

Kakakmu akan bekerja keras mulai besok, oke?

Aku tidak bertahan lama setelah memutuskan untuk tidur; aku merasakan Ibu menyelimuti dan membelai kepalaku, kemudian aku tanpa sadar langsung tidur pulas.

Tapi di tengah-tengah tidur lelapku, aku mulai mendengar suara rengekan melengking, seperti seekor kucing yang sedang mengeong. Ini memaksaku bangun. Aku mengerut, tidak suka perasaan terbangun lebih cepat secara paksa.

Diam… Aku mau tidur lagi, pikirku, menarik selimut ke atas kepalaku. Tapi itu hanya membuat suara tangis tersebut makin kencang.

Gah! Kenapa suara tangisnya dekat sekali denganku?! Oh, tunggu! Kamil!

Mataku langsung terbuka lebar dan aku segera bertemu mata dengan Ibu, yang sedang mengangkat Kamil dan bersiap untuk menyusuinya. Dia tersenyum.

“Kau tidur nyenyak, sayang. Sudah hampir waktunya bel kelima berdentang.”

Meskipun sudah tidur begitu lama, aku masih merasa belum cukup tidur. Aku mengusap mataku dan melihat Kamil. Adik laki-lakiku yang mungil berusaha keras untuk meminum susu Ibu. Mulutnya yang mengisap, matanya yang tidak fokus ke mana-nana, dan kepalan tangannya yang amat sangat kecil itu semuanya super imut.

“Aku pulang. Kamil bangun, ya?”

“Hai, Tuuli. Dia sedang minum susu sekarang,” kataku ke arah pintu sementara Tuuli, yang baru saja pulang dari perayaan di bawah, menjulurkan kepalanya dari pintu.

Dia berjalan mendekat, duduk di samping tempat tidur, dan berkata “Dia benar-benar kecil, ya” sambil memperhatikan Kamil.

“Kau dan Myne sama-sama sekecil ini juga dulunya,” balas Ibu sembari tersenyum. Aku sama tidak tahu harus menanggapi apa karena aku tidak ingat itu.

Kamil menjauhkan kepalanya seakan dia sudah puas, dan Ibu menepuk punggungnya dengan lembut. Dia pun mengeluarkan suara sendawa kecil.

“Kau tidak hanya lama dan payah saat minum susu, Myne, susu itu juga selalu menetes dari pinggir mulutmu. Dan saat kau akhirnya selesai, kau mendadak muntah begitu saja,” Ibu melanjutkan, wajahnya mengerut saat tersenyum mengenang sambil memandangku.

Dia pada dasarnya mengatakan bahwa aku sudah merepotkan sejak bayi, jadi aku mengerucutkan bibirku, cemberut. “Aku tidak tahu apa yang Ibu harapkan dariku dengan berkata begitu. Aku dulu hanya seorang bayi.”

“Yah,” Tuuli memulai, “kau masih saja makan dengan pelan, dan saat kau makan terlalu banyak kau akan mengerang kalau perutmu sakit, jadi kurasa kau pada dasarnya sama saja sekarang.”

“Tuuli, kau tega sekali!”

“Oh, tapi dia memang benar,” Ibu menimpali.

Kalau dia sampai setega itu, maka aku pun juga ada yang ingin kukatakan. Roti yang kami makan di sini benar-benar keras. Sebenarnya terlalu keras untuk digigit secara normal, jadi aku selalu harus mencelupkannya ke dalam supku atau meneguknya dulu. Menunggu roti itu melembut membuatku jadi lambat tidak peduli aku suka atau tidak, hanya itu. Aku makan dengan pelan karena rotinya keras. Itu bukan salahku.

“Bagaimana bisa kau menyalahkan rotinya padahal kau yang makannya lama, Myne? Kau perlu waktu lama karena kau membiarkannya di dalam sup sampai itu benar-benar lembek.”

“Yah, itu karena rotinya terlalu keras untuk dimakan!”

Rasanya aku bahkan jadi lebih payah lagi dalam mengunyah karena terbiasa dengan roti empuk yang kami punya di biara, tapi sekarang aku kembali ke rumah, aku berusaha setiap harinya untuk menghargai pengalaman unik menyantap roti-sekeras-batu itu.

Sementara Tuuli dan aku terus melanjutkan perdebatan kami, Ibu menyuruh kami minggir sambil tersenyum simpul. “Sepertinya Ibu harus mengganti popok Kamil sekarang, jadi…”

“Biarkan aku yang melakukannya! Aku mau mencobanya!” kata Tuuli dengan mata berbinar-binar sebelum mulai berusaha mencoba mengganti popok. Aku menyaksikan dari dekat, berharap bisa mempelajari bagaimana cara melakukannya supaya aku bisa membantu juga suatu hari nanti, seperti seorang kakak yang seharusnya.

Tuuli melepaskan kain yang membungkus Kamil, mengelap bokongnya dengan bagian yang bersih, dan kemudian membungkusnya lagi dengan kain yang baru. Selesai.

Tuuli berkata dengan puas “Selesai!” dan menyunggingkan senyum lebar. Dia telah melakukannya tanpa masalah, dan kelihatannya benar-benar mudah dilakukan.

Aku akan coba lakukan di kesempatan berikutnya.

Tuuli dengan cepat melemparkan bundelan kain kotor ke dalam sebuah keranjang sebelum melihat ke luar jendela ke langit yang biru. “Jadi, Ibu… Apa itu popok terakhir yang kita punya untuk Kamil? Sekarang agak sedikit terlambat, tapi kita akan kehujanan kalau tidak cepat-cepat mencucinya sekarang.”

“Oh, kau benar. Kita harus cepat-cepat. Apa kau bisa bantu menangani yang harus kita lakukan? Ibu sudah minta Ayah untuk memasang tali di dapur untuk mengeringkan popok. Kau harus minta Ayah untuk menggantungkannya.”

Sementara Ibu dan Tuuli terus bergerak, aku sendiri melihat ke luar jendela, kepalaku mendongak ke samping. Ada beberapa awan di sana, tapi langit benar-benar biru. Aku tidak bisa melihat tanda apapun kalau cuaca akan segera memburuk, selain matahari yang terbenam seperti biasanya.

“...Bagaimana kalian berdua bisa tahu kalau cuaca akan memburuk?”

“Kenapa kau tidak bisa, Myne? Kalau kita tidak bisa tahu kapan cuaca akan memburuk, akan jadi terlalu berbahaya bagi kita untuk pergi ke hutan. Oh, tapi ngomong-ngomong, kita harus cepat-cepat mulai mencuci! Ayo, Myne,” kata Tuuli sambil menarikku ke luar pintu depan. Barulah di saat itu hal tersebut muncul di kepalaku—

“Sir Damuel menyuruhku untuk tidak pergi keluar…”

Kurasa aku akan baik-baik saja pergi ke sumur, tapi benar-benar diperingatkan bahwa pergi ke luar akan memunculkan bahaya pada semua orang di sekelilingku. Dan mengingat kematian kepala Serikat Tinta baru-baru ini dan aku yang diserang saat Doa Musim Semi, pergi keluar bukanlah sesuatu yang bisa kuanggap enteng.

Tuuli, yang sudah mendengar Damuel yang dengan tegas menyuruhku untuk tetap tinggal di dalam ruangan sampai dia datang untuk menjemputku, bahunya merosot saat dia teringat. “Kita tidak boleh tidak mematuhi seorang bangsawan, ‘kan? Yah, aku akan mencucinya kalau begitu. Kau bisa mulai makan malam, Myne. Ayah dan aku tidak begitu lapar karena kami makan banyak saat perayaan, jadi sup saja sudah cukup. Tetangga-tetangga kita memberi kita banyak sayuran dan sosis.”

Saat aku melihat-lihat sayuran yang akan kujadikan sup, aku ingat kalau aku cuma makan sup dan roti untuk makan siang. Aku menaruh sebelah tangan di atas perutku. “Yah… Aku agak lapar, karena hanya makan sedikit sup untuk makan siang juga. Aku sama sekali belum makan daging yang orang-orang biara berikan, dan kita juga harus membuat Ibu makan dengan benar supaya dia bisa menghasilkan banyak susu yang sehat…”

Dengan kata lain, aku minta untuk makan daging. Tuuli menunjuk ke ruang penyimpanan sebagai tanggapan dan berkata kalau aku bisa memakai daging burung di situ.

“Baiklah. Aku cuma perlu menggosokkan garam dan herba ke daging itu, ya ‘kan?”

Tuuli menggelengkan kepala. “Beberapa herba tidak bagus untuk orang-orang yang baru saja melahirkan. Pakai garam saja,” katanya sebelum menuruni tangga dengan ember kayu berisi cucian kami dan sedikit sabun.

Aku lebih suka daging yang dibumbui herba daripada daging yang hanya diberi garam, jadi itu cukup disayangkan, tapi kalau Ibu tidak bisa memakannya maka tidak ada gunanya aku membuat itu.

“...Kalau herba tidak boleh, aku paling tidak menggunakan sedikit wine Ayah,” kataku pada diri sendiri setelah melihat Tuuli menghilang dari pintu. Aku kembali ke dalam dan menuju ke ruang penyimpanan musim dingin kami untuk mengambil daging, dan kemudian mengambil wine Ayah dari rak dapur.

Dia selalu mati-matian mencoba menghentikanku kapanpun dia melihatku mengambil wine untuk dipakai saat memasak. Dia bilang makananku rasanya sudah jauh dari cukup tanpa wine, tapi aku tahu dia hanya ingin menyimpan sebanyak mungkin wine untuk dirinya sendiri. 

…Aku tidap peduli betapapun Ayah membencinya; aku akan menggunakan wine ini! Ada perbedaan besar antara daging yang disiapkan dengan wine dan yang tidak.

Setelah memijat sebentar daging itu dengan wine dan garam, aku mulai memotong-motong sayuran seperti biasa. Masih ada banyak sayuran berbahaya yang kurasa sulit untuk kusiapkan, tapi pada titik ini bahkan aku pun bisa membedakan antara sayuran yang aman dan berbahaya.

“...Hm? Tunggu, apa aku jadi lebih payah dalam hal ini karena aku sudah di biara begitu lama?!” seruku. Irama memotongku jadi goyah dan berantakan karena aku sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan menjalani hidup seorang gadis kaya yang luar biasa dimanjakan di biara. Tanganku gemetar hanya karena memegang pisau.

“Aww, ini parah. Aku tadinya benar-benar berada dalam kondisi paling di bawah dalam urusan rumah tangga, dan sekarang aku bahkan lebih di bawahnya lagi. Aku harus membiasakan diri melakukan tugas rumah tangga setiap hari,” kataku, meratapi penurunan kemampuanku sambil berhati-hati agar tidak memotong jari-jariku bersama sayuran.

“Oh, ini vargel. Menumis ini dengan mentega akan lebih enak daripada memasukkan ke dalam sup.”

Vargel terlihat seperti asparagus putih dalam penampilan, tapi rasanya seperti baby corn. Rasanya sangat enak dan mengingatkan dengan musim semi saat direbus dan dimasak dengan mentega, atau dicampur begitu saja dengan krim. 

“Ayah pulang!” seru Ayah dengan suasana hati riang dan mabuk, Tuuli mengikuti dari dekat di belakangnya. Dia sudah menyelesaikan cucian bajunya sementara aku memotong sayur.

“Ayah gantung ini semua. Kami akan menyiapkan makan malam,” kata Tuuli sambil menyerahkan popok yang baru saja dicuci pada Ayah dan pergi untuk menaruh kembali ember kayu di ruang penyimpanan.

Ayah membentangkan popok-popok dan menggantungnya pada banyak tali yang merentang tinggi di udara melintasi dapur, dekat dengan langit-langit. Aku sedikit terganggu dengan fakta bahwa dia melakukan itu sementara aku sedang memasak, tapi aku harus menahan diri karena Kamil perlu popok kering.

“Seandainya sekarang cerah jadi kita bisa menggantungnya di luar.”

“Yah, hujan ini menyusahkan. Hal itu benar-benar merepotkan saat kita harus mengeringkan ini setiap hari.”

Memiliki begitu banyak popok yang berayun-ayun di penjuru ruangan begini sangatlah mengganggu. Ini benar-benar pemandangan yang tidak biasa kulihat, dan barulah saat popok-popok ini dijemur seperti ini aku menghargai betapa berharganya popok sekali pakai. Belum lagi semua ini bukanlah popok-popok putih yang biasa kugunakan di hari-hariku sebagai Urano—ini semua adalah potongan-potongan kain perca yang dijahit jadi satu, dan yang jadi lembut dan tipis karena dicuci berulang kali, yang mana hanya itulah hal bagus dari popok-popok ini. Aku ingin mendesak agar kami memakai sesuatu yang lebih higienis, tapi kami hanya menggunakan apa yang kami punya. Selain itu, aku sudah tahu mereka akan bilang kalau mereka tidak ingin membuang-buang kain baru untuk popok yang nantinya tidak perlu waktu lama untuk jadi kotor.

“Sudah sampai mana kau melakukannya, Myne?”

“Aku sudah selesai memotong sayur-sayuran yang bisa kupotong. Kelihatannya musim vargel sudah hampir berakhir. Ini semua sulit didapat sekarang,” kataku, menunjukkan vargel yang sudah di luar musim.

“Itu karena kita sekarang sudah hampir setengah jalan melewati musim semi. Vargel bertahan lama saat musim semi tetap dingin lebih lama, tapi aku lebih peduli tentang kehangatan. Ada lebih banyak hal yang bisa dikumpulkan di hutan saat hangat!”

Tuuli memasak daging dengan garam dan menghiasinya dengan vargel tumis mentega. Aku memanfaatkan waktu itu untuk membuat sup sayuran musim semi.

“Myne, pergi panggil Ibu,” kata Tuuli.

Aku diam-diam menyelinap ke dalam kamar, mencoba sebisa mungkin untuk tidak membangunkan Kamil. Ibu sedang tidur di sebelahnya. Mungkin karena kamar ini gelap jadinya sulit untuk melihat, tapi dia nampaknya sangat kelelahan dan agak pucat. Aku benar-benar tidak ingin mengganggunya, jadi aku diam-diam melangkah mundur ke dapur.

“Tuuli, kelihatannya Ibu tertidur…”

“Tidak apa-apa, kau tidak perlu membangunkan Ibu. Bu Karla mengatakan soal ini; dia bilang adalah hal yang sangat penting memberikan seorang ibu waktu istirahat sebisa mungkin setelah melahirkan,” Tuuli menjelaskan sembari mempersiapkan meja. Kelihatannya ibu-ibu tetangga sudah memberitahu dia tentang banyak hal sementara dia membantu kelahiran. Ibu kelihatannya akan tidak bisa beraktivitas seperti biasa sementara waktu ini, yang artinya kami perlu menggantikannya sebagai seorang keluarga.

“Kau mungkin tidak menyadari ini karena kau tidak ada waktu itu, Myne, tapi Ibu benar-benar mengalami masa sulit saat melahirkan. Dia berdarah banyak sekali dan kelihatannya benar-benar sakit,” gumam Tuuli, dengan cemas menatap kamar tempat Ibu sedang tidur.

Aku disuruh keluar saat kelahiran ini dan sama sekali tidak pernah menyaksikan ketika masih menjadi Urano. Aku sudah membaca dan banyak mendengar tentang hal ini, tapi aku tidak seperti apa proses kelahiran yang sebenarnya. Aku hanya bisa membayangkan seperti apa yang Ibu rasakan, dan mungkin tidaklah berlebihan mengatakan bahwa dia tidak berada dalam kondisi yang menyenangkan.

“Kita harus bekerja cukup keras sehingga Ibu sama sekali tidak perlu melakukan pekerjaan rumah apapun sendirian. Dia akan sakit untuk waktu yang lama kalau kita membiarkan dia memaksakan diri terlalu dini. Myne, kami akan membutuhkan bantuanmu.”

“Baik.”

Malam itu, aku terbangun setiap kali Kamil mulai menangis. Benar-benar sulit untuk tidur mengabaikan tangisan seorang bayi di ruangan yang sama denganmu. Pada akhirnya, aku yakin telah melihat Ibu menyusui Kamil lewat pandangan mataku yang tidak jelas dalam empat kali kesempatan yang terpisah malam itu. Bisa dibilang, aku kurang tidur. Kepalaku terasa tidak fokus saat aku akhirnya benar-benar bangun.

“Ibu rasa hanya perlu waktu beberapa hari bagimu untuk terbiasa tidur tanpa terganggu suara tangis,” kata Ibu sambil membelai kepalaku dengan senyum cemas. Aku membalas bahwa aku pasti tidak akan terbiasa semudah itu, tapi pada malam kedua aku berhasil melaluinya sampai pagi bahkan sampai nyaris tidak menyadari tangisan yang ada di sudut benakku. 

“...Mmm. Kurasa aku jauh lebih baik dalam beradaptasi daripada yang kupikirkan.”

“Kau sama saja seperti Ayah,” kata Tuuli sambil memelototiku dengan matanya yang menyipit kekurangan tidur. Dia menunjuk pada Ayah, yang masih tertidur pulas.